Share

2. Sebuah Pembelajaran 

Perlahan aku mulai mencerna apa-apa yang tertulis di dalam surat yang seminggu lalu itu kubuka. Kugenggam dan kubaca hingga hatiku seakan remuk. Aku tak bisa berhenti membaca setiap kalimatnya. Seperti magis untukku.

“Teruslah mendekat pada Allah, berzikir sebagaimana aku mengenalmu dahulu.”

Begitu yang dia tulis di awal, lalu ditutup dengan sangat sempurna. 

“Semoga kebahagiaan tak pernah meninggalkanmu sedetik pun. Seperti apa pun ujiannya, kemenangan adalah kebahagiaan, Insya Allah.” 

Begitulah balasan surat yang kutulis pada laki-laki yang menjadi penentramku itu. Lagi-lagi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menunjukkan kasih sayang-Nya kepadaku. Dia tak membiarkan diri ini terjerembap dalam rasa duka meski hanya setitik, persis seperti harapan Galendra. 

Tidak banyak kalimat yang aku tulis saat itu.  Meski hatiku sempat remuk, tetapi aku tak ingin  membebaninya dengan menulis kalimat-kalimat berduka lebih banyak lagi. 

Aku telah selesai membenarkan posisi dudukku di kursi roda. Hari ini aku hendak berkeliling sambil melihat-lihat keadaan di luar. Maklumi saja, kehidupanku hanya seputar kamar dan di dalam rumah. Dan mengenai tulisan-tulisanku, hanya kukirim lewat surel pada penerbit yang bekerja sama denganku. 

Matahari semakin panas saat itu. Aku memilih berteduh di bawah pohon akasia. Kugerakkan perlahan kendaraan yang sudah menemaniku puluhan jam, hari, dan bulan berganti. Nyaris selama hidup aku mendudukinya. Hingga benar-benar berada persis di bawahnya. Hal ini kulakukan agar tidak menganggu pengguna jalan. Sejak remaja aku terbiasa mandiri. Biaibukumengajari untuk melakukan sesuatu secara mandiri. “Jangan meminta bantuan jika kamu bisa membantu dirimu sendiri. begitu pesannya kala itu.  

Tak heran, jika aku bisa berada di jalan raya seperti sekarang ini tanpa rasa takut dan khawatir. Aku mengembuskan napas dalam-dalam, menghirup udara sembari menebar pandangan menikmati lalu-lalang kendaraan. Untuk beberapa saat aku bergeming, suasana jalanan ini masih sama seperti kenanganku. 

"Dibeli. Dibeli. Opak singkongnya, Neng! Enak, renyah, dan gurih," Suara pedagang asongan menawarkan dagangannya, menginterupsi dan memecah lamunanku. 

Aku menoleh ke arah suara. Kakek tua itu tersenyum. "Oh iya, Kek, berapa? Sebungkus?"

Kakek tua itu pun menganggukkan kepalanya. "Murah, Neng, lima ribu aja sebungkus. Ada rasa asin, pedas, dan manis. Mau yang apa dan berapa bungkus?"

"Tiga bungkus, Kek. Masing-masing satu rasa." jawabku. 

Kakek itu pun dengan segera mengambil dan membungkus apa yang kupesan. Lalu memberikannya padaku. Setelah sama-sama berucap terima kasih, kami pun saling berkenalan dan mengobrol. Lebih tepatnya aku yang bertanya.

Kakek itu bernama Siman. Berumur tujuh puluh tahun. Istrinya telah lama meninggal dunia, juga seorang anaknya yang juga meninggal dunia setahun lalu karena sebuah kecelakaan di tempat kerja.  Lalu sekarang hidup bersama cucunya yang berusia belasan. Kakek Siman juga bercerita padaku, mulanya dia teramat sedih karena ditinggal orang-orang yang amat dicintainya.  Kemudian dia berpikir, hidupnya harus tetap berjalan dan bermanfaat sampai akhir.

Lagipula, dirinya masih memiliki seorang cucu yang harus ia rawat dan besarkan sampai ajal menjemput.  Mengajarinya menjadi orang yang bisa berdiri sendiri dan tetap beriman kepada Yang Maha Kuasa. 

Kisah Kakek Siman secara tak langsung memberikanku sebuah pembelajaran untuk meneruskan hidup sampai akhir juga. Tak apa Galendra pergi jauh asal dia masih ada.  Masih bisa kudengar  kabar, suara, canda dan guraunya, yang hanya untuk melengkungkan senyumku.  Pada akhirnya aku paham, bukan jarak yang penting. Tapi, kebersamaan dalam berbagai bentuk. Ah iya, sejenak aku lupa jika aku sendiri yang mengatakan itu dalam suratku, seminggu lalu.

Bukankah saat aku menulisnya, apa pun  makna dan artinya, tak sedikit pun aku menyinggung tentang jarak yang membentang? Bukankah aku sudah menerimanya dengan ikhlas? Mengapa aku seperti seseorang yang sedang mengeluh, menampakkan wajah yang sedih? Tidakkah aku malu dengan Kakek Siman yang semestinya menampakkan kedukaan, tapi dia malah tersenyum dan memilih melangkah lagi? Melanjutkan apa yang ada, bukan memikirkan apa yang pernah ada. 

Aku tidak tahu bagian mana yang bisa membuatku jatuh hati kepadanya. Apakah mata sipitnya yang sebening lautan? Rambutnya yang lurus dan nampak lucu di mataku? Tubuhnya yang gagah? Bibir tipisnya yang menceritakan hal-hal terbaik yang pernah dilewatinya? Atau susunan giginya yang berbaris rapi sewaktu tersenyum? Atau ... aku tak mengerti. Tapi kadang, dalam hidup tidak semua hal punya jawaban pasti. Namanya juga perasaan, tidak sepenuhnya melibatkan pikiran, yang anehnya selalu mematikan logika. 

Hanya tinggal hitungan hari, Desember akan segera berakhir. Sepekan lagi tahun ini berganti, dan bulan pun juga memasuki tahun ke empat. Tanpa dia. Ingar-bingar suara klakson kendaraan bermotor berganti-gantian tumpang-tindih, mengiringi perjalanan menuju pulang. Tak ada percakapan menarik lainnya setelah Kakek Siman.  Aku bahkan sengaja melambat-lambatkan kendaraan yang kubawa, berharap menemukan satu pelajaran lagi, namun tetap tak kutemukan percakapan lain yang bermakna. 

Kembali mengasingkan diri di kamar, setelah berbasa-basi dengan Bia di sudut ruangan yang disulap seperti layaknya ruang bioskop. Aku hanya bergeming melangkah masuk menuju kamar, kuarahkan badanku menuju meja kursi lengkap dengan lampu meja di sana. Juga di dekat jendela, ada laptop yang tergeletak diam, menungguku menggunakannya. Tanganku sejak tadi hanya membuka layar dan menyentuh mouse. Sementara tatapan mataku kosong tertuju pemandangan senja. 

Membiarkan memoriku berputar kembali pada hal-hal terbaik sebelum jarak itu ada. Bagaimana kisah ini dimulai. Sudut bibirku terangkat ke atas membentuk senyuman.

"Senang akhirnya senyum itu terbit. Juga senyuman yang asli, bukan pura-pura." celetuk Bia yang muncul bersama dengan secangkir cokelat panas dan beberapa keping biskuit susu. "Seharian ini pergi ke mana? Cari angin kok lama sampai sore gini. Bia  khawatir dan ingin menyusulmu menyusuri jalan bersama Pak Darman. Kamu tahu? Supir kita itu, sampai menyuruh anaknya kemari untuk membantu mencarimu jika sampai gelap kamu tidak kembali, "

Aku pura-pura merajuk di depan Bia. "Maafin Zia, Bi, tadi itu Zia terlalu asyik mengobrol dengan seorang pedagang opak singkong pinggir jalan sampai lupa waktu. Kemudian  juga Zia sengaja melambat-lambatkan perjalanan pulang, jadi makin lama, deh,"

"Pedagang opak apa maksudmu?" tanya Bia antusias. 

"Waktu aku di pinggir jalan menyejukkan diri istirahat di bawah pohon akasia. Ada seorang pedagang yang menawarkan dagangannya, kemudian aku iseng mengajaknya bercakap-cakap. Dia bercerita bahwa keluarganya telah meninggal dunia dan ia hanya tinggal bersama seorang cucunya. Darinya, Kakek Siman mengajarkanku sesuatu, Bi. Aku pikir tidak masalah jika aku dengan Kak Galendra berjauhan asalkan dia masih ada,"

"Ternyata putri Bia ini sudah dewasa, ya?" ujar Bia kemudian. 

Tak lama Bia kemudian melangkahkan kedua kakinya keluar dari kamarku. Membiarkanku menikmati kesendiriannya dan apa pun  yang dirasakannya setelah pembelajaran itu.  Tak berselang lama, sepeninggal Bia keluar dari kamar, tanganku mulai menjulur ke depan mengambil cangkir kosong lalu menuangkan cairan pekat berwarna cokelat itu ke dalam cangkir hingga hampir penuh.  Menikmati segelas  demi segelas cokelat panas itu lalu, sesekali mencelupkan biskuit susu ke dalamnya hingga sedikit basah baru kemudian melahapnya perlahan. 

Perlahan aku mulai mencerna apa-apa yang tertulis di dalam surat yang seminggu lalu itu kubuka. Kugenggam dan kubaca hingga hatiku seakan remuk. Aku tak bisa berhenti membaca setiap kalimatnya. Seperti magis untukku.

“Teruslah mendekat pada Allah, berzikir sebagaimana aku mengenalmu dahulu.”

Begitu yang dia tulis di awal, lalu ditutup dengan sangat sempurna. 

“Semoga kebahagiaan tak pernah meninggalkanmu sedetik pun. Seperti apa pun ujiannya, kemenangan adalah kebahagiaan, Insya Allah.” 

Begitulah balasan surat yang kutulis pada laki-laki yang menjadi penentramku itu. Lagi-lagi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menunjukkan kasih sayang-Nya kepadaku. Dia tak membiarkan diri ini terjerembap dalam rasa duka meski hanya setitik, persis seperti harapan Galendra. 

Tidak banyak kalimat yang aku tulis saat itu.  Meski hatiku sempat remuk, tetapi aku tak ingin  membebaninya dengan menulis kalimat-kalimat berduka lebih banyak lagi. 

Aku telah selesai membenarkan posisi dudukku di kursi roda. Hari ini aku hendak berkeliling sambil melihat-lihat keadaan di luar. Maklumi saja, kehidupanku hanya seputar kamar dan di dalam rumah. Dan mengenai tulisan-tulisanku, hanya kukirim lewat surel pada penerbit yang bekerja sama denganku. 

Matahari semakin panas saat itu. Aku memilih berteduh di bawah pohon akasia. Kugerakkan perlahan kendaraan yang sudah menemaniku puluhan jam, hari, dan bulan berganti. Nyaris selama hidup aku mendudukinya. Hingga benar-benar berada persis di bawahnya. Hal ini kulakukan agar tidak menganggu pengguna jalan. Sejak remaja aku terbiasa mandiri. Biaibukumengajari untuk melakukan sesuatu secara mandiri. “Jangan meminta bantuan jika kamu bisa membantu dirimu sendiri. begitu pesannya kala itu.  

Tak heran, jika aku bisa berada di jalan raya seperti sekarang ini tanpa rasa takut dan khawatir. Aku mengembuskan napas dalam-dalam, menghirup udara sembari menebar pandangan menikmati lalu-lalang kendaraan. Untuk beberapa saat aku bergeming, suasana jalanan ini masih sama seperti kenanganku. 

"Dibeli. Dibeli. Opak singkongnya, Neng! Enak, renyah, dan gurih," Suara pedagang asongan menawarkan dagangannya, menginterupsi dan memecah lamunanku. 

Aku menoleh ke arah suara. Kakek tua itu tersenyum. "Oh iya, Kek, berapa? Sebungkus?"

Kakek tua itu pun menganggukkan kepalanya. "Murah, Neng, lima ribu aja sebungkus. Ada rasa asin, pedas, dan manis. Mau yang apa dan berapa bungkus?"

"Tiga bungkus, Kek. Masing-masing satu rasa." jawabku. 

Kakek itu pun dengan segera mengambil dan membungkus apa yang kupesan. Lalu memberikannya padaku. Setelah sama-sama berucap terima kasih, kami pun saling berkenalan dan mengobrol. Lebih tepatnya aku yang bertanya.

Kakek itu bernama Siman. Berumur tujuh puluh tahun. Istrinya telah lama meninggal dunia, juga seorang anaknya yang juga meninggal dunia setahun lalu karena sebuah kecelakaan di tempat kerja.  Lalu sekarang hidup bersama cucunya yang berusia belasan. Kakek Siman juga bercerita padaku, mulanya dia teramat sedih karena ditinggal orang-orang yang amat dicintainya.  Kemudian dia berpikir, hidupnya harus tetap berjalan dan bermanfaat sampai akhir.

Lagipula, dirinya masih memiliki seorang cucu yang harus ia rawat dan besarkan sampai ajal menjemput.  Mengajarinya menjadi orang yang bisa berdiri sendiri dan tetap beriman kepada Yang Maha Kuasa. 

Kisah Kakek Siman secara tak langsung memberikanku sebuah pembelajaran untuk meneruskan hidup sampai akhir juga. Tak apa Galendra pergi jauh asal dia masih ada.  Masih bisa kudengar  kabar, suara, canda dan guraunya, yang hanya untuk melengkungkan senyumku.  Pada akhirnya aku paham, bukan jarak yang penting. Tapi, kebersamaan dalam berbagai bentuk. Ah iya, sejenak aku lupa jika aku sendiri yang mengatakan itu dalam suratku, seminggu lalu.

Bukankah saat aku menulisnya, apa pun  makna dan artinya, tak sedikit pun aku menyinggung tentang jarak yang membentang? Bukankah aku sudah menerimanya dengan ikhlas? Mengapa aku seperti seseorang yang sedang mengeluh, menampakkan wajah yang sedih? Tidakkah aku malu dengan Kakek Siman yang semestinya menampakkan kedukaan, tapi dia malah tersenyum dan memilih melangkah lagi? Melanjutkan apa yang ada, bukan memikirkan apa yang pernah ada. 

Aku tidak tahu bagian mana yang bisa membuatku jatuh hati kepadanya. Apakah mata sipitnya yang sebening lautan? Rambutnya yang lurus dan nampak lucu di mataku? Tubuhnya yang gagah? Bibir tipisnya yang menceritakan hal-hal terbaik yang pernah dilewatinya? Atau susunan giginya yang berbaris rapi sewaktu tersenyum? Atau ... aku tak mengerti. Tapi kadang, dalam hidup tidak semua hal punya jawaban pasti. Namanya juga perasaan, tidak sepenuhnya melibatkan pikiran, yang anehnya selalu mematikan logika. 

Hanya tinggal hitungan hari, Desember akan segera berakhir. Sepekan lagi tahun ini berganti, dan bulan pun juga memasuki tahun ke empat. Tanpa dia. Ingar-bingar suara klakson kendaraan bermotor berganti-gantian tumpang-tindih, mengiringi perjalanan menuju pulang. Tak ada percakapan menarik lainnya setelah Kakek Siman.  Aku bahkan sengaja melambat-lambatkan kendaraan yang kubawa, berharap menemukan satu pelajaran lagi, namun tetap tak kutemukan percakapan lain yang bermakna. 

Kembali mengasingkan diri di kamar, setelah berbasa-basi dengan Bia di sudut ruangan yang disulap seperti layaknya ruang bioskop. Aku hanya bergeming melangkah masuk menuju kamar, kuarahkan badanku menuju meja kursi lengkap dengan lampu meja di sana. Juga di dekat jendela, ada laptop yang tergeletak diam, menungguku menggunakannya. Tanganku sejak tadi hanya membuka layar dan menyentuh mouse. Sementara tatapan mataku kosong tertuju pemandangan senja. 

Membiarkan memoriku berputar kembali pada hal-hal terbaik sebelum jarak itu ada. Bagaimana kisah ini dimulai. Sudut bibirku terangkat ke atas membentuk senyuman.

"Senang akhirnya senyum itu terbit. Juga senyuman yang asli, bukan pura-pura." celetuk Bia yang muncul bersama dengan secangkir cokelat panas dan beberapa keping biskuit susu. "Seharian ini pergi ke mana? Cari angin kok lama sampai sore gini. Bia  khawatir dan ingin menyusulmu menyusuri jalan bersama Pak Darman. Kamu tahu? Supir kita itu, sampai menyuruh anaknya kemari untuk membantu mencarimu jika sampai gelap kamu tidak kembali, "

Aku pura-pura merajuk di depan Bia. "Maafin Zia, Bi, tadi itu Zia terlalu asyik mengobrol dengan seorang pedagang opak singkong pinggir jalan sampai lupa waktu. Kemudian  juga Zia sengaja melambat-lambatkan perjalanan pulang, jadi makin lama, deh,"

"Pedagang opak apa maksudmu?" tanya Bia antusias. 

"Waktu aku di pinggir jalan menyejukkan diri istirahat di bawah pohon akasia. Ada seorang pedagang yang menawarkan dagangannya, kemudian aku iseng mengajaknya bercakap-cakap. Dia bercerita bahwa keluarganya telah meninggal dunia dan ia hanya tinggal bersama seorang cucunya. Darinya, Kakek Siman mengajarkanku sesuatu, Bi. Aku pikir tidak masalah jika aku dengan Kak Galendra berjauhan asalkan dia masih ada,"

"Ternyata putri Bia ini sudah dewasa, ya?" ujar Bia kemudian. 

Tak lama Bia kemudian melangkahkan kedua kakinya keluar dari kamarku. Membiarkanku menikmati kesendiriannya dan apa pun  yang dirasakannya setelah pembelajaran itu.  Tak berselang lama, sepeninggal Bia keluar dari kamar, tanganku mulai menjulur ke depan mengambil cangkir kosong lalu menuangkan cairan pekat berwarna cokelat itu ke dalam cangkir hingga hampir penuh.  Menikmati segelas  demi segelas cokelat panas itu lalu, sesekali mencelupkan biskuit susu ke dalamnya hingga sedikit basah baru kemudian melahapnya perlahan. 

Dan satu wajah itu muncul di malamku. Diam di sela-sela berlian yang bertaburan di lautan angkasa, mengajakku kembali ke masa itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status