Sementara Raffi berurusan dengan polisi, Arman kini berada di rumah sakit. Isma sedang menjalani penanganan di ruang gawat darurat. Arman tahu namanya dari kartu identitas yang ada di tas Isma.
"Bagaimana keadaannya?" Arman sontak berdiri menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan."Pasien tidak sadarkan diri, kami harus menunggu hasil laboratorium lebih dulu untuk mengetahui luka bagian dalamnya."Arman hanya mengangguk kecil, membiarkan dokter pergi lalu duduk lagi di tempat yang sama. Tidak ada sedikit pun niat untuk pergi ke dalam melihat kondisi Isma langsung.Arman Rasendriya, lelaki berusia 30 tahun merupakan seorang pengusaha jasa travel dan hotel. Dia mewarisi perusahaan turun temurun dari keluarganya. Lelaki berperawakan tinggi itu terkenal dengan sikapnya yang acuh dan berhati dingin.Diberkahi paras yang tampan dan kekayaan yang melimpah, tentu membuat Arman memiliki karisma lebih. Tidak sedikit perempuan yang menginginkannya, tapi Arman tidak seperti lelaki pada umumnya. Dia sulit ditaklukkan, meski dengan uangnya yang banyak Arman bisa mendapatkan perempuan manapun yang dia inginkan."Saudara atau keluarga pasien atas nama Isma?"Arman mengangkat wajahnya saat seorang suster berteriak menyebut nama perempuan korban tabrak mobilnya. "Iya, Sus?""Pasien sudah sadar," jawab Suster mempersilahkan Arman untuk masuk.Sebenarnya Arman tidak ingin, tapi dia bisa menjadi pusat perhatian jika menolak menengok pasien. Apalagi seorang polisi sejak tadi berdiri tidak jauh darinya, mengawasi kalau-kalau dia melarikan diri padahal Raffi sudah menjaminkan dirinya.Begitu masuk, Arman dan Isma bertatap muka. Detik itu juga Isma bisa mengingat Arman. Ya, lelaki itu yang bertemu dengannya di lobby hotel tadi sebelum bertemu dengan Hartono."Terima kasih, Pak."Arman melongo, mendengar ucapan yang keluar dari mulut perempuan di hadapannya. Keningnya berkerut dalam, dia berpikir apa Isma terkena gegar otak? Atau lukanya sangat serius sampai perempuan itu mengucapkan terima kasih kepada orang yang sudah melukainya."Karena Bapak saya selamat dari kejaran mereka," timpal Isma. Senyumnya lebar, bersaing dengan wajahnya yang pucat. Kepalanya yang berdenyut nyeri dia abaikan, perban melilit menutupi beberapa luka di tubuhnya."Katakan pada polisi, kalau kamu tidak hati-hati menyeberang!" ketus Arman membuat Isma terdiam. "Saya tidak suka terlibat urusan seperti ini, gara-gara kamu saya harus terjebak di rumah sakit. Perempuan menyusahkan!"Tatapan Isma nanar mendengar jawaban lelaki itu. Dia tidak tahu siapa namanya, dan mungkin tidak akan pernah tahu mengingat sikapnya yang seperti ini."Pak!" Raffi baru saja tiba di rumah sakit setelah melalui proses panjang penyelidikan. Beruntung, karena pengaruh uang dan nama besar keluarga Arman kasus tabrakan tersebut tidak dipersulit."Sudah selesai? Urus biaya administrasi dan beri dia uang, saya harus pergi!""Tapi Pak—" sergah Raffi mencegah Arman yang hendak pergi. "Kita tidak bisa meninggalkan dia," kata Raffi lagi."Kenapa?" tanya Arman heran."Kasus ini ditutup karena saya menjamin perempuan itu akan kita urus sampai sembuh," jawab Raffi menundukkan kepalanya."Apa?""Maaf Pak, tapi ini sudah langkah yang paling baik dan cepat. Kita hanya perlu memastikan dia sembuh total saja.""Ya sudah, biarkan dia dirawat di sini sampai keadaannya membaik. Kalau perlu, deposit sejumlah uang untuk biaya pengobatannya."Tapi tatapan Raffi menyiratkan semuanya. Lelaki itu meringis, bersiap mendapatkan letupan amarah dari majikannya. Berjalan mundur, Raffi membayar semua biaya pengobatan. Isma pun akhirnya dibawa pulang oleh Raffi.Karena Arman tidak ingin repot, Raffi membawa Isma ke apartemen milik lelaki itu. Apartemen Arman jarang ditempati, demi tanggungjawab dan nama baiknya, Arman harus rela tempat pribadinya dijadikan tempat tinggal perempuan asing. Sekarang Isma tinggal di sana untuk sementara waktu, dan Raffi yang mengurus semuanya.* * *"Pak, malam ini Pak Bagus meminta anda ke rumah utama."Arman melengos pergi, mengendurkan dasinya yang terasa mencengkeram di leher. "Mau apa papa minta saya ke rumah?""Ada acara makan malam katanya," jawab Raffi seraya menaruh tas milik Arman di meja."Lagi? Perjodohan lagi?" decak Arman begitu sebal.Raffi hanya tersenyum tipis, lelaki berusia 40an itu mengangguk pelan. "Kali ini perempuannya bernama Clara, anak dari pemilik perusahaan kosmetik Aura Beauty."Lalu, sebuah tablet dengan layar menyala disodorkan oleh Raffi. Sebuah foto gadis cantik dengan rambut berwarna coklat lengkap dengan profilnya terpampang di sana."Kenapa mereka kukuh sekali ingin saya menikah?" gerutu Arman."Tapi yang ini cantik, Pak." Air liur Raffi bahkan hampir menetes melihat perempuan berdarah blasteran Indonesia-Belanda itu."Saya tidak tertarik, bagaimana caranya saya menghentikan mereka melakukan ini? Apa saya harus bilang kalau saya tidak menyukai perempuan?" Ide gila tersebut tiba-tiba melintas di kepala Arman."Tidak mungkin, Pak. Lalu lima tahun dengan mbak Kinan, apa ya?" singgung Raffi menyebut nama mantan kekasih Arman. Sontak, Arman berbalik memutar badan. Sorot matanya menyiratkan rasa tidak suka mendengar nama perempuan itu disebut kembali. "Hehe, maaf Pak.""Bantu saya cari cara yang lain!""Bawa perempuan pilihan Bapak," celetuk Raffi."Kamu gila? Perempuan mana? Saya tidak tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun, dan sekarang kamu suruh saya bawa perempuan?""Ya, mungkin kalau bapak dan ibu tahu Pak Arman punya kekasih mereka akan berhenti menjodohkan Bapak."Sebenarnya pemikiran Raffi ada benarnya. Tapi, Arman tidak bisa menyetujui ide tersebut karena hal tersebut hanya akan menambah masalah. Satu-satunya cara sekarang adalah menghadiri acara makan malam, kemudian menolaknya terang-terangan."Ya sudah, siapkan pakaiannya. Dan atur ulang jadwal makan malam dengan klien," titah Arman akhirnya."Baik Pak," jawab Raffi. Tidak lama kemudian, dia menerima telepon dari apartemen pribadi milik Arman. "Mbak Isma telepon.""Isma? Perempuan itu?" tanya Arman diangguki oleh Raffi. Sudah seminggu berlalu sejak kejadian kecelakaan malam itu. Arman hanya tahu Isma tinggal di apartemennya, tidak pernah sekalipun dia melihat ke sana."Ya Isma?" sapa Raffi. "Pergi? Kamu yakin? Hm ... jam makan siang ini tunggu saya dulu."Lalu setelah panggilan terputus, Raffi menaruh kembali ponselnya ke saku. "Isma bilang sudah sembuh dan dia mau pergi dari apartemen, katanya dia mau mengembalikan kunci apartemen. Apartemen juga sudah dia bersihkan.""Nanti siang kamu mau ke sana?""Iya Pak, seperti yang Pak Arman bilang kalau saya harus memberikan uang kompensasi pada Isma. Oh ya, ternyata Isma itu berasal dari kampung Pak. Dia merantau di sini baru dua bulan, malam waktu dia tertabrak, ternyata dia dikejar oleh orang-orang jahat. Makanya dia justru berterimakasih sama kita, karena secara tidak langsung kita sudah menyelamatkannya."Ada rasa tertarik tiba-tiba muncul dalam benak Arman mendengar secuil kisah tentang Isma, perempuan menyusahkan itu."Ibunya sakit-sakitan, dia hampir menjual diri malam itu. Tapi, tiba-tiba Isma berubah pikiran dan mencoba kabur. Setelahnya, seperti yang kita tahu. Dia berakhir di apartemen Bapak."Arman duduk di kursi kebesarannya, berpikir dalam-dalam. "Bawa saya temui dia nanti.Arman menelisik sosok perempuan yang berdiri menundukkan pandangannya. Isma, gadis itu sudah jauh lebih baik meski beberapa kain kassa masih menempel menutupi bekas lukanya.Celana training kelonggaran, kaos oblong kebesaran melekat di tubuh mungilnya. Arman mengamati penampilan perempuan yang kata Raffi berasal dari kampung itu. "Benar-benar kampungan," gumam Arman namun masih dapat Isma dan Raffi dengar.Kemudian, Arman menyisir seluruh sudut ruangan apartemennya. Tidak ada yang berubah, maksudnya tidak ada yang hilang. Arman yakin Isma tidak mencuri atau menyembunyikan barang miliknya selama tinggal di sini."Ini uang sebagai ganti rugi, kamu bisa pergi setelah ikut saya ke kantor polisi untuk melakukan wajib lapor," ucap Raffi pada Isma seraya menyodorkan amplop coklat cukup tebal kepadanya."Tidak perlu, Pak. Saya sudah diijinkan tinggal di sini juga sudah bersyukur, jadi waktunya saya pulang dan uang itu tidak perlu Bapak kasih lagi." Isma m
"Jangan bicarakan ini lagi," kata Diajeng mengingatkan Arman. Perempuan itu berbalik, meninggalkan mereka untuk menyambut tamu besarnya.Diikuti Bagus, Diajeng pergi ke teras. Di sana rekan bisnisnya sudah menunggu, juga Clara–gadis yang akan mereka jodohkan dengan Arman."Maaf membuat kalian menunggu," sambut Diajeng memasang senyum terbaik di wajahnya."Tidak apa, Bu."Perempuan cantik dan anggun bernama Clara itu mencium punggung tangan Diajeng dan Bagus bergantian. Orangtuanya, Abimanyu dan Sintia juga ikut menyapa."Ayo masuk," ajak Diajeng menggandeng Sintia–calon besannya.Saat mereka tiba di ruang tamu, keberadaan Arman dengan seorang perempuan tentu saja mengusik rasa penasaran dalam benak Clara dan orangtuanya. Memang belum ada pembicaraan resmi tentang perjodohannya dengan Arman, tapi Clara sudah yakin diadakannya acara malam ini tujuannya untuk itu."Siapa dia, Tan?" tanya Clara."Sekretaris Arman, tadi katanya mereka habis dari tempat klien makanya langsung ke sini," jawa
"Tapi Pak, busnya sudah berjalan tiga puluh menit yang lalu!" Raffi mengacak rambutnya hingga berantakan. Lelaki itu sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga, terdengar amukan Arman karena membiarkan Isma pergi begitu saja. Padahal, mana Raffi tahu kalau lelaki itu masih membutuhkan Isma."Kamu tunggu di sana!"Masih tidak jauh dari terminal, Raffi menunggu Arman seperti yang lelaki itu sarankan. Cukup lama memang karena jarak dari kantor ke terminal sedikit jauh. Dari kaca spion, Raffi melihat mobil kantor datang dari arah belakang.Arman turun dari mobilnya beralih ke mobil yang Raffi bawa, lelaki itu memasang sabuk pengaman lalu berkata, "ayo jalan! Susul dia.""Memang ada apa, Pak?" tanya Raffi seraya menyalakan mesin mobil."Dia harus nikah sama saya!""Apa?" Tercengang Raffi mendengar jawaban Arman.Arman bukan tipe lelaki yang senang menjelaskan sesuatu segala rinci kecuali dia yang menginginkannya. Raffi, sudah bekerja cukup lama dengan Arman. Lelaki itu memilih menutup mulut
Isma melirik Raffi yang berada di antara dirinya dan Arman, harap-harap Raffi akan memberikan pertanda bahwa Arman sedang bercanda saat ini. Namun pria yang usianya lebih matang itu tidak menunjukkan tanda-tanda mereka sedang menikah."Ayo berkemas!" Suara bariton milik Arman mengagetkan lamunan Isma yang belum menguasai dirinya sepenuhnya."Tidak bisa begitu, Pak. Maaf." Isma kemudian beringsut dari kursi. "Sebaiknya Pak Arman dan Pak Raffi segera pergi, hari sudah mulai sore khawatir kalau kalian kemalaman di jalan.""Saya tidak bisa pergi kalau kamu tidak ikut!" tukas Arman menahan lengan Isma, tepatnya mencengkeram karena sekarang perempuan itu sedikit meringis. Lalu, Arman sadar dan melepaskan tangan Isma. "Ini penting, saya akan membuat tawaran yang lebih dari uang sepuluh juta kemarin!""Pak, ini bukan masalah uang lagi." Isma sekarang mengerti kenapa Arman melakukannya, dia pikir lelaki di hadapannya itu semakin terdesak oleh keadaan dan tekanan dari orangtuanya sehingga melak
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, ambulans yang membawa ibunya Isma tiba di rumah sakit. Arman turun dari sedannya yang dikemudikan oleh Raffi, sementara Isma keluar dari mobil rumah sakit di depannya.Wajah Isma menggambarkan kekhawatiran yang mendalam akan keadaan ibunya. Jauh dalam lubuk hatinya, Isma menyudutkan dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi satu-satunya anak yang seharusnya dapat ibunya andalkan.Dua bulan Isma merantau, dia tidak bisa membawa ibunya berobat. Baru sekarang, itupun ada harga yang harus Isma bayar dengan mengorbankan dirinya terikat pernikahan kontrak dengan Arman."Urus semuanya, Raf." Arman duduk di kursi tunggu, sementara Isma diijinkan dokter masuk ke ruangan dan Raffi pergi ke meja administrasi.Di samping Arman, Eko juga ikut menunggu kakak iparnya yang sedang sakit parah. Dia mengamati Arman diam-diam, ada perasaan aneh dalam dirinya tentang lelaki itu. Tentang pengakuannya perihal Isma dan rencana pernikahan mereka."Berapa bia
Raffi menilai Arman terlalu egois dalam hal ini. Seperti sekarang, mereka berada dalam perjalanan menuju ke kota lagi tepat pukul 11 malam.Tentu saja Isma ikut bersama mereka karena Arman terus saja menekan perempuan yang telah dia nikahi beberapa saat yang lalu itu. Di kursi bagian belakang, Isma sedang duduk bersandar. Wajahnya murung, dia lelah tapi tidak bisa tidur.Baru saja tadi pagi kembali ke kampung, lalu dalam satu hari dia kehilangan ibunya sekaligus terikat pernikahan kontrak bersama Arman. Dalam hatinya Isma menyesal, kalau ibunya memang ditakdirkan meninggal dunia hari ini kenapa Tuhan harus membuatnya memilih keputusan menerima tawaran Arman? Karena sekarang semuanya tidak berguna bagi Isma."Isma, kamu lapar?" tanya Raffi merasa cemas dengan keadaannya.Sontak Arman pun ikut melirik perempuan itu. Bukan hanya Isma sebenarnya, dia dan Raffi juga tidak makan seharian karena kejadian serba mendadak ini."Saya tidak lapar, Pak," jawab Isma tanpa membalas tatapan keduanya.
Mobil berwarna putih itu melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan pelataran rumah Arman membawa kekesalan pemiliknya. Diajeng, mengepalkan tangan menahan semua amarahnya di sana."Sabar Ma," ucap Bagus seraya mengusap bahu sang istri."Ini sudah keterlaluan, Pa. Bagaimana bisa, Arman menikah tanpa sepengetahuan kita. Dia menikahi perempuan itu tanpa restu kita. Arman itu anak kita satu-satunya, argh—""Papa juga sangat marah, tapi kamu tahu karakternya seperti apa 'kan? Arman tidak akan mengikuti keinginan kita begitu saja.""Ck!" Diajeng hanya bisa berdecak sebal seiring semakin jauh kediaman Arman dari jangkauannya.Sementara itu, Arman hendak masuk ke kamarnya tapi dia lupa jika Isma masih ada di ruang kerja. Kemudian, dia pun kembali ke sana."Kamu sudah boleh pergi," kata Arman di ambang pintu namun tidak mendapatkan sahutan. Di sofa, kepala Isma tidak nampak menyembul. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, bertanya dalam hati apa Isma sudah keluar dari ruangan tersebut?Karen
Kabar pernikahan Arman dan Isma akhirnya sampai ke telinga Clara. Gadis berusia 28 tahun dan merupakan penerus perusahaan kosmetik milik orangtuanya itu tidak percaya begitu saja.Clara dan Arman memang belum resmi dijodohkan, Clara hanya tahu orangtuanya dan orang tua Arman memiliki rencana itu. Meski begitu, Clara terlanjur jatuh hati kepada Arman sejak mereka pertama kali bertemu.Karena dihantui rasa penasaran yang mendalam, Clara memutuskan pergi ke kediaman Arman lagi dan ingin memastikan kabar tersebut.Begitu sampai di rumah Arman yang terletak di salah satu kompleks perumahan elit ibukota, Clara langsung menemui petugas keamanan di sana."Di mana Arman?" tanyanya tanpa basa-basi."Pak Arman sudah berangkat ke kantor sama pak Raffi, Mbak.""Ada siapa di dalam?""Istrinya Pak Arman dan bibi."Tanpa permisi, Clara melenggang masuk ke kawasan rumah Arman dan langsung mengetuk pintunya. Tidak perlu menunggu lama, pintu dibuka dari dalam.Seorang gadis mengenakan dress terusan sede
Pulang ke rumah di jam yang sangat larut, Arman terkejut melihat seseorang meringkuk di sofa ruang tamu. Lelaki itu menyipitkan matanya, menelisik sosok yang tampak kecil hanya diterangi cahaya yang berasal dari sela-sela ventilasi.Lalu, saat Arman meraba dan stop kontaknya dinyalakan, lelaki itu tahu bahwa seseorang yang ada di sofa tadi adalah Isma. Gadis itu tertidur di sana, tanpa selimut padahal cuaca cukup dingin ditambah pendingin ruangan yang masih menyala."Kenapa dia tidur di sini?" gumam Arman melepas jasnya yang terasa sesak dan menaruhnya di pinggir sofa yang kosong. Kemudian dia mendekat, berjongkok tepat menghadap ke wajah Isma yang tertidur pulas. "Isma?" bisiknya cukup pelan.Dalam sekali panggilan, Isma langsung mengerjap dan cukup kaget dengan kehadiran Arman yang begitu dekat posisinya. "Mas—" Isma beringsut lalu duduk di sofa sedangkan Arman sudah berdiri sejak tadi."Kamu ngapain tidur di sini? Seperti tidak punya kamar saja," celetuk Arman lalu duduk di sofa la
Di tengah keramaian dan megahnya pesta ulang tahun pernikahan orangtua Arman, ada seorang gadis yang tengah gugup setengah mati. Isma, dia sedang berada di antara sekumpulan tamu undangan diapit oleh Diajeng dan Clara di sisi kanan kirinya."Ngomong-ngomong, ini siapa?" tanya salah seorang."Asistennya Arman, yang ngurusin keperluan pribadi anak saya." Diajeng menjawabnya, ditimpali kekehan mengejek yang berasal dari Clara."Wah, baik banget Arman. Mau bawa asistennya ke pesta ini. Terus ini siapa?" tanya yang lain lagi, beralih kepada Clara."Ini calon istrinya," sahut Diajeng kemudian memperkenalkan Clara. Tak lupa, dia juga menyebutkan dari mana Clara berasal dan perusahaan apa yang keluarganya miliki. "Selain cantik, Clara ini memang pintar. Dia sekolah di luar negeri, dan akan meneruskan perusahaan Aura Beauty."Padahal ada Isma yang sudah resmi dinikahi oleh Arman tetapi Diajeng tidak sudi untuk mengakuinya. Dibandingkan harus membiarkan semua orang tahu jika Isma sekarang menja
"Ma!"Tiba-tiba, dari arah depan Arman muncul mengejutkan Diajeng dan Isma. Bi Inah yang diam-diam melaporkan kepada lelaki itu karena tidak bisa menghentikan Diajeng."Mama ngapain Isma?" tanya Arman penuh selidik.Meski putra semata wayangnya itu tampak kesal namun Diajeng sama sekali tidak peduli padahal dia baru saja terpergok membuat menantunya sendiri kelelahan dengan pekerjaan rumah.Diajeng pun menghampiri Arman, melipat tangan di dada dan menatap lelaki itu. "Ngapain lagi? Nyuruh istri kamu beres-beres rumah, kenapa memangnya?""Ada Bi Inah yang aku pekerjakan untuk melakukan ini, jadi kenapa Isma juga harus melakukannya?"Mendengar Arman membelanya, Isma terdiam di pojokan kebun. Dia tidak menduga lelaki itu akan kembali dari kantor dan keributan terjadi lagi di antara dirinya dan Diajeng jadi Isma pun mendekat untuk menengahi."Mas, tidak apa-apa.""Tuh denger, kamu saja yang aneh! Mama cumaa ngajarin istri kamu untuk melakukan pekerjaan rumah tapi kamu malah marah!" seru D
Pagi hari, Arman turun dari kamarnya menuju ke meja makan. Dia sudah siap mengenakan jas dan akan pergi ke kantor. Di meja, ada sebuah cangkir berisi kopi yang masih mengepul. Kemudian Arman pun menyeruput kopi tersebut. Dia terdiam sejenak, kembali menyeruputnya merasa-rasa kopi tersebut."Tumben rasanya beda?" gumam Arman menyecap kembali minumannya. Kopi dengan sedikit susu itu biasanya terasa lebih manis, tapi kali ini berbeda di lidahnya."Kenapa, Pak?" tanya Bi Inah kepada Arman."Kopinya enak, tumben tidak terlalu manis.""Bukan Bibi yang buat," bantah Bi Inah. "Mbak Isma tadi yang buatkan soalnya Bibi lagi nyuci.""Isma?"Kemudian orang yang sedang mereka bicarakan keluar dari dapur. Isma tersenyum, dia mengenakan celemek yang membungkus pakaiannya. "Sarapannya sudah siap, Pak. Maksud saya, Mas."Bi Inah tersenyum mesem melihat pengantin baru itu masih tampak kaku. Bi Inah tentu tahu tentang pernikahan yang terjadi di antara Arman dan Isma semenjak Isma pertama kali datang, na
Kabar pernikahan Arman dan Isma akhirnya sampai ke telinga Clara. Gadis berusia 28 tahun dan merupakan penerus perusahaan kosmetik milik orangtuanya itu tidak percaya begitu saja.Clara dan Arman memang belum resmi dijodohkan, Clara hanya tahu orangtuanya dan orang tua Arman memiliki rencana itu. Meski begitu, Clara terlanjur jatuh hati kepada Arman sejak mereka pertama kali bertemu.Karena dihantui rasa penasaran yang mendalam, Clara memutuskan pergi ke kediaman Arman lagi dan ingin memastikan kabar tersebut.Begitu sampai di rumah Arman yang terletak di salah satu kompleks perumahan elit ibukota, Clara langsung menemui petugas keamanan di sana."Di mana Arman?" tanyanya tanpa basa-basi."Pak Arman sudah berangkat ke kantor sama pak Raffi, Mbak.""Ada siapa di dalam?""Istrinya Pak Arman dan bibi."Tanpa permisi, Clara melenggang masuk ke kawasan rumah Arman dan langsung mengetuk pintunya. Tidak perlu menunggu lama, pintu dibuka dari dalam.Seorang gadis mengenakan dress terusan sede
Mobil berwarna putih itu melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan pelataran rumah Arman membawa kekesalan pemiliknya. Diajeng, mengepalkan tangan menahan semua amarahnya di sana."Sabar Ma," ucap Bagus seraya mengusap bahu sang istri."Ini sudah keterlaluan, Pa. Bagaimana bisa, Arman menikah tanpa sepengetahuan kita. Dia menikahi perempuan itu tanpa restu kita. Arman itu anak kita satu-satunya, argh—""Papa juga sangat marah, tapi kamu tahu karakternya seperti apa 'kan? Arman tidak akan mengikuti keinginan kita begitu saja.""Ck!" Diajeng hanya bisa berdecak sebal seiring semakin jauh kediaman Arman dari jangkauannya.Sementara itu, Arman hendak masuk ke kamarnya tapi dia lupa jika Isma masih ada di ruang kerja. Kemudian, dia pun kembali ke sana."Kamu sudah boleh pergi," kata Arman di ambang pintu namun tidak mendapatkan sahutan. Di sofa, kepala Isma tidak nampak menyembul. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, bertanya dalam hati apa Isma sudah keluar dari ruangan tersebut?Karen
Raffi menilai Arman terlalu egois dalam hal ini. Seperti sekarang, mereka berada dalam perjalanan menuju ke kota lagi tepat pukul 11 malam.Tentu saja Isma ikut bersama mereka karena Arman terus saja menekan perempuan yang telah dia nikahi beberapa saat yang lalu itu. Di kursi bagian belakang, Isma sedang duduk bersandar. Wajahnya murung, dia lelah tapi tidak bisa tidur.Baru saja tadi pagi kembali ke kampung, lalu dalam satu hari dia kehilangan ibunya sekaligus terikat pernikahan kontrak bersama Arman. Dalam hatinya Isma menyesal, kalau ibunya memang ditakdirkan meninggal dunia hari ini kenapa Tuhan harus membuatnya memilih keputusan menerima tawaran Arman? Karena sekarang semuanya tidak berguna bagi Isma."Isma, kamu lapar?" tanya Raffi merasa cemas dengan keadaannya.Sontak Arman pun ikut melirik perempuan itu. Bukan hanya Isma sebenarnya, dia dan Raffi juga tidak makan seharian karena kejadian serba mendadak ini."Saya tidak lapar, Pak," jawab Isma tanpa membalas tatapan keduanya.
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, ambulans yang membawa ibunya Isma tiba di rumah sakit. Arman turun dari sedannya yang dikemudikan oleh Raffi, sementara Isma keluar dari mobil rumah sakit di depannya.Wajah Isma menggambarkan kekhawatiran yang mendalam akan keadaan ibunya. Jauh dalam lubuk hatinya, Isma menyudutkan dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi satu-satunya anak yang seharusnya dapat ibunya andalkan.Dua bulan Isma merantau, dia tidak bisa membawa ibunya berobat. Baru sekarang, itupun ada harga yang harus Isma bayar dengan mengorbankan dirinya terikat pernikahan kontrak dengan Arman."Urus semuanya, Raf." Arman duduk di kursi tunggu, sementara Isma diijinkan dokter masuk ke ruangan dan Raffi pergi ke meja administrasi.Di samping Arman, Eko juga ikut menunggu kakak iparnya yang sedang sakit parah. Dia mengamati Arman diam-diam, ada perasaan aneh dalam dirinya tentang lelaki itu. Tentang pengakuannya perihal Isma dan rencana pernikahan mereka."Berapa bia
Isma melirik Raffi yang berada di antara dirinya dan Arman, harap-harap Raffi akan memberikan pertanda bahwa Arman sedang bercanda saat ini. Namun pria yang usianya lebih matang itu tidak menunjukkan tanda-tanda mereka sedang menikah."Ayo berkemas!" Suara bariton milik Arman mengagetkan lamunan Isma yang belum menguasai dirinya sepenuhnya."Tidak bisa begitu, Pak. Maaf." Isma kemudian beringsut dari kursi. "Sebaiknya Pak Arman dan Pak Raffi segera pergi, hari sudah mulai sore khawatir kalau kalian kemalaman di jalan.""Saya tidak bisa pergi kalau kamu tidak ikut!" tukas Arman menahan lengan Isma, tepatnya mencengkeram karena sekarang perempuan itu sedikit meringis. Lalu, Arman sadar dan melepaskan tangan Isma. "Ini penting, saya akan membuat tawaran yang lebih dari uang sepuluh juta kemarin!""Pak, ini bukan masalah uang lagi." Isma sekarang mengerti kenapa Arman melakukannya, dia pikir lelaki di hadapannya itu semakin terdesak oleh keadaan dan tekanan dari orangtuanya sehingga melak