Share

4. Mata kuliah kehilangan

Langit-langit putih yang semula samar, kini terlihat jelas. Kudengar suara berbisik di sekitarku, membuat kepalaku yang sakit semakin berdenyut-berdenyut.

“Zia.”  

Seseorang menyadari aku sudah sadar. Suaranya terdengar samar, tapi aku yakin itu suara Bia. Setelah itu bunyi gesekan sepatu dan kaki-kaki kursi kayu pada lantai membuat ngilu. Satu per satu wajah yang sebagian kukenal muncul, melongok di atasku. 

Aku bisa melihat air mata menggenang di pelupuk mata Bia. 

Pandanganku beralih memandang dokter dan seorang perawat di sisi ranjang. 

Pikiranku masih berantakan membentuk keping-keping memori yang tersebar acak dalam otak, menyusunnya pelan-pelan. 

Bau obat-obatan dan karbol terasa mengganggu. Sekujur tubuhku terasa kaku dan pegal luar biasa. Kurasakan ada tangan menggenggam tanganku. 

Kak Galendra ... 

Aku membalas genggamannya semampuku. Kutatap sepasang mata teduhnya yang sedang mengamatiku. Aku bertanya tanpa suara tentang apa yang terjadi. Tapi sorot mata itu hanya menatapku, tidak memberi petunjuk apa pun. 

“Zia sayang. suara Bia terdengar lagi. Rasanya sudah begitu lama tidak mendengar suaranya. Aku pun menoleh dan melihat air mata sudah berjalan turun ke pipinya yang tirus. Aku pasti terlihat menyedihkan, hingga Bia terus saja menangisiku.

“Ada apa? Aku pasti terlihat linglung. Tiba-tiba genggaman Kak Galendra makin erat. Aku  memandang Kak Galendra lagi, memohon penjelasan. Akhirnya Kak Galendra menyerah.

Dia mengelus kepalaku dengan tangannya yang bebas. Kemudian menunduk dan berbisik padaku, Kamu pasti akan baik-baik saja, percaya padaku.  Aku akan terus menemanimu. 

Aku tertegun sesaat, lalu kutanyakan di mana sosok Pak Darman, sopir kesayanganku itu. Sejak aku tersadar beberapa menit yang lalu, aku belum menemukan batang hidungnya. 

Kemudian kepingan-kepingan ingatan Itu menerjangku seperti tsunami. Aku menaiki mobil menuju pulang ke rumah. Aku kembali menangis, membuat semua orang di sekelilingku terkesiap. Kak Galendra langsung memeluk erat. 

Aku meronta dalam pelukannya, memukul-mukul dengan marah. Lepasin, lepasin aku! Teriakku. Bukannya melepaskan, Kak Galendra justru mengunciku dengan pelukannya. kaosnya basah oleh air mataku, tapi dia tak peduli. Dia tetap memelukku erat, seolah dengan begitu bisa menenangkanku hingga aku berhenti mengamuk.

“Pak Darman sudah pergi, Zi. Beliau pergi dengan tenang dan penuh senyuman. Begitu cerita yang kudengar. Pak Darman begitu menyayangimu, Zi, jadi jangan seperti ini. Ikhlaskan!” 

“Bohong! teriakku lagi. Kak Galendra tidak merespon. Bahkan semuanya tidak bereaksi seolah mereka terbiasa dengan apa yang kulakukan saat ini. 

Aku masih meronta-ronta selama beberapa menit, sebelum akhirnya lelah dan menangis di pelukan Kak Galendra. 

Setelah tangisanku reda, barulah aku bisa mendengar Bia.

Bia bercerita perihal kecelakaan itu. Mobil yang kami tumpangi mengalami slip karena menghindari seorang penyebrang jalan yang tiba-tiba muncul.

Lalu terjadilah kejadian nahas itu. Semua berlangsung sangat cepat, hingga siapa pun tidak dapat menghindar, begitu kata saksi mata yang berada di lokasi kejadian. 

“Kamu bisa dengerin Kakak, kan? pinta Galendra lembut. Jika datang sesuatu yang tidak disangka-sangka kepadamu, maka percayalah, itu datang karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Begitu pun tentang akhir kehidupan Pak Darman, 

“Tidak ada yang tahu apa yang Allah Subhanahuwata'ala rencanakan setelah ini. Jodoh, maut, dan rezeki menjadi ranah-Nya.

Tangan kiri Kak Galendra membelai rambutku. Aroma tubuh Kak Galendra membuatku nyaman.

***

Dalam diam yang panjang, keputusan yang tak mudah telah kuambil: mengenakan penutup kepala (hijab) dan berbusana syar’i .Masya Allah, hari ini  adalah hari yang tak terlupa olehku, keluargaku, dan dia penentram hatiku, Galendra Kasyafani.  Akhirnya aku sampai pada pada perjalanan hijrah. 

Seiring berjalannya waktu, aku hanya sesekali bertemu dengannya. Selebihnya memperbaiki diri dan sibuk dengan menulis.

Kalian tahu? Setelah kecelakaan nahas itu, Kak Galendra kembali ke sisiku. Kami tak lagi terpisah jarak, tak lagi berbalas tinta. 

Sedikit merasa kehilangan tentang waktu itu dan saat-saat indah di mana kami saling mengungkapkan perasaan, walaupun ini adalah sebuah kebaikan juga untuk kami berdua. Ada kebahagiaan dan kelegaan. 

Jika boleh aku menggambarkan perasaanku pada kalian, aku bisa menulis huruf demi huruf menjadi kalimat. Mengungkapkan segala perasaan menjadi bagian paling menyenangkan dari rentetan hal-hal yang menggembirakan. Saat menulis tentangmu ... beberapa perasaan aku tulis dengan kekaguman yang lebih, tapi di bagian selanjutnya, aku tulis dengan perasaan yang tak menentu. Secuil rasa yang sulit untuk dijelaskan. Bukan karena aku tak ingin, tetapi aku tak tahu bagaimana memulainya. 

Tentangmu yang tiba-tiba hadir menyapa, lalu tersenyum menjumpaiku dalam keadaan terpuruk, meraih tanganku, dan menemani doa-doa yang kulangitkan, kemudian sengaja mengamini, terima kasih. Atas dukungan dan kasih yang tulus itu. Semoga Allah cinta, semoga Allah mencintaimu. 

***

Aku meyakini bahwa segala sesuatu berbanding lurus dengan kehendak Allah, termasuk dalam perjalanan ini ada kamu di dalamnya. Aku amat bersyukur. 

Meskipun aku tahu tidak ada jaminan untuk kita bersama seterusnya, mungkin kita akan dihadapkan dengan persimpangan yang berujung perpisahan, yang dilakukan atas nama yang paling baik dari yang terbaik menurut-Nya. 

Sebab Dia adalah yang Maha Mengetahui. Apa-apa yang maha baik di langit dan di bumi untuk setiap makhluk ciptaan-Nya, termasuk aku dan kamu.

Kamu tak lupa, kan? 

Sejujurnya setiap namamu muncul di layar ponselku, atau sekelebat namamu menguar dalam ingatan saat aku bersama Dia dalam sembah sujud, bahwasanya aku adalah manusia biasa yang tidak memiliki apa pun kecuali atas kasih sayang-Nya, aku masih berada di bumi-Nya. Bersama dan mencintaimu, aku merasakan kebahagiaan, ketenangan, serta kesenangan yang tidak mampu ditawarkan siapa pun, kecuali Dia.

Lalu, tiba-tiba aku terbiasa pada hadirmu, pada caramu menyebut namaku, pada tatapanmu yang selalu menunjukkan banyak arti. Sampai detik ini, aku tak mampu mendeskripsikan perasaan yang kurasakan. 

Apakah aku benar jatuh hati? Atau semua ini hanya oase sementara lalu sirna? Semua samar, tidak bisa diartikan, ketika malam-malamku dan hari-hariku terasa lain bila kamu tidak membalas surat-suratku. Paling parah saat kamu hilang kabar. Hingga aku berhenti pada satu jawaban, 

Aku sudah mencintaimu .... 

Sudah cinta ... 

Sudah ....

Hari-hari yang kulewati bersamamu telah menyimpan kehangatan yang membuat aku ingin tetap tinggal. Serta surat-surat balasanmu, perasaan yang ada di dalamnya, serta cerita-cerita yang engkau bagi, adalah hal yang lain yang paling menyenangkan dalam proses ini. Berdekatan dengan cara kita. Bersahabat dengan lembaran kertas juga tinta.

Sepucuk Surat yang Melegenda

Sepekan sekali itu selalu membuat aku bertanya-tanya, Apa yang sedang terjadi pada hatimu? Apa yang ingin kamu ceritakan? Betapa aku ingin tahu saat jarak adalah seni dalam cinta–mencintai.

Kehadiranmu laksana hujan. Laksana pelangi dengan ragam warna untuk seorang Zia Mysha Muntazar dalam kelabunya kehidupan. 

Kemudian di dalam doa-doaku yang senantiasa menari–nari, semoga Allah Menjagamu serta memberikanmu kemudahan hingga kamu menujuku. 

Aku tersenyum hanya dengan memikirkan lalu membayangkannya, memupuk sabar sampai saat itu tiba, walaupun seringkali sabar itu diuji. Rasa rindu membuat nalarku terkunci.

“Sabar, ikhlas, itu berbuah manis. Itu yang selalu aku ucapkan pada jutaan detik yang berlalu. 

Sekali lagi aku, aku memang mencintaimu dengan tulus, Insya Allah. Allah tahu.

Tentangmu yang coba aku uraikan dalam huruf membentuk rangkaian kalimat ini semoga kamu mengerti.  

Begitulah aku saat membicarakan tentang Galendra, tak pernah dapat berhenti. Dan dia tahu itu.

***

Dicintai oleh seorang perempuan bernama Zia Mysha Muntazar, adalah anugerah yang tak bisa didefinisikan dengan segala kalimat panjang. Jika boleh, aku ingin memperkenalkan dirinya pada kalian. 

Dia sekarang berada di Malang, Kota Pendidikan, Kota Apel. 

Aku sangat takjub padanya. Dia tidak seperti perempuan kebanyakan. Dia buta akan keindahan dunia di luar sana, melangkahkan kedua kakinya saja ke tempat ribuan pasang mata, dia gemetar. Dia juga seseorang yang suka pada keheningan. 

Aku menyebutnya perempuan eksklusif. Dia sempurna dengan apa adanya dirinya. Dengan duduk di kursi roda, dengan senyuman yang selalu memberikan energi untuk orang-orang sekitarnya.

Tak pernah ada kalimat yang menyakitkan dari dia untukku. Ada rasa bersalah di dalam sini --hati-- saat aku dengan sengaja meninggalkannya bersembunyi di balik kata masa depan.  

Dia menerima tanpa banyak kata dan tanya

“Lekas pulang ya, Kak, hati–hati, 

Lalu kujawab, 

Ada Allah. tanpa mengiyakan untuk cepat kembali dan itu adalah sebuah kejahatan. 

Jahat tanpa Kepastian. 

Jika boleh jujur menelisik ke lubuk hati terdalamk,u ada setitik rasa  bimbang.  Bagaimanapun, aku adalah manusia biasa yang terkadang terselip rasa ingin seperti yang lain. Kalian mengerti, kan, apa yang kumaksud? 

Namun, aku selalu kembali pada titik itu.  Dia seseorang yang tidak pernah alfa mendoakanku. Dia yang di dalam hari-harinya bertanya bagaimana keadaanku, bagaimana perasaanku, sedih atau senangkah. Adakah seseorang yang sedemikian itu denganku? Rasanya belum ada. 

Beberapa hari yang lalu, saat seseorang mengabarkan tentangnya yang mengalami sebuah kecelakaan, Perasaanku tidak menentu, antara cemas, takut, bercampur jadi satu. 

Membawaku pada satu titik, betapa pentingnya dia untukku. Betapa rasa kehilangan itu terasa begitu nyata di pelupuk mata  Allah, beginikah? Aku mohon kepada-Mu tangguhkanlah kepergiannya dariku.  Izinkan aku sedikit lebih lama menemani perempuan itu. Hanya sesal yang kurasakan kala itu. Betapa bodohnya aku, mengabarinya hanya lewat surat sepekan sekali, mengapa tidak setiap hari? Mengapa aku tak sering datang? Aku mengusap wajahku dengan kasar setiap kali ingatan bodoh itu menyelinap masuk tanpa permisi. 

Sebenarnya aku tak ingin mengenang tentang saat menyedihkan itu, melihat dia terkapar di ranjang rumah sakit dengan netra yang tidak kunjung terbuka. Wajahnya pucat pasi, dengan selang infus di salah satu pergelangan tangannya. Tak begitu parah memang, tapi hatiku remuk.

Zia hanya mengalami luka lebam pada kedua kaki dan tangannya sebelah kanan, serta sedikit lecet di wajahnya. 

Sementara, sang sopir sebagai pengemudinya, tewas dalam perjalanan ke rumah sakit. Itu yang aku dengar dari Bia, sebutan ibu untuk Zia. 

Ada luka dalam yang bersarang di dalam tubuhnya, meskipun secara keseluruhan terlihat baik-baik saja, nyatanya Pak Darman tidak bisa bertahan. 

Ruang Anggrek RSSA Malang tempat seseorang yang berarti itu menjalani perawatan, kulihat sudah ada sang ibu yang mendampingi di sisi ranjang dengan air mata yang terus-menerus mengalir di pipinya yang tirus sendirian. 

Perlahan kudekatkan diriku, kucium punggung tangannya yang lembut dan hangat khas seorang ibu. Ada seulas senyum tipis yang ia coba tukar dengan senyum milikku. Tapi, semua gagal, yang ada hanyalah tangis yang tak terbendung saat menatapku. 

Seorang dokter dan perawat datang memeriksa keadaannya. Perlahan kedua matanya yang cantik mulai terbuka. Dia tampak bingung, bertanya -tanya, 

“Ada di mana? Apa yang telah terjadi? Sedang aku duduk di tepi ranjang dengan menggenggam tangannya yang mungil. 

Aku terdiam.

Tak berapa lama, seperti ada yang menghujam jiwanya saat aku menyerah dalam kebisuan. Dengan sangat hati-hati, aku mulai menceritakan tentang kejadian yang dia alami, sampai pada titik di mana telah jatuh korban tewas atas kecelakaan yang menimpanya. 

Tangis dan teriakannya menyayat hati siapa pun. Terkesiap mendengar suaranya. Gadis itu menangis meraung-raung mengatakan aku telah membohonginya. Dia memukul-mukul dadaku dengan gerakannya yang semakin kuat, kalau saja aku tak melemahkannya dengan peluk. 

Beberapa hari setelah dia sudah diizinkan pulang, yang aku tahu Zia memulai kegiatan rutinnya. Apalagi kalau bukan menulis kisah kami. Entah seperti apa imajinasinya menuliskanku. 

Aku belum pernah membacanya. Dia melarangku, katanya bila sudah diterbitkan baru boleh. Dengan kata lain, aku harus menjadi pembacanya. Tak masalah, ini sangat menarik dan menyenangkan untukku,  membaca tentang diri sendiri di mata seseorang. 

Oh ya, aku beritahu pada kalian, aku mulai jarang menemuinya. Tepatnya saat dia mengubah penampilan menjadi seorang muslimah. Entah mengapa ada sesuatu yang sulit dijelaskan oleh kalimat.  Seperti ada yang menahan, tapi apa? Apa mungkin aku tersadar, jika aku hanya kekasihnya, tidak lebih. Hingga ada jurang tipis antara kami? Maksudku, kami belum halal.

Tapi kali ini, aku paksakan diriku untuk datang, sekaligus berpamitan dan meminta maaf harus melanggar janji untuk selalu menemaninya. Saat dia menampakkan dirinya yang baru, bergamis dan berhijab, 

“Bidadari ..., bisikku lirih.

“Aku akan pulang ke rumah orang tuaku di kabupaten. pamitku padanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status