Isna tercengang, hubungan mereka memang sudah dekat tapi ia tak menyangka Indra akan meminta haknya nanti malam. Sejujurnya dirinya masih takut, tapi tujuan utama mereka ingin Indra menikah lagikan supaya Indra bisa mendapatkan keturunan yang tidak bisa diberikan oleh Arini.
"Baiklah, kita lihat nanti malam." Isna segera bangkit dan kembali ke mejanya. Ia berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak tak karuan.Pekerjaannya usai, jam pulang kerja sudah kelewat hampir setengah jam. Ia masih duduk santai menunggu semua orang pulang, bukan karena ingin molor tapi ia menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Ia tak mau ada yang menergoki dirinya berangkat dan pulang bersama Indra. Hal itu ia hindari karena Indra belum mengumumkan pernikahan, Isna menghela napas pelan. Tak mungkin juga hal itu akan terjadi, Indra sangat mencintai Arini. Yang ada malahan dirinya yang akan mendapat berbagai ucapan negatif dari teman kantornya."Isna, ayo pulang."Isna terperanjat saat tiba-tiba ada yang memanggilnya, sepertinya ia terhanyut dalam pikirannya sehingga tak menyadari kedatangan Indra. Setelah dirasa cukup aman, Isna dan Indra keluar kantor bersamaan...Setibanya di rumah, Isna lngsung pergi ke kamarnya, ia ingin berendam. Berendam membuat tubuhnya terasa rileks kembali, setelah membersihkan diri ia membuka lemari pakaian dan mengambil satu set pakaian malam. Melihat pakaian yang kurang bahan semua, ia mengambil warna merah yang dirasa lebih tertutup ia pakai.Isna menatap pantulan tubuhnya di cermin besar yang ada di kamarnya. Ia memang sering memakai pakaian minim ketika di kamar, dan itupun tak ada satu orang pun yang melihat. Namun malam ini, ia akan bersama Indra. Dalam hatinya masih ada kebimbangan karena ia belum tau bagaimana perasaan Indra kepadanya.Isna terlonjak kaget saat tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang. "Pak Indra?""Apa kamu tak pernah mengunci kamarmu saat sedang berganti pakaian? Bagaimana jika yang masuk bukan aku tapi orang lain?" Kelopak mata Indra terpejam menikmati aroma rambut dan wangi parfum yang dipakai Isna, wanginya menyatu tak bertabrakan. Membuat suatu gairah besar dalam dirinya.Ia memutar tubuh Isna supaya mereka saling berhadapan. "Bolehkah Isna? Aku sudah tidak tahan."Indra tak sabaran, tanpa menunggu jawaban Isna, Indra langsung melancarkan aksinya. Membuat Isna langsung kewalahan, Isna bahkan hampir limbung karena tubuhnya terhuyung ke belakang. Mereka berhenti sejenak, Indra menggendong tubuh Isna dan membaringkan di tempat tidur.***Indra terdiam, netranya menatap sekeliling kamar istri keduanya. Baru saja ia merasakan suatu hal yang berbeda, suatu hal yang ia sendiri tidak tau, sesuatu yang belum pernah ia dapatkan ketika berhubungan dengan Arini.Bukan karena ingin membandingkan, hanya saja ia sangat tau bagaimana rasanya saat pertama kali berhubungan dengan Arini. Berbeda dengan Isna, ia merasakan ada yang lebih menantang. Membuat dirinya seperti muda kembali.Indra menoleh ke sampingnya, melihat Isna yang tertidur pulas, tanpa sadar guratan garis lengkung membentuk bulan sabit menghiaai wajahnya. Ia memiringkan tubuhnya, menikmati pemandangan menyejukkan, Indra tertawa pelan. Mengingat Isna yang sering menampilkan wajah juteknya di kantor, kini ia melihat wajah damai Isna kala tertidur. Indra menaikkan selimut hingga batas leher Isna supaya baju putih mulusnya tak terekspos. Padahal hanya ada dirinya di sini. Indra mengikis jarak diantara mereka, memeluk pinggang Isna dan menyusul istri mudanya itu ke alam bawah sadar...Suara alarm yang berdering perlahan menyadarkan Isna, Isna menatap sekelilingnya. Ia terkejut kalau melihat Indra masih tertidur memeluknya. Pikirannya berkelana waktu semalam, membuat Isna tersipu. Perlakuan Indra sangat lembut sehingga mampu membuatnya terbuai. Indra seolah menjadi sosok yang berbeda dari Indra yang ia kenal. Isna mencoba bangkit dengan hati-hati supaya tak membangunkan Indra, namun sepertinya usahanya gagal. Tiba-tiba Indra semakin mengeratkan pelukannya."Kau mau ke mana?" tanya Indra dengan mata yang masih terpejam."Aku akan bersiap, bagaimana kalau kita terlambat berangkat?"Isna berusaha melepaskan tangan Indra, hal tersebut justru membuat Indra semakin mengeratkan pelukannya."Kita libur saja , sayang. Aku bosnya, kamu istirahat saja."Mendengar Indra memanggilnya dengan panggilan mesra seperti semalam membuatnya semakin tersipu. "Kau yakin meliburkanku?""Tentu saja. Bahkan kalau kamu minta libur seterusnya akan kukabulkan. Ingatlah, seorang Indra bunuh selalu memegang kata-katanya."Isna mencibir mendengar setiap kalimat yang terucap dari mulut Indra. "Sudahlah aku akan bersih-hersih. Kau juga ya,""Bagaimana kalau mandi bareng. Lebih menghemat waktukan?"Isna mendelik kesal, ia melemparkan bantal ke wajah Indra dan segera beranjak ke kamar mandi.Di depan kaca, Isna mendesah kesal melihat banyaknya tanda di leher yang dibuat oleh Indra. "Ini pasti akan lama hilangnya. Gimana nutupinnya ya?" Isna terus saja menggosok cukup keras bagian tanda kepemilikan yang sudah dibuat Indra.Akhirnya Indra dan Isna tak berangkat kerja, tentunya karena Indra yang terus mengulur waktu supaya mereka bisa menghabiskan waktu bersama.*Isna berjalan menuju gazebo yang berada dekat kolam renang, pagi ini dirinya dan Indra hanya bersantai di rumah. Isna datang menyusul Indra yang sudah lebih dulu berada di gazebo."Katanya mau santi, kok masih terus, Pak?" Isna duduk di samping Indra. Meletakkan piring berisi potongan buah dan dua jus alpukat kesukaannya."Kenapa kamu membawanya sendiri, di mana Devi dan yang lainnya?"Isna tersenyum simpul, "Gapapa, hanya sepiring buah. Nggak berat." Isna mengambil potongan buah yang dibawanya tadi, menyuapkannya ke mulut Indra."Lagi ngapain? Tadi bilang mau santai nggak ngurusin kantor?"Indra tersenyum mendengar pertanyaan Isna, "Ngecek email yang dikirim Aswin tadi. Kamu mau lihat? Ini laporan dari divisi marketing yang pernah kamu bimbing."Dengan raut wajah terkejut, ia menggeser duduknya sehingga lebih dekat dengan Indra. Isna terlihat seksama membaca laporan yang dikirim Aswin. Tak lama kemudian ia menampilkan senyum puas. Isna terlihat bangga dengan pencapaian orang-orang yang ia bimbing."Saya bangga sama kamu Isna, kamu wanita hebat yang sangat cerdas. Semoga kecerdasanmu menurun pada anak kita nantinya."Dalam hati, Isna mengamiinkan harapan yang diucapkan Indra. Isna paham, dalam hati kecil Indra, Indra sangat ingin sekali memiliki seorang anak. Meskipun setiap harinya ia selalu bilang hanya dengan bersama Arini, semua akan membaik.Isna terlonjak kaget saat tiba-tiba sebuah benda kenyal menyentuh bibirnya. Isna menggerutu dalam hatinya, kenapa Indra selalu membuatnya terkejut. Keduanya saling terbuai, Indra melepas ciumannya."Mau melanjutkan yang semalam?"Pertanyaan Indra hanya dijawab anggukan kepala oleh Isna. Isna sudah terlanjur terbuai sehingga ada hasrat yang harus disalurkan, begitupun dengan Indra."Mas Indra."Indra dan Isna terkejut, keduanya berbalik menuju sumber suara."Mbak Arini."Langsung saja Indra berlari menghampiri Arini meninggalkan Isna yang masih berada di gazebo. Dalam hati Isna, ia merasa seperti ada bongkahan besar yang membuat dadanya sesak."Mas Indra."Indra dan Isna terkejut, keduanya berbalik menuju sumber suara. "Mbak Arini."Langsung saja Indra berlari menghampiri Arini meninggalkan Isna yang masih berada di gazebo. Dalam hati Isna, ia merasa seperti ada bongkahan besar yang membuat dadanya sesak. Isna lekas turun dari gasebo, menghampiri Arini yang sudah pulang. Dalam hati Isna bertanya-tanya bukankah Arini pergi dia hari, ini baru satu hari. Kenapa sudah balik. "Mbak Arini katanya pergi dia hari?" tanya Isna yang berdiri di sebelah Indra. Pertanyaan Isna hanya dibalas senyuman oleh Arini. "Aku sangat merindukan Mas Indra, aku tidak bisa berjauhan lama-lama dengannya." Arini mengalungkan lengannya di leher Indra. Mendapat perlakuan seperti itu, Indra merasa tak nyaman. Ia menatap Isna yang memalingkan wajahnya menatap arah lain. "Ayo, Mas. Kita masuk ke dalam, hari ini aku ingin selalu bersamamu, menghabiskan waktu denganmu tentunya." Arini langsung m
Sepanjang jalan raya Jakarta, pikiran Isna bercampur ke mana-mana. Membuat Andro yang mengemudi di sebelahnya pun kebingungan. Masalahnya saat kakaknya ditanya akan ke mana, Isna adanya menyuruhnya untuk jalan terus. Andro tidak bisa menunggu lagi, ia menepikan mobilnya dan berhenti. Membuat Isna yang sedari tadi melamun melihat keluar mobil langsung menoleh ke Andro. "Kok berhenti, Ndro?" Tanya Isna kebingungan. "Kak Isna nggak ada tujuannya, Andro juga bingung Kak kita mau ke mana sebenarnya."Isna diam sejenak, ia terlihat tengah menimbang sesuatu dalam pikirannya. "Kita ke rumah sakit Tante Reta ya, Ndro. Kakak pengen ke sana."Mata Andro melotot, karena saking terkejutnya ia tidak bisa berkata-kata lagi. "Jangan bilang kalau Kakak-""Cuma mau mastiin Ndro. Nggak ada salahnya kan? Ayo kita coba ke sana dulu. Kakak nggak mau makin kepikiran."Andro mendengus kesal, masalah ini seharusnya diselesaikan dengan Indra, bukan deng
Andro bersiap pulang ke rumah, semalam setelah mendapat telepon dari Mama Sukma, Andro bilang kalau dirinya sedang menginap di rumah kakanya. Andro yang sedang di dapur melihat kakaknya yang sudah siap dengan setelan kerja tengah membuat susu. Sebenarnya Andro sangat kasihan terhadap Kakak satu-satunya itu. Kakaknya terlalu baik untuk menjadi istri kedua, seharusnya kakaknya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Indra yang sudah beristri. Andro mendekati kakaknya. "Kapan kakak akan mengatakannya? Mereka aja nggak mikir perasaan Kakak gimana, egoislah sesekali. Itu nggak akan membuat Kakak rugi."Mendengar kalimat yang dilontarkan Andro, Isna menghentikan kegiatannya. Ia sadar, memang beberapa hari ini perasaannya terasa lebih sensitif dari biasanya. Ingatannya juga kuat apalagi saat beberapa hari lalu dirinya melihat Indra yang berciuman dengan Arini di ruang tamu. Sekarang Isna tahu kalau dirinya tengah mengandung pewaris Mahardika, Isna sudah menyusun
Setelah kepergian Bu Bertha, Isna justru merebahkan tubuhnya di sofa. Sedangkan Indra juga bersantai bersama Isna, Indra duduk dan memijat kaki Isna. "Sekarang aku tahu kenapa akhir-akhir ini sering tak semangat bekerja Isna." Indra tertawa pelan, ia masih ingat beberapa kekeliruan dari laporan yang dibuat Isna. Indra sengaja memberitahunya dan meminta Aswin memperbaiki laporan tersebut. Indra juga meminta Aswin untuk tak memberitahu Isna tentang hal ini. "Boleh aku meminta sesuatu?"Indra menatap Isna, melihat wajah Isna yang seperti ini membuatnya ingin mencubit pipi Isna yang mulai berisi. "Apa itu Isna, katakan apa yang kamu mau?""Aku mau diutamakan, Mas harus banyak menghabiskan waktu denganku. Aku juga tidak suka melihat saksi Mas Indra dan Mbak Arini beberapa waktu lalu, seharusnya kalian bisa melakukannya di kamar, aku-"Isna terkejut saat tiba-tiba Indra langsung menciunnya sekilas. "Menyebalka!"Indra tertawa pe
Beberapa hari setelah mengetahui kehamilan Isna, Indra semakin semangat bekerja. Bahkan di kantor pun Indra sering tersenyum membayangkan bagaimana saat anaknya lahir nanti. Indra tak sabar merasakannya.Malam ini Indra bermalam menemani Isna, tentunya setelah Indra mendapat persetujuan dari Arini untuk mengurangi jatah malamnya karena Isna lebih membutuhkannya. "Aku tak sabar ingin menggendongnya."Kalimat yang selalu diucapkan Indra beberapa malam ini. Hal itu tentunya mengundang tawa Isna. "Kau harus sabar, usianya baru beberapa minggu. Dia bahkan belum kelihatan."Suara ketukan pintu menghentikan candaan mereka, Indra berdiri dan membuka pintu. "Ini buah yang diminta Nyonya Isna, Tuan.""Terimakasih Mila."Mila, asisten di rumah Isna yang datang ke kediaman Indra beberapa hari lalu setelah Mama Sukma yang meminta. Selain Bu Bertha yang mengirimkan beberapa asisten dan penjaga, keluar Rakabumi juga mengirimkan
Perlahan, kelopak mata yang mukanya terpejam kini perlahan terbuka. Isna berkedip beberapa kali menyesuaikan cahaya yang ada di ruangannya. Isna mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat Vidia dan dua temannya yang mengatainya. Ia menoleh saat menyadari ada pergerakan di sebelahnya. Indra, suaminya itu tengah tertidur dengan terus memegang tangannya. "Mas?"Merasa namanya dipanggil, Indra mendongak menatap Isna. "Sayang, kamu sudah sadar. Apa ada yang sakit? Kamu ingin apa?"Melihat perlakuan Indra yang lembut seperti ini membuat hatinya seketika menghangat. "A-ku ha-us."Dengan sigap Indra memberikan segelas air minum, menyangga kepala Isna supaya Isna tak tersedak. "Pelan-pelan."Usai minum, Indra membenarkan kembali posisi Isna supaya lebih nyaman lagi. Indra menggenggam erat jemari Isna, "Kau tau betapa paniknya diriku saat melihatmu pingsan dan pendarahan? Jantungku seolah berhenti berdetak saat itu juga. Isna, tak akan
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, hari ini Isna sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Mereka tiba di Kediaman Rakabumi dan akan tinggal di sana sampai Isna pulih sesuai permintaan Mama Sukma. Indra merebahkan tubuh Isna di tempat tidur dengan hati-hati. "Ambil liburnya sampe kapan, Mas?" tanya Isna saat melihat Indra justru merebahkan diri di sebelahnya. "Sebenarnya hari ini sudah masuk.""Kok malah mau tidur?"Indra tersenyum menatap Isna, "Nanti bangunin jam satu ya.""Iya." Isna tersenyum menatap Indra yang terlihat kelelahan, tak lama kemudian dapat Isna dengar dengkuran halus berasa dari Indra. Fokus Isna teralihkan saat mendengar notif dari ponsel Indra, ia mengambil ponsel yang berada di atas nakas. "Mbak Arini." Karena rasa penasaran yang besar, Isna membuka pesan dari Arini. Arini mengirimkan sebuah foto dirinya yang tengah berpose di bibir pantai. Kemudian Isna membaca kalimat yang tertulis
Dalam hidup Indra, Indra tak pernah membayangkan sebelumnya kalau dirinya akan menjadi bagian dari Keluarga Rakabumi. Keluarga yang sangat terkenal akan kerajaan bisnisnya, bisnisnya berkembang tak hanya di Jakarta, namun ada beberapa bisnisnya yang berkembang di Asean bahkan Eropa. Dan sekarang, cucu perempuan kesayangan Keluarga Rakabumi menjadi istrinya, calon ibu dari anak-anaknya. Indra merasa dirinyalah yang paling beruntung, mendapatkan dia istri yang saling menerima, keluarganya yang tak lagi berseteru, dan sekarang dirinya akan memiliki seorang anak. Bahkan perusahaannya pun semakin berkembang pesat atas bantuan mertuanya. "Mas Indra, ngapain di luar?"Indra tersentak mendengar panggilan Isna, Isna duduk di sebelah Indra. Indra menatap Isna, dirinya baru menyadari betapa cantiknya istrinya tersebut. "Kamu sangat cantik, aku baru menyadari kalau kecantikanmu itu sudah menyihirku, Isna."Mendengar ucapan Indra, Isna terlihat salah tingkah
Isna menghampiri Indra yang berada di kamarnya, hatinya merasa iba melihat Indra yang frustasi. Isna duduk di sebelah Indra, Isna mengelus rambut Indra yang terlihat berantakan. "Sabar ya, Mas. Jangan sedih lagi, kita pikirkan bareng-bareng jalan keluarnya gimana." Ucapan Isna bagaikan angin segar yang datang di gurun yang panas Indra memeluk Isna, "Makasih ya, Sayang. Kamu selalu ada buat aku."Isna mengangguk dan menyunggingkan senyuman, "Sekarang Mas mandi dulu ya, kita makan dulu. Makanannya aku bawa ke sini ya, Mas?"Indra mengangguk, Indra pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Kemudian Isna pergi ke dapur untuk mengambil makan malam. Di meja makan, Isna melihat Arini yang sudah berada di sana. Arini masih menangis seperti tadi, ada Devi yang memenangkan dirinya. Isna menghampiri mereka, lalu memanggil Mila supaya makan malamnya dengan Indra di bawa ke kamar. Mendengar ucapan Isna, Arini langsung mendongakkan kepalanya. "Mas
Papa Ardy masih tak menyangka bahwa Aswin adalah orang yang dimaksud Ibra selama ini. Ternyata salah satu penjaga Isna bisa berada sedekat ini dengan Isna tanpa diketahui. Ibra tersenyum melihat anak didiknya berhasil sampai dititik ini dan tetap setia pada Keluarga Rakabumi. "Kamu hebat, Ibra. Bagaimana kamu melakukannya? Apa kalian sudah mengenal lama? " Kami sudah kenal lama, Aswin sudah kurawat sejak umur remaja. Dia seorang yatim-piatu, saat tau Isna tak mau kerja di perusahaannya sendiri, aku meminta Indra langsung mengikuti kemanapun Isna bekerja. Aku bersyukur saat tau mereka berada dekat, jadi Aswin lebih mudah mengawasinya."Papa Ardy menatap bangga kepada adiknya, Isna memang menjadi kesayangan semua anggota keluarganya. Papa Ardy beralih menatap Aswin. "Terima kasih ya, selama ini kamu sudah membantuku menjaga putri kami."Aswin membungkuk, kemudian badannya kembali tegap. "Itu memang sudah tugas saya, Tuan.""Kamu sudah mem
Seminggu sudah Isna dan Indra berada di kediaman Rakabumi. Isna sedang membereskan keperluannya yang akan ia bawa pulang. "Isna."Merasa namanya dipanggil, Isna pun menoleh ke sumber suara. Ternyata Mama Sukma yang datang ke kamarnya. Mama Sukma merasa tak rela kalau Isna harus pergi lagi dari rumah. Tangan Mama Sukma terulur membantu Isna beberes. "Sebenarnya Mama ingin kamu di sini saja, seenggaknya sampe lahiran. Kamu lebih aman di sini, sayang. Mama takut sesuatu yang buruk terjadi sama kamu, Nak."Isna tersenyum mendengar ucapan mamanya, Isna beranjak mendekati mamanya. "Gapapa kok, Ma. Mama nggak perlu khawatir, Isna bisa jaga diri Isna sendiri kok. Ada Mas Indra dan Mbak Arini, Mama juga udah minta Mila ke sana, kan?"Mama Sukma tak lagi menjawab, menatap putrinya iba karena harus mengalami hal sulit seperti ini. Mama Sukma mengedarkan pandangannya ke arah lain, menyeka airmata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Set
Dalam hidup Indra, Indra tak pernah membayangkan sebelumnya kalau dirinya akan menjadi bagian dari Keluarga Rakabumi. Keluarga yang sangat terkenal akan kerajaan bisnisnya, bisnisnya berkembang tak hanya di Jakarta, namun ada beberapa bisnisnya yang berkembang di Asean bahkan Eropa. Dan sekarang, cucu perempuan kesayangan Keluarga Rakabumi menjadi istrinya, calon ibu dari anak-anaknya. Indra merasa dirinyalah yang paling beruntung, mendapatkan dia istri yang saling menerima, keluarganya yang tak lagi berseteru, dan sekarang dirinya akan memiliki seorang anak. Bahkan perusahaannya pun semakin berkembang pesat atas bantuan mertuanya. "Mas Indra, ngapain di luar?"Indra tersentak mendengar panggilan Isna, Isna duduk di sebelah Indra. Indra menatap Isna, dirinya baru menyadari betapa cantiknya istrinya tersebut. "Kamu sangat cantik, aku baru menyadari kalau kecantikanmu itu sudah menyihirku, Isna."Mendengar ucapan Indra, Isna terlihat salah tingkah
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, hari ini Isna sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Mereka tiba di Kediaman Rakabumi dan akan tinggal di sana sampai Isna pulih sesuai permintaan Mama Sukma. Indra merebahkan tubuh Isna di tempat tidur dengan hati-hati. "Ambil liburnya sampe kapan, Mas?" tanya Isna saat melihat Indra justru merebahkan diri di sebelahnya. "Sebenarnya hari ini sudah masuk.""Kok malah mau tidur?"Indra tersenyum menatap Isna, "Nanti bangunin jam satu ya.""Iya." Isna tersenyum menatap Indra yang terlihat kelelahan, tak lama kemudian dapat Isna dengar dengkuran halus berasa dari Indra. Fokus Isna teralihkan saat mendengar notif dari ponsel Indra, ia mengambil ponsel yang berada di atas nakas. "Mbak Arini." Karena rasa penasaran yang besar, Isna membuka pesan dari Arini. Arini mengirimkan sebuah foto dirinya yang tengah berpose di bibir pantai. Kemudian Isna membaca kalimat yang tertulis
Perlahan, kelopak mata yang mukanya terpejam kini perlahan terbuka. Isna berkedip beberapa kali menyesuaikan cahaya yang ada di ruangannya. Isna mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat Vidia dan dua temannya yang mengatainya. Ia menoleh saat menyadari ada pergerakan di sebelahnya. Indra, suaminya itu tengah tertidur dengan terus memegang tangannya. "Mas?"Merasa namanya dipanggil, Indra mendongak menatap Isna. "Sayang, kamu sudah sadar. Apa ada yang sakit? Kamu ingin apa?"Melihat perlakuan Indra yang lembut seperti ini membuat hatinya seketika menghangat. "A-ku ha-us."Dengan sigap Indra memberikan segelas air minum, menyangga kepala Isna supaya Isna tak tersedak. "Pelan-pelan."Usai minum, Indra membenarkan kembali posisi Isna supaya lebih nyaman lagi. Indra menggenggam erat jemari Isna, "Kau tau betapa paniknya diriku saat melihatmu pingsan dan pendarahan? Jantungku seolah berhenti berdetak saat itu juga. Isna, tak akan
Beberapa hari setelah mengetahui kehamilan Isna, Indra semakin semangat bekerja. Bahkan di kantor pun Indra sering tersenyum membayangkan bagaimana saat anaknya lahir nanti. Indra tak sabar merasakannya.Malam ini Indra bermalam menemani Isna, tentunya setelah Indra mendapat persetujuan dari Arini untuk mengurangi jatah malamnya karena Isna lebih membutuhkannya. "Aku tak sabar ingin menggendongnya."Kalimat yang selalu diucapkan Indra beberapa malam ini. Hal itu tentunya mengundang tawa Isna. "Kau harus sabar, usianya baru beberapa minggu. Dia bahkan belum kelihatan."Suara ketukan pintu menghentikan candaan mereka, Indra berdiri dan membuka pintu. "Ini buah yang diminta Nyonya Isna, Tuan.""Terimakasih Mila."Mila, asisten di rumah Isna yang datang ke kediaman Indra beberapa hari lalu setelah Mama Sukma yang meminta. Selain Bu Bertha yang mengirimkan beberapa asisten dan penjaga, keluar Rakabumi juga mengirimkan
Setelah kepergian Bu Bertha, Isna justru merebahkan tubuhnya di sofa. Sedangkan Indra juga bersantai bersama Isna, Indra duduk dan memijat kaki Isna. "Sekarang aku tahu kenapa akhir-akhir ini sering tak semangat bekerja Isna." Indra tertawa pelan, ia masih ingat beberapa kekeliruan dari laporan yang dibuat Isna. Indra sengaja memberitahunya dan meminta Aswin memperbaiki laporan tersebut. Indra juga meminta Aswin untuk tak memberitahu Isna tentang hal ini. "Boleh aku meminta sesuatu?"Indra menatap Isna, melihat wajah Isna yang seperti ini membuatnya ingin mencubit pipi Isna yang mulai berisi. "Apa itu Isna, katakan apa yang kamu mau?""Aku mau diutamakan, Mas harus banyak menghabiskan waktu denganku. Aku juga tidak suka melihat saksi Mas Indra dan Mbak Arini beberapa waktu lalu, seharusnya kalian bisa melakukannya di kamar, aku-"Isna terkejut saat tiba-tiba Indra langsung menciunnya sekilas. "Menyebalka!"Indra tertawa pe
Andro bersiap pulang ke rumah, semalam setelah mendapat telepon dari Mama Sukma, Andro bilang kalau dirinya sedang menginap di rumah kakanya. Andro yang sedang di dapur melihat kakaknya yang sudah siap dengan setelan kerja tengah membuat susu. Sebenarnya Andro sangat kasihan terhadap Kakak satu-satunya itu. Kakaknya terlalu baik untuk menjadi istri kedua, seharusnya kakaknya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Indra yang sudah beristri. Andro mendekati kakaknya. "Kapan kakak akan mengatakannya? Mereka aja nggak mikir perasaan Kakak gimana, egoislah sesekali. Itu nggak akan membuat Kakak rugi."Mendengar kalimat yang dilontarkan Andro, Isna menghentikan kegiatannya. Ia sadar, memang beberapa hari ini perasaannya terasa lebih sensitif dari biasanya. Ingatannya juga kuat apalagi saat beberapa hari lalu dirinya melihat Indra yang berciuman dengan Arini di ruang tamu. Sekarang Isna tahu kalau dirinya tengah mengandung pewaris Mahardika, Isna sudah menyusun