Degup jantung berdetak kencang menemani dinginnya seorang gadis bernama Isma di dalam mobil yang sedang melesat cepat. Sesekali, sorot matanya yang gugup bertemu dengan ekor mata lelaki yang tengah mengemudi melalui kaca spion bagian depan.
Entah sudah berapa ribu kali Isma mengusap keringat dingin di telapak tangannya, dia benar-benar ketakutan."Jangan mengecewakan Isma, dia laki-laki pertama yang berani membayarmu dengan harga tinggi!"Suara Mami Ratna penguasa rumah bordil tadi kembali terngiang di telinga Isma, semakin menguatkan gelisah yang menderanya.Cittt!!! Mobil berhenti tepat di depan sebuah hotel bintang lima. Terang cahaya dari gedung pencakar langit tersebut nyatanya tidak mampu membuat Isma merasa tenang. Justru, di matanya semua nampak gelap seolah tidak ada siapa pun dalam dunianya yang mulai kelam."Turun!" Pria yang tadi menyetir turun dari mobil, membukakan pintu untuk Isma."Iya," sahut Isma mulai menurunkan kakinya menjejak di bumi. Dress di atas lutut yang melekat di tubuh sintalnya sedikit tertiup angin yang berhembus. Isma menarik napas panjang, mulai berjalan mengikuti si pria tinggi di depannya.Pintu hotel yang terbuat dari kaca terbuka otomatis. Isma mengedarkan pandangannya, mencari-cari seseorang yang kata Mami Ratna sudah menyewanya untuk malam ini."Duduk di sini," titah lelaki tadi menunjuk sebuah sofa di sudut lobby hotel yang cukup ramai dilalui banyak orang.Isma hanya menurut saja, dia duduk di sana dan menunduk. Matanya mulai berkaca meski sudah dia tahan untuk tidak menangis."Isma, ibu kamu sakit dan butuh biaya banyak. Uang hasil kerja kamu di warteg ya mana cukup untuk menghidupi kebutuhannya!"Ah ... tuntutan dari keluarganya di kampung membuat Isma putus asa hingga memilih jalan yang tidak seharusnya. Dua bulan Isma bekerja di sebuah rumah makan dengan gaji tidak lebih dari dua juta, nyatanya tidak mampu memenuhi kebutuhan.Sekarang Isma memilih jalan pintas. Menjadi wanita malam melalui Mami Ratna, langganannya di rumah makan yang berani memberikan uang dua juta yang ia dapat selama sebulan bekerja hanya dalam waktu semalam saja.Akan tetapi Isma harus membayar mahal keputusannya. Uang yang dia dapat dengan mudah itu nyatanya harus membuat Isma rela kehilangan kehormatannya yang akan ia jual malam ini kepada seorang lelaki pilihan Mami Ratna."Ah!" pekik Isma terkejut sekaligus merasa sakit di bagian belakang kepalanya. Dia menoleh, mendapati dua orang lelaki sedang menatap kepadanya. Salah seorang lelaki terkekeh seraya mengatupkan kedua tangannya di dada."Maaf Mbak, saya tidak sengaja!""Hm!" kata Isma mengangguk pelan, mengusap kepalanya yang ngilu. Sepertinya tadi lelaki itu tidak sengaja menyikutnya."Kalau begitu permisi Mbak, maaf ya sekali lagi saya minta maaf!""Iya tidak apa-apa, Mas." Lalu Isma membiarkan dua orang lelaki itu pergi, lelaki yang berjalan paling depan tampak acuh dengan kejadian tersebut. Tidak ada senyum tipis di wajahnya malah terkesan dingin.Tidak lama setelah insiden itu, pria yang tadi membawa Isma ke hotel kembali dengan seseorang lainnya. Isma berdiri, menyambut kedatangan mereka. Lelaki yang baru dia temui tersenyum menyeringai, menelisik penampilan Isma dari ujung kaki hingga ke ujung rambutnya dengan mata kelaparan."Ya ... lumayan cantik untuk ukuran koleksi Mami Ratna," gumam si lelaki bertubuh gempal dan berperut buncit itu."Maaf Pak—""Bawa langsung ke kamar, saya tidak sabar untuk segera mencicipinya!"Deg! Jantung Isma berdenyut nyeri. Jadi ... lelaki ini yang akan tidur dengannya? Lelaki tua ini yang akan merenggut kehormatannya?"Ayo!"Seretan di tangan Isma menyadarkan lamunannya. Dia mulai bimbang, namun kakinya tetap mengayun mengikuti langkah dua pria di hadapannya."Ibu hanya berpesan, jaga diri kamu baik-baik. Jangan khawatirkan Ibu, yang penting kamu di kota itu hidup baik dan sehat Is." Suara ringkih ibunya sesaat sebelum Isma pergi merantau seperti berdengung di telinganya.Isma menatap punggung lelaki tersebut. Hati kecilnya berteriak menolak, namun Isma membutuhkan uang dua juta yang Mami Ratna tawarkan. Tadi sore bahkan saudaranya sudah menelepon meminta kiriman uang, dan Isma berjanji akan mengirimnya esok pagi setelah Mami Ratna memberikannya."Kamu tidak usah jaga di sini, Gus. Malam ini saya mau senang-senang.""Baik, Pak."Ketiganya berhenti di depan pintu sebuah kamar. Salah seorang pergi setelah mendapatkan bayarannya. Saat lelaki bertubuh gempal itu pergi, Isma dipersilahkan masuk ke dalam kamar."Kenalkan, saya Hartono. Ayo masuk," ajaknya dengan senyum nakal menjijikkan yang terbit di wajahnya."Tapi Pak, sebentar—""Tidak ada tapi-tapian, ayo sekarang masuk!"Didorongnya punggung Isma dengan paksa. Blam! Pintu segera dikunci, Hartono melepas jasnya yang sempit lalu melemparkannya ke sofa."Ayo Sayang, layani Om malam ini!""Pak sebentar—" Isma dibuat kaget saat tiba-tiba Hartono memeluknya dari belakang. Pria yang usianya berkisar 50 tahun lebih itu mulai melakukan aksinya. "Pak!"Refleks Isma menepis tangan Hartono, melepaskan dirinya dari pelukan si lelaki tua. "Lepasin saya!""Loh, apa ini?" Hartono mulai menyadari ada yang tidak beres karena penolakan yang dilakukan oleh Isma. "Kamu nolak saya?" tanyanya kembali mendekat membuat Isma berjalan mundur menghindarinya.Isma mulai berubah pikiran. Uang dua juta yang semula membuat tekadnya bulat mulai runtuh. Dia tidak mau melakukannya, menjual diri kepada lelaki tua di hadapannya."Saya berubah pikiran, tolong hubungi Mami dan biarkan saya pergi!" kata Isma dengan suara bergetar."Tidak bisa begitu, saya sudah membayar kamu dengan mahal dan tidak bisa dibatalkan. Kamu pikir saya pesan makanan di pinggir jalan yang bisa seenaknya saja ditinggalkan?!""Tolong Pak, saya tidak mau melakukannya. Saya mau pergi dari sini!" Isma berjalan menuju ke pintu, namun tangannya dicekal oleh Hartono yang menariknya hingga Isma pun kembali terseret ke belakang."Tidak semudah itu! Kamu tidak bisa pergi sebelum urusan kita selesai!" Suara Hartono mulai meninggi, kesabarannya tidak bisa diuji seperti ini."Pak, tolong lepaskan saya. Bapak tinggal ambil kembali uangnya dari Mami—"Plak! Sebuah tamparan mendarat keras di pipi kiri Isma, meninggalkan bekas kemerahan di wajahnya yang sudah dipoles riasan oleh Mami Ratna."Beraninya kamu mempermainkan saya!" teriak Hartono dengan urat leher menegang, rahangnya mengeras dan matanya hampir melompat keluar menakuti Isma."Bukan begitu Pak, saya cuma benar-benar tidak bisa melakukannya!"Bugh! Isma terjerembab, tubuhnya beradu dengan lantai keramik karena Hartono baru saja mendorongnya."Tidak semudah itu, malam ini kamu milik saya!""Tolong Pak—" Isma mengangkat wajahnya, mulutnya terbuka lebar saat melihat Hartono mulai melepaskan ikat pinggannya. Senyumnya lebar seperti iblis menampakkan deretan gigi. Hartono mendekat, mencengkeram dagu Isma lalu berbisik di telinganya, "kamu tidak akan bisa lolos dari Hartono Wijaya!""Jangan, Pak!" Isma mendorong dada Hartono menjauh darinya. Namun, pergelangan tangannya digenggam kuat oleh tangan Hartono yang besar, lelaki tua itu tidak akan membiarkan mangsanya yang sudah di bayar mahal lolos begitu saja."Kamu pikir saya bodoh, hah? Kamu sudah di sini, dan sudah tugas kamu untuk melayani saya!" Hartono membangunkan Isma, menyeretnya membawa perempuan itu ke ranjang."Pak!" Isma berteriak dan berontak, tetapi Hartono bergeming. Dia tidak peduli Isma kesakitan.Semakin dekat jarak mereka ke tempat tidur, semakin kalut pikiran Isma. Dia tidak mau hidupnya hancur karena uang dua juta. Isma tidak ingin membunuh masa depannya meski tidak yakin akan secerah apa hidupnya nanti."Pak!" Panggilan Isma diabaikan, Hartono tetap pada hasratnya yang terlanjur melambung tinggi. Lalu, keadaan semakin membuat Isma terdesak. Pikiran jahat mulai menghasutnya saat sebuah vas bunga tidak sengaja dia lihat.Isma menyambar vas bunga yang
Sementara Raffi berurusan dengan polisi, Arman kini berada di rumah sakit. Isma sedang menjalani penanganan di ruang gawat darurat. Arman tahu namanya dari kartu identitas yang ada di tas Isma."Bagaimana keadaannya?" Arman sontak berdiri menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan."Pasien tidak sadarkan diri, kami harus menunggu hasil laboratorium lebih dulu untuk mengetahui luka bagian dalamnya."Arman hanya mengangguk kecil, membiarkan dokter pergi lalu duduk lagi di tempat yang sama. Tidak ada sedikit pun niat untuk pergi ke dalam melihat kondisi Isma langsung.Arman Rasendriya, lelaki berusia 30 tahun merupakan seorang pengusaha jasa travel dan hotel. Dia mewarisi perusahaan turun temurun dari keluarganya. Lelaki berperawakan tinggi itu terkenal dengan sikapnya yang acuh dan berhati dingin.Diberkahi paras yang tampan dan kekayaan yang melimpah, tentu membuat Arman memiliki karisma lebih. Tidak sedikit perempuan yang mengi
Arman menelisik sosok perempuan yang berdiri menundukkan pandangannya. Isma, gadis itu sudah jauh lebih baik meski beberapa kain kassa masih menempel menutupi bekas lukanya.Celana training kelonggaran, kaos oblong kebesaran melekat di tubuh mungilnya. Arman mengamati penampilan perempuan yang kata Raffi berasal dari kampung itu. "Benar-benar kampungan," gumam Arman namun masih dapat Isma dan Raffi dengar.Kemudian, Arman menyisir seluruh sudut ruangan apartemennya. Tidak ada yang berubah, maksudnya tidak ada yang hilang. Arman yakin Isma tidak mencuri atau menyembunyikan barang miliknya selama tinggal di sini."Ini uang sebagai ganti rugi, kamu bisa pergi setelah ikut saya ke kantor polisi untuk melakukan wajib lapor," ucap Raffi pada Isma seraya menyodorkan amplop coklat cukup tebal kepadanya."Tidak perlu, Pak. Saya sudah diijinkan tinggal di sini juga sudah bersyukur, jadi waktunya saya pulang dan uang itu tidak perlu Bapak kasih lagi." Isma m
"Jangan bicarakan ini lagi," kata Diajeng mengingatkan Arman. Perempuan itu berbalik, meninggalkan mereka untuk menyambut tamu besarnya.Diikuti Bagus, Diajeng pergi ke teras. Di sana rekan bisnisnya sudah menunggu, juga Clara–gadis yang akan mereka jodohkan dengan Arman."Maaf membuat kalian menunggu," sambut Diajeng memasang senyum terbaik di wajahnya."Tidak apa, Bu."Perempuan cantik dan anggun bernama Clara itu mencium punggung tangan Diajeng dan Bagus bergantian. Orangtuanya, Abimanyu dan Sintia juga ikut menyapa."Ayo masuk," ajak Diajeng menggandeng Sintia–calon besannya.Saat mereka tiba di ruang tamu, keberadaan Arman dengan seorang perempuan tentu saja mengusik rasa penasaran dalam benak Clara dan orangtuanya. Memang belum ada pembicaraan resmi tentang perjodohannya dengan Arman, tapi Clara sudah yakin diadakannya acara malam ini tujuannya untuk itu."Siapa dia, Tan?" tanya Clara."Sekretaris Arman, tadi katanya mereka habis dari tempat klien makanya langsung ke sini," jawa
"Tapi Pak, busnya sudah berjalan tiga puluh menit yang lalu!" Raffi mengacak rambutnya hingga berantakan. Lelaki itu sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga, terdengar amukan Arman karena membiarkan Isma pergi begitu saja. Padahal, mana Raffi tahu kalau lelaki itu masih membutuhkan Isma."Kamu tunggu di sana!"Masih tidak jauh dari terminal, Raffi menunggu Arman seperti yang lelaki itu sarankan. Cukup lama memang karena jarak dari kantor ke terminal sedikit jauh. Dari kaca spion, Raffi melihat mobil kantor datang dari arah belakang.Arman turun dari mobilnya beralih ke mobil yang Raffi bawa, lelaki itu memasang sabuk pengaman lalu berkata, "ayo jalan! Susul dia.""Memang ada apa, Pak?" tanya Raffi seraya menyalakan mesin mobil."Dia harus nikah sama saya!""Apa?" Tercengang Raffi mendengar jawaban Arman.Arman bukan tipe lelaki yang senang menjelaskan sesuatu segala rinci kecuali dia yang menginginkannya. Raffi, sudah bekerja cukup lama dengan Arman. Lelaki itu memilih menutup mulut
Isma melirik Raffi yang berada di antara dirinya dan Arman, harap-harap Raffi akan memberikan pertanda bahwa Arman sedang bercanda saat ini. Namun pria yang usianya lebih matang itu tidak menunjukkan tanda-tanda mereka sedang menikah."Ayo berkemas!" Suara bariton milik Arman mengagetkan lamunan Isma yang belum menguasai dirinya sepenuhnya."Tidak bisa begitu, Pak. Maaf." Isma kemudian beringsut dari kursi. "Sebaiknya Pak Arman dan Pak Raffi segera pergi, hari sudah mulai sore khawatir kalau kalian kemalaman di jalan.""Saya tidak bisa pergi kalau kamu tidak ikut!" tukas Arman menahan lengan Isma, tepatnya mencengkeram karena sekarang perempuan itu sedikit meringis. Lalu, Arman sadar dan melepaskan tangan Isma. "Ini penting, saya akan membuat tawaran yang lebih dari uang sepuluh juta kemarin!""Pak, ini bukan masalah uang lagi." Isma sekarang mengerti kenapa Arman melakukannya, dia pikir lelaki di hadapannya itu semakin terdesak oleh keadaan dan tekanan dari orangtuanya sehingga melak
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, ambulans yang membawa ibunya Isma tiba di rumah sakit. Arman turun dari sedannya yang dikemudikan oleh Raffi, sementara Isma keluar dari mobil rumah sakit di depannya.Wajah Isma menggambarkan kekhawatiran yang mendalam akan keadaan ibunya. Jauh dalam lubuk hatinya, Isma menyudutkan dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi satu-satunya anak yang seharusnya dapat ibunya andalkan.Dua bulan Isma merantau, dia tidak bisa membawa ibunya berobat. Baru sekarang, itupun ada harga yang harus Isma bayar dengan mengorbankan dirinya terikat pernikahan kontrak dengan Arman."Urus semuanya, Raf." Arman duduk di kursi tunggu, sementara Isma diijinkan dokter masuk ke ruangan dan Raffi pergi ke meja administrasi.Di samping Arman, Eko juga ikut menunggu kakak iparnya yang sedang sakit parah. Dia mengamati Arman diam-diam, ada perasaan aneh dalam dirinya tentang lelaki itu. Tentang pengakuannya perihal Isma dan rencana pernikahan mereka."Berapa bia
Raffi menilai Arman terlalu egois dalam hal ini. Seperti sekarang, mereka berada dalam perjalanan menuju ke kota lagi tepat pukul 11 malam.Tentu saja Isma ikut bersama mereka karena Arman terus saja menekan perempuan yang telah dia nikahi beberapa saat yang lalu itu. Di kursi bagian belakang, Isma sedang duduk bersandar. Wajahnya murung, dia lelah tapi tidak bisa tidur.Baru saja tadi pagi kembali ke kampung, lalu dalam satu hari dia kehilangan ibunya sekaligus terikat pernikahan kontrak bersama Arman. Dalam hatinya Isma menyesal, kalau ibunya memang ditakdirkan meninggal dunia hari ini kenapa Tuhan harus membuatnya memilih keputusan menerima tawaran Arman? Karena sekarang semuanya tidak berguna bagi Isma."Isma, kamu lapar?" tanya Raffi merasa cemas dengan keadaannya.Sontak Arman pun ikut melirik perempuan itu. Bukan hanya Isma sebenarnya, dia dan Raffi juga tidak makan seharian karena kejadian serba mendadak ini."Saya tidak lapar, Pak," jawab Isma tanpa membalas tatapan keduanya.
Pulang ke rumah di jam yang sangat larut, Arman terkejut melihat seseorang meringkuk di sofa ruang tamu. Lelaki itu menyipitkan matanya, menelisik sosok yang tampak kecil hanya diterangi cahaya yang berasal dari sela-sela ventilasi.Lalu, saat Arman meraba dan stop kontaknya dinyalakan, lelaki itu tahu bahwa seseorang yang ada di sofa tadi adalah Isma. Gadis itu tertidur di sana, tanpa selimut padahal cuaca cukup dingin ditambah pendingin ruangan yang masih menyala."Kenapa dia tidur di sini?" gumam Arman melepas jasnya yang terasa sesak dan menaruhnya di pinggir sofa yang kosong. Kemudian dia mendekat, berjongkok tepat menghadap ke wajah Isma yang tertidur pulas. "Isma?" bisiknya cukup pelan.Dalam sekali panggilan, Isma langsung mengerjap dan cukup kaget dengan kehadiran Arman yang begitu dekat posisinya. "Mas—" Isma beringsut lalu duduk di sofa sedangkan Arman sudah berdiri sejak tadi."Kamu ngapain tidur di sini? Seperti tidak punya kamar saja," celetuk Arman lalu duduk di sofa la
Di tengah keramaian dan megahnya pesta ulang tahun pernikahan orangtua Arman, ada seorang gadis yang tengah gugup setengah mati. Isma, dia sedang berada di antara sekumpulan tamu undangan diapit oleh Diajeng dan Clara di sisi kanan kirinya."Ngomong-ngomong, ini siapa?" tanya salah seorang."Asistennya Arman, yang ngurusin keperluan pribadi anak saya." Diajeng menjawabnya, ditimpali kekehan mengejek yang berasal dari Clara."Wah, baik banget Arman. Mau bawa asistennya ke pesta ini. Terus ini siapa?" tanya yang lain lagi, beralih kepada Clara."Ini calon istrinya," sahut Diajeng kemudian memperkenalkan Clara. Tak lupa, dia juga menyebutkan dari mana Clara berasal dan perusahaan apa yang keluarganya miliki. "Selain cantik, Clara ini memang pintar. Dia sekolah di luar negeri, dan akan meneruskan perusahaan Aura Beauty."Padahal ada Isma yang sudah resmi dinikahi oleh Arman tetapi Diajeng tidak sudi untuk mengakuinya. Dibandingkan harus membiarkan semua orang tahu jika Isma sekarang menja
"Ma!"Tiba-tiba, dari arah depan Arman muncul mengejutkan Diajeng dan Isma. Bi Inah yang diam-diam melaporkan kepada lelaki itu karena tidak bisa menghentikan Diajeng."Mama ngapain Isma?" tanya Arman penuh selidik.Meski putra semata wayangnya itu tampak kesal namun Diajeng sama sekali tidak peduli padahal dia baru saja terpergok membuat menantunya sendiri kelelahan dengan pekerjaan rumah.Diajeng pun menghampiri Arman, melipat tangan di dada dan menatap lelaki itu. "Ngapain lagi? Nyuruh istri kamu beres-beres rumah, kenapa memangnya?""Ada Bi Inah yang aku pekerjakan untuk melakukan ini, jadi kenapa Isma juga harus melakukannya?"Mendengar Arman membelanya, Isma terdiam di pojokan kebun. Dia tidak menduga lelaki itu akan kembali dari kantor dan keributan terjadi lagi di antara dirinya dan Diajeng jadi Isma pun mendekat untuk menengahi."Mas, tidak apa-apa.""Tuh denger, kamu saja yang aneh! Mama cumaa ngajarin istri kamu untuk melakukan pekerjaan rumah tapi kamu malah marah!" seru D
Pagi hari, Arman turun dari kamarnya menuju ke meja makan. Dia sudah siap mengenakan jas dan akan pergi ke kantor. Di meja, ada sebuah cangkir berisi kopi yang masih mengepul. Kemudian Arman pun menyeruput kopi tersebut. Dia terdiam sejenak, kembali menyeruputnya merasa-rasa kopi tersebut."Tumben rasanya beda?" gumam Arman menyecap kembali minumannya. Kopi dengan sedikit susu itu biasanya terasa lebih manis, tapi kali ini berbeda di lidahnya."Kenapa, Pak?" tanya Bi Inah kepada Arman."Kopinya enak, tumben tidak terlalu manis.""Bukan Bibi yang buat," bantah Bi Inah. "Mbak Isma tadi yang buatkan soalnya Bibi lagi nyuci.""Isma?"Kemudian orang yang sedang mereka bicarakan keluar dari dapur. Isma tersenyum, dia mengenakan celemek yang membungkus pakaiannya. "Sarapannya sudah siap, Pak. Maksud saya, Mas."Bi Inah tersenyum mesem melihat pengantin baru itu masih tampak kaku. Bi Inah tentu tahu tentang pernikahan yang terjadi di antara Arman dan Isma semenjak Isma pertama kali datang, na
Kabar pernikahan Arman dan Isma akhirnya sampai ke telinga Clara. Gadis berusia 28 tahun dan merupakan penerus perusahaan kosmetik milik orangtuanya itu tidak percaya begitu saja.Clara dan Arman memang belum resmi dijodohkan, Clara hanya tahu orangtuanya dan orang tua Arman memiliki rencana itu. Meski begitu, Clara terlanjur jatuh hati kepada Arman sejak mereka pertama kali bertemu.Karena dihantui rasa penasaran yang mendalam, Clara memutuskan pergi ke kediaman Arman lagi dan ingin memastikan kabar tersebut.Begitu sampai di rumah Arman yang terletak di salah satu kompleks perumahan elit ibukota, Clara langsung menemui petugas keamanan di sana."Di mana Arman?" tanyanya tanpa basa-basi."Pak Arman sudah berangkat ke kantor sama pak Raffi, Mbak.""Ada siapa di dalam?""Istrinya Pak Arman dan bibi."Tanpa permisi, Clara melenggang masuk ke kawasan rumah Arman dan langsung mengetuk pintunya. Tidak perlu menunggu lama, pintu dibuka dari dalam.Seorang gadis mengenakan dress terusan sede
Mobil berwarna putih itu melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan pelataran rumah Arman membawa kekesalan pemiliknya. Diajeng, mengepalkan tangan menahan semua amarahnya di sana."Sabar Ma," ucap Bagus seraya mengusap bahu sang istri."Ini sudah keterlaluan, Pa. Bagaimana bisa, Arman menikah tanpa sepengetahuan kita. Dia menikahi perempuan itu tanpa restu kita. Arman itu anak kita satu-satunya, argh—""Papa juga sangat marah, tapi kamu tahu karakternya seperti apa 'kan? Arman tidak akan mengikuti keinginan kita begitu saja.""Ck!" Diajeng hanya bisa berdecak sebal seiring semakin jauh kediaman Arman dari jangkauannya.Sementara itu, Arman hendak masuk ke kamarnya tapi dia lupa jika Isma masih ada di ruang kerja. Kemudian, dia pun kembali ke sana."Kamu sudah boleh pergi," kata Arman di ambang pintu namun tidak mendapatkan sahutan. Di sofa, kepala Isma tidak nampak menyembul. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, bertanya dalam hati apa Isma sudah keluar dari ruangan tersebut?Karen
Raffi menilai Arman terlalu egois dalam hal ini. Seperti sekarang, mereka berada dalam perjalanan menuju ke kota lagi tepat pukul 11 malam.Tentu saja Isma ikut bersama mereka karena Arman terus saja menekan perempuan yang telah dia nikahi beberapa saat yang lalu itu. Di kursi bagian belakang, Isma sedang duduk bersandar. Wajahnya murung, dia lelah tapi tidak bisa tidur.Baru saja tadi pagi kembali ke kampung, lalu dalam satu hari dia kehilangan ibunya sekaligus terikat pernikahan kontrak bersama Arman. Dalam hatinya Isma menyesal, kalau ibunya memang ditakdirkan meninggal dunia hari ini kenapa Tuhan harus membuatnya memilih keputusan menerima tawaran Arman? Karena sekarang semuanya tidak berguna bagi Isma."Isma, kamu lapar?" tanya Raffi merasa cemas dengan keadaannya.Sontak Arman pun ikut melirik perempuan itu. Bukan hanya Isma sebenarnya, dia dan Raffi juga tidak makan seharian karena kejadian serba mendadak ini."Saya tidak lapar, Pak," jawab Isma tanpa membalas tatapan keduanya.
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, ambulans yang membawa ibunya Isma tiba di rumah sakit. Arman turun dari sedannya yang dikemudikan oleh Raffi, sementara Isma keluar dari mobil rumah sakit di depannya.Wajah Isma menggambarkan kekhawatiran yang mendalam akan keadaan ibunya. Jauh dalam lubuk hatinya, Isma menyudutkan dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi satu-satunya anak yang seharusnya dapat ibunya andalkan.Dua bulan Isma merantau, dia tidak bisa membawa ibunya berobat. Baru sekarang, itupun ada harga yang harus Isma bayar dengan mengorbankan dirinya terikat pernikahan kontrak dengan Arman."Urus semuanya, Raf." Arman duduk di kursi tunggu, sementara Isma diijinkan dokter masuk ke ruangan dan Raffi pergi ke meja administrasi.Di samping Arman, Eko juga ikut menunggu kakak iparnya yang sedang sakit parah. Dia mengamati Arman diam-diam, ada perasaan aneh dalam dirinya tentang lelaki itu. Tentang pengakuannya perihal Isma dan rencana pernikahan mereka."Berapa bia
Isma melirik Raffi yang berada di antara dirinya dan Arman, harap-harap Raffi akan memberikan pertanda bahwa Arman sedang bercanda saat ini. Namun pria yang usianya lebih matang itu tidak menunjukkan tanda-tanda mereka sedang menikah."Ayo berkemas!" Suara bariton milik Arman mengagetkan lamunan Isma yang belum menguasai dirinya sepenuhnya."Tidak bisa begitu, Pak. Maaf." Isma kemudian beringsut dari kursi. "Sebaiknya Pak Arman dan Pak Raffi segera pergi, hari sudah mulai sore khawatir kalau kalian kemalaman di jalan.""Saya tidak bisa pergi kalau kamu tidak ikut!" tukas Arman menahan lengan Isma, tepatnya mencengkeram karena sekarang perempuan itu sedikit meringis. Lalu, Arman sadar dan melepaskan tangan Isma. "Ini penting, saya akan membuat tawaran yang lebih dari uang sepuluh juta kemarin!""Pak, ini bukan masalah uang lagi." Isma sekarang mengerti kenapa Arman melakukannya, dia pikir lelaki di hadapannya itu semakin terdesak oleh keadaan dan tekanan dari orangtuanya sehingga melak