Bu Bertha sudah menyiapkan kamar untuk Isna sesuai intruksi Mama Sukma, termasuk kamar yang dibuat kedap suara supaya Isna bisa tidur dengan nyenyak. Isna memiliki pendengaran yang sangat tajam, itu sebabnya ia butuh kamar yang kedap suara supaya bisa istirahat dengan tenang. Isna melihat kamar sekelilingnya, kamarnya dibuat seperti kamar miliknya di kediaman Rakabumi. Bahkan ornamen-ornamen kesukaannya juga ditempatkan di sana.
"Kamu menyukai kamarnya?" tanya Indra menatap Isna yang terlihat diam saja. "Maaf, rumahku tak seluas rumahmu. Mungkin kamar ini juga tak sebanding dengan kamar milikmu."Isna berbalik menatap Indra, "Nggak apa-apa kok, aku suka kamarnya.""Baiklah kalau kamu suka, silakan istirahat dulu. Saya mau keluar, kupanggil art untuk membantumu berberes."Isna menjawab dengan anggukan kepala, kemudia Indra keluar kamar meninggalkan Isna sendiriann. Ia membuka lemari dan laci, keperluannya sudah lengkap.Tak banyak yang harus dibereskan, ia berjalan menuju balkon kamar. Balkonnya menghadap di mana sunset akan muncul. Dia sangat menyukainya. Isna menatap langit biru yang cerah, sedikit awan mendung menambah keindahan langit yang ia tatap."Nona Isna."Isna langsung berbalik begitu namanya dipanggil. Keningnya berkerut, tadi Indra bilang akan ada art yang membantunya berberes, apakah ini asistennya?"Kamu yang ditugaskan Pak Indra untuk membantuku?" tanya Isna pelan, tatapannya menelisik orang yang ada dihadapannya, sebenarnya ia kurang nyaman jika ada orang baru yang mengurusi segala keperluannya. Mungkin ia akan bilang kepada mamanya supaya Mila diperbolehkan ikut denngannya."Barusan Tuan Indra menyuruh saya untuk mempersiapkan apapun yang Nona butuhkan.""Siapa namamu?" tanya Isna pada wanita tersebut."Saya Devi, Nona," jawabnya.Isna mengangguk paham, "Baiklah." Isna tersenyum, berjalan mendekati asisten rumah tangga yang sudah Indra pilihkan untuknya. "Aku selalu berendam menggunakan air hangat sepulang kerja, akan kuberitau apa saja yang aku butuhkan," ucap Isna pada Devi.Isna memberitahu apa saja yang ia butuhkan dari bangun tidur sampai akan tidur. Isna juga memberitahu untuk selalu membuat jus buah tanpa gula beserta roti kering. Hal itu dikarenakan Isna tak terbiasa sarapan berat dipagi hari.Menjelang malam, Indra, Isna serta Arini sudah ada di meja makan. Ini adalam makan malam pertama mereka bertiga. Arini terlihat acuh terhadap Isna, Arini tak menganggap keberadaan Isna, meskipun tak diperlihatkan secara langsung. Namun Isna dapat mengetahui hal itu. Isna memaklumi, jika kemarin mereka adalah seorang bawahan dan bos, sekarang mereka harus berbagi suami dan tinggal dalam satu atap.Usai makan malam, ketiganya nampak terlihat santai. Mereka memakan buah sebagai makanan penutup malam ini. Isna yang ada di sana merasa tak nyaman dengan Arini yang bergelanyut manja di lengan Indra. Bukan karena cemburu tapi rasanya kurang baik apalagi ada beberapa art di belakang mereka."Mas, aku dapat undangan dari perusahaan. Aku diajak ke Bandung untuk fashionn show. Aku boleh pergikan?" tanya Arini dengan kepala yang disenderkan di bahu Indra."Berapa hari?""Hanya dua hari, bolehkan? Aku janji tidak akan macam-mcam Mas. Ada Sela dan Meliya yang ikut pergi denganku. Bolehkan, Mas?"Rasanya Isna ingin menenggelamkan wajahnya, ia dianggap tidak ada oleh mereka berdua.Setelah Indra diam sejenak, ia akhirnya mengangguk. "Hanya dua hari, kau tidak boleh pergi terlalu lama."Arini terlihat tersenyum puas, ia memang masih menjadi model hingga saat ini. Meskipun umurnya dibilang tak lagi muda, namun kecantikan paripurnanya membuat siapa pun akan tersihir oleh kecantikannya. Indra pernah meminta Arini untuk berhenti menjadi model, namun Arini mengancam akan bercerai dengannya kalau sampai Indra memaksanya untuk berhenti menjadi model.Isna yang sudah tidak tahan dengan kemesraan mereka, memilih untuk kembali ke kamar. "Aku sudah selesai, aku akan kembali ke kamar sekarang. Isna pergi dari sana meninggalkan Indra dan Arini. Sekilas, Isna dapat melihat Arini tersenyum sinis penuh arti. Tatapannya seperti mencemooh dirinya.Pagi ini Indra keluar dengan menarik koper kecil milik Arini, semalam Indra tidur bersama Arini, padahal Bu Bertha sudah memberitahu supaya Indra banyak menghabiskan waktu bersama Isna."Kamu mau berangkat sendiri? Atau perlu kuantar?" Tanya Indra memeluk Arini. "Dua hari tanpamu, aku pasti sangat merindukanmu."Arini berdecih, "Bagaimana kau bisa rindu, ada Isna yang menemani. Mungkin aku yang akan dilupakan." Arini mengalihkan tatapannya, menampilkan raut wajah muram. Membuat Indra terenyuh."Jangan bersedih, aku takkan melupakanmu. Kamu adalah belahan jiwaku, kamu takkan kehilangan posisimu." Indra mengikis jarak di antara mereka. Tiba-tiba langsung mengambil kesempatan, ia memangut bibir Arini singkat. Indra hanyut dalam perasaannya, namun tidak dengan Arini. Arini menoleh ke samping, melihat Isna yang terdiam melihat adegan mereka. Dalam hati Arini bersorak ria, ia menang lagi. Ia berjanji dengan dirinya sendiri akan selalu mempertahankan posisinya.Ciuman mereka terlepas, Indra memeluk Arini sangat erat. "Udah, Mas. Aku berangkat dulu, kamu juga udah ditunggu Isna," ucap Arini.Indra terkejut, ia melihat ke samping ternyata sudah ada Isna yang entah sejak kapan berada di sana."Aku berangkat dulu ya, kalian hati-hati di rumah." Arini beralih menatap Isna. "Isna, jaga suami kita ya," bisik Arini.Mendengar hal itu, Isna rasanya ingin pergi saja dari sana. Ia sangat kesal berada di posisi seperti ini. Arini berpelukan dengan Indra, kemudian ia pergi keluar karena sudah ditunggu teman-temannya.Setelah kepergian Arini, Indra dan Isna langsung berangkat ke kantor. Mereka berada di mobil yang sama, meskipun status mereka masih belum dipublikasikan di kantor, tapi keluarganya meminta mereka untuk berangkat dan pulang bersama. Di tempat ia bekerja, Isna sudah disibukkan dengan pekerjaannya yang menumpuk."Na. Mau nanya boleh?" Aswin tiba-tiba menghampiri Isna dengan membawa dua cangkir kopi."Tanya apa?""Muka lu kusut, nih ngopi dulu."Isna mengambil kopi yang diberikan Aswin. "Makasih ya, Win." Niat Isna untuk menyeruput kopinya langsung terurungkan kala melihat asap yang masih mengepul, menciptakan aroma sedap khas kopi."Kamu tau seminggu ini aku kayak orang gila ngurus kerjaan sendirian. Semuanya keteteran!"Mendengar ocehan Aswin, isna tertawa pelan. Aswin termasuk orang yang tidak mengetahui pernikahan ini. "Sorry ya, Win. Aku beneran ada acara keluarga kemarin. Kamu nggak liat kemarin story punyaku gimana? Kerabatku ada yang nikah."Aswin mendengus kesal, masalahnya Isna meminta Izin bertepatan dengn bosnya juga tidak berangkat.Isna yang melihat Aswin terdiam hanya tersenyum. Ia merapikan berkas laporannya sebelum menghadap Indra.Isna bangkit berjalan menuju ruangan Indra. "Selamat siang, Pak."Isna melihat Indra yang nampak sibuk menatap layar laptop sehingga tak menyadari kehadirannya. "Pak Indra!" Isna sedikit meninggikan suaranya, membuat Indra terperanjat karena terkejut."Ada apa, Isna?"Isna langsung menyerahkan berkas laporannya. Indra membaca dengan seksama laporan yang dibuat Isna. Setelah membaca laporan pemberian Isna, Indra meminta Isna untuk mendekatinya."Isna ke sinilah," Isna menurut. Ia berdiri di samping Indra, namun tiba-tiba Indra langsung menarik pinggang Isna sehingga Isna duduk dipangkuan Indra."Ehh," Isna yang tidak tau niat Indra tentu saja terkejut gerakan Indra yang tiba-tiba."Isna, bolehkah malam ini aku mengambil hakku?"Isna tercengang, hubungan mereka memang sudah dekat tapi ia tak menyangka Indra akan meminta haknya nanti malam. Sejujurnya dirinya masih takut, tapi tujuan utama mereka ingin Indra menikah lagikan supaya Indra bisa mendapatkan keturunan yang tidak bisa diberikan oleh Arini. "Baiklah, kita lihat nanti malam." Isna segera bangkit dan kembali ke mejanya. Ia berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak tak karuan. Pekerjaannya usai, jam pulang kerja sudah kelewat hampir setengah jam. Ia masih duduk santai menunggu semua orang pulang, bukan karena ingin molor tapi ia menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Ia tak mau ada yang menergoki dirinya berangkat dan pulang bersama Indra. Hal itu ia hindari karena Indra belum mengumumkan pernikahan, Isna menghela napas pelan. Tak mungkin juga hal itu akan terjadi, Indra sangat mencintai Arini. Yang ada malahan dirinya yang akan mendapat berbagai ucapan negatif dari teman kantornya. "Isna, ayo pulang."
"Mas Indra."Indra dan Isna terkejut, keduanya berbalik menuju sumber suara. "Mbak Arini."Langsung saja Indra berlari menghampiri Arini meninggalkan Isna yang masih berada di gazebo. Dalam hati Isna, ia merasa seperti ada bongkahan besar yang membuat dadanya sesak. Isna lekas turun dari gasebo, menghampiri Arini yang sudah pulang. Dalam hati Isna bertanya-tanya bukankah Arini pergi dia hari, ini baru satu hari. Kenapa sudah balik. "Mbak Arini katanya pergi dia hari?" tanya Isna yang berdiri di sebelah Indra. Pertanyaan Isna hanya dibalas senyuman oleh Arini. "Aku sangat merindukan Mas Indra, aku tidak bisa berjauhan lama-lama dengannya." Arini mengalungkan lengannya di leher Indra. Mendapat perlakuan seperti itu, Indra merasa tak nyaman. Ia menatap Isna yang memalingkan wajahnya menatap arah lain. "Ayo, Mas. Kita masuk ke dalam, hari ini aku ingin selalu bersamamu, menghabiskan waktu denganmu tentunya." Arini langsung m
Sepanjang jalan raya Jakarta, pikiran Isna bercampur ke mana-mana. Membuat Andro yang mengemudi di sebelahnya pun kebingungan. Masalahnya saat kakaknya ditanya akan ke mana, Isna adanya menyuruhnya untuk jalan terus. Andro tidak bisa menunggu lagi, ia menepikan mobilnya dan berhenti. Membuat Isna yang sedari tadi melamun melihat keluar mobil langsung menoleh ke Andro. "Kok berhenti, Ndro?" Tanya Isna kebingungan. "Kak Isna nggak ada tujuannya, Andro juga bingung Kak kita mau ke mana sebenarnya."Isna diam sejenak, ia terlihat tengah menimbang sesuatu dalam pikirannya. "Kita ke rumah sakit Tante Reta ya, Ndro. Kakak pengen ke sana."Mata Andro melotot, karena saking terkejutnya ia tidak bisa berkata-kata lagi. "Jangan bilang kalau Kakak-""Cuma mau mastiin Ndro. Nggak ada salahnya kan? Ayo kita coba ke sana dulu. Kakak nggak mau makin kepikiran."Andro mendengus kesal, masalah ini seharusnya diselesaikan dengan Indra, bukan deng
Andro bersiap pulang ke rumah, semalam setelah mendapat telepon dari Mama Sukma, Andro bilang kalau dirinya sedang menginap di rumah kakanya. Andro yang sedang di dapur melihat kakaknya yang sudah siap dengan setelan kerja tengah membuat susu. Sebenarnya Andro sangat kasihan terhadap Kakak satu-satunya itu. Kakaknya terlalu baik untuk menjadi istri kedua, seharusnya kakaknya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Indra yang sudah beristri. Andro mendekati kakaknya. "Kapan kakak akan mengatakannya? Mereka aja nggak mikir perasaan Kakak gimana, egoislah sesekali. Itu nggak akan membuat Kakak rugi."Mendengar kalimat yang dilontarkan Andro, Isna menghentikan kegiatannya. Ia sadar, memang beberapa hari ini perasaannya terasa lebih sensitif dari biasanya. Ingatannya juga kuat apalagi saat beberapa hari lalu dirinya melihat Indra yang berciuman dengan Arini di ruang tamu. Sekarang Isna tahu kalau dirinya tengah mengandung pewaris Mahardika, Isna sudah menyusun
Setelah kepergian Bu Bertha, Isna justru merebahkan tubuhnya di sofa. Sedangkan Indra juga bersantai bersama Isna, Indra duduk dan memijat kaki Isna. "Sekarang aku tahu kenapa akhir-akhir ini sering tak semangat bekerja Isna." Indra tertawa pelan, ia masih ingat beberapa kekeliruan dari laporan yang dibuat Isna. Indra sengaja memberitahunya dan meminta Aswin memperbaiki laporan tersebut. Indra juga meminta Aswin untuk tak memberitahu Isna tentang hal ini. "Boleh aku meminta sesuatu?"Indra menatap Isna, melihat wajah Isna yang seperti ini membuatnya ingin mencubit pipi Isna yang mulai berisi. "Apa itu Isna, katakan apa yang kamu mau?""Aku mau diutamakan, Mas harus banyak menghabiskan waktu denganku. Aku juga tidak suka melihat saksi Mas Indra dan Mbak Arini beberapa waktu lalu, seharusnya kalian bisa melakukannya di kamar, aku-"Isna terkejut saat tiba-tiba Indra langsung menciunnya sekilas. "Menyebalka!"Indra tertawa pe
Beberapa hari setelah mengetahui kehamilan Isna, Indra semakin semangat bekerja. Bahkan di kantor pun Indra sering tersenyum membayangkan bagaimana saat anaknya lahir nanti. Indra tak sabar merasakannya.Malam ini Indra bermalam menemani Isna, tentunya setelah Indra mendapat persetujuan dari Arini untuk mengurangi jatah malamnya karena Isna lebih membutuhkannya. "Aku tak sabar ingin menggendongnya."Kalimat yang selalu diucapkan Indra beberapa malam ini. Hal itu tentunya mengundang tawa Isna. "Kau harus sabar, usianya baru beberapa minggu. Dia bahkan belum kelihatan."Suara ketukan pintu menghentikan candaan mereka, Indra berdiri dan membuka pintu. "Ini buah yang diminta Nyonya Isna, Tuan.""Terimakasih Mila."Mila, asisten di rumah Isna yang datang ke kediaman Indra beberapa hari lalu setelah Mama Sukma yang meminta. Selain Bu Bertha yang mengirimkan beberapa asisten dan penjaga, keluar Rakabumi juga mengirimkan
Perlahan, kelopak mata yang mukanya terpejam kini perlahan terbuka. Isna berkedip beberapa kali menyesuaikan cahaya yang ada di ruangannya. Isna mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat Vidia dan dua temannya yang mengatainya. Ia menoleh saat menyadari ada pergerakan di sebelahnya. Indra, suaminya itu tengah tertidur dengan terus memegang tangannya. "Mas?"Merasa namanya dipanggil, Indra mendongak menatap Isna. "Sayang, kamu sudah sadar. Apa ada yang sakit? Kamu ingin apa?"Melihat perlakuan Indra yang lembut seperti ini membuat hatinya seketika menghangat. "A-ku ha-us."Dengan sigap Indra memberikan segelas air minum, menyangga kepala Isna supaya Isna tak tersedak. "Pelan-pelan."Usai minum, Indra membenarkan kembali posisi Isna supaya lebih nyaman lagi. Indra menggenggam erat jemari Isna, "Kau tau betapa paniknya diriku saat melihatmu pingsan dan pendarahan? Jantungku seolah berhenti berdetak saat itu juga. Isna, tak akan
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, hari ini Isna sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Mereka tiba di Kediaman Rakabumi dan akan tinggal di sana sampai Isna pulih sesuai permintaan Mama Sukma. Indra merebahkan tubuh Isna di tempat tidur dengan hati-hati. "Ambil liburnya sampe kapan, Mas?" tanya Isna saat melihat Indra justru merebahkan diri di sebelahnya. "Sebenarnya hari ini sudah masuk.""Kok malah mau tidur?"Indra tersenyum menatap Isna, "Nanti bangunin jam satu ya.""Iya." Isna tersenyum menatap Indra yang terlihat kelelahan, tak lama kemudian dapat Isna dengar dengkuran halus berasa dari Indra. Fokus Isna teralihkan saat mendengar notif dari ponsel Indra, ia mengambil ponsel yang berada di atas nakas. "Mbak Arini." Karena rasa penasaran yang besar, Isna membuka pesan dari Arini. Arini mengirimkan sebuah foto dirinya yang tengah berpose di bibir pantai. Kemudian Isna membaca kalimat yang tertulis
Isna menghampiri Indra yang berada di kamarnya, hatinya merasa iba melihat Indra yang frustasi. Isna duduk di sebelah Indra, Isna mengelus rambut Indra yang terlihat berantakan. "Sabar ya, Mas. Jangan sedih lagi, kita pikirkan bareng-bareng jalan keluarnya gimana." Ucapan Isna bagaikan angin segar yang datang di gurun yang panas Indra memeluk Isna, "Makasih ya, Sayang. Kamu selalu ada buat aku."Isna mengangguk dan menyunggingkan senyuman, "Sekarang Mas mandi dulu ya, kita makan dulu. Makanannya aku bawa ke sini ya, Mas?"Indra mengangguk, Indra pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Kemudian Isna pergi ke dapur untuk mengambil makan malam. Di meja makan, Isna melihat Arini yang sudah berada di sana. Arini masih menangis seperti tadi, ada Devi yang memenangkan dirinya. Isna menghampiri mereka, lalu memanggil Mila supaya makan malamnya dengan Indra di bawa ke kamar. Mendengar ucapan Isna, Arini langsung mendongakkan kepalanya. "Mas
Papa Ardy masih tak menyangka bahwa Aswin adalah orang yang dimaksud Ibra selama ini. Ternyata salah satu penjaga Isna bisa berada sedekat ini dengan Isna tanpa diketahui. Ibra tersenyum melihat anak didiknya berhasil sampai dititik ini dan tetap setia pada Keluarga Rakabumi. "Kamu hebat, Ibra. Bagaimana kamu melakukannya? Apa kalian sudah mengenal lama? " Kami sudah kenal lama, Aswin sudah kurawat sejak umur remaja. Dia seorang yatim-piatu, saat tau Isna tak mau kerja di perusahaannya sendiri, aku meminta Indra langsung mengikuti kemanapun Isna bekerja. Aku bersyukur saat tau mereka berada dekat, jadi Aswin lebih mudah mengawasinya."Papa Ardy menatap bangga kepada adiknya, Isna memang menjadi kesayangan semua anggota keluarganya. Papa Ardy beralih menatap Aswin. "Terima kasih ya, selama ini kamu sudah membantuku menjaga putri kami."Aswin membungkuk, kemudian badannya kembali tegap. "Itu memang sudah tugas saya, Tuan.""Kamu sudah mem
Seminggu sudah Isna dan Indra berada di kediaman Rakabumi. Isna sedang membereskan keperluannya yang akan ia bawa pulang. "Isna."Merasa namanya dipanggil, Isna pun menoleh ke sumber suara. Ternyata Mama Sukma yang datang ke kamarnya. Mama Sukma merasa tak rela kalau Isna harus pergi lagi dari rumah. Tangan Mama Sukma terulur membantu Isna beberes. "Sebenarnya Mama ingin kamu di sini saja, seenggaknya sampe lahiran. Kamu lebih aman di sini, sayang. Mama takut sesuatu yang buruk terjadi sama kamu, Nak."Isna tersenyum mendengar ucapan mamanya, Isna beranjak mendekati mamanya. "Gapapa kok, Ma. Mama nggak perlu khawatir, Isna bisa jaga diri Isna sendiri kok. Ada Mas Indra dan Mbak Arini, Mama juga udah minta Mila ke sana, kan?"Mama Sukma tak lagi menjawab, menatap putrinya iba karena harus mengalami hal sulit seperti ini. Mama Sukma mengedarkan pandangannya ke arah lain, menyeka airmata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Set
Dalam hidup Indra, Indra tak pernah membayangkan sebelumnya kalau dirinya akan menjadi bagian dari Keluarga Rakabumi. Keluarga yang sangat terkenal akan kerajaan bisnisnya, bisnisnya berkembang tak hanya di Jakarta, namun ada beberapa bisnisnya yang berkembang di Asean bahkan Eropa. Dan sekarang, cucu perempuan kesayangan Keluarga Rakabumi menjadi istrinya, calon ibu dari anak-anaknya. Indra merasa dirinyalah yang paling beruntung, mendapatkan dia istri yang saling menerima, keluarganya yang tak lagi berseteru, dan sekarang dirinya akan memiliki seorang anak. Bahkan perusahaannya pun semakin berkembang pesat atas bantuan mertuanya. "Mas Indra, ngapain di luar?"Indra tersentak mendengar panggilan Isna, Isna duduk di sebelah Indra. Indra menatap Isna, dirinya baru menyadari betapa cantiknya istrinya tersebut. "Kamu sangat cantik, aku baru menyadari kalau kecantikanmu itu sudah menyihirku, Isna."Mendengar ucapan Indra, Isna terlihat salah tingkah
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, hari ini Isna sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Mereka tiba di Kediaman Rakabumi dan akan tinggal di sana sampai Isna pulih sesuai permintaan Mama Sukma. Indra merebahkan tubuh Isna di tempat tidur dengan hati-hati. "Ambil liburnya sampe kapan, Mas?" tanya Isna saat melihat Indra justru merebahkan diri di sebelahnya. "Sebenarnya hari ini sudah masuk.""Kok malah mau tidur?"Indra tersenyum menatap Isna, "Nanti bangunin jam satu ya.""Iya." Isna tersenyum menatap Indra yang terlihat kelelahan, tak lama kemudian dapat Isna dengar dengkuran halus berasa dari Indra. Fokus Isna teralihkan saat mendengar notif dari ponsel Indra, ia mengambil ponsel yang berada di atas nakas. "Mbak Arini." Karena rasa penasaran yang besar, Isna membuka pesan dari Arini. Arini mengirimkan sebuah foto dirinya yang tengah berpose di bibir pantai. Kemudian Isna membaca kalimat yang tertulis
Perlahan, kelopak mata yang mukanya terpejam kini perlahan terbuka. Isna berkedip beberapa kali menyesuaikan cahaya yang ada di ruangannya. Isna mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat Vidia dan dua temannya yang mengatainya. Ia menoleh saat menyadari ada pergerakan di sebelahnya. Indra, suaminya itu tengah tertidur dengan terus memegang tangannya. "Mas?"Merasa namanya dipanggil, Indra mendongak menatap Isna. "Sayang, kamu sudah sadar. Apa ada yang sakit? Kamu ingin apa?"Melihat perlakuan Indra yang lembut seperti ini membuat hatinya seketika menghangat. "A-ku ha-us."Dengan sigap Indra memberikan segelas air minum, menyangga kepala Isna supaya Isna tak tersedak. "Pelan-pelan."Usai minum, Indra membenarkan kembali posisi Isna supaya lebih nyaman lagi. Indra menggenggam erat jemari Isna, "Kau tau betapa paniknya diriku saat melihatmu pingsan dan pendarahan? Jantungku seolah berhenti berdetak saat itu juga. Isna, tak akan
Beberapa hari setelah mengetahui kehamilan Isna, Indra semakin semangat bekerja. Bahkan di kantor pun Indra sering tersenyum membayangkan bagaimana saat anaknya lahir nanti. Indra tak sabar merasakannya.Malam ini Indra bermalam menemani Isna, tentunya setelah Indra mendapat persetujuan dari Arini untuk mengurangi jatah malamnya karena Isna lebih membutuhkannya. "Aku tak sabar ingin menggendongnya."Kalimat yang selalu diucapkan Indra beberapa malam ini. Hal itu tentunya mengundang tawa Isna. "Kau harus sabar, usianya baru beberapa minggu. Dia bahkan belum kelihatan."Suara ketukan pintu menghentikan candaan mereka, Indra berdiri dan membuka pintu. "Ini buah yang diminta Nyonya Isna, Tuan.""Terimakasih Mila."Mila, asisten di rumah Isna yang datang ke kediaman Indra beberapa hari lalu setelah Mama Sukma yang meminta. Selain Bu Bertha yang mengirimkan beberapa asisten dan penjaga, keluar Rakabumi juga mengirimkan
Setelah kepergian Bu Bertha, Isna justru merebahkan tubuhnya di sofa. Sedangkan Indra juga bersantai bersama Isna, Indra duduk dan memijat kaki Isna. "Sekarang aku tahu kenapa akhir-akhir ini sering tak semangat bekerja Isna." Indra tertawa pelan, ia masih ingat beberapa kekeliruan dari laporan yang dibuat Isna. Indra sengaja memberitahunya dan meminta Aswin memperbaiki laporan tersebut. Indra juga meminta Aswin untuk tak memberitahu Isna tentang hal ini. "Boleh aku meminta sesuatu?"Indra menatap Isna, melihat wajah Isna yang seperti ini membuatnya ingin mencubit pipi Isna yang mulai berisi. "Apa itu Isna, katakan apa yang kamu mau?""Aku mau diutamakan, Mas harus banyak menghabiskan waktu denganku. Aku juga tidak suka melihat saksi Mas Indra dan Mbak Arini beberapa waktu lalu, seharusnya kalian bisa melakukannya di kamar, aku-"Isna terkejut saat tiba-tiba Indra langsung menciunnya sekilas. "Menyebalka!"Indra tertawa pe
Andro bersiap pulang ke rumah, semalam setelah mendapat telepon dari Mama Sukma, Andro bilang kalau dirinya sedang menginap di rumah kakanya. Andro yang sedang di dapur melihat kakaknya yang sudah siap dengan setelan kerja tengah membuat susu. Sebenarnya Andro sangat kasihan terhadap Kakak satu-satunya itu. Kakaknya terlalu baik untuk menjadi istri kedua, seharusnya kakaknya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Indra yang sudah beristri. Andro mendekati kakaknya. "Kapan kakak akan mengatakannya? Mereka aja nggak mikir perasaan Kakak gimana, egoislah sesekali. Itu nggak akan membuat Kakak rugi."Mendengar kalimat yang dilontarkan Andro, Isna menghentikan kegiatannya. Ia sadar, memang beberapa hari ini perasaannya terasa lebih sensitif dari biasanya. Ingatannya juga kuat apalagi saat beberapa hari lalu dirinya melihat Indra yang berciuman dengan Arini di ruang tamu. Sekarang Isna tahu kalau dirinya tengah mengandung pewaris Mahardika, Isna sudah menyusun