Share

Married? Insya Allah
Married? Insya Allah
Author: Ayu Zuhriansyah

Tentang Aku, Kamu, dan Surat Kita

“Zi, ada surat untukmu. Bia letakkan di meja makan! teriak Bia yang sedang berada di pekarangan belakang, menyirami tanaman .

“Iya, Bi, terima kasih. 

Mataku tertumbuk pada selembar amplop berisi surat berwarna merah jambu, bersanding manis dengan semangkuk stroberi segar, buah kesukaanku. Zia Mysha Muntazar, begitu nama lengkap yang diberikan oleh orang tuaku. Perempuan keras kepala yang menyukai kesunyian. 

"Caramu menyayangiku tak pernah habis untuk kukagumi, Kak" bisiknya lirih saat perlahan ia membuka amplop surat itu. Tak ada lagi yang keluar dari bibir perempuan berumur sekitar dua puluhan itu, kedua netranya mengembun dari awal kalimat hingga kalimat akhir.

Bumi Allah, bumi cinta, 25 Juni 2020.

“Untuk Zia Mysha Muntazar yang disayang Allah. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Apa kabar? Aku harap kamu terus baik- baik saja seperti keyakinanku selama ini. Ingat, teruslah mendekat pada Allah, berzikir sebagaimana aku mengenalmu dahulu. Kamu bisa, kan? 

Ada yang ingin aku ingin ceritakan padamu. Saat menemukan mess karyawan ini, aku berpapasan dengan seseorang yang mirip denganmu. Berambut ikal sebahu, beriris mata cokelat, dan berkulit putih susu. Kakinya begitu lemah, kurasa sulit juga digerakkan. Mungkinkah dia juga terkena polio sepertimu? Aku sempat berpikir seperti itu walaupun itu bukan urusanku. Lucu sekali.

Zi, seketika ingatanku menguar diterpa angin senja, berujung padamu, kamu tahu? Sekejap pertanyaan pilu itu bermunculan tak kutemukan jawabnya, kecuali aku beranjak pulang menghampirimu. Sesulit itukah hidupmu seperti yang kulihat padanya? Terjatuh berulang kali saat menggerakkan anggota tubuhnya. Terus saja seperti itu hingga sampai pada tujuannya.

Menghampiri bangku halaman, hendak menonton anak anak bermain lari-larian yang bersebelahan dengan tempat dudukku. Ada tawa di sana, Zia, ada seutas senyum yang benar-benar mengagumkan. Serasa tak percaya dengan penglihatanku sendiri 

Aku mematung beberapa detik, dalam sekejap menjelma bagai kamu. Dulu, kita selalu duduk berdua sekadar memandangi langit dan hal-hal sederhana seperti ini. Lalu doa meluncur mulus dari bibirmu yang diam-diam kuamini. Tentu kamu masih mengingatnya. Sungguh aku ingin segera menemuimu saat itu juga, bersama denganmu membantu apa pun yang ingin kamu lakukan.

Sungguh, aku ingin bahagia, tak pernah meninggalkanmu sedetik pun. Semoga di setiap kesakitan dan kesulitanmu, selalu ada aku.

Di bumi Allah, aku menyadari. Bukan untukku kamu ada, tapi untukmu aku ingin selalu ada. Insya Allah semoga begitu adanya.”

Tertanda yang selalu kamu sayangi, 

Galendra Kasyafani. 

Menjalani hubungan jarak jauh Malang-Surabaya tak pernah mudah. Terlebih bagi Zia dan Galendra yang cukup lama menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Dua tahun berlalu, namun, hingga tahun ketiga, tak ada tanda-tanda dari Kantor Cahaya Tbk. bahwa seorang Galendra akan kembali. 

Sedangkan Zia tetap berada di kota tempat kelahirannya, Malang, Jawa Timur. Masih dengan kegemarannya menulis kisah cinta dengan sang kekasih yang selalu dipanggilnya 'Kakak' itu. Zia begitu gemar menulis, anehnya dia hanya menulis seorang Galendra Kasyafani. Pemuda yang menurutnya istimewa itu. Sebuah keberuntungan, Galendra tak keberatan jika Zia menulis tentang kehidupan pribadinya. Bagi Galendra, yang terpenting adalah kebahagiaan kekasihnya. 

Meski begitu, Zia tetap berhati-hati dalam menuliskannya. Kehidupan yang mana saja yang boleh ditulis dan mana yang tidak. Memilah-milah yang pas dan bagian mana yang berimajinasi. Galendra juga tak keberatan jika Zia mengumpulkan, menjadikannya sebuah karya tulis berbentuk novel. 

Namun, sejak tiga tahun tulisan Zia mangkrak. Tak bertambah satu kata pun sejak judul ditulis. Married, Insya Allah. Sampai akhirnya surat yang ditunggu sepekan sekali itu mendarat manis menemui Zia. Sagala puji memang untuk Allah, Tuhan Yang Maha Pengertian. Surat-surat itu menghidupkan lagi tulisan-tulisan Zia yang mati suri. 

Kalian pasti heran di zaman serba modern ini masih ada orang yang gembira dan tulus menulis surat kepada seseorang ke seseorang lainnya. Mereka bukan tidak tahu cara paling praktis di dunia, saling menelepon atau mengirim pesan melalui aplikasi masa kini. Hanya saja, ketika saling mengirim surat dan menulis surat, semua terasa berbeda di hati masing masing. Sendu tapi manis.

Zia tanpa sadar tersenyum. Ada bagian hatinya yang menghangat setiap membaca tulisan-tulisan Galendra, walau seringkali terkirim kalimat-kalimat yang sama persis setiap minggunya hingga tahun ketiga. Kecuali ... hari Minggu itu berbeda. Gerimis melanda kedua insan manusia berpisah jarak itu. 

Zia nyaris tak punya jawaban untuk surat yang sedikit lebih panjang itu. Senyum kaku tersungging di bibir. Tatapan tajam mampu menusuk relung terdalam. Membawa getar indah mengalun. Ada pijar bintang berkedip di antara bening tajam mata perempuan itu. Bahagia menghampiri. Jemari lentiknya mulai menulis sesuatu di atas kertas. Perlahan huruf demi huruf menjelma kalimat. Memulainya dengan sebuah sapaan dan mengakhirinya dengan rasa syukur.  

Bumi Allah, bumi cinta, Juni 2020.

Teruntuk Kakak tersayangku, Galendra Kasyafani. Aku masih percaya ke mana pun Allah membawamu pergi, di situ cinta-Nya menghampiri. 

Aku telah selesai membaca suratmu yang sedikit panjang dari biasanya, menikmati setiap ceritamu kalimat per kalimat. Tak lupa aku membaca harapan-harapan yang kamu selipkan. Semoga kebahagiaan tak pernah meninggalkanmu sedetik pun.

Kebahagiaanku membuncah seketika. Kakak berhasil membuatku menangis sejak awal membaca surat itu. Bahkan, saat aku menulis surat balasan ini, punggung tanganku bergerak sesekali, mengusap bening yang menetes hingga ke dagu. Pikiranku dipenuhi bayanganmu, tangis tergugu mengingat semua.. 

Aku rindu kamu di sampingku. Sejenak nalar terkunci. Kapan pulang? Detik kembali asal, bukankah yang Kak Galendra lakukan ini adalah usaha masa depan? Bukankah masa depan adalah segalanya? Terlepas dari beratnya rindu dan kesepian itu sendiri. Harga dari sebuah perjuangan. Kita pasti bisa melewatinya, kan? Hari, bulan, tahun silih berganti, tak akan punya arti apa-apa, kan?

Mengenai semua yang Kakak diceritakan dalam surat Kakak, benar-benar sulit dijawab. Padahal itu adalah perjuanganku sehari-hari. Apakah kehidupanku sedemikian sulit? Setiap terjatuh di suatu tempat aku bangkit. Setiap lebam yang muncul, aku obati. Ya, begitulah. Acapkali aku tertawa mengingat kecerobohanku ini yang jatuh di tempat yang sama dengan gaya yang begitu-begitu saja --seperti orang yang tak pernah belajar dari kesalahan--. 

Tapi, satu hal, Allah masih jadi penolongku yang pertama dan utama. Percayakanlah semua pada Allah tentang kita. Seperti aku mempercayakanmu pada-Nya. Semesta bukanlah apa-apa saat kita percaya pada kekuasaan Allah. Seperti apa pun ujiannya, kemenangan adalah kebahagiaan. Insya Allah, Insya Allah. 

Kepadanya yang kusebut di atas sajadah panjang ribuan kali. Semoga Allah mencintaimu lebih. Melangkah lagi aku dan sebuah kisah. Rasa cintaku terhadapmu tidak pernah berkurang, meski raga kita sudah berada di tempat yang berbeda, tetapi, hati kita berdekatan. Bukankah demikian, Kakak?

Seizin Allah. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status