Aku menaruh liontin itu di meja samping tempat tidur. Bagaimana bisa Karrel memiliki foto ini? Bukankah foto itu dan salinannya telah di bakar habis oleh Sill? Aku sangat yakin tidak ada satu foto pun yang tersisa.
Aku masih mengingatnya ketika Sill membakar photo itu tepat di hadapanku.
"Aku tidak ingin Karrel tahu bahwa kau adalah Ibu kandungnya. Aku ingin kau pergi menjauh dari kehidupan Karrel untuk selamanya," kata Sill kejam saat itu.
Saat itu aku hanya bisa menangis mendengar perkataan kejamnya. Ibu mana yang sanggup dan rela jika Anak kandung yang di lahirkannya dengan taruhan nyawa tidak di perbolehkan untuk mengetahui siapa Ibunya.
" Tapi, Sill,—"
"Anastasia ini adalah salah satu isi dari perjanjian kita, apa kau tidak ingat?" Sill menatap tajam ke arahku.
Aku mencoba meraih lengannya tapi Sill menepis lenganku. "Aku mohon! Biarkan aku tetap dalam kehidupan Anakku. Kau boleh menikah dengan wanita itu, tapi tolong jangan kau ambil peran seorang Ibu dariku juga. Walau bagaimanapun aku tetap adalah Ibu kandung dari anak kita." Aku berlutut memohon pada nya.
"Aku mohon..." pintaku dalam isak tangis .
Tapi tatapan dingin Sill tidak sedikitpun goyah padaku. "Kau boleh meminta atau memohon bahkan berlutut. Tapi, tetap. Keputusanku untuk kau menghilang dalam kehidupan Karrel adalah mutlak dan tidak bisa di ganggu gugat."
"Walau aku menangis darah ataupun aku akan berlutut sampai lutut ku hancur di hadapanmu?" Tanyaku.
"Bahkan sampai kau mati. Aku tidak akan pernah mengabulkan permohonanmu untuk berada dalam hidup Karrel." Sill mencengkram rahangku. "Ingat itu!"
Sill melepaskan cengkraman tangannya dari rahangku lalu berjalan pergi meninggalkanku. Tapi sebelum itu aku menahan lengannya,
"Aku selalu mencintaimu, Sill. Tak peduli jika kau terus menyakitiku seperti ini atau pun mematahkan hatiku berulang kali sekalipun," kataku padanya, berharap ia akan melunak.Sill menatapku dengan mata biru esnya. "Kau telah membuat kesalahan sejak awal, Anastasia. Sejak kau menjatuhkan hatimu padaku, kau telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupmu." Sill melepaskan peganganku dari tangannya.
" Lupakan aku dan Karrel untuk selamanya."
Itu adalah ucapan terakhir Sill sebelum dia akhirnya mengusirku dari Manor keluarga Troyard untuk selamanya.
Hatiku masih sakit jika mengingat kejadian itu. Tapi sekarang aku heran, Kenapa Sill masih menyimpan lembar terakhir foto ini? Lalu kenapa juga dia memberikannya pada Karrel? Bukankah dia ingin aku menghilang dari kehidupannya dan Karrel? Tapi, kenapa ia datang kembali ke kehidupanku lagi dan bahkan memintaku untuk kembali padanya?
Begitu banyak pertanyaan dalam benakku, tapi aku sendiri pun tidak tahu jawaban setiap pertanyaan dalam benakku itu.
Kepalaku pun menjadi pusing dan aku rasa aku tidak akan sanggup jika berpikir keras lebih dari ini. Aku harus tidur, dan tak lama akhirnya aku bisa terhanyut juga dalam mimpi, dan aku bersyukur karena kali ini mimpiku kosong, bukan mimpi tentang masa laluku lagi.
Suara kicauan burung Gereja di luar telah membangunkanku. Aku menggeliat berusaha meregangkan otot-ototku yang kaku .
"Mama...."
"Pagi, Sayang." Aku mengecup kening Karrel.
"Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" Aku bertanya.
Karrel tersenyum. "Tidak pernah senyenyak ini, Ma," katanya senang.
Aku tersenyum penuh simpati. "Memang kamu tidak pernah tidur senyenyak itu, Sayang?"
Mata biru Karrel meredup. "Karrel selalu bermimpi buruk, Ma."
Aku terkejut lalu membelai pipinya lembut. "Mimpi buruk seperti apa?" Tanyaku khawatir dan sedikit penasaran.
Karrel menggigit bibir bagian bawahnya gugup. Aku tersenyum lalu mengelus punggungnya, untuk menunjukan bahwa aku ada di sini dengannya.
Karrel menatapku dengan mata biru berkaca-kaca miliknya. "Aku selalu bermimpi tentang ketika Papa pergi bekerja, aku akan di tinggalkan dengan Bibi Asyela. Bi–bibi Asyela selalu marah pada Karrel dan mengurung karrel dalam almari sangat gelap," bisik Karrel hampir tak terdengar. Wajah kecil rapuh itu hampir seperti ingin menangis. "Karrel sangat takut Ma..., Bibi Asyela sangat jahat! Karrel takut Bibi Asyela akan datang kesini dan mengurung Karrel lagi di Almari itu."
"Sayang..., jangan takut! Mama ada disini!" Aku lansung menarik Karrel kedalam pelukanku dan ia pun menangis. Tanpa mengatakan apapun lagi, aku hanya mengelus rambutnya untuk menenangkannya dan ada disini untuknya.
Tubuh kecil Karrel gemetar dan tangan mungilnya mencengkram erat gaunku. Dia pasti sangat ketakutan karena kejadian yang menimpanya dulu. Bagaimana bisa wanita itu bisa melakukan hal sekejam pada Putraku seperti ini? Kenapa Sill juga tidak melindungi Karrel saat itu? Kemana dia?
"Sayang, sudah jangan menangis lagi. Mama sekarang ada di sampingmu. Wanita jahat itu tidak akan berani datang kemari, karena jika dia menampakan batang hidungmya saja di hadapan Mama sekarang, Mama akan memukul dan mengusirnya dari sini." Aku tersenyum lembut dan mencium pipinya. "Jadi jangan takut jika wanita Penyihir itu datang kesini lagi."
"Wanita Penyihir?" Tanya Karrel kebingungan.
"Ya. Karena dia sangat jahat pada Karrel makanya Mama menyebutnya penyihir dan Mama adalah Ksatria yang akan melindungi Karrel mulai sekarang." Aku menepuk dadaku sambil tersenyum bangga. "Percayalah pada Mama! Karena Mama adalah Ksatria Karrel."
Karrel menatapku dengan mata bulat birunya yang kini sudah tidak meneteskan air mata lagi. Sinar matanya berubah dari kesedihan menjadi kagum."Mama adalah seorang Ksatria yang akan melindungi Karrel?" Tanyanya. Akupun mengangguk.
"Yeay! Mama akan melindungi Karrel dari Penyihir. Jadi karrel janji tidak akan takut lagi, Ma."
"Itu bagus. Itu baru anak Mama," kataku bangga.
"Mommy?"
Aku mendengar derit pintu terbuka dan aku lansung berbalik dan melihat Allant kini tengah menatapku dengan mata hijaunya. "Mommy....? Kenapa Mommy bersama dengannya?"
A–allant?" Suaraku tersendat, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. "Ke–kenapa kau kemari, Sayang? Dimana Daddy?"Allant melangkah masuk dan masih menatap bingung kearah Karrel, dan begitu juga dengan Karrel. "All kemari karena Mommy tidak ada," rengeknya mulai meneteskan air mata. Aku lansung turun dari atas tempat tidur lalu meraup tubuh kecil Allant ke dalam pelukanku. Dengan lembut, aku menepuk-nepuk pungungnya agar ia tak menangis lagi. Beberapa saat kemudian, akhirnya Allant berhenti menangis dan akhirnya mulai tertidur lagi.Allant memang sangat manja padaku, terkadang aku harus menemaninya tidur dan kalau aku tidak ada, dia akan menangis dan mencariku kemana-mana. Aku akhirnya membaringkan Allant di sisi Karrel yang kini menatapku kebingungan. "Dia siapa, Ma?" Karrel bertanya padaku.Dan sama seperti pertanyaan Allant tadi, aku juga tidak bisa menjawab pertanyaan Karrel yang di lontarkannya padaku sekarang.Hening, awalnya a
Aku mengandeng Allant dengan tangan kiriku dan Karrel dengan tangan kananku. Kami bertiga berjalan bergandengan menuju dapur sekaligus ruang makan yang bersatu di lantai bawah. Selama perjalanan aku mendengar celotehan dari Allant dan Karrel lalu setelah itu mereka akan menyanyikan lagu acak yang tidak kukenal. Aku tersenyum dan akhirnya ikut bersenandung bersama mereka.Tiba di lantai bawah, kami lansung menuju dapur. Dapur bersatu dengan ruang makan itu awalnya adalah ide Harold, begitu juga semua desain rumah ini baik di luar ataupun yang di dalam. Ruangan dapur bernuansa sedikit gelap dengan warna coklat berbahan dasar kayu dengan gaya sedikit klasik, tapi sebagian besar bergaya minimalis. Meja makan berbentuk persegi panjang berada di tengah ruangan dengan enam kursi kayu yang mengelilinginya.Sebenarnya ruangan ini di desain agar terlihat tidak terlalu mewah dan sederhana. Akan tetapi, aku masih tetap bisa merasakan kemegahan k
"Aku ingin kita bercerai.""Apa?" Tanganku gemetar memegang kertas gugatan cerai di tanganku. "Kupikir—""Ini adalah perjanjian kita, Anastasia." Mata biru menatapku tajam. "Kuharap kau tidak melupakannya." Bibir merah muda menyeringai masam. "Atau kau masih berharap aku akan jatuh cinta padamu? Bodoh sekali," cibirnya. Dia mengambil pena dari sakunya dan meletakan di atas tanganku. "Lebih cepat kita selesaikan, itu akan baik bagi dirimu, Anastasia.""Baik untuku atau baik untuk Asyela?" Aku mengejeknya. Membubuhkan tanda tanganku dengan cepat, aku melemparkan kertas beserta map itu padanya. "Apa kau puas sekarang?" Nafasku tersengal, tanganku mengepal menahan amarah dan kesedihan dalam hatiku. Ini tak adil... menatap mata biru dingin tanpa ekpresi itu, aku sadar tak akan pernah ada cinta hidup dalam mata musim dingin yang kucintai. "Mengapa kau harus begitu dingin?" Tanpa sadar aku menyuaraka
Tujuh tahun kemudian.Kota London, akhir musim gugur.Suara ketukan sendok dan piring dari si Kecil-ah yang membangunkanku pagi ini. Aku membuka mataku dan melihat ke tirai jendela yang sudah terbuka. Matahari telah bersinar tinggi di atas langit, sedang aku masih terbaring di atas tempat tidurku. Pandanganku sedikit silau karena sinar mentari pagi yang menembus jendela. Dengan susah payah, aku bangun dari tempat tidur dan melihat jam alarm yang tergeletak tak berdaya di meja samping tempat tidurku."Jam sembilan pagi?" Mataku lansung tersentak terbuka, Oh, ya ampun! Aku bahkan belum membuat sarapan untuk Harold dan Allant.Dengan tergesa-gesa aku segera berdiri dari atas tempat tidur, pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahku cepat, mengambil pasta, sikat gigi. Kurang dari lima menit aku pun telah selesai. Ketika turun ke lantai bawah, Harold telah selesai menyiapkan sarapan. Aku mendesah dan dud
"Mama?" Dia bingung, mata birunya berpendar pudar ketika aku menolak mendekat ke arahnya.Memalingkan wajah, aku berpura-pura bahwa anak yang telah membuatku merasa kehilangan tidak tengah berdiri di depanku. Sudah cukup! Karrel mengingatkanku pada masa laluku yang menyakitkan. Aku menutup kedua mataku berusaha menahan laju air mata yang hendak keluar. Menarik napas dalam-dalam, aku menguatkan diri untuk menatapnya."Kau pasti salah. Aku bukan Mamamu." Rasa pahit seperti terbakar di lidahku ketika mengatakan kebohongan itu lagi. Rasanya sangat sakit ketika melihat mata biru cair itu melebar. Tangannya gemetar dan tubuh kecilnya pun sedikit goyah seperti akan jatuh ke tanah saat itu juga. Mungkin terguncang atas apa yang kuucapkan.Tak sanggup melihat pemandangan tersebut, aku segera berbalik dan berniat untuk pergi darisana. Namun, sebelum aku pergi sebuah suara dingin setajam pisau es yang selalu menghantui mimpiku setiap malam menghentikanku."Karrel ju
"Ann." Dia memegang tanganku lembut. Mata biru saphire-nya menatap penuh permohonan. Aku ingin menjawab, tapi suara halus tapi tajam dari belakangku membuat jantungku berhenti berdetak."Dokter akan segera datang." Entah sejak kapan Harold telah berdiri di dekat pintu sambil menatap kami berdua dengan mata hijau emerald-nya yang sarat dengan luka. Aku lansung melepaskan genggaman Sill dari tanganku."Harold?" Aku berseru."Aku akan menunggu John di luar. Jika kalian masih ingin berbicara, teruskan saja. Aku tidak akan menganggu." Dia berbalik pergi meninggalkan kami tanpa peduli aku yang telah memanggil namanya.Harold....Dia pasti sudah salah paham. Aku bergegas untuk mengejarnya, tapi ketika kakiku akan beranjak, Sill menahanku."Tetaplah disini!" Ia memohon, tapi aku tidak mau mendengarkan. Terpaksa aku melepas tanganku dari genggamanny
"Mama?"Aku lansung berlari ke arah Karrel. "Ya, Sayang?"Karrel menatapku dengan mata lebar terkejut. "Mama...Mama sekarang tidak marah sama Karrel lagi?"Aku bingung. Kenapa dia berpikir bahwa aku sedang marah padanya?"Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?" Tanyaku khawatir.Mata birunya menatapku berkaca-kaca. "Tadi..., saat aku memanggil Mama, Mama bilang kalau Mama bukan Mamaku," katanya sambil terisak.Hatiku lansung terpukul. Astaga...apa yang telah kulakukan pada buah hatiku sendiri?"Dengar..., Sayang. Mama tidak pernah marah padamu bahkan tidak pernah sekalipun, Sayang." Aku membelai pipi tirus Karrel dengan lembut.Karrel menatapku dengan mata biru besarnya. "Benarkah, Ma?" Suaranya penuh harapan.Hatiku terenyuh. "Benar, Sayang." Aku mencium keningnya lembut.Karrel tersenyum senang
Aku mengandeng Allant dengan tangan kiriku dan Karrel dengan tangan kananku. Kami bertiga berjalan bergandengan menuju dapur sekaligus ruang makan yang bersatu di lantai bawah. Selama perjalanan aku mendengar celotehan dari Allant dan Karrel lalu setelah itu mereka akan menyanyikan lagu acak yang tidak kukenal. Aku tersenyum dan akhirnya ikut bersenandung bersama mereka.Tiba di lantai bawah, kami lansung menuju dapur. Dapur bersatu dengan ruang makan itu awalnya adalah ide Harold, begitu juga semua desain rumah ini baik di luar ataupun yang di dalam. Ruangan dapur bernuansa sedikit gelap dengan warna coklat berbahan dasar kayu dengan gaya sedikit klasik, tapi sebagian besar bergaya minimalis. Meja makan berbentuk persegi panjang berada di tengah ruangan dengan enam kursi kayu yang mengelilinginya.Sebenarnya ruangan ini di desain agar terlihat tidak terlalu mewah dan sederhana. Akan tetapi, aku masih tetap bisa merasakan kemegahan k
A–allant?" Suaraku tersendat, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. "Ke–kenapa kau kemari, Sayang? Dimana Daddy?"Allant melangkah masuk dan masih menatap bingung kearah Karrel, dan begitu juga dengan Karrel. "All kemari karena Mommy tidak ada," rengeknya mulai meneteskan air mata. Aku lansung turun dari atas tempat tidur lalu meraup tubuh kecil Allant ke dalam pelukanku. Dengan lembut, aku menepuk-nepuk pungungnya agar ia tak menangis lagi. Beberapa saat kemudian, akhirnya Allant berhenti menangis dan akhirnya mulai tertidur lagi.Allant memang sangat manja padaku, terkadang aku harus menemaninya tidur dan kalau aku tidak ada, dia akan menangis dan mencariku kemana-mana. Aku akhirnya membaringkan Allant di sisi Karrel yang kini menatapku kebingungan. "Dia siapa, Ma?" Karrel bertanya padaku.Dan sama seperti pertanyaan Allant tadi, aku juga tidak bisa menjawab pertanyaan Karrel yang di lontarkannya padaku sekarang.Hening, awalnya a
Aku menaruh liontin itu di meja samping tempat tidur. Bagaimana bisa Karrel memiliki foto ini? Bukankah foto itu dan salinannya telah di bakar habis oleh Sill? Aku sangat yakin tidak ada satu foto pun yang tersisa.Aku masih mengingatnya ketika Sill membakar photo itu tepat di hadapanku."Aku tidak ingin Karrel tahu bahwa kau adalah Ibu kandungnya. Aku ingin kau pergi menjauh dari kehidupan Karrel untuk selamanya," kata Sill kejam saat itu.Saat itu aku hanya bisa menangis mendengar perkataan kejamnya. Ibu mana yang sanggup dan rela jika Anak kandung yang di lahirkannya dengan taruhan nyawa tidak di perbolehkan untuk mengetahui siapa Ibunya." Tapi, Sill,—""Anastasia ini adalah salah satu isi dari perjanjian kita, apa kau tidak ingat?" Sill menatap tajam ke arahku.Aku mencoba meraih lengannya tapi Sill menepis lengan
"Mama?"Aku lansung berlari ke arah Karrel. "Ya, Sayang?"Karrel menatapku dengan mata lebar terkejut. "Mama...Mama sekarang tidak marah sama Karrel lagi?"Aku bingung. Kenapa dia berpikir bahwa aku sedang marah padanya?"Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?" Tanyaku khawatir.Mata birunya menatapku berkaca-kaca. "Tadi..., saat aku memanggil Mama, Mama bilang kalau Mama bukan Mamaku," katanya sambil terisak.Hatiku lansung terpukul. Astaga...apa yang telah kulakukan pada buah hatiku sendiri?"Dengar..., Sayang. Mama tidak pernah marah padamu bahkan tidak pernah sekalipun, Sayang." Aku membelai pipi tirus Karrel dengan lembut.Karrel menatapku dengan mata biru besarnya. "Benarkah, Ma?" Suaranya penuh harapan.Hatiku terenyuh. "Benar, Sayang." Aku mencium keningnya lembut.Karrel tersenyum senang
"Ann." Dia memegang tanganku lembut. Mata biru saphire-nya menatap penuh permohonan. Aku ingin menjawab, tapi suara halus tapi tajam dari belakangku membuat jantungku berhenti berdetak."Dokter akan segera datang." Entah sejak kapan Harold telah berdiri di dekat pintu sambil menatap kami berdua dengan mata hijau emerald-nya yang sarat dengan luka. Aku lansung melepaskan genggaman Sill dari tanganku."Harold?" Aku berseru."Aku akan menunggu John di luar. Jika kalian masih ingin berbicara, teruskan saja. Aku tidak akan menganggu." Dia berbalik pergi meninggalkan kami tanpa peduli aku yang telah memanggil namanya.Harold....Dia pasti sudah salah paham. Aku bergegas untuk mengejarnya, tapi ketika kakiku akan beranjak, Sill menahanku."Tetaplah disini!" Ia memohon, tapi aku tidak mau mendengarkan. Terpaksa aku melepas tanganku dari genggamanny
"Mama?" Dia bingung, mata birunya berpendar pudar ketika aku menolak mendekat ke arahnya.Memalingkan wajah, aku berpura-pura bahwa anak yang telah membuatku merasa kehilangan tidak tengah berdiri di depanku. Sudah cukup! Karrel mengingatkanku pada masa laluku yang menyakitkan. Aku menutup kedua mataku berusaha menahan laju air mata yang hendak keluar. Menarik napas dalam-dalam, aku menguatkan diri untuk menatapnya."Kau pasti salah. Aku bukan Mamamu." Rasa pahit seperti terbakar di lidahku ketika mengatakan kebohongan itu lagi. Rasanya sangat sakit ketika melihat mata biru cair itu melebar. Tangannya gemetar dan tubuh kecilnya pun sedikit goyah seperti akan jatuh ke tanah saat itu juga. Mungkin terguncang atas apa yang kuucapkan.Tak sanggup melihat pemandangan tersebut, aku segera berbalik dan berniat untuk pergi darisana. Namun, sebelum aku pergi sebuah suara dingin setajam pisau es yang selalu menghantui mimpiku setiap malam menghentikanku."Karrel ju
Tujuh tahun kemudian.Kota London, akhir musim gugur.Suara ketukan sendok dan piring dari si Kecil-ah yang membangunkanku pagi ini. Aku membuka mataku dan melihat ke tirai jendela yang sudah terbuka. Matahari telah bersinar tinggi di atas langit, sedang aku masih terbaring di atas tempat tidurku. Pandanganku sedikit silau karena sinar mentari pagi yang menembus jendela. Dengan susah payah, aku bangun dari tempat tidur dan melihat jam alarm yang tergeletak tak berdaya di meja samping tempat tidurku."Jam sembilan pagi?" Mataku lansung tersentak terbuka, Oh, ya ampun! Aku bahkan belum membuat sarapan untuk Harold dan Allant.Dengan tergesa-gesa aku segera berdiri dari atas tempat tidur, pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahku cepat, mengambil pasta, sikat gigi. Kurang dari lima menit aku pun telah selesai. Ketika turun ke lantai bawah, Harold telah selesai menyiapkan sarapan. Aku mendesah dan dud
"Aku ingin kita bercerai.""Apa?" Tanganku gemetar memegang kertas gugatan cerai di tanganku. "Kupikir—""Ini adalah perjanjian kita, Anastasia." Mata biru menatapku tajam. "Kuharap kau tidak melupakannya." Bibir merah muda menyeringai masam. "Atau kau masih berharap aku akan jatuh cinta padamu? Bodoh sekali," cibirnya. Dia mengambil pena dari sakunya dan meletakan di atas tanganku. "Lebih cepat kita selesaikan, itu akan baik bagi dirimu, Anastasia.""Baik untuku atau baik untuk Asyela?" Aku mengejeknya. Membubuhkan tanda tanganku dengan cepat, aku melemparkan kertas beserta map itu padanya. "Apa kau puas sekarang?" Nafasku tersengal, tanganku mengepal menahan amarah dan kesedihan dalam hatiku. Ini tak adil... menatap mata biru dingin tanpa ekpresi itu, aku sadar tak akan pernah ada cinta hidup dalam mata musim dingin yang kucintai. "Mengapa kau harus begitu dingin?" Tanpa sadar aku menyuaraka