Isna terbangun dari tidurnya, saat kesadarannya telah kembali sepenuhnya, ia terkejut karena terbangun di atas tempat tidur. Ia melihat sekeliling, ini bukan di hotel atau penginapan. Rania turun dari tempat tidur dan berlari keluar, tempatnya sekarang lebih mirip seperti penginapan.
"Kau sudah bangun ternyata," ucap Indra.Isna langsung berbalik begitu mendengar suara yang terdengar familiar di telinganya.Ia tetap diam tanpa bersuara, entah sejak kapan mereka tiba, dan sudah berapa lama dirinya tertidur, ia tidak tahu."Makananmu ada di meja makan. Cepatlah makan karena kamu membutuhkan tenaga yang banyak untuk malam nanti!" tukas Indra padanya.Mata Isna melotot sempurna mendengar pernyataan dari Alvan, bos yang merangkap menjadi suaminya. Alvan berlalu begitu saja dari hadapannya. Pikiran Isna berkecamuk, apakah ia harus melakukannya sekarang. Tapi ia belum siap dan rela menyerahkan mahkota yang ia jaga selama ini untuk bosnya. Meskipun bosnya tersebut telah menjadi suami sahnya, tetap saja hal itu dikarenakan keterpaksaan yang dilakukan oleh Isna.Isna harus melakukan sesuatu supaya ia bisa lolos dari Indra. 'Ayo berpikirlah yang cerdas, Isna!' batin Isna sambil mengetuk-ngetuk keningnya. Ia berharap segera menemukan ide supaya tak melakukan hal itu bersama Indra.Setidaknya untuk saat ini.Namun yang pertama ia lakukan adalah mengisi perutnya, sejak semalam belum mendapat makanan yang bisa masuk ke perutnya. Jadi sekarang ia harus mengisi tenaganya supaya bisa berpikir dengan baik.Usai makan dan membereskan sisa makanannya, ia kembali ke kamarnya tadi dan membersihkan diri. Setelah selesai membersihkan diri, Isna berniat pergi keluar sekitar penginapan untuk mencari udara segar. Terlebih lagi hari mulai sore, pasti akan sangat indah apabila ia dapat melihat sunset di Bali.Setelah membersihkan diri, Isna menuju balkon kamarnya. Ternyata penginapan yang ia tempati tak jauh dari bibir pantai. Masih terletak di pesisir pantai. Tak ingin pikir panjang, Isna segera berlari keluar menuju pantai.Isna tersenyum lebar saat kaki telanjangnya menyentuh pasir putih yang ada di pantai. Suara deburan ombak yang terdengar menenangkan, ditambah hembusan angin yang membuat rambutnya bergerak tak berarah. Sejenak ia melupakan masalahnya, membiarkan jiwanya tenang meskipun tak lama.Saat Isna hendak berjalan lebih dekat lagi dengan pantai, tiba-tiba pergelangan tangannya dicekal oleh seseorang sehingga membuatnya terkejut."Kau mau mati?!"Isna tersentak dengan suara yang terdengar sangat keras. Indra, dengan tatapan tajamnya menatap Isna. Cekalan tangannya pada pergelangan tangan Isna semakin kuat, membuat Isna meringis kesakitan."Apa yang ada dalam pikiranmu! Air mulai pasang, hari mulai gelap, dan kamu hanya pergi menggunakan kaos pendek. Apa kamu ingin mati kedinginan di sini!"Indra tak habis pikir, saat ia baru keluar dari penginapan ia melihat Isna yang berjalan dengan santainya menuju pantai. Padahal airnya sedang pasang. Tanpa pikir panjang, Indra segera berlari guna menghentikan Isna."A–a–ku.""Diam!"Rania terkejut, kemudian menatap Indra jengkel. Tidak bisakah Indra memelankan suaranya, walaupun tempat mereka berada sepi, tapi tak seharusnya indra berteriak sesuka hatinya di sini.Mereka duduk ruang makan, Indra duduk berhadapan dengan Isna, "ayo kita buat kesepakatan."Kening Isna berkerut, apa yang terjadi pada Indra? Kenapa tiba-tiba sikapnya berubah lunak. "Maksud Bapak?""Saya sadar, kita hanya korban dari perjanjian masa lalu kita. Saya minta maaf atas kejadian beberapa waktu lalu. Ayo kita mulai dari awal Isna, saya akan berusaha menerimamu begitu juga denganmu yang harus menerima saya. saya akan berusaha membagi cinta saya kepadamu sama rata seperti apa yang saya berikan kepada Arini. Saya akan berusaha untuk selalu bersikap adil. Apa kamu mau memulai semua ini bersama saya, Isna?"Isna terdiam sejenak, ia tak menyangka Indra akan bersikap bijak seperti ini. Tak ada salahnya mencobakan?"Apa aku boleh tetap bekerja ?""Aku mengizinkanmu untuk tetap bekerja, sama seperti Arini yang masih menjadi model hingga saat ini. Tapi kalau kau hamil nanti, aku akan langsung memberhentikanmu. Kau harus banyak istirahat. Kamu setuju?"Isna terlihat ragu, tapi ia juga sudah berjalan sejauh ini. Tak mungkin ia akan mundur setelah banyak hal yang sudah ia korbankan untuk memenuhi janji kakeknya."Baiklah, aku setuju," jawab Isna. Mau tak mau ia memang harus menyetujuinya. Ia tsduah berani mengambil keputusan ini, tandanya ia juga harus siap dengan apapun yang terjadi ke depannya.Indra tersenyum puas ia berdiri dan mendekati Isna, "Boleh saya memelukmu?"Belum menapat jawaban Isna, Indra langsung memeluk Isna. Membuat Isna tersentak karena tindakan Indra yang tiba-tiba.Biasakan dirimu dengan kehadiran saya, Isna. Maka rasa nyaman akan hadir dengan sendirinya. Bantu saya supaya saya bisa bersikap adil antara dirimu dengan Arini. Sebenarnya saya tak ingin menyakiti kalian berdua, menjadi Arini tak mudah. Ia selalu mendapat tekanan dari keluargaku, hanya aku yang dimilikinya. Dan kamu juga Isna, kamu masih muda. Kamu juga berhak mendapatkan laki-laki yang lebih muda dari saya dan masih single, tapi kamu justru mengorbankan semua itu demi memenuhi janji Kakek. Saya salut dengan sikap bijakmu yang tidak egois."Isna termenung, ia berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan Indra. Apakah ini sifat lain seorang Indranu? Atau hanya bualan manis yang Indra lontarkan supaya ia luluh?"Kenapa kamu hanya diam Isna?" Indra mengurai pelukannya. "Isna berjanjila kalau kamu akan mencintai saya. saya tidak mau anak kita nantinya terlahir dari keterpaksaanmu."Isna tersenyum, ia menangkup wajah Indra. "Aku akan berusaha."Satu kecupan singkat mendarat di kening Isna, membuat Isna merasakan gelenyar aneh menjalar pada dirinya. Detik berikutnya mereka tertawa bersama, Indra menghujani ciuman di wajah Isna. Dalam hati ia berharap tak akan ada masalah ke depannya. Setelah tiga hari di Bali, Isna sangat menikmati liburan mereka. Saat ini mereka sedang bermain di bibir pantai, menikmati sunset karena mereka akan kembali ke Jakarta besok."Isna, lihatlah." Indra menunjuk langit jingga yang terlihat sangat cantik. Isna yang berada tak jauh darinya pun berlari mendekat. Indra langsung meletakkan tangannya di pinggang Isna, mereka terlihat seperti pasangan yang serasi. *****Setelah menikmati liburan di Bali, Isna dan Indra baru tiba di kediaman megah milik Indra. Indra mengatakan bahwa mereka akan tinggal bersama. Indra tak ingin mereka pisah rumah, selain karena kesibukan Indra. Indra juga berharap hal ini dapat mengakrabkan kedua istrinya. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Bu Bertha, Bu Bertha bersuka cita memeluk Indra dan Isna bergantian. "Bagaimana liburannya? Kalian menikmatinya? Atau kalian ingin ke luar negeri? Mama bisa atur semua itu.""Tunggu kerjaan di kantor senggang, Ma. Kasian aswin kalau ditinggal teralu lama. Diakan mengerjakan tugas tiga orang sekaligus.""Baiklah Mama mengerti," Bu Bertha beralih menatap Isna yang sedari tadi diam, sedangkan Indra langsung memeluk Arini yang ikut menyambutnya."Aku merindukanmu, Ndra. Kamu baik-baik saja kan selama jauh dariku?" tanya Arini tanpa melepaskan pelukannya. Hati siapa yang tak sakit melihat suaminya berlibur dengan istri keduanya. Ia melewati malam-malam dengan airmata karena Indra harus menikah lagi dengan perempuan yang jauh lebih muda dan tentunya lebih cantik darinya. Bu Bertha yang melihat kehangatan mereka tentu saja tak suka. "Ekhem. Indra ayo ajak Isna ke kamarnya."Indra mengangguk, mengajak Isna menuju kamarnya. Setelah kepergian Indra dan Isna, Bu Bertha mendekati Arini."Kamu harus menerima kalau Indra lebih perhatian sama Isna. Saya pantau kamu terus, jangan macam-macam sama Isna!"Arini menghela napas pelan, mertuanya memang tak pernah bersikap baik padanya. Apalagi di pernikahannya yang lebih dari sepuluh tahun tapi belum juga dikaruniai seorang buah hati. Suaminya, Indra adalah satu-satunya penerus Keluarga Mahardika. Tentunya keturunan adalah suatu hal yang mereka dapatkan demi kelangsungan penerus keluarga mereka. Arini sudah pernah menyarankan untuk mengadopsi seorang anak, namun ditolak oleh Bu Bertha karena Bu Bertha ingin penerusnya berasal dari darah dagingnya sendiri.Bu Bertha sudah menyiapkan kamar untuk Isna sesuai intruksi Mama Sukma, termasuk kamar yang dibuat kedap suara supaya Isna bisa tidur dengan nyenyak. Isna memiliki pendengaran yang sangat tajam, itu sebabnya ia butuh kamar yang kedap suara supaya bisa istirahat dengan tenang. Isna melihat kamar sekelilingnya, kamarnya dibuat seperti kamar miliknya di kediaman Rakabumi. Bahkan ornamen-ornamen kesukaannya juga ditempatkan di sana. "Kamu menyukai kamarnya?" tanya Indra menatap Isna yang terlihat diam saja. "Maaf, rumahku tak seluas rumahmu. Mungkin kamar ini juga tak sebanding dengan kamar milikmu."Isna berbalik menatap Indra, "Nggak apa-apa kok, aku suka kamarnya.""Baiklah kalau kamu suka, silakan istirahat dulu. Saya mau keluar, kupanggil art untuk membantumu berberes."Isna menjawab dengan anggukan kepala, kemudia Indra keluar kamar meninggalkan Isna sendiriann. Ia membuka lemari dan laci, keperluannya sudah lengkap.Tak banyak yang harus dibere
Isna tercengang, hubungan mereka memang sudah dekat tapi ia tak menyangka Indra akan meminta haknya nanti malam. Sejujurnya dirinya masih takut, tapi tujuan utama mereka ingin Indra menikah lagikan supaya Indra bisa mendapatkan keturunan yang tidak bisa diberikan oleh Arini. "Baiklah, kita lihat nanti malam." Isna segera bangkit dan kembali ke mejanya. Ia berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak tak karuan. Pekerjaannya usai, jam pulang kerja sudah kelewat hampir setengah jam. Ia masih duduk santai menunggu semua orang pulang, bukan karena ingin molor tapi ia menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Ia tak mau ada yang menergoki dirinya berangkat dan pulang bersama Indra. Hal itu ia hindari karena Indra belum mengumumkan pernikahan, Isna menghela napas pelan. Tak mungkin juga hal itu akan terjadi, Indra sangat mencintai Arini. Yang ada malahan dirinya yang akan mendapat berbagai ucapan negatif dari teman kantornya. "Isna, ayo pulang."
"Mas Indra."Indra dan Isna terkejut, keduanya berbalik menuju sumber suara. "Mbak Arini."Langsung saja Indra berlari menghampiri Arini meninggalkan Isna yang masih berada di gazebo. Dalam hati Isna, ia merasa seperti ada bongkahan besar yang membuat dadanya sesak. Isna lekas turun dari gasebo, menghampiri Arini yang sudah pulang. Dalam hati Isna bertanya-tanya bukankah Arini pergi dia hari, ini baru satu hari. Kenapa sudah balik. "Mbak Arini katanya pergi dia hari?" tanya Isna yang berdiri di sebelah Indra. Pertanyaan Isna hanya dibalas senyuman oleh Arini. "Aku sangat merindukan Mas Indra, aku tidak bisa berjauhan lama-lama dengannya." Arini mengalungkan lengannya di leher Indra. Mendapat perlakuan seperti itu, Indra merasa tak nyaman. Ia menatap Isna yang memalingkan wajahnya menatap arah lain. "Ayo, Mas. Kita masuk ke dalam, hari ini aku ingin selalu bersamamu, menghabiskan waktu denganmu tentunya." Arini langsung m
Sepanjang jalan raya Jakarta, pikiran Isna bercampur ke mana-mana. Membuat Andro yang mengemudi di sebelahnya pun kebingungan. Masalahnya saat kakaknya ditanya akan ke mana, Isna adanya menyuruhnya untuk jalan terus. Andro tidak bisa menunggu lagi, ia menepikan mobilnya dan berhenti. Membuat Isna yang sedari tadi melamun melihat keluar mobil langsung menoleh ke Andro. "Kok berhenti, Ndro?" Tanya Isna kebingungan. "Kak Isna nggak ada tujuannya, Andro juga bingung Kak kita mau ke mana sebenarnya."Isna diam sejenak, ia terlihat tengah menimbang sesuatu dalam pikirannya. "Kita ke rumah sakit Tante Reta ya, Ndro. Kakak pengen ke sana."Mata Andro melotot, karena saking terkejutnya ia tidak bisa berkata-kata lagi. "Jangan bilang kalau Kakak-""Cuma mau mastiin Ndro. Nggak ada salahnya kan? Ayo kita coba ke sana dulu. Kakak nggak mau makin kepikiran."Andro mendengus kesal, masalah ini seharusnya diselesaikan dengan Indra, bukan deng
Andro bersiap pulang ke rumah, semalam setelah mendapat telepon dari Mama Sukma, Andro bilang kalau dirinya sedang menginap di rumah kakanya. Andro yang sedang di dapur melihat kakaknya yang sudah siap dengan setelan kerja tengah membuat susu. Sebenarnya Andro sangat kasihan terhadap Kakak satu-satunya itu. Kakaknya terlalu baik untuk menjadi istri kedua, seharusnya kakaknya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Indra yang sudah beristri. Andro mendekati kakaknya. "Kapan kakak akan mengatakannya? Mereka aja nggak mikir perasaan Kakak gimana, egoislah sesekali. Itu nggak akan membuat Kakak rugi."Mendengar kalimat yang dilontarkan Andro, Isna menghentikan kegiatannya. Ia sadar, memang beberapa hari ini perasaannya terasa lebih sensitif dari biasanya. Ingatannya juga kuat apalagi saat beberapa hari lalu dirinya melihat Indra yang berciuman dengan Arini di ruang tamu. Sekarang Isna tahu kalau dirinya tengah mengandung pewaris Mahardika, Isna sudah menyusun
Setelah kepergian Bu Bertha, Isna justru merebahkan tubuhnya di sofa. Sedangkan Indra juga bersantai bersama Isna, Indra duduk dan memijat kaki Isna. "Sekarang aku tahu kenapa akhir-akhir ini sering tak semangat bekerja Isna." Indra tertawa pelan, ia masih ingat beberapa kekeliruan dari laporan yang dibuat Isna. Indra sengaja memberitahunya dan meminta Aswin memperbaiki laporan tersebut. Indra juga meminta Aswin untuk tak memberitahu Isna tentang hal ini. "Boleh aku meminta sesuatu?"Indra menatap Isna, melihat wajah Isna yang seperti ini membuatnya ingin mencubit pipi Isna yang mulai berisi. "Apa itu Isna, katakan apa yang kamu mau?""Aku mau diutamakan, Mas harus banyak menghabiskan waktu denganku. Aku juga tidak suka melihat saksi Mas Indra dan Mbak Arini beberapa waktu lalu, seharusnya kalian bisa melakukannya di kamar, aku-"Isna terkejut saat tiba-tiba Indra langsung menciunnya sekilas. "Menyebalka!"Indra tertawa pe
Beberapa hari setelah mengetahui kehamilan Isna, Indra semakin semangat bekerja. Bahkan di kantor pun Indra sering tersenyum membayangkan bagaimana saat anaknya lahir nanti. Indra tak sabar merasakannya.Malam ini Indra bermalam menemani Isna, tentunya setelah Indra mendapat persetujuan dari Arini untuk mengurangi jatah malamnya karena Isna lebih membutuhkannya. "Aku tak sabar ingin menggendongnya."Kalimat yang selalu diucapkan Indra beberapa malam ini. Hal itu tentunya mengundang tawa Isna. "Kau harus sabar, usianya baru beberapa minggu. Dia bahkan belum kelihatan."Suara ketukan pintu menghentikan candaan mereka, Indra berdiri dan membuka pintu. "Ini buah yang diminta Nyonya Isna, Tuan.""Terimakasih Mila."Mila, asisten di rumah Isna yang datang ke kediaman Indra beberapa hari lalu setelah Mama Sukma yang meminta. Selain Bu Bertha yang mengirimkan beberapa asisten dan penjaga, keluar Rakabumi juga mengirimkan
Perlahan, kelopak mata yang mukanya terpejam kini perlahan terbuka. Isna berkedip beberapa kali menyesuaikan cahaya yang ada di ruangannya. Isna mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat Vidia dan dua temannya yang mengatainya. Ia menoleh saat menyadari ada pergerakan di sebelahnya. Indra, suaminya itu tengah tertidur dengan terus memegang tangannya. "Mas?"Merasa namanya dipanggil, Indra mendongak menatap Isna. "Sayang, kamu sudah sadar. Apa ada yang sakit? Kamu ingin apa?"Melihat perlakuan Indra yang lembut seperti ini membuat hatinya seketika menghangat. "A-ku ha-us."Dengan sigap Indra memberikan segelas air minum, menyangga kepala Isna supaya Isna tak tersedak. "Pelan-pelan."Usai minum, Indra membenarkan kembali posisi Isna supaya lebih nyaman lagi. Indra menggenggam erat jemari Isna, "Kau tau betapa paniknya diriku saat melihatmu pingsan dan pendarahan? Jantungku seolah berhenti berdetak saat itu juga. Isna, tak akan
Isna menghampiri Indra yang berada di kamarnya, hatinya merasa iba melihat Indra yang frustasi. Isna duduk di sebelah Indra, Isna mengelus rambut Indra yang terlihat berantakan. "Sabar ya, Mas. Jangan sedih lagi, kita pikirkan bareng-bareng jalan keluarnya gimana." Ucapan Isna bagaikan angin segar yang datang di gurun yang panas Indra memeluk Isna, "Makasih ya, Sayang. Kamu selalu ada buat aku."Isna mengangguk dan menyunggingkan senyuman, "Sekarang Mas mandi dulu ya, kita makan dulu. Makanannya aku bawa ke sini ya, Mas?"Indra mengangguk, Indra pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Kemudian Isna pergi ke dapur untuk mengambil makan malam. Di meja makan, Isna melihat Arini yang sudah berada di sana. Arini masih menangis seperti tadi, ada Devi yang memenangkan dirinya. Isna menghampiri mereka, lalu memanggil Mila supaya makan malamnya dengan Indra di bawa ke kamar. Mendengar ucapan Isna, Arini langsung mendongakkan kepalanya. "Mas
Papa Ardy masih tak menyangka bahwa Aswin adalah orang yang dimaksud Ibra selama ini. Ternyata salah satu penjaga Isna bisa berada sedekat ini dengan Isna tanpa diketahui. Ibra tersenyum melihat anak didiknya berhasil sampai dititik ini dan tetap setia pada Keluarga Rakabumi. "Kamu hebat, Ibra. Bagaimana kamu melakukannya? Apa kalian sudah mengenal lama? " Kami sudah kenal lama, Aswin sudah kurawat sejak umur remaja. Dia seorang yatim-piatu, saat tau Isna tak mau kerja di perusahaannya sendiri, aku meminta Indra langsung mengikuti kemanapun Isna bekerja. Aku bersyukur saat tau mereka berada dekat, jadi Aswin lebih mudah mengawasinya."Papa Ardy menatap bangga kepada adiknya, Isna memang menjadi kesayangan semua anggota keluarganya. Papa Ardy beralih menatap Aswin. "Terima kasih ya, selama ini kamu sudah membantuku menjaga putri kami."Aswin membungkuk, kemudian badannya kembali tegap. "Itu memang sudah tugas saya, Tuan.""Kamu sudah mem
Seminggu sudah Isna dan Indra berada di kediaman Rakabumi. Isna sedang membereskan keperluannya yang akan ia bawa pulang. "Isna."Merasa namanya dipanggil, Isna pun menoleh ke sumber suara. Ternyata Mama Sukma yang datang ke kamarnya. Mama Sukma merasa tak rela kalau Isna harus pergi lagi dari rumah. Tangan Mama Sukma terulur membantu Isna beberes. "Sebenarnya Mama ingin kamu di sini saja, seenggaknya sampe lahiran. Kamu lebih aman di sini, sayang. Mama takut sesuatu yang buruk terjadi sama kamu, Nak."Isna tersenyum mendengar ucapan mamanya, Isna beranjak mendekati mamanya. "Gapapa kok, Ma. Mama nggak perlu khawatir, Isna bisa jaga diri Isna sendiri kok. Ada Mas Indra dan Mbak Arini, Mama juga udah minta Mila ke sana, kan?"Mama Sukma tak lagi menjawab, menatap putrinya iba karena harus mengalami hal sulit seperti ini. Mama Sukma mengedarkan pandangannya ke arah lain, menyeka airmata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Set
Dalam hidup Indra, Indra tak pernah membayangkan sebelumnya kalau dirinya akan menjadi bagian dari Keluarga Rakabumi. Keluarga yang sangat terkenal akan kerajaan bisnisnya, bisnisnya berkembang tak hanya di Jakarta, namun ada beberapa bisnisnya yang berkembang di Asean bahkan Eropa. Dan sekarang, cucu perempuan kesayangan Keluarga Rakabumi menjadi istrinya, calon ibu dari anak-anaknya. Indra merasa dirinyalah yang paling beruntung, mendapatkan dia istri yang saling menerima, keluarganya yang tak lagi berseteru, dan sekarang dirinya akan memiliki seorang anak. Bahkan perusahaannya pun semakin berkembang pesat atas bantuan mertuanya. "Mas Indra, ngapain di luar?"Indra tersentak mendengar panggilan Isna, Isna duduk di sebelah Indra. Indra menatap Isna, dirinya baru menyadari betapa cantiknya istrinya tersebut. "Kamu sangat cantik, aku baru menyadari kalau kecantikanmu itu sudah menyihirku, Isna."Mendengar ucapan Indra, Isna terlihat salah tingkah
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, hari ini Isna sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Mereka tiba di Kediaman Rakabumi dan akan tinggal di sana sampai Isna pulih sesuai permintaan Mama Sukma. Indra merebahkan tubuh Isna di tempat tidur dengan hati-hati. "Ambil liburnya sampe kapan, Mas?" tanya Isna saat melihat Indra justru merebahkan diri di sebelahnya. "Sebenarnya hari ini sudah masuk.""Kok malah mau tidur?"Indra tersenyum menatap Isna, "Nanti bangunin jam satu ya.""Iya." Isna tersenyum menatap Indra yang terlihat kelelahan, tak lama kemudian dapat Isna dengar dengkuran halus berasa dari Indra. Fokus Isna teralihkan saat mendengar notif dari ponsel Indra, ia mengambil ponsel yang berada di atas nakas. "Mbak Arini." Karena rasa penasaran yang besar, Isna membuka pesan dari Arini. Arini mengirimkan sebuah foto dirinya yang tengah berpose di bibir pantai. Kemudian Isna membaca kalimat yang tertulis
Perlahan, kelopak mata yang mukanya terpejam kini perlahan terbuka. Isna berkedip beberapa kali menyesuaikan cahaya yang ada di ruangannya. Isna mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat Vidia dan dua temannya yang mengatainya. Ia menoleh saat menyadari ada pergerakan di sebelahnya. Indra, suaminya itu tengah tertidur dengan terus memegang tangannya. "Mas?"Merasa namanya dipanggil, Indra mendongak menatap Isna. "Sayang, kamu sudah sadar. Apa ada yang sakit? Kamu ingin apa?"Melihat perlakuan Indra yang lembut seperti ini membuat hatinya seketika menghangat. "A-ku ha-us."Dengan sigap Indra memberikan segelas air minum, menyangga kepala Isna supaya Isna tak tersedak. "Pelan-pelan."Usai minum, Indra membenarkan kembali posisi Isna supaya lebih nyaman lagi. Indra menggenggam erat jemari Isna, "Kau tau betapa paniknya diriku saat melihatmu pingsan dan pendarahan? Jantungku seolah berhenti berdetak saat itu juga. Isna, tak akan
Beberapa hari setelah mengetahui kehamilan Isna, Indra semakin semangat bekerja. Bahkan di kantor pun Indra sering tersenyum membayangkan bagaimana saat anaknya lahir nanti. Indra tak sabar merasakannya.Malam ini Indra bermalam menemani Isna, tentunya setelah Indra mendapat persetujuan dari Arini untuk mengurangi jatah malamnya karena Isna lebih membutuhkannya. "Aku tak sabar ingin menggendongnya."Kalimat yang selalu diucapkan Indra beberapa malam ini. Hal itu tentunya mengundang tawa Isna. "Kau harus sabar, usianya baru beberapa minggu. Dia bahkan belum kelihatan."Suara ketukan pintu menghentikan candaan mereka, Indra berdiri dan membuka pintu. "Ini buah yang diminta Nyonya Isna, Tuan.""Terimakasih Mila."Mila, asisten di rumah Isna yang datang ke kediaman Indra beberapa hari lalu setelah Mama Sukma yang meminta. Selain Bu Bertha yang mengirimkan beberapa asisten dan penjaga, keluar Rakabumi juga mengirimkan
Setelah kepergian Bu Bertha, Isna justru merebahkan tubuhnya di sofa. Sedangkan Indra juga bersantai bersama Isna, Indra duduk dan memijat kaki Isna. "Sekarang aku tahu kenapa akhir-akhir ini sering tak semangat bekerja Isna." Indra tertawa pelan, ia masih ingat beberapa kekeliruan dari laporan yang dibuat Isna. Indra sengaja memberitahunya dan meminta Aswin memperbaiki laporan tersebut. Indra juga meminta Aswin untuk tak memberitahu Isna tentang hal ini. "Boleh aku meminta sesuatu?"Indra menatap Isna, melihat wajah Isna yang seperti ini membuatnya ingin mencubit pipi Isna yang mulai berisi. "Apa itu Isna, katakan apa yang kamu mau?""Aku mau diutamakan, Mas harus banyak menghabiskan waktu denganku. Aku juga tidak suka melihat saksi Mas Indra dan Mbak Arini beberapa waktu lalu, seharusnya kalian bisa melakukannya di kamar, aku-"Isna terkejut saat tiba-tiba Indra langsung menciunnya sekilas. "Menyebalka!"Indra tertawa pe
Andro bersiap pulang ke rumah, semalam setelah mendapat telepon dari Mama Sukma, Andro bilang kalau dirinya sedang menginap di rumah kakanya. Andro yang sedang di dapur melihat kakaknya yang sudah siap dengan setelan kerja tengah membuat susu. Sebenarnya Andro sangat kasihan terhadap Kakak satu-satunya itu. Kakaknya terlalu baik untuk menjadi istri kedua, seharusnya kakaknya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Indra yang sudah beristri. Andro mendekati kakaknya. "Kapan kakak akan mengatakannya? Mereka aja nggak mikir perasaan Kakak gimana, egoislah sesekali. Itu nggak akan membuat Kakak rugi."Mendengar kalimat yang dilontarkan Andro, Isna menghentikan kegiatannya. Ia sadar, memang beberapa hari ini perasaannya terasa lebih sensitif dari biasanya. Ingatannya juga kuat apalagi saat beberapa hari lalu dirinya melihat Indra yang berciuman dengan Arini di ruang tamu. Sekarang Isna tahu kalau dirinya tengah mengandung pewaris Mahardika, Isna sudah menyusun