"Apa lo bisa belajar membuka hati lo buat gue?"
Kata-kata Davin terus terngiang, berputar-putar memenuhi isi kepalanya bagaikan radio rusak. Rena duduk termenung di tepi jendela, matanya memandangi embun di kaca setelah hujan deras mengguyur daerah rumahnya beberapa saat yang lalu.
Semenjak kepulangannya tadi siang, Rena sengaja mengurung diri di kamar dan enggan ditemui oleh siapa pun. Ia ingin menenangkan diri, selain masih syok akan perlakuan Alan. Ia juga ingin merenungi permintaan Davin, berkali-kali pria itu meminta kesempatan. Seperti waktu di jalan menuju festival musik, Davin juga mengatakan hal yang sama. Pria itu terlihat sangat bersungguh-sungguh, membuatnya dilema. Bingung harus bagaimana, ia tak ingin menyakiti perasaan Davin yang sudah baik padanya. Tapi di sisi lain, ia masih belum yakin dengan dirinya sendiri.
Mampukah Rena membuka hati untuk Davin? Sementara separuh perasaannya masih dimiliki si berengsek Alan.
Rena tersenyum kecut. Nyatanya membuang perasaan yang sudah tumbuh subur di dalam hati tak semudah saat mengucapkannya. Walau berkali-kali Alan sudah menorehkan luka dalam hatinya, kenyataannya ia tak bisa berbohong jika pria itu masih mengisi separuh kekosongan dalam dirinya.
"Rena! Keluar Rena!" Teriakan dari bawah menyentak Rena dari lamunan. Ia menoleh ke pintu kamarnya yang tertutup rapat, meski begitu suara teriakan itu masih mampu didengarnya. Suara seseorang yang memanggil-manggil namanya. Tapi siapa?
Rena yang penasaran dengan suara gaduh di luar, lantas beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkah keluar, suara teriakan itu santer terdengar semakin jelas.
"Saya mohon, maafkan anak saya. Tolong."
"Keluar dari rumah saya!"
"Saya mohon, beri anak saya kesempatan. Kami berjanji, kami akan mendidiknya agar tidak melakukan hal itu lagi. Saya mohon."
Terdengar suara orang menangis, bersamaan dengan suara bariton yang Rena kenali. Itu suara kakaknya, tapi kakaknya sedang bertengkar dengan siapa? Rena mempercepat langkahnya, menuruni tangga. Namun saat sampai tangga terakhir ia seketika berhenti, ketika melihat siapa yang sedang memohon-mohon di kaki kakak dan orangtuanya.
"Rena." Wanita itu menoleh, menyadari kehadiran Rena. Sontak ia berlari menuju wanita itu.
"HEI!" Reyvan naik pitam, segera mengejar.
"Rena, maafkan anak tante. Tolong, jangan penjarakan Alan. Tante mohon, Rena." Wanita itu ternyata mamanya Alan, ia bersimpuh di kaki Rena. Menggosok-gosok kedua tangannya, memohon pengampunan atas nama anaknya.
Rena memalingkan wajah, matanya berkedut. Air mata yang sempat mengering kini berkumpul di pelupuk mata. Dadanya kembali bergemuruh, merasakan nyeri berkali-kali lipat lebih sakit dari sebelumnya. Ia kembali teringat kilas balik kejadian tadi pagi, kejadian yang mengkoyak perasaannya, mencabik-cabik harga dirinya.
Reyvan memang berhasil menemukan Alan, setelah memberikan bogem mentah pada pria itu. Reyvan langsung menjebloskannya ke dalam penjara atas kasus penculikan dan percobaan pemerkosaan. Hal itu diperkuat oleh pernyataan Vera yang mengajukan diri sebagai saksi.
Entahlah, Rena sediri tidak tahu kenapa wanita itu mau bersaksi. Padahal ia tahu kalau Vera sangat mencintai Alan, bahkan keduanya sudah terlalu jauh melangkah. Walaupun kini Rena tahu satu fakta dibalik semuanya, Alan hanya memanfaatkan Vera untuk memenuhi fantasi liar pria itu yang terobsesi pada dirinya.
"Sebaiknya Anda keluar atau saya panggil polisi!" Suara bariton Reyvan menarik kesadaran Rena. Ia menoleh, melihat mama Alan tengah ditarik-tarik oleh kakaknya.
"Rena, tante mohon. Maafkan Alan, maafkan kami. Tante berjanji, tante akan menebus semuanya. Tapi jangan penjarakan Alan ... Rena. Alan satu-satunya anak tante." Mama Alan berpegang pada kedua kaki Rena yang masih mematung di anak tangga terakhir. "Tante lebih baik mati daripada harus melihat Alan dipenjara."
"Bagus, lebih baik Anda mati saja! Hidup juga nggak guna!" sarkas Reyvan, masih menarik-narik tangan mama Alan. Berusaha menjauhkannya dari Rena. Emosi Reyvan meledak-ledak, apalagi setelah ia tahu kebenaran soal Alan yang mencoba memperkosa Rena. Amarah yang kian menggebu tak mampu ia bendung, lantas Reyvan melampiaskannya pada pria itu. Tak puas membuat Alan babak belur, ia juga menjebloskannya ke penjara.
"Reyvan," tegur papanya. Meski ia juga emosi, tapi pria itu masih mampu menahan segala amarah yang menguasai. "Sudah Nak, pulanglah. Kasihan istrimu menunggu di rumah, dia pasti khawatir. Biarkan ini papa yang selesaikan."
"Nggak Pa!" Reyvan berucap dengan lantang. "Aku nggak akan biarkan pria sialan itu keluar dari penjara, dia harus menerima hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Kalau perlu dia di hukum mati!"
"Tidak!!" Mama Alan histeris mendengarnya, beruntung mama Rena yang berhati lembut itu masih punya hati untuk menenangkan. Walau ia juga mengutuk perbuatan Alan yang berani-beraninya mencoba melecehkan Rena. Tapi ia yang juga seorang ibu, tak tega melihat mama Alan bersimpuh, merendahkan diri demi membela anak kurang ajarnya.
"Van, sudah Nak. Benar kata Papa. Kamu pulang saja, biarkan ini kami yang menyelesaikan. Lagipula tak ada gunanya menyelesaikan masalah dalam keadaan emosi. Lebih baik kamu tenangkan diri, istrimu juga menunggu di rumah," kata mamanya.
"Mama membela dia!" Reyvan meradang, menatap nyalang mama Alan. "Apa Mama tidak tahu apa yang sudah dilakukan anak sialan———"
"Kak Reyvan!" bentak Rena, menginterupsi semua orang yang ada di sana.
Reyvan tercekat, tak menyangka jika adik kesayangannya akan meninggikan intonasi suara pada dirinya.
"Kak Reyvan sebaiknya pulang," kata Rena, merendahkan suaranya. Tampak menyesal sudah membentak kakaknya, tapi ia tadi hanya spontan demi meredam emosi kakaknya. "Biarkan aku yang menyelesaikannya."
"Ren." Reyvan mendekat, memegang kedua bahu Rena. "Kamu nggak berniat untuk melepaskan bajingan itu 'kan?" Reyvan menatap lekat mata sayu Rena, kedua matanya masih terlihat bengkak. Lebam di wajah dan juga luka di pelipis serta sudut bibir yang robek. Ia begitu miris melihat wajah cantik Rena jadi seperti itu.
"Kak." Rena tersenyum lembut, meraih kedua tangan Reyvan. Ia menatap sendu kakaknya, berharap lewat sorot matanya emosi kakaknya akan luruh. "Terima kasih sudah jadi Kakak terbaik buat Rena, terima kasih karena Kak Reyvan selalu jadi pahlawan di saat Rena butuh pertolongan. Kakak selalu jadi yang terbaik, terima kasih." Berkali-kali Rena mengucapkan terima kasih, karena satu saja tak akan cukup untuk semua pengorbanan yang telah dilakukan Reyvan untuknya.
"Tapi, sekarang ada dua bidadari yang sedang menunggu di rumah. Jadi, pulanglah. Biarkan aku dan Papa sama Mama yang selesaikan semuanya." Rena masih menyunggingkan senyumnya, tidak dengan Reyvan. Hatinya justru semakin teriris melihat wajah Rena yang memaksakan seulas senyum, namun dari sorot mata adiknya tampak jelas wanita itu begitu terluka.
"Baiklah, kakak akan pulang. Kakak harap kamu bijak, jangan termakan oleh kata-kata manis. Orang yang sudah melakukan kesalahan pantas dihukum, berhenti mengasihani orang lain. Jangan terus memendam semuanya sendiri, ada kakak, ada mama dan papa yang akan melindungi kamu," ujar Reyvan, lalu memeluk erat Rena.
———————
Alarm berdering, memenuhi ruangan gelap. Secercah cahaya matahari masuk lewat celah gorden yang tersingkap. Suara lenguhan menyambut, seiring dengan tangan yang terulur untuk mematikan alarm yang terus berbunyi nyaring memekakkan telinga.
"Ren, Rena." Mata Rena perlahan terbuka saat mendengar suara dari luar kamar. "Rena, bangun." Matanya berkedip-kedip menatap langit-langit kamar, mengumpulkan nyawa yang belum genap sepenuhnya. "Rena, bangun Sayang. Ada Davin di depan."
Sontak Rena bangun, merubah posisinya jadi duduk tegak saat mendengar suara mamanya yang terakhir. "Davin?" gumam Rena. "Ngapain dia ke sini?" Ia tampak heran, karena seingatnya, Rena tidak punya janji dengan pria itu.
"Ren." Ketukan pintu kembali terdengar, menarik kesadaran Rena. "Apa mama suruh pulang saja?"
Cepat-cepat Rena turun dari ranjang, setengah berlari ke pintu. "Jangan!" Rena membuka pintu, sedikit terengah. "Rena udah bangun kok, Ma." Ia meringis saat melihat wajah mamanya yang melongo. "Suruh tunggu sebentar, Rena mau cuci muka dulu." Setelah itu ia melesat ke kamar mandi.
Tak butuh waktu lama, Rena berjalan menuruni tangga setelah selesai mencuci muka dan memastikan penampilannya tidak sekacau saat bangun tidur tadi. Sedikit informasi, Rena kalau bangun tidur kaya singa gabut. Rambutnya acak-acakan, berjingkrak ke atas seperti habis disetrum, belum lagi wajahnya yang terlihat kucel.
"Hai," sapa Rena saat tiba di ruang tamu, dilihatnya Davin yang sedang memainkan ponsel. "Sudah lama?" Pria itu menoleh saat mendengar suara Rena.
"Lumayan," jawabnya, sembari tersenyum tipis.
"Btw ada apa? Tumben datang pagi-pagi?" tanya Rena yang sudah penasaran dengan maksud kedatangan Davin. Jangan bilang pria itu ingin menagih jawaban atas pertanyaannya kemarin. Jujur Rena belum menyiapkan jawaban apa pun untuk itu, ia masih bingung.
"Lo ada waktu?"
"Waktu?" beo Rena, dibalas anggukan kepala oleh Davin.
"Gue punya dua tiket masuk wahana Ancol, berhubung gue single. Gue butuh patner buat menikmati semua wahananya," kata Davin, seraya menunjukkan dua tiket yang diambil dari saku jaket denim yang dikenakannya.
"Ancol ya?" Rena tampak tak bersemangat, ia sedang tak ingin ke mana-mana. Ia hanya ingin menghabiskan sisa skorsnya di rumah saja, rebahan sepanjang hari.
"Kenapa? Lo nggak bisa?" Davin menghela napas panjang. "Padahal gue lagi pengen banget ke sana, hitung-hitung bisa teriak-teriak sepuasnya. Sepertinya gue butuh pelampiasan, tapi gue takut dikira orang gila kalau teriak-teriak sendirian." Davin terkekeh, matanya menatap lekat Rena. Fokusnya tertuju pada sudut bibir Rena. "Apa masih sakit?" Tangannya terulur mengusap lembut sekitar luka di wajah Rena.
"Ha? Ah, sudah nggak kok." Rena langsung berpaling, kikuk. "Lo mau gue temenin ke Ancol 'kan? Kalau begitu lo tunggu dulu di sini, gue mau mandi." Tanpa menunggu jawaban, Rena segera bangkit dari duduknya. Bukan tanpa sebab ia kabur dari hadapan Davin, tapi karena reaksi tubuhnya yang tak wajar. Pipinya memanas hanya karena sentuhan tangan pria itu, memicu detak jantungnya yang tak wajar.
"Jantung gue kenapa coba, tiba-tiba konslet begini," gerutunya sembari berlari menaiki tangga.
Davin mendengkus geli, memandangi Rena yang berlari terbirit-birit. "Lucu banget si Ren," gumamnya. "Jadi makin cinta 'kan gue."
"Aaa ...." Teriakan Rena yang paling kencang di antara pengunjung lain. Bukan karena wahana yang memacu adrenalin, melainkan karena dada yang terasa sesak. "Huaaa!"Davin menolehkan kepalanya ke Rena, ketika tornado yang dinaikinya berhenti di atas. Matanya terfokus pada Rena, walau memakai masker dan kaca mata, ia bisa melihat ada tetes air mata di sudut mata wanita itu. Dadanya nyeri, melihat wanita yang begitu dicintainya terluka. Jika luka fisik, mungkin Davin bisa mengobati, tapi bagaimana dengan luka hati? Yang bisa ia lakukan hanya membuat Rena kembali tersenyum, dengan begitu luka di hatinya akan berangsur terlupakan. Meski ia sendiri tak tahu seberapa lama wanita itu akan memendamnya seorang diri."Huwaaa!" Davin memekik, ketika ia ingin menyeka sudut mata Rena, wahana tornado yang dinaikinya justru terjun ke bawah. "Huuuaaa ..
"Will you marry me."Suara itu berdengung di telinga Davin, tanpa mendapat tanggapan setelah beberapa menit terucapkan. Ia masih senantiasa menunggu, berlutut di hadapan seorang Rena Tara Ardiansyah, satu-satunya wanita yang telah menggetarkan hatinya selama setahun ini. Hari-harinya selalu dipenuhi bayangan Rena yang tak bisa digapai, bukan hanya terpaut oleh jarak, tapi juga sekat dalam rasa yang tak direstui oleh semesta. Di mana wanita itu sudah melabuhkan hatinya pada pria lain, namun ketika wanita itu kembali mencari sebuah tempat untuk berlabuh, dengan gagah berani Davin mengajukan diri. Bahkan tanpa ba-bi-bu langsung melamar Rena saat itu juga, ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk yang kesekian kali.Namun manusia hanya bisa berekspetasi tinggi, kadang hasilnya tak sesuai dengan yang diharapkan. Seperti itu yang Davin rasakan saat ini, merasa terombang-ambing, d
Udara pagi berembus pelan, begitu menyejukkan ketika menerpa wajah yang dipenuhi dengan bulir keringat. Hawa dingin menusuk kulit, tak menghalau Rena untuk terus memacu laju kakinya. Sudah jadi rutinitasnya setiap pagi, ia akan berlari mengelilingi jalanan komplek menuju taman. Meski beberapa hari yang lalu ia mengalami insiden penculikan, nyatanya hal itu tak lantas membuat Rena takut untuk lari pagi sendirian.Napasnya memburu, Rena sedikit memelankan langkah kakinya. Ketika fokusnya tertuju di depan, tanpa ia sadari ada suara langkah kaki mendekat."Hai."Rena terkesiap, seketika menoleh saat merasakan embusan angin menerpa lehernya, bersamaan dengan suara bisikan yang menyapa gendang telinganya."Davin!" Rena memekik, langsung ber
Jangan pikulbebanmusendiri, izinkan aku jadi pundak kedua untuk memikul beban yang tak mampu kau pikul sendiri.-Davin-❤❤❤❤"Apa lo pikir dia bakal tanggung jawab?"Mungkin pertanyaan menohok yang Rena lontarkan pada Vera terdengar begitu kejam. Tapi sebenarnya, ia justru peduli pada wanita itu. Sebesar apa pun rasa bencinya pada Vera, nyatanya tak bisa dipungkiri jika Rena masih sangat menyayangi sahabatnya."Akan gue pertimbangkan, tapi gue nggak bisa menjanjikan apa pun ke lo. Karena ini bukan sekedar menyangkut gue, tapi juga keluarga gue. Mama, papa, kak Reyvan, gue nggak yakin mereka mau membebaskan Alan beg
Jika kamu jodohku, aku harap kita akan dipertemukan di pelaminan, disatukan dalam sebuah ikatan suci, dan hanya bisa dipisahkan oleh maut.-Davin-Rena menatap pantulan diri di cermin, memandangi gaun panjang bewarna hitam yang membalut tubuh rampingnya. Seulas senyum tipis tercetak jelas di wajah cantiknya yang sudah dipolesmake-up,ia tampak begitu elegan dengan rambut panjang yang terurai bebas."Ren." Ketukan pintu dibarengi suara panggilan dari luar menginterupsi Rena. Sontak ia menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka lebar. "Ada Davin di bawah," ucap mamanya, memberitahu."Iya, Ma. Ini sudah selesai kok." Rena meraihclutchwarna hitam mengkilap di ata
"Yes.""Tapi pacaran dulu ya."Davin tersenyum geli, membayangkan ekspresi Rena semalam saat menerima lamarannya. Di depan para tamu undangan Rena menganggukkan kepala sebagai jawaban, pipinya bersemu tampak malu-malu. Apalagi ketika Davin tanpa izin langsung memeluknya, beruntung Reyvan sudah merestuinya. Jika tidak, mungkin ia akan dihakimi oleh pria itu. Tapi di saat pelukan itulah Rena berbisik pelan, meminta waktu untuk saling mengenal lebih dekat lagi. Jadi keduanya sudah resmi pacaran sekarang.Senangnya dalam hati, baru punya pacar lagi. Seakan, dunia, hanya milik berdua.Plak!Itu lagu poligami kenapa lo aransemen liriknya Bambang!
Manusia, pencipta rumor paling kejam, penikmatgibah, pecanduhoaks.Mobil yang dikendarai Davin tiba di depan parkiran rumah sakit, sebenernya Davin ingin mengantar Rena sampai lobi. Namun wanita itu meminta diantarkan sampai parkiran saja, wanita itu tidak ingin orang-orang berspekulasi negatif jika melihat dirinya diantarkan oleh pria lain setelah rumor tak sedap tersebar luas atas gagalnya pernikahannya dengan Alan."Makasih, gue langsung masuk ya." Rena tersenyum manis, sembari melepas sabuk pengaman. Ia ingin bergegas keluar, takut kalau ada orang yang melihat. Bisa dibilang kalau saat ini Rena dan Davin memangBackstreet, ia belum siap untukgopublik. Bukan karena apa-apa, hanya saja ia tak
Mengalah bukan berarti kalah, memaafkan bukan berarti salah, hanya sebuah proses dari sudut pandang berbeda yang menunjukkan kebesaran hati seseorang dalam mendewasakan diri.-Rena Tara Adriansyah-❤❤❤"TIDAK!!!" Tubuh Rena seketika merosot ketika melihat Vera nekad menjatuhkan diri dari tepian jembatan penyeberangan. Ia tak kuasa menahan tangis, tak berani membuka matanya untuk melihat tubuh Vera yang pasti hancur menghantam aspal jalanan Tol yang berada di bawah jembatan. Namun suara teriakan Vera menyentak gendang telinganya."LEPAS!""LEPASKAN GUE!""BIARIN GUE JATUH
Rena mengernyit ketika mobil Davin berhenti di pelataran rumahnya, sorot matanya langsung tertuju pada barisan mobil yang terparkir di depan rumah—————nyaris memenuhi teras rumahnya.Ada apa ini?Rena bertanya-tanya, matanya memperhatikan keadaan rumahnya yang terpantau sepi meski banyak mobil terpakir di depannya.Apa ada tamu? Tapi siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Hanya orang-orang kurang kerjaan yang bertamu sepagi ini. Bahkan mungkin orangtuanya baru terbangun. Di saat Rena sibuk dengan berbagai pertanyaan yang berseliweran di dalam kepalanya, dari arah samping suara Davin menginterupsi."Ayo." Davin sudah melepas sabuk pengaman, bersiap akan turun.
Kitaperlu bicara, dari hati ke hati.-Davin-Davin berjalan gontai memasukiprivat roomdi klub miliknya. Ketika pintu terbuka, bunyi terompet berpadu dengan suara teriakan heboh dan percikan kertas kerlap-kerlip menyambutnya."Surprise!!" seru kelima pria tampan yang tak lain sahabat-sahabatnya sejak SMA.Namun, bukannya senang mendapat kejutan tak terduga dari para sahabatnya. Davin malah mendengkus pelan, wajahnya nampak kusut dan tak bersemangat. Langkahnya seperti zombi kelaparan, berjalan lesu menuju sofa tanpa menghiraukan satu pun para sahabatnya yang dibuat cengo oleh sikapnya."Lo kenapa?" tanya Rey
Dering ponsel memekakkan telinga, Rena yang masih terlelap di atas kasur empuknya mulai terusik oleh suara nada dering dari ponselnya yang begitu bising memenuhi ruang kamar. Kelopak mata Rena perlahan terbuka, ia menoleh ke samping, tangannya terulur meraih ponsel.Rena mendengkus pelan ketika melihat nama si penelepon yang muncul di layar, orang yang telah mengusik tidur lelapnya. Padahal semalam Rena pulang waktu dini hari, rasa kantuk jelas masih mendominasi meski saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi."Kenapa?" Rena langsungto the pointketika mengangkat panggilan dari kakaknya. "Mama?" Ia mengerutkan kening, sebelum akhirnya mengembuskan napasnya dengan kasar. "Kak Reyvan nelpon aku cuma buat nanyain mama di mana? Kakak 'kan bisa telepon langsung ke nomor mama, kenapa harus nelepon aku. Ganggu or
Acara lamaran antara Davin dan Rena sudah dilakukan seminggu yang lalu, kedua keluarga sudah memutuskan tanggal pernikahan yang akan digelar satu bulan lagi. Terkesan mendadak memang, namun itu demi kebaikan bersama mengingat banyak rumor tak sedang yang beredar. Demi menepis segala gosip miring itulah pernikahan keduanya dipercepat dan selama beberapa hari ini baik Rena dan Davin sudah sibuk mempersiapkan segala perlengkapan pernikahan keduanya, dibantu kedua orangtua masing-masing.Rena tersenyum manis ketika mendapat pesan dari Davin, pesan romantis dan terkesan ambigu seperti biasa. Ya, ia sudah terbiasa dengan kelakuan Davin, hal itu justru membuat Rena semakin mencintai pria itu. Davin yang romantis, terkadang nyeleneh, memberikan kesan berbeda di mata Rena."Iya, ini sudah selesai," ucap Rena ketika mengangkat panggilan telepon d
Seperti biasa, saat Rena keluar dari rumah sakit sudah ada mobil Davin yang menunggu di depan lobi. Pria itustand bydi samping pintu mobil, menyunggingkan senyum manisnya ketika Rena menghampiri."Hai, makin cakep aja pacar aku." Dan seperti biasa, gombalan garing akan meluncur dari mulut Davin."Kenapa? Terpesona ya?" balas Rena, mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan Davin yang lebih tinggi darinya."Iya, nih," ucap Davin, kemudian mengecup kening Rena sampai membuat sang empu membeku sesaat."Davin!" pekik Rena setelah kesadaran mengambil alih, ia melirik ke sekitar di mana orang-orang tampak berseliweran keluar masuk rumah sakit, beberapa dari mereka mencuri pandang ke arahnya. "Rese!" Seraya menahan malu Ren
Lima menit berlalu, suasana hening masih menyelimuti ruang rawat Vera. Hanya embusan napas berat yang silih berganti antara dua orang wanita yang sama-sama membisu seribu bahasa. Kecanggungan antara Vera dan Rena terlihat jelas dari gestur tubuh keduanya, saling melirik satu sama lain, namun enggan membuka obrolan lebih dulu."Gimana?" Rena akhirnya buka suara setelah keheningan yang cukup lama, menurunkan sedikit egonya untuk berbicara lebih dulu. "Nggak ada yang sakit 'kan? Kata Dokter Maya, hari ini lo udah boleh pulang."Vera mendesis pelan, melirik sinis Rena. "Nggak usah sok perhatian lo! Bukannya lo seneng, lo pasti lagi bahagia banget 'kan lihat gue sengsara kaya gini?"Rena menghela napas panjang, tak terpancing akan ucapan Vera yang mencercanya. "Gue tahu Ver, ini nggak mudah
Mengalah bukan berarti kalah, memaafkan bukan berarti salah, hanya sebuah proses dari sudut pandang berbeda yang menunjukkan kebesaran hati seseorang dalam mendewasakan diri.-Rena Tara Adriansyah-❤❤❤"TIDAK!!!" Tubuh Rena seketika merosot ketika melihat Vera nekad menjatuhkan diri dari tepian jembatan penyeberangan. Ia tak kuasa menahan tangis, tak berani membuka matanya untuk melihat tubuh Vera yang pasti hancur menghantam aspal jalanan Tol yang berada di bawah jembatan. Namun suara teriakan Vera menyentak gendang telinganya."LEPAS!""LEPASKAN GUE!""BIARIN GUE JATUH
Manusia, pencipta rumor paling kejam, penikmatgibah, pecanduhoaks.Mobil yang dikendarai Davin tiba di depan parkiran rumah sakit, sebenernya Davin ingin mengantar Rena sampai lobi. Namun wanita itu meminta diantarkan sampai parkiran saja, wanita itu tidak ingin orang-orang berspekulasi negatif jika melihat dirinya diantarkan oleh pria lain setelah rumor tak sedap tersebar luas atas gagalnya pernikahannya dengan Alan."Makasih, gue langsung masuk ya." Rena tersenyum manis, sembari melepas sabuk pengaman. Ia ingin bergegas keluar, takut kalau ada orang yang melihat. Bisa dibilang kalau saat ini Rena dan Davin memangBackstreet, ia belum siap untukgopublik. Bukan karena apa-apa, hanya saja ia tak
"Yes.""Tapi pacaran dulu ya."Davin tersenyum geli, membayangkan ekspresi Rena semalam saat menerima lamarannya. Di depan para tamu undangan Rena menganggukkan kepala sebagai jawaban, pipinya bersemu tampak malu-malu. Apalagi ketika Davin tanpa izin langsung memeluknya, beruntung Reyvan sudah merestuinya. Jika tidak, mungkin ia akan dihakimi oleh pria itu. Tapi di saat pelukan itulah Rena berbisik pelan, meminta waktu untuk saling mengenal lebih dekat lagi. Jadi keduanya sudah resmi pacaran sekarang.Senangnya dalam hati, baru punya pacar lagi. Seakan, dunia, hanya milik berdua.Plak!Itu lagu poligami kenapa lo aransemen liriknya Bambang!