Perlahan aku mulai mencerna apa-apa yang tertulis di dalam surat yang seminggu lalu itu kubuka. Kugenggam dan kubaca hingga hatiku seakan remuk. Aku tak bisa berhenti membaca setiap kalimatnya. Seperti magis untukku.
“Teruslah mendekat pada Allah, berzikir sebagaimana aku mengenalmu dahulu.”Begitu yang dia tulis di awal, lalu ditutup dengan sangat sempurna. “Semoga kebahagiaan tak pernah meninggalkanmu sedetik pun. Seperti apa pun ujiannya, kemenangan adalah kebahagiaan, Insya Allah.” Begitulah balasan surat yang kutulis pada laki-laki yang menjadi penentramku itu. Lagi-lagi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menunjukkan kasih sayang-Nya kepadaku. Dia tak membiarkan diri ini terjerembap dalam rasa duka meski hanya setitik, persis seperti harapan Galendra. Tidak banyak kalimat yang aku tulis saat itu. Meski hatiku sempat remuk, tetapi aku tak ingin membebaninya dengan menulis kalimat-kalimat berduka lebih banyak lagi. Aku telah selesai membenarkan posisi dudukku di kursi roda. Hari ini aku hendak berkeliling sambil melihat-lihat keadaan di luar. Maklumi saja, kehidupanku hanya seputar kamar dan di dalam rumah. Dan mengenai tulisan-tulisanku, hanya kukirim lewat surel pada penerbit yang bekerja sama denganku. Matahari semakin panas saat itu. Aku memilih berteduh di bawah pohon akasia. Kugerakkan perlahan kendaraan yang sudah menemaniku puluhan jam, hari, dan bulan berganti. Nyaris selama hidup aku mendudukinya. Hingga benar-benar berada persis di bawahnya. Hal ini kulakukan agar tidak menganggu pengguna jalan. Sejak remaja aku terbiasa mandiri. Biaibukumengajari untuk melakukan sesuatu secara mandiri. “Jangan meminta bantuan jika kamu bisa membantu dirimu sendiri. begitu pesannya kala itu. Tak heran, jika aku bisa berada di jalan raya seperti sekarang ini tanpa rasa takut dan khawatir. Aku mengembuskan napas dalam-dalam, menghirup udara sembari menebar pandangan menikmati lalu-lalang kendaraan. Untuk beberapa saat aku bergeming, suasana jalanan ini masih sama seperti kenanganku. "Dibeli. Dibeli. Opak singkongnya, Neng! Enak, renyah, dan gurih," Suara pedagang asongan menawarkan dagangannya, menginterupsi dan memecah lamunanku. Aku menoleh ke arah suara. Kakek tua itu tersenyum. "Oh iya, Kek, berapa? Sebungkus?"Kakek tua itu pun menganggukkan kepalanya. "Murah, Neng, lima ribu aja sebungkus. Ada rasa asin, pedas, dan manis. Mau yang apa dan berapa bungkus?""Tiga bungkus, Kek. Masing-masing satu rasa." jawabku. Kakek itu pun dengan segera mengambil dan membungkus apa yang kupesan. Lalu memberikannya padaku. Setelah sama-sama berucap terima kasih, kami pun saling berkenalan dan mengobrol. Lebih tepatnya aku yang bertanya.Kakek itu bernama Siman. Berumur tujuh puluh tahun. Istrinya telah lama meninggal dunia, juga seorang anaknya yang juga meninggal dunia setahun lalu karena sebuah kecelakaan di tempat kerja. Lalu sekarang hidup bersama cucunya yang berusia belasan. Kakek Siman juga bercerita padaku, mulanya dia teramat sedih karena ditinggal orang-orang yang amat dicintainya. Kemudian dia berpikir, hidupnya harus tetap berjalan dan bermanfaat sampai akhir.Lagipula, dirinya masih memiliki seorang cucu yang harus ia rawat dan besarkan sampai ajal menjemput. Mengajarinya menjadi orang yang bisa berdiri sendiri dan tetap beriman kepada Yang Maha Kuasa. Kisah Kakek Siman secara tak langsung memberikanku sebuah pembelajaran untuk meneruskan hidup sampai akhir juga. Tak apa Galendra pergi jauh asal dia masih ada. Masih bisa kudengar kabar, suara, canda dan guraunya, yang hanya untuk melengkungkan senyumku. Pada akhirnya aku paham, bukan jarak yang penting. Tapi, kebersamaan dalam berbagai bentuk. Ah iya, sejenak aku lupa jika aku sendiri yang mengatakan itu dalam suratku, seminggu lalu.Bukankah saat aku menulisnya, apa pun makna dan artinya, tak sedikit pun aku menyinggung tentang jarak yang membentang? Bukankah aku sudah menerimanya dengan ikhlas? Mengapa aku seperti seseorang yang sedang mengeluh, menampakkan wajah yang sedih? Tidakkah aku malu dengan Kakek Siman yang semestinya menampakkan kedukaan, tapi dia malah tersenyum dan memilih melangkah lagi? Melanjutkan apa yang ada, bukan memikirkan apa yang pernah ada. Aku tidak tahu bagian mana yang bisa membuatku jatuh hati kepadanya. Apakah mata sipitnya yang sebening lautan? Rambutnya yang lurus dan nampak lucu di mataku? Tubuhnya yang gagah? Bibir tipisnya yang menceritakan hal-hal terbaik yang pernah dilewatinya? Atau susunan giginya yang berbaris rapi sewaktu tersenyum? Atau ... aku tak mengerti. Tapi kadang, dalam hidup tidak semua hal punya jawaban pasti. Namanya juga perasaan, tidak sepenuhnya melibatkan pikiran, yang anehnya selalu mematikan logika. Hanya tinggal hitungan hari, Desember akan segera berakhir. Sepekan lagi tahun ini berganti, dan bulan pun juga memasuki tahun ke empat. Tanpa dia. Ingar-bingar suara klakson kendaraan bermotor berganti-gantian tumpang-tindih, mengiringi perjalanan menuju pulang. Tak ada percakapan menarik lainnya setelah Kakek Siman. Aku bahkan sengaja melambat-lambatkan kendaraan yang kubawa, berharap menemukan satu pelajaran lagi, namun tetap tak kutemukan percakapan lain yang bermakna. Kembali mengasingkan diri di kamar, setelah berbasa-basi dengan Bia di sudut ruangan yang disulap seperti layaknya ruang bioskop. Aku hanya bergeming melangkah masuk menuju kamar, kuarahkan badanku menuju meja kursi lengkap dengan lampu meja di sana. Juga di dekat jendela, ada laptop yang tergeletak diam, menungguku menggunakannya. Tanganku sejak tadi hanya membuka layar dan menyentuh mouse. Sementara tatapan mataku kosong tertuju pemandangan senja. Membiarkan memoriku berputar kembali pada hal-hal terbaik sebelum jarak itu ada. Bagaimana kisah ini dimulai. Sudut bibirku terangkat ke atas membentuk senyuman."Senang akhirnya senyum itu terbit. Juga senyuman yang asli, bukan pura-pura." celetuk Bia yang muncul bersama dengan secangkir cokelat panas dan beberapa keping biskuit susu. "Seharian ini pergi ke mana? Cari angin kok lama sampai sore gini. Bia khawatir dan ingin menyusulmu menyusuri jalan bersama Pak Darman. Kamu tahu? Supir kita itu, sampai menyuruh anaknya kemari untuk membantu mencarimu jika sampai gelap kamu tidak kembali, "Aku pura-pura merajuk di depan Bia. "Maafin Zia, Bi, tadi itu Zia terlalu asyik mengobrol dengan seorang pedagang opak singkong pinggir jalan sampai lupa waktu. Kemudian juga Zia sengaja melambat-lambatkan perjalanan pulang, jadi makin lama, deh,""Pedagang opak apa maksudmu?" tanya Bia antusias. "Waktu aku di pinggir jalan menyejukkan diri istirahat di bawah pohon akasia. Ada seorang pedagang yang menawarkan dagangannya, kemudian aku iseng mengajaknya bercakap-cakap. Dia bercerita bahwa keluarganya telah meninggal dunia dan ia hanya tinggal bersama seorang cucunya. Darinya, Kakek Siman mengajarkanku sesuatu, Bi. Aku pikir tidak masalah jika aku dengan Kak Galendra berjauhan asalkan dia masih ada,""Ternyata putri Bia ini sudah dewasa, ya?" ujar Bia kemudian. Tak lama Bia kemudian melangkahkan kedua kakinya keluar dari kamarku. Membiarkanku menikmati kesendiriannya dan apa pun yang dirasakannya setelah pembelajaran itu. Tak berselang lama, sepeninggal Bia keluar dari kamar, tanganku mulai menjulur ke depan mengambil cangkir kosong lalu menuangkan cairan pekat berwarna cokelat itu ke dalam cangkir hingga hampir penuh. Menikmati segelas demi segelas cokelat panas itu lalu, sesekali mencelupkan biskuit susu ke dalamnya hingga sedikit basah baru kemudian melahapnya perlahan.Perlahan aku mulai mencerna apa-apa yang tertulis di dalam surat yang seminggu lalu itu kubuka. Kugenggam dan kubaca hingga hatiku seakan remuk. Aku tak bisa berhenti membaca setiap kalimatnya. Seperti magis untukku.
“Teruslah mendekat pada Allah, berzikir sebagaimana aku mengenalmu dahulu.”Begitu yang dia tulis di awal, lalu ditutup dengan sangat sempurna. “Semoga kebahagiaan tak pernah meninggalkanmu sedetik pun. Seperti apa pun ujiannya, kemenangan adalah kebahagiaan, Insya Allah.” Begitulah balasan surat yang kutulis pada laki-laki yang menjadi penentramku itu. Lagi-lagi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menunjukkan kasih sayang-Nya kepadaku. Dia tak membiarkan diri ini terjerembap dalam rasa duka meski hanya setitik, persis seperti harapan Galendra. Tidak banyak kalimat yang aku tulis saat itu. Meski hatiku sempat remuk, tetapi aku tak ingin membebaninya dengan menulis kalimat-kalimat berduka lebih banyak lagi. Aku telah selesai membenarkan posisi dudukku di kursi roda. Hari ini aku hendak berkeliling sambil melihat-lihat keadaan di luar. Maklumi saja, kehidupanku hanya seputar kamar dan di dalam rumah. Dan mengenai tulisan-tulisanku, hanya kukirim lewat surel pada penerbit yang bekerja sama denganku. Matahari semakin panas saat itu. Aku memilih berteduh di bawah pohon akasia. Kugerakkan perlahan kendaraan yang sudah menemaniku puluhan jam, hari, dan bulan berganti. Nyaris selama hidup aku mendudukinya. Hingga benar-benar berada persis di bawahnya. Hal ini kulakukan agar tidak menganggu pengguna jalan. Sejak remaja aku terbiasa mandiri. Biaibukumengajari untuk melakukan sesuatu secara mandiri. “Jangan meminta bantuan jika kamu bisa membantu dirimu sendiri. begitu pesannya kala itu. Tak heran, jika aku bisa berada di jalan raya seperti sekarang ini tanpa rasa takut dan khawatir. Aku mengembuskan napas dalam-dalam, menghirup udara sembari menebar pandangan menikmati lalu-lalang kendaraan. Untuk beberapa saat aku bergeming, suasana jalanan ini masih sama seperti kenanganku. "Dibeli. Dibeli. Opak singkongnya, Neng! Enak, renyah, dan gurih," Suara pedagang asongan menawarkan dagangannya, menginterupsi dan memecah lamunanku. Aku menoleh ke arah suara. Kakek tua itu tersenyum. "Oh iya, Kek, berapa? Sebungkus?"Kakek tua itu pun menganggukkan kepalanya. "Murah, Neng, lima ribu aja sebungkus. Ada rasa asin, pedas, dan manis. Mau yang apa dan berapa bungkus?""Tiga bungkus, Kek. Masing-masing satu rasa." jawabku. Kakek itu pun dengan segera mengambil dan membungkus apa yang kupesan. Lalu memberikannya padaku. Setelah sama-sama berucap terima kasih, kami pun saling berkenalan dan mengobrol. Lebih tepatnya aku yang bertanya.Kakek itu bernama Siman. Berumur tujuh puluh tahun. Istrinya telah lama meninggal dunia, juga seorang anaknya yang juga meninggal dunia setahun lalu karena sebuah kecelakaan di tempat kerja. Lalu sekarang hidup bersama cucunya yang berusia belasan. Kakek Siman juga bercerita padaku, mulanya dia teramat sedih karena ditinggal orang-orang yang amat dicintainya. Kemudian dia berpikir, hidupnya harus tetap berjalan dan bermanfaat sampai akhir.Lagipula, dirinya masih memiliki seorang cucu yang harus ia rawat dan besarkan sampai ajal menjemput. Mengajarinya menjadi orang yang bisa berdiri sendiri dan tetap beriman kepada Yang Maha Kuasa. Kisah Kakek Siman secara tak langsung memberikanku sebuah pembelajaran untuk meneruskan hidup sampai akhir juga. Tak apa Galendra pergi jauh asal dia masih ada. Masih bisa kudengar kabar, suara, canda dan guraunya, yang hanya untuk melengkungkan senyumku. Pada akhirnya aku paham, bukan jarak yang penting. Tapi, kebersamaan dalam berbagai bentuk. Ah iya, sejenak aku lupa jika aku sendiri yang mengatakan itu dalam suratku, seminggu lalu.Bukankah saat aku menulisnya, apa pun makna dan artinya, tak sedikit pun aku menyinggung tentang jarak yang membentang? Bukankah aku sudah menerimanya dengan ikhlas? Mengapa aku seperti seseorang yang sedang mengeluh, menampakkan wajah yang sedih? Tidakkah aku malu dengan Kakek Siman yang semestinya menampakkan kedukaan, tapi dia malah tersenyum dan memilih melangkah lagi? Melanjutkan apa yang ada, bukan memikirkan apa yang pernah ada. Aku tidak tahu bagian mana yang bisa membuatku jatuh hati kepadanya. Apakah mata sipitnya yang sebening lautan? Rambutnya yang lurus dan nampak lucu di mataku? Tubuhnya yang gagah? Bibir tipisnya yang menceritakan hal-hal terbaik yang pernah dilewatinya? Atau susunan giginya yang berbaris rapi sewaktu tersenyum? Atau ... aku tak mengerti. Tapi kadang, dalam hidup tidak semua hal punya jawaban pasti. Namanya juga perasaan, tidak sepenuhnya melibatkan pikiran, yang anehnya selalu mematikan logika. Hanya tinggal hitungan hari, Desember akan segera berakhir. Sepekan lagi tahun ini berganti, dan bulan pun juga memasuki tahun ke empat. Tanpa dia. Ingar-bingar suara klakson kendaraan bermotor berganti-gantian tumpang-tindih, mengiringi perjalanan menuju pulang. Tak ada percakapan menarik lainnya setelah Kakek Siman. Aku bahkan sengaja melambat-lambatkan kendaraan yang kubawa, berharap menemukan satu pelajaran lagi, namun tetap tak kutemukan percakapan lain yang bermakna. Kembali mengasingkan diri di kamar, setelah berbasa-basi dengan Bia di sudut ruangan yang disulap seperti layaknya ruang bioskop. Aku hanya bergeming melangkah masuk menuju kamar, kuarahkan badanku menuju meja kursi lengkap dengan lampu meja di sana. Juga di dekat jendela, ada laptop yang tergeletak diam, menungguku menggunakannya. Tanganku sejak tadi hanya membuka layar dan menyentuh mouse. Sementara tatapan mataku kosong tertuju pemandangan senja. Membiarkan memoriku berputar kembali pada hal-hal terbaik sebelum jarak itu ada. Bagaimana kisah ini dimulai. Sudut bibirku terangkat ke atas membentuk senyuman."Senang akhirnya senyum itu terbit. Juga senyuman yang asli, bukan pura-pura." celetuk Bia yang muncul bersama dengan secangkir cokelat panas dan beberapa keping biskuit susu. "Seharian ini pergi ke mana? Cari angin kok lama sampai sore gini. Bia khawatir dan ingin menyusulmu menyusuri jalan bersama Pak Darman. Kamu tahu? Supir kita itu, sampai menyuruh anaknya kemari untuk membantu mencarimu jika sampai gelap kamu tidak kembali, "Aku pura-pura merajuk di depan Bia. "Maafin Zia, Bi, tadi itu Zia terlalu asyik mengobrol dengan seorang pedagang opak singkong pinggir jalan sampai lupa waktu. Kemudian juga Zia sengaja melambat-lambatkan perjalanan pulang, jadi makin lama, deh,""Pedagang opak apa maksudmu?" tanya Bia antusias. "Waktu aku di pinggir jalan menyejukkan diri istirahat di bawah pohon akasia. Ada seorang pedagang yang menawarkan dagangannya, kemudian aku iseng mengajaknya bercakap-cakap. Dia bercerita bahwa keluarganya telah meninggal dunia dan ia hanya tinggal bersama seorang cucunya. Darinya, Kakek Siman mengajarkanku sesuatu, Bi. Aku pikir tidak masalah jika aku dengan Kak Galendra berjauhan asalkan dia masih ada,""Ternyata putri Bia ini sudah dewasa, ya?" ujar Bia kemudian. Tak lama Bia kemudian melangkahkan kedua kakinya keluar dari kamarku. Membiarkanku menikmati kesendiriannya dan apa pun yang dirasakannya setelah pembelajaran itu. Tak berselang lama, sepeninggal Bia keluar dari kamar, tanganku mulai menjulur ke depan mengambil cangkir kosong lalu menuangkan cairan pekat berwarna cokelat itu ke dalam cangkir hingga hampir penuh. Menikmati segelas demi segelas cokelat panas itu lalu, sesekali mencelupkan biskuit susu ke dalamnya hingga sedikit basah baru kemudian melahapnya perlahan. Dan satu wajah itu muncul di malamku. Diam di sela-sela berlian yang bertaburan di lautan angkasa, mengajakku kembali ke masa itu.Aku duduk di bagian paling depan kafe Gartenhaus. Dengan beberapa manusia yang sedang melakukan sesuatu pekerjaan atau berbincang-bincang dengan lawan bicaranya. Aku pun tak bisa mendengar apa-apa. Kafe ini terlalu bising buatku. Kalau saja aku tidak lapar, aku tidak akan masuk ke dalam kafe ini. Aku lebih suka kafe yang sepi tapi memiliki pemandangan yang indah.Tiba tiba lelaki di samping mejaku itu berdiri menghampiri. Aku sedikit kaget tapi coba menutupinya dengan pura-pura menulis sesuatu di laptop. "Maaf ada sesuatu yang terjatuh dari mejamu."Kulihat tangannya memanjang ke arah bawah, tepat di kaki mejaku. Rupanya buku catatanku terjatuh dan aku tidak menyadarinya, tergeletak begitu saja. Namun aku hanya bisa menunduk, tak berani menatap matanya. Aku canggung jika seperti ini, tapi lama-kelamaan kutegakkan kepalaku setelah buku catatan itu aku pegang. Aku pikir tak sopan jika aku tak memandang lawan bicaraku."Sendirian saja, Mbak?" ta
Langit-langit putih yang semula samar, kini terlihat jelas. Kudengar suara berbisik di sekitarku, membuat kepalaku yang sakit semakin berdenyut-berdenyut.“Zia.” Seseorang menyadari aku sudah sadar. Suaranya terdengar samar, tapi aku yakin itu suara Bia. Setelah itu bunyi gesekan sepatu dan kaki-kaki kursi kayu pada lantai membuat ngilu. Satu per satu wajah yang sebagian kukenal muncul, melongok di atasku.Aku bisa melihat air mata menggenang di pelupuk mata Bia.Pandanganku beralih memandang dokter dan seorang perawat di sisi ranjang.Pikiranku masih berantakan membentuk keping-keping memori yang tersebar acak dalam otak, menyusunnya pelan-pelan.Bau obat-obatan dan karbol terasa mengganggu. Sekujur tubuhku terasa kaku dan pegal luar biasa. Kurasakan ada tangan menggenggam tanganku.Kak Galendra ...Aku membalas genggamannya semampuku. Kutatap sepasang mata teduhnya yang sedang mengamatiku. Aku bertanya tanpa suara
Pagi saat fajar bersinar terang beberapa minggu kemudian dia memberiku sebuah surat yang dia kirim lewat perantara seorang kurir bertubuh tambun aku berkirakan usianya baru setengah abad lebih sedikit. Ada kerutan yang nampak di wajah bapak itu sayang aku tak sempat menanyakan namanya juga tak sempat mengajaknya duduk sekedar menikmati pisang goreng buatan ibu panti asuhan yang baru digoreng. Belum juga aku buka surat itu ,ibu dan bapak panti memanggil terpaksa kutunda keinginanku untuk membacanya"Galendra kemarilah nak bapak - ibu ingin bicara" pintanya Iya! Pak sahutku lalu bergegas masuk ke ruang makan bergaya minimalis dengan hanya ada meja dan kursi dari kayu.Aku menyeret kursi hendak kugunakan untuk duduk diantara bapak sementara ibu masih sibuk di dapur mencuci mangkok kotor bekas membuat kudapan pisang goreng. Apa kamu pulang ingin membicarakan tentang gadis itu Galendra? tanya Pak Ma
Berbeda dengan Galendra dengan keriuhan persiapan-persiapan pernikahan. Di sini, di sebuah bangunan tanpa dinding, di halaman depan rumah, sebuah bangunan yang lebih pantas disebut saung karena semua tiangnya terbuat dari bambu, hingga angin dengan leluasa menyapu tubuhku. Yang malam ini hanya memakai kaus lengan panjang tipis berbahan parasut. Terpaku dalam alam pikiran. Galendra sosok yang lebih dari sekadar baik, hadir memberi warna dalam kehidupanku, mengisi hari-hari dengan keinginan dan harapan.Lelaki itu, seperti magis penyemangat dalam keseharian, pemandu dalam perbaikan diri, juga penenteram dalam kekalutan.Aku mengenal Galendra dengan sangat baik. Sejauh ini dia bukan tipikal pria yang suka bermain dengan perasaan tanpa keyakinan. Watak, kebiasaan, bahkan semua tentangnya pun Insya Allah aku tak salah.Dan apa yang dia katakan tempo hari, layak aku percayai, aku aminkan, semoga menjadi kenyataan. Toh, semua persiapan menuju ik
Di bumi Allah, di bumi cinta. “Pada sebuah laju waktu yang melangkah maju, akan ada saatnya kita bertemu dengan seseorang yang mengubah hidup untuk selamanya. dan bagiku, Kak Galendra adalah seseorang itu.Setelah aku menikah denganmu beberapa minggu yang lalu, malam malamku hanya berisi manis-asam berganti-gantian.Dahulu, sebelum kulabuhkan hatiku padamu, lalu menerima ajakanmu untuk hidup bersama, hari-hariku berjalan datar.Tanpa agenda memikirkan merindu atau menantikan sesesuatu.Lalu kamu datang.Sapaan lembut dengan senyuman.Kamu menjadi seseorang yang mencairkan kebekuan hati.Membuat suasana hati tak menentu.Maka izinkanlah aku menulis tentangmu untuk kesekian kalinya.Meski aku tak tahu apakah kisah ini hanya selesai di tengah perjalanan, ataukah kisah ini sampai mencapai puncaknya.Aku hanya ingin mengabadikan kamu
Tepat pukul sepuluh malam, Galendra tiba di rumah kontrakannya. Dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan, selang satu jam kemudian, dia membaca e-mail dari sang istri, Zia Mysha Muntazar di laptop.Satu sisi, hatinya, dia merasa lega, dan di sisi lainnya dia merasa sedih karena membuat Zia menunggu dirinya yang entah kapan bisa pulang atau entah kapan hidup bersamanya di Kota Pahlawan ini, mengingat tabungannya masih kosong, belum bisa untuk membeli atau membangun rumah impian.Galendra terdiam sesaat. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Allah, aku hanya hamba-Mu yang tidak memiliki apa pun kecuali Rahmat-Mu, maka mudahkanlah segala urusanku. Aku hanya ingin membahagiakan istriku sebagaimana yang kujanjikan kepada-Mu.”Galendra mengembuskan napas dalam-dalam. Tiap lafaz doa itu membekas dan terasa mengalir dari kerongkongan hingga merasuk ke dada. Ketenangan perlahan Galendra rasakan hingga akhirnya ia tertidur lelap.***
Berada di Jalanmu Membuatku Merasa NyamanAkhirnya di sinilah kami berada. Duduk di jok mobil milik keluarga Zia. Bertolak menuju kota Surabaya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi sewaktu kami menumpang mobil berjenis mini bus ini. Kalau bukan karena Bia bersikeras memaksa kami menumpang kendaraan ini, sudah pasti aku menolaknya karena aku tidak ingin merepotkan siapa pun. Tetapi, jika dipikir ulang, memang ada baiknya menyetujui permintaan Ibu mertuaku ini. Mengingat kondisi Zia yang istimewa, sulit menemukan kendaraan yang sesuai. Belum lagi bila orang-orang menatapnya dengan iba atau tatapan aneh yang harusnya biasa saja.Kadang kala, semua itu menguji kesabaran dan keikhlasanku. Tak jarang juga membuat darahku mendidih menahan emosi saat seseorang menyebutnya sebagai gadis cacat, atau ketika dengan sengaja orang-orang itu membicarakannya di depan mukaku.Walaupun sejatinya semua omongan itu tak berarti apa-apa selain sebagai warna-warni hidup, pahit-manis,
***Akhir bulan ini harus ada naskah yang terselesaikan dengan baik dan terkirim ke meja penerbit, meskipun aku harus menulis di mana saja berada. Kali ini aku garap kehidupan rumah tanggaku dalam novel Married? Insya Allah. Menggarap naskah ini benar-benar menguras pikiran dan tenaga. Aku harus ekstra serius dan hati-hati, mengingat ini adalah kehidupan pribadi yang aku tuangkan dalam tulisan. Mengeditnya berkali-kali, membongkar-pasang, mencari kata, kalimat-kalimat yang mudah dicerna, dipahami. Mungkin aku masih terpengaruh oleh cibiran pembacaku. Mereka bilang bahasaku terlalu kaku dan kurang luwes hingga sulit dimengerti.Menulis sebuah buku terkadang terasa sangat menjemukan. Namun, ketika rasa jemu itu bisa teratasi, kegiatan itu akan berubah menjadi sebuah rekreasi yang mengasyikkan.Hari ini jadwalku sampai jam sepuluh pagi. Setelah itu aku harus mengirim naskah ini lantas bersiap untuk pulang ke Malang. Kali ini tanpa diantar karena Kak Gal
***Akhir bulan ini harus ada naskah yang terselesaikan dengan baik dan terkirim ke meja penerbit, meskipun aku harus menulis di mana saja berada. Kali ini aku garap kehidupan rumah tanggaku dalam novel Married? Insya Allah. Menggarap naskah ini benar-benar menguras pikiran dan tenaga. Aku harus ekstra serius dan hati-hati, mengingat ini adalah kehidupan pribadi yang aku tuangkan dalam tulisan. Mengeditnya berkali-kali, membongkar-pasang, mencari kata, kalimat-kalimat yang mudah dicerna, dipahami. Mungkin aku masih terpengaruh oleh cibiran pembacaku. Mereka bilang bahasaku terlalu kaku dan kurang luwes hingga sulit dimengerti.Menulis sebuah buku terkadang terasa sangat menjemukan. Namun, ketika rasa jemu itu bisa teratasi, kegiatan itu akan berubah menjadi sebuah rekreasi yang mengasyikkan.Hari ini jadwalku sampai jam sepuluh pagi. Setelah itu aku harus mengirim naskah ini lantas bersiap untuk pulang ke Malang. Kali ini tanpa diantar karena Kak Gal
Berada di Jalanmu Membuatku Merasa NyamanAkhirnya di sinilah kami berada. Duduk di jok mobil milik keluarga Zia. Bertolak menuju kota Surabaya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi sewaktu kami menumpang mobil berjenis mini bus ini. Kalau bukan karena Bia bersikeras memaksa kami menumpang kendaraan ini, sudah pasti aku menolaknya karena aku tidak ingin merepotkan siapa pun. Tetapi, jika dipikir ulang, memang ada baiknya menyetujui permintaan Ibu mertuaku ini. Mengingat kondisi Zia yang istimewa, sulit menemukan kendaraan yang sesuai. Belum lagi bila orang-orang menatapnya dengan iba atau tatapan aneh yang harusnya biasa saja.Kadang kala, semua itu menguji kesabaran dan keikhlasanku. Tak jarang juga membuat darahku mendidih menahan emosi saat seseorang menyebutnya sebagai gadis cacat, atau ketika dengan sengaja orang-orang itu membicarakannya di depan mukaku.Walaupun sejatinya semua omongan itu tak berarti apa-apa selain sebagai warna-warni hidup, pahit-manis,
Tepat pukul sepuluh malam, Galendra tiba di rumah kontrakannya. Dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan, selang satu jam kemudian, dia membaca e-mail dari sang istri, Zia Mysha Muntazar di laptop.Satu sisi, hatinya, dia merasa lega, dan di sisi lainnya dia merasa sedih karena membuat Zia menunggu dirinya yang entah kapan bisa pulang atau entah kapan hidup bersamanya di Kota Pahlawan ini, mengingat tabungannya masih kosong, belum bisa untuk membeli atau membangun rumah impian.Galendra terdiam sesaat. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Allah, aku hanya hamba-Mu yang tidak memiliki apa pun kecuali Rahmat-Mu, maka mudahkanlah segala urusanku. Aku hanya ingin membahagiakan istriku sebagaimana yang kujanjikan kepada-Mu.”Galendra mengembuskan napas dalam-dalam. Tiap lafaz doa itu membekas dan terasa mengalir dari kerongkongan hingga merasuk ke dada. Ketenangan perlahan Galendra rasakan hingga akhirnya ia tertidur lelap.***
Di bumi Allah, di bumi cinta. “Pada sebuah laju waktu yang melangkah maju, akan ada saatnya kita bertemu dengan seseorang yang mengubah hidup untuk selamanya. dan bagiku, Kak Galendra adalah seseorang itu.Setelah aku menikah denganmu beberapa minggu yang lalu, malam malamku hanya berisi manis-asam berganti-gantian.Dahulu, sebelum kulabuhkan hatiku padamu, lalu menerima ajakanmu untuk hidup bersama, hari-hariku berjalan datar.Tanpa agenda memikirkan merindu atau menantikan sesesuatu.Lalu kamu datang.Sapaan lembut dengan senyuman.Kamu menjadi seseorang yang mencairkan kebekuan hati.Membuat suasana hati tak menentu.Maka izinkanlah aku menulis tentangmu untuk kesekian kalinya.Meski aku tak tahu apakah kisah ini hanya selesai di tengah perjalanan, ataukah kisah ini sampai mencapai puncaknya.Aku hanya ingin mengabadikan kamu
Berbeda dengan Galendra dengan keriuhan persiapan-persiapan pernikahan. Di sini, di sebuah bangunan tanpa dinding, di halaman depan rumah, sebuah bangunan yang lebih pantas disebut saung karena semua tiangnya terbuat dari bambu, hingga angin dengan leluasa menyapu tubuhku. Yang malam ini hanya memakai kaus lengan panjang tipis berbahan parasut. Terpaku dalam alam pikiran. Galendra sosok yang lebih dari sekadar baik, hadir memberi warna dalam kehidupanku, mengisi hari-hari dengan keinginan dan harapan.Lelaki itu, seperti magis penyemangat dalam keseharian, pemandu dalam perbaikan diri, juga penenteram dalam kekalutan.Aku mengenal Galendra dengan sangat baik. Sejauh ini dia bukan tipikal pria yang suka bermain dengan perasaan tanpa keyakinan. Watak, kebiasaan, bahkan semua tentangnya pun Insya Allah aku tak salah.Dan apa yang dia katakan tempo hari, layak aku percayai, aku aminkan, semoga menjadi kenyataan. Toh, semua persiapan menuju ik
Pagi saat fajar bersinar terang beberapa minggu kemudian dia memberiku sebuah surat yang dia kirim lewat perantara seorang kurir bertubuh tambun aku berkirakan usianya baru setengah abad lebih sedikit. Ada kerutan yang nampak di wajah bapak itu sayang aku tak sempat menanyakan namanya juga tak sempat mengajaknya duduk sekedar menikmati pisang goreng buatan ibu panti asuhan yang baru digoreng. Belum juga aku buka surat itu ,ibu dan bapak panti memanggil terpaksa kutunda keinginanku untuk membacanya"Galendra kemarilah nak bapak - ibu ingin bicara" pintanya Iya! Pak sahutku lalu bergegas masuk ke ruang makan bergaya minimalis dengan hanya ada meja dan kursi dari kayu.Aku menyeret kursi hendak kugunakan untuk duduk diantara bapak sementara ibu masih sibuk di dapur mencuci mangkok kotor bekas membuat kudapan pisang goreng. Apa kamu pulang ingin membicarakan tentang gadis itu Galendra? tanya Pak Ma
Langit-langit putih yang semula samar, kini terlihat jelas. Kudengar suara berbisik di sekitarku, membuat kepalaku yang sakit semakin berdenyut-berdenyut.“Zia.” Seseorang menyadari aku sudah sadar. Suaranya terdengar samar, tapi aku yakin itu suara Bia. Setelah itu bunyi gesekan sepatu dan kaki-kaki kursi kayu pada lantai membuat ngilu. Satu per satu wajah yang sebagian kukenal muncul, melongok di atasku.Aku bisa melihat air mata menggenang di pelupuk mata Bia.Pandanganku beralih memandang dokter dan seorang perawat di sisi ranjang.Pikiranku masih berantakan membentuk keping-keping memori yang tersebar acak dalam otak, menyusunnya pelan-pelan.Bau obat-obatan dan karbol terasa mengganggu. Sekujur tubuhku terasa kaku dan pegal luar biasa. Kurasakan ada tangan menggenggam tanganku.Kak Galendra ...Aku membalas genggamannya semampuku. Kutatap sepasang mata teduhnya yang sedang mengamatiku. Aku bertanya tanpa suara
Aku duduk di bagian paling depan kafe Gartenhaus. Dengan beberapa manusia yang sedang melakukan sesuatu pekerjaan atau berbincang-bincang dengan lawan bicaranya. Aku pun tak bisa mendengar apa-apa. Kafe ini terlalu bising buatku. Kalau saja aku tidak lapar, aku tidak akan masuk ke dalam kafe ini. Aku lebih suka kafe yang sepi tapi memiliki pemandangan yang indah.Tiba tiba lelaki di samping mejaku itu berdiri menghampiri. Aku sedikit kaget tapi coba menutupinya dengan pura-pura menulis sesuatu di laptop. "Maaf ada sesuatu yang terjatuh dari mejamu."Kulihat tangannya memanjang ke arah bawah, tepat di kaki mejaku. Rupanya buku catatanku terjatuh dan aku tidak menyadarinya, tergeletak begitu saja. Namun aku hanya bisa menunduk, tak berani menatap matanya. Aku canggung jika seperti ini, tapi lama-kelamaan kutegakkan kepalaku setelah buku catatan itu aku pegang. Aku pikir tak sopan jika aku tak memandang lawan bicaraku."Sendirian saja, Mbak?" ta
Perlahan aku mulai mencerna apa-apa yang tertulis di dalam surat yang seminggu lalu itu kubuka. Kugenggam dan kubaca hingga hatiku seakan remuk. Aku tak bisa berhenti membaca setiap kalimatnya. Seperti magis untukku.“Teruslah mendekat pada Allah, berzikir sebagaimana aku mengenalmu dahulu.”Begitu yang dia tulis di awal, lalu ditutup dengan sangat sempurna.“Semoga kebahagiaan tak pernah meninggalkanmu sedetik pun. Seperti apa pun ujiannya, kemenangan adalah kebahagiaan, Insya Allah.”Begitulah balasan surat yang kutulis pada laki-laki yang menjadi penentramku itu. Lagi-lagi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menunjukkan kasih sayang-Nya kepadaku. Dia tak membiarkan diri ini terjerembap dalam rasa duka meski hanya setitik, persis seperti harapan Galendra.Tidak banyak kalimat yang aku tulis saat itu. Meski hatiku sempat remuk, tetapi aku tak ingin membebaninya dengan menulis kalimat-kalimat berduka lebih banyak lagi.Aku telah selesai m