"Aku ingin kita bercerai."
"Apa?" Tanganku gemetar memegang kertas gugatan cerai di tanganku. "Kupikir—"
"Ini adalah perjanjian kita, Anastasia." Mata biru menatapku tajam. "Kuharap kau tidak melupakannya." Bibir merah muda menyeringai masam. "Atau kau masih berharap aku akan jatuh cinta padamu? Bodoh sekali," cibirnya. Dia mengambil pena dari sakunya dan meletakan di atas tanganku. "Lebih cepat kita selesaikan, itu akan baik bagi dirimu, Anastasia."
"Baik untuku atau baik untuk Asyela?" Aku mengejeknya. Membubuhkan tanda tanganku dengan cepat, aku melemparkan kertas beserta map itu padanya. "Apa kau puas sekarang?" Nafasku tersengal, tanganku mengepal menahan amarah dan kesedihan dalam hatiku. Ini tak adil... menatap mata biru dingin tanpa ekpresi itu, aku sadar tak akan pernah ada cinta hidup dalam mata musim dingin yang kucintai. "Mengapa kau harus begitu dingin?" Tanpa sadar aku menyuarakan pemikiranku.
Langkah Sill terhenti. Mata biru tertutup sebentar lalu berbalik sekilas menatapku sebelum pergi. Tak ada kata terucap, tapi aku berhasil menangkap sebuah emosi. Ada percik penyesalan di mata biru itu saat melihatku. Tersenyum sedih, itu mungkin hanya ilusiku saja.
Desa Castle Combe, Wilthshire, Inggris.
Inilah tempat awal di mana aku membangun mimpi dan asaku untuk sebuah pernikahan yang bahagia. Tapi, di desa kecil ini pula semua berakhir, pernikahanku dengan Sill Rawleigh Troyard sang Putra dari Earl Of Wilthshire. Ibarat salju terakhir yang turun pada akhir musim dingin, semua harapan dan impianku telah sirna ditelan waktu. Semua kenangan pun telah menjadi kerangka yang akan rapuh dan hancur menjadi debu.
Menahan dingin dengan mantel tipis yang kupakai hampir mustahil. Awan pucat menggantung di langit, dan asap kabut membumbung tinggi dari perapian rumah para warga. Dengan tenaga tersisa, aku berusaha menyeret koperku melewati jalanan licin tertutup salju. Bau roti jahe dan coklat tercium dari kafe kecil di sudut jalan, beberapa turis melihatku aneh. Mereka mungkin bingung: kenapa ada seorang wanita aneh menyeret koper dengan mata merah dan sembab karena menangis.
Sill Rawleigh Troyard. Nama itu masih terukir jelas dalam hatiku. Pria bagaikan musim dingin yang tak pernah dapat tersentuh, seakan hati pria itu telah membeku dan hanya keajaiban yang dapat mencairkanya. Mata biru seperti permata Saphire cantik yang hanya bisa kau temukan pada musim dingin, rambut pirang ikal keemasan dan hidung bangir khas kaukasian miliknya, serta bibir merah muda alami yang selalu membentuk garis tipis tanpa senyum ketika ia berbicara denganku. Hanya kata-kata kaku seperti ia tak mengenalku. Tanpa kelembutan atau bahkan kasih sayang. Pria yang mengikatku dalam ikatan suci pernikahan, tapi tak pernah menganggapku ada.
Sekilas dari tempatku berdiri, aku dapat melihat Troyard Manor berdiri megah dan angkuh di atas bukit sana. Manor besar berwarna kuning cerah yang dibangun tiga ratus tahun lalu itulah yang menjadi saksi dari satu tahun pernikahanku yang tragis. Sebuah pernikahan yang hanya didasarkan atas perjanjian untuk mendapatkan pewaris dari Earl Of Wilthshire selanjutnya.
Keluarga Troyard adalah keluarga Bangsawan tua yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Karena itu setiap pewaris dituntut untuk menikah muda dan segera mendapatkan keturunan segera. Sill yang sudah mempunyai kekasih gadis bangsawan lainnya yang bernama Asyela Greenford tentu tidak masalah. Dia dapat menikahi kekasihnya dan mendapat keturunan, tapi sayang Asyela Greenford tidak dapat memberikannya anak. Rahim wanita itu mandul oleh penyakit.
Dan di sanalah aku ada sebagai pilihan. Seorang gadis asal Indonesia yang sangat bodoh. Kedua orang tuaku bukan orang berada, tapi hanya karena nilai tinggiku saja, aku akhirnya bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah di London hingga takdir mempertemukanku dengan Sill. Kami pun menikah. Aku memberinya seorang anak. Setelah putraku lahir, dia menceraikanku seperti sekarang. Dia bahkan melarangku bertemu dengan Karrel, anak yang baru saja kulahirkan—sampai kematian. Aku tidak pernah menyesal mencintainya, itu adalah keputusanku. Yang kusesalkan kenapa dulu aku dulu begitu bodoh?
Percuma, aku berkata pada diriku sendiri. Berapa lama pun aku memikirkannya, semua yang sudah terjadi tidak akan pernah dapat diubah. Dengan pandangan terakhir, aku pun pergi meninggalkan desa. Selamat tinggal, Sill. Semoga kau bahagia dengan keputusanmu itu.
Tujuh tahun kemudian.Kota London, akhir musim gugur.Suara ketukan sendok dan piring dari si Kecil-ah yang membangunkanku pagi ini. Aku membuka mataku dan melihat ke tirai jendela yang sudah terbuka. Matahari telah bersinar tinggi di atas langit, sedang aku masih terbaring di atas tempat tidurku. Pandanganku sedikit silau karena sinar mentari pagi yang menembus jendela. Dengan susah payah, aku bangun dari tempat tidur dan melihat jam alarm yang tergeletak tak berdaya di meja samping tempat tidurku."Jam sembilan pagi?" Mataku lansung tersentak terbuka, Oh, ya ampun! Aku bahkan belum membuat sarapan untuk Harold dan Allant.Dengan tergesa-gesa aku segera berdiri dari atas tempat tidur, pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahku cepat, mengambil pasta, sikat gigi. Kurang dari lima menit aku pun telah selesai. Ketika turun ke lantai bawah, Harold telah selesai menyiapkan sarapan. Aku mendesah dan dud
"Mama?" Dia bingung, mata birunya berpendar pudar ketika aku menolak mendekat ke arahnya.Memalingkan wajah, aku berpura-pura bahwa anak yang telah membuatku merasa kehilangan tidak tengah berdiri di depanku. Sudah cukup! Karrel mengingatkanku pada masa laluku yang menyakitkan. Aku menutup kedua mataku berusaha menahan laju air mata yang hendak keluar. Menarik napas dalam-dalam, aku menguatkan diri untuk menatapnya."Kau pasti salah. Aku bukan Mamamu." Rasa pahit seperti terbakar di lidahku ketika mengatakan kebohongan itu lagi. Rasanya sangat sakit ketika melihat mata biru cair itu melebar. Tangannya gemetar dan tubuh kecilnya pun sedikit goyah seperti akan jatuh ke tanah saat itu juga. Mungkin terguncang atas apa yang kuucapkan.Tak sanggup melihat pemandangan tersebut, aku segera berbalik dan berniat untuk pergi darisana. Namun, sebelum aku pergi sebuah suara dingin setajam pisau es yang selalu menghantui mimpiku setiap malam menghentikanku."Karrel ju
"Ann." Dia memegang tanganku lembut. Mata biru saphire-nya menatap penuh permohonan. Aku ingin menjawab, tapi suara halus tapi tajam dari belakangku membuat jantungku berhenti berdetak."Dokter akan segera datang." Entah sejak kapan Harold telah berdiri di dekat pintu sambil menatap kami berdua dengan mata hijau emerald-nya yang sarat dengan luka. Aku lansung melepaskan genggaman Sill dari tanganku."Harold?" Aku berseru."Aku akan menunggu John di luar. Jika kalian masih ingin berbicara, teruskan saja. Aku tidak akan menganggu." Dia berbalik pergi meninggalkan kami tanpa peduli aku yang telah memanggil namanya.Harold....Dia pasti sudah salah paham. Aku bergegas untuk mengejarnya, tapi ketika kakiku akan beranjak, Sill menahanku."Tetaplah disini!" Ia memohon, tapi aku tidak mau mendengarkan. Terpaksa aku melepas tanganku dari genggamanny
"Mama?"Aku lansung berlari ke arah Karrel. "Ya, Sayang?"Karrel menatapku dengan mata lebar terkejut. "Mama...Mama sekarang tidak marah sama Karrel lagi?"Aku bingung. Kenapa dia berpikir bahwa aku sedang marah padanya?"Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?" Tanyaku khawatir.Mata birunya menatapku berkaca-kaca. "Tadi..., saat aku memanggil Mama, Mama bilang kalau Mama bukan Mamaku," katanya sambil terisak.Hatiku lansung terpukul. Astaga...apa yang telah kulakukan pada buah hatiku sendiri?"Dengar..., Sayang. Mama tidak pernah marah padamu bahkan tidak pernah sekalipun, Sayang." Aku membelai pipi tirus Karrel dengan lembut.Karrel menatapku dengan mata biru besarnya. "Benarkah, Ma?" Suaranya penuh harapan.Hatiku terenyuh. "Benar, Sayang." Aku mencium keningnya lembut.Karrel tersenyum senang
Aku menaruh liontin itu di meja samping tempat tidur. Bagaimana bisa Karrel memiliki foto ini? Bukankah foto itu dan salinannya telah di bakar habis oleh Sill? Aku sangat yakin tidak ada satu foto pun yang tersisa.Aku masih mengingatnya ketika Sill membakar photo itu tepat di hadapanku."Aku tidak ingin Karrel tahu bahwa kau adalah Ibu kandungnya. Aku ingin kau pergi menjauh dari kehidupan Karrel untuk selamanya," kata Sill kejam saat itu.Saat itu aku hanya bisa menangis mendengar perkataan kejamnya. Ibu mana yang sanggup dan rela jika Anak kandung yang di lahirkannya dengan taruhan nyawa tidak di perbolehkan untuk mengetahui siapa Ibunya." Tapi, Sill,—""Anastasia ini adalah salah satu isi dari perjanjian kita, apa kau tidak ingat?" Sill menatap tajam ke arahku.Aku mencoba meraih lengannya tapi Sill menepis lengan
A–allant?" Suaraku tersendat, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. "Ke–kenapa kau kemari, Sayang? Dimana Daddy?"Allant melangkah masuk dan masih menatap bingung kearah Karrel, dan begitu juga dengan Karrel. "All kemari karena Mommy tidak ada," rengeknya mulai meneteskan air mata. Aku lansung turun dari atas tempat tidur lalu meraup tubuh kecil Allant ke dalam pelukanku. Dengan lembut, aku menepuk-nepuk pungungnya agar ia tak menangis lagi. Beberapa saat kemudian, akhirnya Allant berhenti menangis dan akhirnya mulai tertidur lagi.Allant memang sangat manja padaku, terkadang aku harus menemaninya tidur dan kalau aku tidak ada, dia akan menangis dan mencariku kemana-mana. Aku akhirnya membaringkan Allant di sisi Karrel yang kini menatapku kebingungan. "Dia siapa, Ma?" Karrel bertanya padaku.Dan sama seperti pertanyaan Allant tadi, aku juga tidak bisa menjawab pertanyaan Karrel yang di lontarkannya padaku sekarang.Hening, awalnya a
Aku mengandeng Allant dengan tangan kiriku dan Karrel dengan tangan kananku. Kami bertiga berjalan bergandengan menuju dapur sekaligus ruang makan yang bersatu di lantai bawah. Selama perjalanan aku mendengar celotehan dari Allant dan Karrel lalu setelah itu mereka akan menyanyikan lagu acak yang tidak kukenal. Aku tersenyum dan akhirnya ikut bersenandung bersama mereka.Tiba di lantai bawah, kami lansung menuju dapur. Dapur bersatu dengan ruang makan itu awalnya adalah ide Harold, begitu juga semua desain rumah ini baik di luar ataupun yang di dalam. Ruangan dapur bernuansa sedikit gelap dengan warna coklat berbahan dasar kayu dengan gaya sedikit klasik, tapi sebagian besar bergaya minimalis. Meja makan berbentuk persegi panjang berada di tengah ruangan dengan enam kursi kayu yang mengelilinginya.Sebenarnya ruangan ini di desain agar terlihat tidak terlalu mewah dan sederhana. Akan tetapi, aku masih tetap bisa merasakan kemegahan k
Aku mengandeng Allant dengan tangan kiriku dan Karrel dengan tangan kananku. Kami bertiga berjalan bergandengan menuju dapur sekaligus ruang makan yang bersatu di lantai bawah. Selama perjalanan aku mendengar celotehan dari Allant dan Karrel lalu setelah itu mereka akan menyanyikan lagu acak yang tidak kukenal. Aku tersenyum dan akhirnya ikut bersenandung bersama mereka.Tiba di lantai bawah, kami lansung menuju dapur. Dapur bersatu dengan ruang makan itu awalnya adalah ide Harold, begitu juga semua desain rumah ini baik di luar ataupun yang di dalam. Ruangan dapur bernuansa sedikit gelap dengan warna coklat berbahan dasar kayu dengan gaya sedikit klasik, tapi sebagian besar bergaya minimalis. Meja makan berbentuk persegi panjang berada di tengah ruangan dengan enam kursi kayu yang mengelilinginya.Sebenarnya ruangan ini di desain agar terlihat tidak terlalu mewah dan sederhana. Akan tetapi, aku masih tetap bisa merasakan kemegahan k
A–allant?" Suaraku tersendat, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. "Ke–kenapa kau kemari, Sayang? Dimana Daddy?"Allant melangkah masuk dan masih menatap bingung kearah Karrel, dan begitu juga dengan Karrel. "All kemari karena Mommy tidak ada," rengeknya mulai meneteskan air mata. Aku lansung turun dari atas tempat tidur lalu meraup tubuh kecil Allant ke dalam pelukanku. Dengan lembut, aku menepuk-nepuk pungungnya agar ia tak menangis lagi. Beberapa saat kemudian, akhirnya Allant berhenti menangis dan akhirnya mulai tertidur lagi.Allant memang sangat manja padaku, terkadang aku harus menemaninya tidur dan kalau aku tidak ada, dia akan menangis dan mencariku kemana-mana. Aku akhirnya membaringkan Allant di sisi Karrel yang kini menatapku kebingungan. "Dia siapa, Ma?" Karrel bertanya padaku.Dan sama seperti pertanyaan Allant tadi, aku juga tidak bisa menjawab pertanyaan Karrel yang di lontarkannya padaku sekarang.Hening, awalnya a
Aku menaruh liontin itu di meja samping tempat tidur. Bagaimana bisa Karrel memiliki foto ini? Bukankah foto itu dan salinannya telah di bakar habis oleh Sill? Aku sangat yakin tidak ada satu foto pun yang tersisa.Aku masih mengingatnya ketika Sill membakar photo itu tepat di hadapanku."Aku tidak ingin Karrel tahu bahwa kau adalah Ibu kandungnya. Aku ingin kau pergi menjauh dari kehidupan Karrel untuk selamanya," kata Sill kejam saat itu.Saat itu aku hanya bisa menangis mendengar perkataan kejamnya. Ibu mana yang sanggup dan rela jika Anak kandung yang di lahirkannya dengan taruhan nyawa tidak di perbolehkan untuk mengetahui siapa Ibunya." Tapi, Sill,—""Anastasia ini adalah salah satu isi dari perjanjian kita, apa kau tidak ingat?" Sill menatap tajam ke arahku.Aku mencoba meraih lengannya tapi Sill menepis lengan
"Mama?"Aku lansung berlari ke arah Karrel. "Ya, Sayang?"Karrel menatapku dengan mata lebar terkejut. "Mama...Mama sekarang tidak marah sama Karrel lagi?"Aku bingung. Kenapa dia berpikir bahwa aku sedang marah padanya?"Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?" Tanyaku khawatir.Mata birunya menatapku berkaca-kaca. "Tadi..., saat aku memanggil Mama, Mama bilang kalau Mama bukan Mamaku," katanya sambil terisak.Hatiku lansung terpukul. Astaga...apa yang telah kulakukan pada buah hatiku sendiri?"Dengar..., Sayang. Mama tidak pernah marah padamu bahkan tidak pernah sekalipun, Sayang." Aku membelai pipi tirus Karrel dengan lembut.Karrel menatapku dengan mata biru besarnya. "Benarkah, Ma?" Suaranya penuh harapan.Hatiku terenyuh. "Benar, Sayang." Aku mencium keningnya lembut.Karrel tersenyum senang
"Ann." Dia memegang tanganku lembut. Mata biru saphire-nya menatap penuh permohonan. Aku ingin menjawab, tapi suara halus tapi tajam dari belakangku membuat jantungku berhenti berdetak."Dokter akan segera datang." Entah sejak kapan Harold telah berdiri di dekat pintu sambil menatap kami berdua dengan mata hijau emerald-nya yang sarat dengan luka. Aku lansung melepaskan genggaman Sill dari tanganku."Harold?" Aku berseru."Aku akan menunggu John di luar. Jika kalian masih ingin berbicara, teruskan saja. Aku tidak akan menganggu." Dia berbalik pergi meninggalkan kami tanpa peduli aku yang telah memanggil namanya.Harold....Dia pasti sudah salah paham. Aku bergegas untuk mengejarnya, tapi ketika kakiku akan beranjak, Sill menahanku."Tetaplah disini!" Ia memohon, tapi aku tidak mau mendengarkan. Terpaksa aku melepas tanganku dari genggamanny
"Mama?" Dia bingung, mata birunya berpendar pudar ketika aku menolak mendekat ke arahnya.Memalingkan wajah, aku berpura-pura bahwa anak yang telah membuatku merasa kehilangan tidak tengah berdiri di depanku. Sudah cukup! Karrel mengingatkanku pada masa laluku yang menyakitkan. Aku menutup kedua mataku berusaha menahan laju air mata yang hendak keluar. Menarik napas dalam-dalam, aku menguatkan diri untuk menatapnya."Kau pasti salah. Aku bukan Mamamu." Rasa pahit seperti terbakar di lidahku ketika mengatakan kebohongan itu lagi. Rasanya sangat sakit ketika melihat mata biru cair itu melebar. Tangannya gemetar dan tubuh kecilnya pun sedikit goyah seperti akan jatuh ke tanah saat itu juga. Mungkin terguncang atas apa yang kuucapkan.Tak sanggup melihat pemandangan tersebut, aku segera berbalik dan berniat untuk pergi darisana. Namun, sebelum aku pergi sebuah suara dingin setajam pisau es yang selalu menghantui mimpiku setiap malam menghentikanku."Karrel ju
Tujuh tahun kemudian.Kota London, akhir musim gugur.Suara ketukan sendok dan piring dari si Kecil-ah yang membangunkanku pagi ini. Aku membuka mataku dan melihat ke tirai jendela yang sudah terbuka. Matahari telah bersinar tinggi di atas langit, sedang aku masih terbaring di atas tempat tidurku. Pandanganku sedikit silau karena sinar mentari pagi yang menembus jendela. Dengan susah payah, aku bangun dari tempat tidur dan melihat jam alarm yang tergeletak tak berdaya di meja samping tempat tidurku."Jam sembilan pagi?" Mataku lansung tersentak terbuka, Oh, ya ampun! Aku bahkan belum membuat sarapan untuk Harold dan Allant.Dengan tergesa-gesa aku segera berdiri dari atas tempat tidur, pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahku cepat, mengambil pasta, sikat gigi. Kurang dari lima menit aku pun telah selesai. Ketika turun ke lantai bawah, Harold telah selesai menyiapkan sarapan. Aku mendesah dan dud
"Aku ingin kita bercerai.""Apa?" Tanganku gemetar memegang kertas gugatan cerai di tanganku. "Kupikir—""Ini adalah perjanjian kita, Anastasia." Mata biru menatapku tajam. "Kuharap kau tidak melupakannya." Bibir merah muda menyeringai masam. "Atau kau masih berharap aku akan jatuh cinta padamu? Bodoh sekali," cibirnya. Dia mengambil pena dari sakunya dan meletakan di atas tanganku. "Lebih cepat kita selesaikan, itu akan baik bagi dirimu, Anastasia.""Baik untuku atau baik untuk Asyela?" Aku mengejeknya. Membubuhkan tanda tanganku dengan cepat, aku melemparkan kertas beserta map itu padanya. "Apa kau puas sekarang?" Nafasku tersengal, tanganku mengepal menahan amarah dan kesedihan dalam hatiku. Ini tak adil... menatap mata biru dingin tanpa ekpresi itu, aku sadar tak akan pernah ada cinta hidup dalam mata musim dingin yang kucintai. "Mengapa kau harus begitu dingin?" Tanpa sadar aku menyuaraka