Aku lansung berlari ke arah Karrel. "Ya, Sayang?"
Karrel menatapku dengan mata lebar terkejut. "Mama...Mama sekarang tidak marah sama Karrel lagi?"
Aku bingung. Kenapa dia berpikir bahwa aku sedang marah padanya?
"Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?" Tanyaku khawatir.
Mata birunya menatapku berkaca-kaca. "Tadi..., saat aku memanggil Mama, Mama bilang kalau Mama bukan Mamaku," katanya sambil terisak.
Hatiku lansung terpukul. Astaga...apa yang telah kulakukan pada buah hatiku sendiri?
"Dengar..., Sayang. Mama tidak pernah marah padamu bahkan tidak pernah sekalipun, Sayang." Aku membelai pipi tirus Karrel dengan lembut.
Karrel menatapku dengan mata biru besarnya. "Benarkah, Ma?" Suaranya penuh harapan.
Hatiku terenyuh. "Benar, Sayang." Aku mencium keningnya lembut.
Karrel tersenyum senang lalu tangan kecilnya berusaha meraihku, ingin memeluk. Aku tersenyum lalu merundukan tubuhku dan memeluk tubuh kecil rapuh miliknya.
Karrel bergumam. "Tubuh Mama sangat hangat, sangat berbeda dengan Bibi Asyela yang sangat dingin. Karrel tidak suka Bibi Asyela."
Bibi Asyela? Asyela Greenford? Aku berusaha melirik Sill yang kini di samping tempat tidur Karrel.
"Apa Mama boleh tahu, Sayang? Siapa Bibi Asyela ini?" Aku bertanya pada Karrel.
Tiba-tiba tubuh kecil Karrel menggigil seperti sangat ketakutan. "Bibi Asyela adalah orang jahat, Ma," bisiknya. "Bibi Asyela pernah menampar Karrel sekali, waktu Karrel bilang bahwa Mama itu lebih cantik darinya."
Mataku terbelalak terkejut mendengar perkataan Karrel. Berani-berani nya wanita jalang itu menampar Anakku!
Aku mendesis marah dan sontak membuat Karrel ketakutan. Tubuh kecilnya makin gemetar. Aku lansung merasa bersalah karena membuatnya ketakutan seperti itu.
"Ssst..., maafkan Mama, Sayang. Mama tidak bermaksud membuat kamu takut. " Aku mengelus punggungnya untuk menenangkan Karrel.
Karrel balik memelukku lebih erat. "Ma—mama....tidak lagi marah sama Karrel, kan?" Tanyanya khawatir.
Aku menggeleng, memeluknya lebih erat. "Tidak, Sayang. "
Setelah Karrel lebih tenang, aku berniat untuk melepaskan pelukannya, tapi Karrel menolak.
Akhirnya aku memutuskan untuk menemani Karrel sampai tertidur. Lewat tatapan, aku meminta ijin pada Harold dan dia pun menyetujuinya. Dia pasti mengerti, Karrel sedang sangat membutuhkanku sekarang.
"Terima kasih, Harold." Dia hanya tersenyum.
"Kau bisa menggunakan kamar tamu untuk malam ini," kataku pada Sill yang berdiri di sampingku.
Wajah Sill terlihat kecewa, tapi akhir nya dia menggangguk. Huhh... apakah dia pikir aku akan mengizinkannya untuk tidur bersama kami?
TIDAK AKAN!
Aku memelototinya agar tidak berpikir macam-macam.
"Aku akan kembali ke kamar, jika Karrel sudah tertidur. Tapi kalau misalnya Allant terbangun dan mencariku, aku akan segera kembali nanti," kataku pada Harold.
"Baiklah," Harold menyelimutiku dan mencium dahiku. "Selamat malam, Ann. Mimpi indah."
Aku balas mencium pipi Harold. "Selamat malam juga, Sayang."
Di samping kami, Sill terlihat jengkel. Mata birunya menatap kami kesal. "Sudah selesai? Aku juga mau tidur, tapi aku tidak tahu kamar tamu ada di mana. Jadi bisakah di antara kalian berdua ada yang bermurah hati untuk menunjukan arahnya?" Katanya mulai tidak sabar.
Aku tersenyum geli dengan Harold, ketika melihat Sill marah-marah seperti itu.
"Biar kutunjukan kamar tamunya saja sekarang," Harold menawarkan.
"Baik, kurasa aku benar-benar butuh istirahat yang panjang." Dia mendesah, lalu segera mengalihkan pandanganya pada Karrel yang sedang tertidur lelap. "Selamat tidur, Karrel." Ia membungkuk dan mendaratkan sebuah ciuman lembut di kening Karrel.
"Sekarang, aku sudah selesai. Mr. Black, Bisa tunjukan jalannya sekarang?"
Harold tersenyum sopan. "Mari aku tunjukan jalannya, Mr. Troyard." Harold membuka pintu, untuk Sill keluar terlebih dulu. "Aku akan mengurusnya," candanya seraya dia mengedipkan mata padaku.
Aku pun tertawa untuk pertama kalinya hari itu.
Membenarkan selimut yang menyelimutiku dan Karrel. Udara musim gugur yang dingin menusuk tulang telah membuatku sedikit menggigil. Harum dari daun maple kering yang berjatuhan, menemani setiap langkah mundur pikiranku ke masa lalu.
Kembali pada musim dingin di Kota London dua belas tahun yang lalu, pada pertengahan bulan Desember itulah saat pertama kali aku melihat Sill Rawleigh Troyard. Salju dan mata biru musim dingin Sill dan senyuman lembutnya hari itu, selalu terekam abadi dalam ingatanku. Dan begitu juga luka yang tertoreh setelah kisah itu berakhir, masih terukir jelas setiap perih dan rasa sakit yang di akibatkan kebodohanku karena telah pernah jatuh cinta padanya.
Aku juga masih mengingat jelas, saat ia membawa wanita itu ke kehidupan kami.
Mata biru tua kusam milik wanita itu menatapku. Rambut pirang kotor panjang milik wanita itu yang sangat berbeda dengan rambut pirang Sill yang berwarna cerah seperti mentari, pertama kali aku melihat nya, sekitar hampir tujuh setengah tahun yang lalu.
Dalam ingatanku itu masih jelas ketika wanita licik itu berdiri angkuh di samping Sill. Tangan kurus wanita itu melingkar pada tangan kuat Sill yang waktu itu masih menjadi Suamiku. Saat itu juga hatiku hancur.
"Namaku Asyela Greenford dan aku adalah tunangan Sill." Suara pahit menetes racun dari wanita itu ketika memperkenalkan dirinya saat itu, masih teringat jelas dalam memoriku.
Tubuhku lansung gemetar dan tanganku mengepal menahan amarah dalam hatiku. Mata hitamku menatap penuh kekecewaan dan pengkhianatan kearah Sill. "Kenapa? Kenapa kau bisa?" bisikku tak percaya.
"Kenapa? Kau tahu alasanya bukan?" Sill menatapku tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Aku berusaha menahan isak tangisku. "Kenapa kau bisa melakukan hal ini padaku? Apa salahku, Sill?"
"Kau tidak melakukan kesalahan apapun, Anastasia."
"Bohong!" Aku menatap marah pada Sill yang masih dalam gandengan wanita itu. "Jika aku tidak melakukan kesalahan apapun, lalu kenapa? Kenapa kau membawa wanita itu kedalam kehidupan kita? Kenapa kau berselingkuh dan menghianatiku!" Aku berteriak padanya, tapi Sill masih tidak peduli dan menatapku dingin.
"Aku tidak pernah berselingkuh, Anastasia," tukas Sill acuh tak acuh, membuat wanita yang berada disampingnya menyeringai mengejekku.
Aku memandang kosong seakan jiwaku saat itu sudah hilang. "Lalu apa ini? Apa ini adalah sebuah lelucon?" Aku tertawa hambar, ketika harapan tentang pernikahanku yang bahagia kini mulai hancur menjadi debu.
Wajah rupawan itu masih datar seperti patung batu. Mata biru es dingin menatapku tanpa perasaan. "Ini bukan lelucon. Kuharap kau tidak lupa dengan perjanjian kita. Lahirkan Anakku maka akan kuberikan apapun yang kau mau. Tapi jangan pernah berharap aku akan jatuh cinta padamu!" Ucap Sill mengingatkanku isi perjanjian yang pernah aku setujui dulu sebelum pernikahan kami.
Sebilah pedang seperti menancap di hatiku. "Benar. Sebuah perjaniian." Aku tersenyun walaupun senyuman itu hanya kugunakan sebagai topeng untuk menutupi kesedihanku. "Aku hanya sebuah alat untuk meneruskan garis keturunan keluarga Troyard bukan? Hahaha...,apa wanita ini adalah kekasihmu yang tidak bisa melahirkan Anakmu itu? Dan karena itulah kau menikahiku. Dan saat aku akan melahirkan Anakmu, kau membawa wanita ini kehadapanku." Aku terus tertawa seperti orang gila.
"Benar. Kau benar, Sill. Kau memang sedang tidak berselingkuh, kau hanya kembali pada wanitamu sebenarnya. Sedangkan aku hanya seorang pengganti." Berdecih, akulah yang bodoh.
Tiba-tiba entah kenapa lantai marner di bawahku menjadi lebih menarik daripada wajah Sill dan wanita itu. Aku menunduk, lalu berdiri perlahan dari sofa yang tadi kududuki. "Aku ingin istirahat!" Tanpa menunggu jawaban dari Sill ataupun mungkin hinaan dari wanita angkuh itu nantinya jika aku terus berada disana, aku berjalan pergi tanpa melihat ke belakang lagi.
Setelah sampai di kamarku, aku lansung mengunci pintu agar siapapun tidak ada yang bisa masuk ke kamarku sekarang, karena aku ingin sendirian. Sill bahkan tidak mengejarku dan bahkan mengatakakan sepatah katapun untukku juga tidak. Aku menangis, kenapa? Kenapa kau tega melakukan ini Sill? Ketika aku mulai berharap pernikahan kita akan menjadi pernikahan nyata dan bukan hanya sebuah pernikahan palsu di atas perjanjian.
Dengan lembut aku membelai perutku yang sudah membesar. Usia kandunganku sudah mencapai delapan bulan dan hanya sebulan lagi aku akan melahirkan dan ketika kebahagiaan itu akan datang dan harapanku tentang mendapatkan cinta Sill mengembang...., aku harus menerima kepahitan.
Suamiku akan segera menjadi mantan Suamiku dan Anakku juga akan di renggut dariku.
Akulah yang bodoh.
Kenapa aku bisa mencintai pria dingin dan kejam seperti Sill Rawleigh Troyard.
Tiba-tiba aku merasakan tendangan cukup keras tapi tidak menyakiti, hanya sedikit geli dan aneh dari dalam perutku. Aku mengusap-usap lembut bagian perutku yang terasa tendangan tadi. "Apa kau sedang mencoba menghibur Mama, Nak?" Aku mencoba berbicara pada bayi dalam kandunganku dan aku tahu ia mendengarkan, walau mungkin tidak mengerti apa yang sedang kubicarakan. "Mama sangat senang karena sekarang masih memilikimu,Nak." Aku tersenyum sedih ketika memikirkan apa yang akan terjadi setelah bayi ini lahir. "Nak, ingatlah perkataan yang akan Mama ucapkan padamu sekarang! Walau mungkin kau akan melupakannya dan tidak mengingat Mama ketika besar nanti. Tapi cobalah ingat dalam hatimu yang terdalam, bahwa Mama tidak akan berhenti mencintaimu sampai kapanpun."
Aku lansung terbangun dari mimpiku atau lebih tepatnya kenangan masa laluku. Tubuhku terasa lengket karena keringat, aku rasa ini adalah mimpi terburuk selain mimpi hari di mana aku bercerai dengan Sill dan Karrel di ambil dariku.
Aku melihat ke arah Karrel yang masih tertidur pulas dalam pelukanku. Aku tersenyum sedih sambil membelai rambutnya.
"Kamu tahu, Sayang? Jika saja..., Papamu tidak menceraikan Mama demi wanita jahat itu. Maka mungkin kau akan tumbuh sempurna dalam kasih sayang lengkap dari kedua rang tuamu. Tapi..., semuanya sudah terlambat sekarang. Aku dan Sill tidak akan pernah bisa bersama lagi," kataku, lebih seperti perkataan itu untuk diriku sendiri dari pada untuk Karrel.
"Mama mencintaimu, Karrel. Tapi, Mama juga mencintai keluarga Mama yang sekarang," ucapku penuh sesal.
Aku tersenyum sedih. "Maafkan, Mama. Karena Mama tidak akan pernah bisa kembali pada Papamu. "
Seperti menanggapi perkataanku, Karrel bergumam dalam tidur nya. "Mama...Papa...."
Dengan erat aku memeluk Karrel . Hatiku sedih melihat Karrel yang akan menangis nantinya, jika dia tahu kenyataannya bahwa Papa dan Mamanya tidak akan pernah bersatu kembali.
Tanpa aku melihat, sebuah liontin terjatuh ke bawah lantai ketika Karrel bergerak berganti posisi dalam tidurnya. Aku yang menyadari itu lansung secara hati-hati mengambilnya. Berusaha untuk tidak membangunkan Karrel dari tidur nyenyaknya.
Liontin itu terbuat dari perak dan berbentuk oval dan di tengah nya tertanam permata biru sapphire yang sangat cantik persis seperti mata biru sapphire milik Sill dan Karrel. Di pinggiran permata tersebut ada ukiran berbentuk bunga mawar dengan batang berduri melingkar di sekelilingnya. Karena penasaran aku perlahan membuka liontin tersebut.
Ketika liontin itu terbuka, lansung terdengar lagu pengantar tidur merdu yang terdiri dari alunan gesekan biola dan dentingan piano yang sangat indah.
Aku lansung tersentak dan lansung memeriksa Karrel apakah ia terjaga dalam tidurnya? Tapi ternyata kekhawatiranku tidak terjadi. Karrel masih tertidur pulas malah terlihat lebih nyaman. Apa karena lagu pengantar tidur dari liontin ini?
Setelah di anggap aman, akhirnya aku melanjutkan pemeriksaanku pada liontin tersebut.
Aku melihat sebuah foto dalam liontin tersebut. Seorang Wanita berambut hitam panjang yang tengah duduk di sebuah kursi taman sedang tersenyum lembut dengan bayi baru lahir dalam dekapannya dan di sampingnya berdiri seorang pria berambut pirang sedikit ikal dengan mata biru berbinar bahagia sedang memeluk pundak wanita tersebut. Sungguh seperti gambaran sebuah keluarga kecil yang bahagia, walau nyatanya tidak.
Tanpa aku sadari, air mata ku mengalir dengan sendirinya.
Ini adalah foto yang di ambil tepat pada hari Karrel lahir ke dunia. Hari di mana untuk pertama dan terakhir kalinya Sill tersenyum tulus dan bahagia selama pernikahan kami.
Saat itu atas permintaan Ibu Mertuaku. Sill dan aku berfoto di salah satu bangku taman umah sakit dengan Karrel dalam dekapanku. Aku berusaha bahagia dalam foto itu, walau aku tahu itu adalah saat-saat terakhir dengan Anakku.
Aku menaruh liontin itu di meja samping tempat tidur. Bagaimana bisa Karrel memiliki foto ini? Bukankah foto itu dan salinannya telah di bakar habis oleh Sill? Aku sangat yakin tidak ada satu foto pun yang tersisa.Aku masih mengingatnya ketika Sill membakar photo itu tepat di hadapanku."Aku tidak ingin Karrel tahu bahwa kau adalah Ibu kandungnya. Aku ingin kau pergi menjauh dari kehidupan Karrel untuk selamanya," kata Sill kejam saat itu.Saat itu aku hanya bisa menangis mendengar perkataan kejamnya. Ibu mana yang sanggup dan rela jika Anak kandung yang di lahirkannya dengan taruhan nyawa tidak di perbolehkan untuk mengetahui siapa Ibunya." Tapi, Sill,—""Anastasia ini adalah salah satu isi dari perjanjian kita, apa kau tidak ingat?" Sill menatap tajam ke arahku.Aku mencoba meraih lengannya tapi Sill menepis lengan
A–allant?" Suaraku tersendat, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. "Ke–kenapa kau kemari, Sayang? Dimana Daddy?"Allant melangkah masuk dan masih menatap bingung kearah Karrel, dan begitu juga dengan Karrel. "All kemari karena Mommy tidak ada," rengeknya mulai meneteskan air mata. Aku lansung turun dari atas tempat tidur lalu meraup tubuh kecil Allant ke dalam pelukanku. Dengan lembut, aku menepuk-nepuk pungungnya agar ia tak menangis lagi. Beberapa saat kemudian, akhirnya Allant berhenti menangis dan akhirnya mulai tertidur lagi.Allant memang sangat manja padaku, terkadang aku harus menemaninya tidur dan kalau aku tidak ada, dia akan menangis dan mencariku kemana-mana. Aku akhirnya membaringkan Allant di sisi Karrel yang kini menatapku kebingungan. "Dia siapa, Ma?" Karrel bertanya padaku.Dan sama seperti pertanyaan Allant tadi, aku juga tidak bisa menjawab pertanyaan Karrel yang di lontarkannya padaku sekarang.Hening, awalnya a
Aku mengandeng Allant dengan tangan kiriku dan Karrel dengan tangan kananku. Kami bertiga berjalan bergandengan menuju dapur sekaligus ruang makan yang bersatu di lantai bawah. Selama perjalanan aku mendengar celotehan dari Allant dan Karrel lalu setelah itu mereka akan menyanyikan lagu acak yang tidak kukenal. Aku tersenyum dan akhirnya ikut bersenandung bersama mereka.Tiba di lantai bawah, kami lansung menuju dapur. Dapur bersatu dengan ruang makan itu awalnya adalah ide Harold, begitu juga semua desain rumah ini baik di luar ataupun yang di dalam. Ruangan dapur bernuansa sedikit gelap dengan warna coklat berbahan dasar kayu dengan gaya sedikit klasik, tapi sebagian besar bergaya minimalis. Meja makan berbentuk persegi panjang berada di tengah ruangan dengan enam kursi kayu yang mengelilinginya.Sebenarnya ruangan ini di desain agar terlihat tidak terlalu mewah dan sederhana. Akan tetapi, aku masih tetap bisa merasakan kemegahan k
"Aku ingin kita bercerai.""Apa?" Tanganku gemetar memegang kertas gugatan cerai di tanganku. "Kupikir—""Ini adalah perjanjian kita, Anastasia." Mata biru menatapku tajam. "Kuharap kau tidak melupakannya." Bibir merah muda menyeringai masam. "Atau kau masih berharap aku akan jatuh cinta padamu? Bodoh sekali," cibirnya. Dia mengambil pena dari sakunya dan meletakan di atas tanganku. "Lebih cepat kita selesaikan, itu akan baik bagi dirimu, Anastasia.""Baik untuku atau baik untuk Asyela?" Aku mengejeknya. Membubuhkan tanda tanganku dengan cepat, aku melemparkan kertas beserta map itu padanya. "Apa kau puas sekarang?" Nafasku tersengal, tanganku mengepal menahan amarah dan kesedihan dalam hatiku. Ini tak adil... menatap mata biru dingin tanpa ekpresi itu, aku sadar tak akan pernah ada cinta hidup dalam mata musim dingin yang kucintai. "Mengapa kau harus begitu dingin?" Tanpa sadar aku menyuaraka
Tujuh tahun kemudian.Kota London, akhir musim gugur.Suara ketukan sendok dan piring dari si Kecil-ah yang membangunkanku pagi ini. Aku membuka mataku dan melihat ke tirai jendela yang sudah terbuka. Matahari telah bersinar tinggi di atas langit, sedang aku masih terbaring di atas tempat tidurku. Pandanganku sedikit silau karena sinar mentari pagi yang menembus jendela. Dengan susah payah, aku bangun dari tempat tidur dan melihat jam alarm yang tergeletak tak berdaya di meja samping tempat tidurku."Jam sembilan pagi?" Mataku lansung tersentak terbuka, Oh, ya ampun! Aku bahkan belum membuat sarapan untuk Harold dan Allant.Dengan tergesa-gesa aku segera berdiri dari atas tempat tidur, pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahku cepat, mengambil pasta, sikat gigi. Kurang dari lima menit aku pun telah selesai. Ketika turun ke lantai bawah, Harold telah selesai menyiapkan sarapan. Aku mendesah dan dud
"Mama?" Dia bingung, mata birunya berpendar pudar ketika aku menolak mendekat ke arahnya.Memalingkan wajah, aku berpura-pura bahwa anak yang telah membuatku merasa kehilangan tidak tengah berdiri di depanku. Sudah cukup! Karrel mengingatkanku pada masa laluku yang menyakitkan. Aku menutup kedua mataku berusaha menahan laju air mata yang hendak keluar. Menarik napas dalam-dalam, aku menguatkan diri untuk menatapnya."Kau pasti salah. Aku bukan Mamamu." Rasa pahit seperti terbakar di lidahku ketika mengatakan kebohongan itu lagi. Rasanya sangat sakit ketika melihat mata biru cair itu melebar. Tangannya gemetar dan tubuh kecilnya pun sedikit goyah seperti akan jatuh ke tanah saat itu juga. Mungkin terguncang atas apa yang kuucapkan.Tak sanggup melihat pemandangan tersebut, aku segera berbalik dan berniat untuk pergi darisana. Namun, sebelum aku pergi sebuah suara dingin setajam pisau es yang selalu menghantui mimpiku setiap malam menghentikanku."Karrel ju
"Ann." Dia memegang tanganku lembut. Mata biru saphire-nya menatap penuh permohonan. Aku ingin menjawab, tapi suara halus tapi tajam dari belakangku membuat jantungku berhenti berdetak."Dokter akan segera datang." Entah sejak kapan Harold telah berdiri di dekat pintu sambil menatap kami berdua dengan mata hijau emerald-nya yang sarat dengan luka. Aku lansung melepaskan genggaman Sill dari tanganku."Harold?" Aku berseru."Aku akan menunggu John di luar. Jika kalian masih ingin berbicara, teruskan saja. Aku tidak akan menganggu." Dia berbalik pergi meninggalkan kami tanpa peduli aku yang telah memanggil namanya.Harold....Dia pasti sudah salah paham. Aku bergegas untuk mengejarnya, tapi ketika kakiku akan beranjak, Sill menahanku."Tetaplah disini!" Ia memohon, tapi aku tidak mau mendengarkan. Terpaksa aku melepas tanganku dari genggamanny
Aku mengandeng Allant dengan tangan kiriku dan Karrel dengan tangan kananku. Kami bertiga berjalan bergandengan menuju dapur sekaligus ruang makan yang bersatu di lantai bawah. Selama perjalanan aku mendengar celotehan dari Allant dan Karrel lalu setelah itu mereka akan menyanyikan lagu acak yang tidak kukenal. Aku tersenyum dan akhirnya ikut bersenandung bersama mereka.Tiba di lantai bawah, kami lansung menuju dapur. Dapur bersatu dengan ruang makan itu awalnya adalah ide Harold, begitu juga semua desain rumah ini baik di luar ataupun yang di dalam. Ruangan dapur bernuansa sedikit gelap dengan warna coklat berbahan dasar kayu dengan gaya sedikit klasik, tapi sebagian besar bergaya minimalis. Meja makan berbentuk persegi panjang berada di tengah ruangan dengan enam kursi kayu yang mengelilinginya.Sebenarnya ruangan ini di desain agar terlihat tidak terlalu mewah dan sederhana. Akan tetapi, aku masih tetap bisa merasakan kemegahan k
A–allant?" Suaraku tersendat, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. "Ke–kenapa kau kemari, Sayang? Dimana Daddy?"Allant melangkah masuk dan masih menatap bingung kearah Karrel, dan begitu juga dengan Karrel. "All kemari karena Mommy tidak ada," rengeknya mulai meneteskan air mata. Aku lansung turun dari atas tempat tidur lalu meraup tubuh kecil Allant ke dalam pelukanku. Dengan lembut, aku menepuk-nepuk pungungnya agar ia tak menangis lagi. Beberapa saat kemudian, akhirnya Allant berhenti menangis dan akhirnya mulai tertidur lagi.Allant memang sangat manja padaku, terkadang aku harus menemaninya tidur dan kalau aku tidak ada, dia akan menangis dan mencariku kemana-mana. Aku akhirnya membaringkan Allant di sisi Karrel yang kini menatapku kebingungan. "Dia siapa, Ma?" Karrel bertanya padaku.Dan sama seperti pertanyaan Allant tadi, aku juga tidak bisa menjawab pertanyaan Karrel yang di lontarkannya padaku sekarang.Hening, awalnya a
Aku menaruh liontin itu di meja samping tempat tidur. Bagaimana bisa Karrel memiliki foto ini? Bukankah foto itu dan salinannya telah di bakar habis oleh Sill? Aku sangat yakin tidak ada satu foto pun yang tersisa.Aku masih mengingatnya ketika Sill membakar photo itu tepat di hadapanku."Aku tidak ingin Karrel tahu bahwa kau adalah Ibu kandungnya. Aku ingin kau pergi menjauh dari kehidupan Karrel untuk selamanya," kata Sill kejam saat itu.Saat itu aku hanya bisa menangis mendengar perkataan kejamnya. Ibu mana yang sanggup dan rela jika Anak kandung yang di lahirkannya dengan taruhan nyawa tidak di perbolehkan untuk mengetahui siapa Ibunya." Tapi, Sill,—""Anastasia ini adalah salah satu isi dari perjanjian kita, apa kau tidak ingat?" Sill menatap tajam ke arahku.Aku mencoba meraih lengannya tapi Sill menepis lengan
"Mama?"Aku lansung berlari ke arah Karrel. "Ya, Sayang?"Karrel menatapku dengan mata lebar terkejut. "Mama...Mama sekarang tidak marah sama Karrel lagi?"Aku bingung. Kenapa dia berpikir bahwa aku sedang marah padanya?"Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?" Tanyaku khawatir.Mata birunya menatapku berkaca-kaca. "Tadi..., saat aku memanggil Mama, Mama bilang kalau Mama bukan Mamaku," katanya sambil terisak.Hatiku lansung terpukul. Astaga...apa yang telah kulakukan pada buah hatiku sendiri?"Dengar..., Sayang. Mama tidak pernah marah padamu bahkan tidak pernah sekalipun, Sayang." Aku membelai pipi tirus Karrel dengan lembut.Karrel menatapku dengan mata biru besarnya. "Benarkah, Ma?" Suaranya penuh harapan.Hatiku terenyuh. "Benar, Sayang." Aku mencium keningnya lembut.Karrel tersenyum senang
"Ann." Dia memegang tanganku lembut. Mata biru saphire-nya menatap penuh permohonan. Aku ingin menjawab, tapi suara halus tapi tajam dari belakangku membuat jantungku berhenti berdetak."Dokter akan segera datang." Entah sejak kapan Harold telah berdiri di dekat pintu sambil menatap kami berdua dengan mata hijau emerald-nya yang sarat dengan luka. Aku lansung melepaskan genggaman Sill dari tanganku."Harold?" Aku berseru."Aku akan menunggu John di luar. Jika kalian masih ingin berbicara, teruskan saja. Aku tidak akan menganggu." Dia berbalik pergi meninggalkan kami tanpa peduli aku yang telah memanggil namanya.Harold....Dia pasti sudah salah paham. Aku bergegas untuk mengejarnya, tapi ketika kakiku akan beranjak, Sill menahanku."Tetaplah disini!" Ia memohon, tapi aku tidak mau mendengarkan. Terpaksa aku melepas tanganku dari genggamanny
"Mama?" Dia bingung, mata birunya berpendar pudar ketika aku menolak mendekat ke arahnya.Memalingkan wajah, aku berpura-pura bahwa anak yang telah membuatku merasa kehilangan tidak tengah berdiri di depanku. Sudah cukup! Karrel mengingatkanku pada masa laluku yang menyakitkan. Aku menutup kedua mataku berusaha menahan laju air mata yang hendak keluar. Menarik napas dalam-dalam, aku menguatkan diri untuk menatapnya."Kau pasti salah. Aku bukan Mamamu." Rasa pahit seperti terbakar di lidahku ketika mengatakan kebohongan itu lagi. Rasanya sangat sakit ketika melihat mata biru cair itu melebar. Tangannya gemetar dan tubuh kecilnya pun sedikit goyah seperti akan jatuh ke tanah saat itu juga. Mungkin terguncang atas apa yang kuucapkan.Tak sanggup melihat pemandangan tersebut, aku segera berbalik dan berniat untuk pergi darisana. Namun, sebelum aku pergi sebuah suara dingin setajam pisau es yang selalu menghantui mimpiku setiap malam menghentikanku."Karrel ju
Tujuh tahun kemudian.Kota London, akhir musim gugur.Suara ketukan sendok dan piring dari si Kecil-ah yang membangunkanku pagi ini. Aku membuka mataku dan melihat ke tirai jendela yang sudah terbuka. Matahari telah bersinar tinggi di atas langit, sedang aku masih terbaring di atas tempat tidurku. Pandanganku sedikit silau karena sinar mentari pagi yang menembus jendela. Dengan susah payah, aku bangun dari tempat tidur dan melihat jam alarm yang tergeletak tak berdaya di meja samping tempat tidurku."Jam sembilan pagi?" Mataku lansung tersentak terbuka, Oh, ya ampun! Aku bahkan belum membuat sarapan untuk Harold dan Allant.Dengan tergesa-gesa aku segera berdiri dari atas tempat tidur, pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahku cepat, mengambil pasta, sikat gigi. Kurang dari lima menit aku pun telah selesai. Ketika turun ke lantai bawah, Harold telah selesai menyiapkan sarapan. Aku mendesah dan dud
"Aku ingin kita bercerai.""Apa?" Tanganku gemetar memegang kertas gugatan cerai di tanganku. "Kupikir—""Ini adalah perjanjian kita, Anastasia." Mata biru menatapku tajam. "Kuharap kau tidak melupakannya." Bibir merah muda menyeringai masam. "Atau kau masih berharap aku akan jatuh cinta padamu? Bodoh sekali," cibirnya. Dia mengambil pena dari sakunya dan meletakan di atas tanganku. "Lebih cepat kita selesaikan, itu akan baik bagi dirimu, Anastasia.""Baik untuku atau baik untuk Asyela?" Aku mengejeknya. Membubuhkan tanda tanganku dengan cepat, aku melemparkan kertas beserta map itu padanya. "Apa kau puas sekarang?" Nafasku tersengal, tanganku mengepal menahan amarah dan kesedihan dalam hatiku. Ini tak adil... menatap mata biru dingin tanpa ekpresi itu, aku sadar tak akan pernah ada cinta hidup dalam mata musim dingin yang kucintai. "Mengapa kau harus begitu dingin?" Tanpa sadar aku menyuaraka