Pagi saat fajar bersinar terang beberapa minggu kemudian dia memberiku sebuah surat yang dia kirim lewat perantara seorang kurir bertubuh tambun aku berkirakan usianya baru setengah abad lebih sedikit. Ada kerutan yang nampak di wajah bapak itu sayang aku tak sempat menanyakan namanya juga tak sempat mengajaknya duduk sekedar menikmati pisang goreng buatan ibu panti asuhan yang baru digoreng.
Belum juga aku buka surat itu ,ibu dan bapak panti memanggil terpaksa kutunda keinginanku untuk membacanya "Galendra kemarilah nak bapak - ibu ingin bicara" pintanya Iya! Pak sahutku lalu bergegas masuk ke ruang makan bergaya minimalis dengan hanya ada meja dan kursi dari kayu. Aku menyeret kursi hendak kugunakan untuk duduk diantara bapak sementara ibu masih sibuk di dapur mencuci mangkok kotor bekas membuat kudapan pisang goreng. Apa kamu pulang ingin membicarakan tentang gadis itu Galendra? tanya Pak Marsudi BapakkuGalendra tersenyum Pak Marsudi menekan ucapannya agar istri mempercepat apa yang istrinya lakukan mendengar semua itu Bu Asma segera mempercepat kegiatan yang kemudian tak berapa lama tak berapa lama Bu Asma pun duduk. Sejenak kemudian Pak Marsudi melanjutkan sepertinya kamu sedang dekat dengannya bapak tidak salahkan? Tidak Pak Bapak benar aku memang sedang menjalin hubungan namanya Zia dia gadis yang baik juga salihah insyaAllahAku berkenalan dengan dia ketika aku berada di kafe tempatku biasa nongkrong melepas penat seusai bekerja sejak itu Galendra dekat dengannya Pak hampir setiap hari kami berkomunikasi meski lewat telepon jadi baru ketemu sekali Jadi baru bertemu sekali kamu langsung menyukainya begitu maksudnya kata mereka berbarenganGalendra tersenyum menatap orang tuanya"Aku langsung jatuh hati jawabku yakinPak Marsudi dan Bu Artini menarik napas panjang. Saling melirik lalu tersenyum penuh artiBaiklah kalau kamu sudah yakin ibu dan bapak cuma ingin kamu berpikir sungguh-sungguh tentang perasaanmu jangan sampai perasaanmu adalah perasaan sesaat. Jangan sampai kamu mempermainkan perasaan perempuan karena itu sama artinya dengan mempermainkan perasaan ibumu.!Segerakan lamar dia
Galendra terdiam menatap wajah kedua orang tua angkatnya penuh cinta kata-kata bapaknya menancap tepat di hatinya. Tak berapa lama dia pamit hendak kekamar tak lupa membawa surat itu dalam genggamanDengan ucapan basmalah diatas ranjang perlahan kubuka surat itu aku seperti tersengat aliran listrik tegangan tinggi Assalamu'alaikum wrwbSudah sejam lebih aku menyusun kata namun gagal. Aku terlalu takut jika yang tertulis pada sepucuk surat ini membuatmu ragu memilih aku sebagai perempuanmu. Tetapi jika Aku diam akankah kamu sadar perasaanku? Meski itu sudah nampak jelas ketika aku menatapmu dengan kedua mataku yang berbinar- binar.Dengan wajahku yang secerah matahari? Lalu.. bukankah parasku tak pernah redup saat kedua matamu bertemu aku? Jika isyarat itu belum cukup akan kuingatkan tentang masa itu selisih jarak kurang dari satu meter menyenangkan sekali duduk berdampingan di dalam ruang kafe. Buku catatan, laptop, secangkir kopi dan juga kau. Jika hal sekecil itu saja tak mampu membuatmu teringat kepadaku Lalu aku harus apa?Deg jantungku seolah Berhenti berdegup seusai membaca surat dari sang kekasih Kini dia tahu bagaimana perasaan Zia. Hening menjeda Galendra Ya Allah Engkau telah menjawab keyakinanku suaranya bergetar menahan debaran jantung yang berdegup lebih kencang***Aku terus memacu mobilku menuju kawasan Dirgantara di mana Zia dan keluarganya tinggalkuurungkan niatku kembali ke Surabaya. Setelah sebelumnya aku menelpon atasanku mengatakan bahwa ada urusan yang sangat penting hingga tidak bisa segera masuk kerja aku juga meminta waktu yang sedikit lebih panjang kepada atasanku syukurlah beliau memberikan ijin.Tiga puluh menit kemudian aku tiba di depan sebuah rumah di kawasan Dirgantara sebuah rumah bergaya joglo dengan halaman yang luas dua pohon palem setinggi dua meter berjajar di depan pagar di bagian kiri sebuah garasi besar terbuka suasana semakin terlihat Asri karena ada sebuah Saung yang terbuat dari bambuAku turun dan menekan bel pada pintu pagar besi setinggi dua meter berwarna coklat emas. Tak tama seorang asisten rumah tangga yang kutahu bernama Bu asih keluar dan langsung membuka pintu pagar. Senyumnya terkembang ketika melihat kedatangankuSilakan masuk Mas Mbak Zia dan Ibu ada di dalam kata Bu Asih mempersilahkan sepontan bibirku terangkat Aku tersenyum mendengarkannyaDari dalam ibu Zia datang menyambut kedatangan GalendraBismillah desahku setelah menghempaskan pantatku di sofa Sebelumnya Galendra minta maaf jika kedatangan Galendra mengganggu Bia dan Zia mendengar kata kata Galendra yang terdengar serius Bia dan Zia terdiam seolah terhipnotis oleh suara Galendra mereka bertanya-tanya dalam hati ada apa ini, ini tak seperti Galendra biasanya. "Enggak mengganggu kok Kak justru aku senang" jawab Zia Galendra kembali mengucapkan basmalah untuk kedua kalinya "Bismillah begini Bia dan Zia aku bermaksud untuk melamar Zia menjadi istriku dan aku datang kemari dan maaf tanpa persiapan apapun layaknya melamar seseorang namun semua itu tak mengurangi pengharapanku agar Bia dan Zia berkenan menerima lamaran ini" kataku kemudian. Hening menjeda Bia dan zia saling tatap wajahnya mengisyaratkan kekagetan tak percaya dengan apa yang didengarBia menarik napas dalam dan sepertinya cukup berat Bia memandang putrinya. "Maaf kalau boleh Bia tahu Apakah yang membuat Galendra begitu yakin ingin menjadikan Zia sebagai istri seperti yang Galendra ketahui anak Bia adalah seseorang yang punya keterbatasan. Meski begitu dimata keluarga dia tetap istimewa."sambungnya"Karena Allah membuat hatiku menginginkan Zia tanpa setitik pun keraguan lagi"awab Galendra penuh keyakinan sebuah jawaban yang berhasil membuat Bia bungkam. "Bagaimana pendapatmu Zia?""Apa kamu menerima lamaran ini ?" tanyanya meminta kepastian. Zia tak menjawab tapi di sudut matanya tampak butiran bening mengendap Zia begitu terharu ditariknya napas panjang sebelum menjawab kalimat basmalah pun di ucapkan "iya Kak Zia bersedia menerima lamaran Kak Galendra. Jawab zia penuh kelembutan. Alhamdulillah Bia dan Galendra hampir bersamaan bagai terlepas dari beban berat Galendra tak menyangka meminta seseorang untuk menerima pinangan terasa seperti ini perasaan yang tak mudah dijelaskan . Tapi semua itu terbayarkan saat mendengar ucapan kesediaanya menerima lamaran yang serba mendadak ini bahkan Galendra tak sempat memberi cinderamata sebagai tanda.Aku memilih Zia sebagai istri hanya karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala tentu juga karena cinta dan sayang tak ada hal yang lain yang kupkirkan meskipun aku sudah membaca suratnya bagiku surat itu tak lebih dari sebuah jawaban keyakinan. Bahwasanya dialah teman hidupku, seseorang yang aku yakin mampu membuat perasaan ini tentram saat gelisah itu datang atau saat hati dipenuhi rasa marah aku yakin seyakinnya dia mampu meredam dan memenangkan membuat aku berpikir jernih kembali. Karena apa? aku manusia biasa sama seperti yang lain gak sempurna. Punya kemarahan kesedihan gelisah ragu was- was dan InsyaAllah Zia adalah orang yang akan mengingatkan menuju kebaikan. Kalian tahu ? Aku terkesiap saat dia hanya memperpanjang sujudnya. Allah semua karena aku yang melukai perasaannyaBanyak orang bilang kalau berbagai cobaan akan datang sebelum acara pernikahan dilaksanakan Iya aku sendiri merasakan hal itu cobaan yang sangat berat hampir saja membuat pernikahanku dan Batal tiga hari sebelum akad. Persiapan demi persiapan berjalan lambat entah mengapa orang orang-orang yang aku amanahi menguji kesabaranku belum lagi WO (wedding organizer) yang ternyata fiktif. Ya Rabb jangan Engkau hilangkan kesabaranku. Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik bagiku, agama dan kehidupanku, maka tetapkan dan mudahkanlah ia bagiku kemudian berkatilah aku, dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku, bagi agama dan kehidupanku serta akibat dari urusanku, baik untuk masa sekarang maupun untuk masa mendatang, maka hindarkanlah ia dariku dan hindarkanlah pula diriku darinya, dan tetapkanlah hal yang terbaik bagiku menurut semestinya, kemudian ridhailah aku.Berbeda dengan Galendra dengan keriuhan persiapan-persiapan pernikahan. Di sini, di sebuah bangunan tanpa dinding, di halaman depan rumah, sebuah bangunan yang lebih pantas disebut saung karena semua tiangnya terbuat dari bambu, hingga angin dengan leluasa menyapu tubuhku. Yang malam ini hanya memakai kaus lengan panjang tipis berbahan parasut. Terpaku dalam alam pikiran. Galendra sosok yang lebih dari sekadar baik, hadir memberi warna dalam kehidupanku, mengisi hari-hari dengan keinginan dan harapan.Lelaki itu, seperti magis penyemangat dalam keseharian, pemandu dalam perbaikan diri, juga penenteram dalam kekalutan.Aku mengenal Galendra dengan sangat baik. Sejauh ini dia bukan tipikal pria yang suka bermain dengan perasaan tanpa keyakinan. Watak, kebiasaan, bahkan semua tentangnya pun Insya Allah aku tak salah.Dan apa yang dia katakan tempo hari, layak aku percayai, aku aminkan, semoga menjadi kenyataan. Toh, semua persiapan menuju ik
Di bumi Allah, di bumi cinta. “Pada sebuah laju waktu yang melangkah maju, akan ada saatnya kita bertemu dengan seseorang yang mengubah hidup untuk selamanya. dan bagiku, Kak Galendra adalah seseorang itu.Setelah aku menikah denganmu beberapa minggu yang lalu, malam malamku hanya berisi manis-asam berganti-gantian.Dahulu, sebelum kulabuhkan hatiku padamu, lalu menerima ajakanmu untuk hidup bersama, hari-hariku berjalan datar.Tanpa agenda memikirkan merindu atau menantikan sesesuatu.Lalu kamu datang.Sapaan lembut dengan senyuman.Kamu menjadi seseorang yang mencairkan kebekuan hati.Membuat suasana hati tak menentu.Maka izinkanlah aku menulis tentangmu untuk kesekian kalinya.Meski aku tak tahu apakah kisah ini hanya selesai di tengah perjalanan, ataukah kisah ini sampai mencapai puncaknya.Aku hanya ingin mengabadikan kamu
Tepat pukul sepuluh malam, Galendra tiba di rumah kontrakannya. Dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan, selang satu jam kemudian, dia membaca e-mail dari sang istri, Zia Mysha Muntazar di laptop.Satu sisi, hatinya, dia merasa lega, dan di sisi lainnya dia merasa sedih karena membuat Zia menunggu dirinya yang entah kapan bisa pulang atau entah kapan hidup bersamanya di Kota Pahlawan ini, mengingat tabungannya masih kosong, belum bisa untuk membeli atau membangun rumah impian.Galendra terdiam sesaat. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Allah, aku hanya hamba-Mu yang tidak memiliki apa pun kecuali Rahmat-Mu, maka mudahkanlah segala urusanku. Aku hanya ingin membahagiakan istriku sebagaimana yang kujanjikan kepada-Mu.”Galendra mengembuskan napas dalam-dalam. Tiap lafaz doa itu membekas dan terasa mengalir dari kerongkongan hingga merasuk ke dada. Ketenangan perlahan Galendra rasakan hingga akhirnya ia tertidur lelap.***
Berada di Jalanmu Membuatku Merasa NyamanAkhirnya di sinilah kami berada. Duduk di jok mobil milik keluarga Zia. Bertolak menuju kota Surabaya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi sewaktu kami menumpang mobil berjenis mini bus ini. Kalau bukan karena Bia bersikeras memaksa kami menumpang kendaraan ini, sudah pasti aku menolaknya karena aku tidak ingin merepotkan siapa pun. Tetapi, jika dipikir ulang, memang ada baiknya menyetujui permintaan Ibu mertuaku ini. Mengingat kondisi Zia yang istimewa, sulit menemukan kendaraan yang sesuai. Belum lagi bila orang-orang menatapnya dengan iba atau tatapan aneh yang harusnya biasa saja.Kadang kala, semua itu menguji kesabaran dan keikhlasanku. Tak jarang juga membuat darahku mendidih menahan emosi saat seseorang menyebutnya sebagai gadis cacat, atau ketika dengan sengaja orang-orang itu membicarakannya di depan mukaku.Walaupun sejatinya semua omongan itu tak berarti apa-apa selain sebagai warna-warni hidup, pahit-manis,
***Akhir bulan ini harus ada naskah yang terselesaikan dengan baik dan terkirim ke meja penerbit, meskipun aku harus menulis di mana saja berada. Kali ini aku garap kehidupan rumah tanggaku dalam novel Married? Insya Allah. Menggarap naskah ini benar-benar menguras pikiran dan tenaga. Aku harus ekstra serius dan hati-hati, mengingat ini adalah kehidupan pribadi yang aku tuangkan dalam tulisan. Mengeditnya berkali-kali, membongkar-pasang, mencari kata, kalimat-kalimat yang mudah dicerna, dipahami. Mungkin aku masih terpengaruh oleh cibiran pembacaku. Mereka bilang bahasaku terlalu kaku dan kurang luwes hingga sulit dimengerti.Menulis sebuah buku terkadang terasa sangat menjemukan. Namun, ketika rasa jemu itu bisa teratasi, kegiatan itu akan berubah menjadi sebuah rekreasi yang mengasyikkan.Hari ini jadwalku sampai jam sepuluh pagi. Setelah itu aku harus mengirim naskah ini lantas bersiap untuk pulang ke Malang. Kali ini tanpa diantar karena Kak Gal
“Zi, ada surat untukmu. Bia letakkan di meja makan! teriak Bia yang sedang berada di pekarangan belakang, menyirami tanaman . “Iya, Bi, terima kasih. Mataku tertumbuk pada selembar amplop berisi surat berwarna merah jambu, bersanding manis dengan semangkuk stroberi segar, buah kesukaanku. Zia Mysha Muntazar, begitu nama lengkap yang diberikan oleh orang tuaku. Perempuan keras kepala yang menyukai kesunyian. "Caramu menyayangiku tak pernah habis untuk kukagumi, Kak" bisiknya lirih saat perlahan ia membuka amplop surat itu. Tak ada lagi yang keluar dari bibir perempuan berumur sekitar dua puluhan itu, kedua netranya mengembun dari awal kalimat hingga kalimat akhir. Bumi Allah, bumi cinta, 25 Juni 2020. “Untuk Zia Mysha Muntazar yang disayang Allah. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabar? Aku harap kamu terus baik- baik saja seperti keyakinanku selama ini. Ingat, teruslah mendekat pada Allah, berzikir sebagaiman
Perlahan aku mulai mencerna apa-apa yang tertulis di dalam surat yang seminggu lalu itu kubuka. Kugenggam dan kubaca hingga hatiku seakan remuk. Aku tak bisa berhenti membaca setiap kalimatnya. Seperti magis untukku.“Teruslah mendekat pada Allah, berzikir sebagaimana aku mengenalmu dahulu.”Begitu yang dia tulis di awal, lalu ditutup dengan sangat sempurna.“Semoga kebahagiaan tak pernah meninggalkanmu sedetik pun. Seperti apa pun ujiannya, kemenangan adalah kebahagiaan, Insya Allah.”Begitulah balasan surat yang kutulis pada laki-laki yang menjadi penentramku itu. Lagi-lagi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menunjukkan kasih sayang-Nya kepadaku. Dia tak membiarkan diri ini terjerembap dalam rasa duka meski hanya setitik, persis seperti harapan Galendra.Tidak banyak kalimat yang aku tulis saat itu. Meski hatiku sempat remuk, tetapi aku tak ingin membebaninya dengan menulis kalimat-kalimat berduka lebih banyak lagi.Aku telah selesai m
Aku duduk di bagian paling depan kafe Gartenhaus. Dengan beberapa manusia yang sedang melakukan sesuatu pekerjaan atau berbincang-bincang dengan lawan bicaranya. Aku pun tak bisa mendengar apa-apa. Kafe ini terlalu bising buatku. Kalau saja aku tidak lapar, aku tidak akan masuk ke dalam kafe ini. Aku lebih suka kafe yang sepi tapi memiliki pemandangan yang indah.Tiba tiba lelaki di samping mejaku itu berdiri menghampiri. Aku sedikit kaget tapi coba menutupinya dengan pura-pura menulis sesuatu di laptop. "Maaf ada sesuatu yang terjatuh dari mejamu."Kulihat tangannya memanjang ke arah bawah, tepat di kaki mejaku. Rupanya buku catatanku terjatuh dan aku tidak menyadarinya, tergeletak begitu saja. Namun aku hanya bisa menunduk, tak berani menatap matanya. Aku canggung jika seperti ini, tapi lama-kelamaan kutegakkan kepalaku setelah buku catatan itu aku pegang. Aku pikir tak sopan jika aku tak memandang lawan bicaraku."Sendirian saja, Mbak?" ta