Share

Kecelakaan

Author: hinatasenja
last update Last Updated: 2022-05-06 20:57:44

"Jangan, Pak!" Isma mendorong dada Hartono menjauh darinya. Namun, pergelangan tangannya digenggam kuat oleh tangan Hartono yang besar, lelaki tua itu tidak akan membiarkan mangsanya yang sudah di bayar mahal lolos begitu saja.

"Kamu pikir saya bodoh, hah? Kamu sudah di sini, dan sudah tugas kamu untuk melayani saya!" Hartono membangunkan Isma, menyeretnya membawa perempuan itu ke ranjang.

"Pak!" Isma berteriak dan berontak, tetapi Hartono bergeming. Dia tidak peduli Isma kesakitan.

Semakin dekat jarak mereka ke tempat tidur, semakin kalut pikiran Isma. Dia tidak mau hidupnya hancur karena uang dua juta. Isma tidak ingin membunuh masa depannya meski tidak yakin akan secerah apa hidupnya nanti.

"Pak!" Panggilan Isma diabaikan, Hartono tetap pada hasratnya yang terlanjur melambung tinggi. Lalu, keadaan semakin membuat Isma terdesak. Pikiran jahat mulai menghasutnya saat sebuah vas bunga tidak sengaja dia lihat.

Isma menyambar vas bunga yang terletak di meja kecil dekat dengan tempat tidur, tanpa pikir panjang dia memukulkan benda tersebut ke kepala Hartono.

Prang!!! Vas bunga yang terbuat dari tanah liat tersebut menghantap tulang belakang kepala lelaki tersebut. Hartono berbalik, wajahnya memerah dengan emosi siap meledak.

"Sialan!" umpatnya seraya memegang kepalanya, tangannya terasa basah, Hartono melihat cairan kental dan merah mulai mengalir di sela-sela rambutnya yang beruban.

Tidak buang kesempatan, saat Hartono masih terhipnotis dengan darah di tangannya Isma segera memutar badan. Perempuan itu mempercepat langkahnya, lari ke arah pintu lalu membukanya.

"Mau ke mana kamu?"

Sial, Hartono berhasil mengejar.

"Lepaskan saya Pak, saya tidak mau berada di sini!" Isma tidak ingin kalah, dia tidak mau terjebak bersama lelaki tua bangka di hadapannya. Dengan sisa tenaganya, Isma mendorong Hartono sampai lelaki itu tersungkur.

"Jangan pergi! Kamu tidak boleh pergi!" Hartono masih berusaha mempertahankan Isma yang terlanjur berlari kalang kabut.

Isma melepas sepatunya, melempar pada Hartono yang mengejarnya di belakang. Lorong hotel yang mereka lalui cukup sepi, karena Hartono menyewa kamar VVIP sehingga tidak banyak orang berlalu-lalang.

"Tunggu!"

Isma menoleh, melihat Hartono semakin dekat. Pelupuk matanya sudah basah sejak tadi dibanjiri air mata ketakutan perempuan berusia 20 tahun itu. Isma mengutuk perbuatannya, mengapa bisa dia dengan mudah putus asa dan memutuskan jalan pintas seperti ini?

"Hei!"

Rupanya Hartono belum menyerah, sekarang dia tidak hanya ingin menikmati tubuh Isma tetapi ingin membuatnya tersiksa karena sudah membuatnya terluka. Hartono mempercepat gerak kakinya, tapi semakin lama darah di kepalanya menetes semakin banyak.

Hartono mulai lelah, pandangannya mengabur. Dari kejauhan, dia masih bisa melihat Isma berlari keluar dari gedung hotel tersebut.

"Isma bodoh, Isma bodoh!" Berulangkali Isma memukul kepalanya, menangis sesenggukan dan menyesali perbuatannya.

Akhirnya dia berhasil lolos, saat Isma menoleh ke belakang tidak lagi nampak sosok bertubuh gempal yang hampir saja menidurinya. Isma terkulai lemas, duduk di pinggiran trotoar tanpa alas kaki. Penampilannya yang berantakan sedikit mengundang perhatian pengguna jalan lainnya.

Segera Isma menyeka air matanya. Asal Hartono tidak lagi mengejar, Isma ingin orang lain tidak tahu apa yang baru saja dia lewati. Apa kata orang nanti jika tahu dirinya hampir menjual diri?

"Huh ... huh ...." Isma masih meraup oksigen memenuhi rongga paru-parunya yang sesak, sesekali matanya memperhatikan sekeliling. Dia takut Hartono masih mencarinya.

Tidak lama, ponsel dalam tas kecil yang sejak tadi dibawanya berbunyi. Tangannya masih gemetar saat merogoh benda pipih tersebut. "Mami Ratna—" desis Isma menutup mulutnya.

Isma yakin perempuan yang bekerja sebagai germo itu sudah mengetahui apa yang baru saja terjadi. Hartono mungkin telah melaporkannya. Tidak ingin kembali pada Mami Ratna, Isma menolak panggilan tersebut kemudian mematikan ponselnya.

Dengan tertatih Isma kembali berdiri, dia tidak mungkin lebih lama di sana. "Mami Ratna bisa saja suruh orang untuk mencari aku," gumam Isma lalu kembali berjalan meninggalkan trotoar.

Hampir seratus meter Isma berjalan, tapi dia bingung harus pergi ke mana. Kalau pergi ke kontrakannya, Mami Ratna bisa saja ada di sana. Ke tempat lain? Isma tidak punya pilihan. Dia tidak punya saudara di kota besar ini.

"Nah itu dia!" Suara bariton di belakangnya mengejutkan Isma. Sontak dia berbalik, matanya terbelalak ketika melihat lelaki yang sempat mengantarkannya tadi ke hotel menunjuk ke arahnya. Lelaki itu tidak sendiri kali ini, ada beberapa orang yang ikut dengannya.

Perasaan yang mulai tenang lenyap sudah. Isma berlari, tidak memperhatikan jalan bahkan beberapa kerikil melukai telapak kakinya.

"Ya Tuhan, tolong!" Isma berlari menembus jalanan yang lengang. Padahal kota tersebut cukup besar, tapi kenapa Isma memilih jalan yang sepi saat melarikan diri tadi.

"Berhenti! Mau ke mana kamu?" Lelaki-lelaki berbadan tinggi besar di belakangnya mengejar.

"Tolong!" Teriakan Isma menggema menembus hening malam. Hanya semilir angin yang menyahut menusuk tulangnya. "Tolong!"

Jarak mereka semakin dekat, Isma kalah telak. Para lelaki itu sudah jelas lebih besar tenaganya, jika Isma sampai tertangkap maka habislah hidupnya.

"Ya Tuhan, tolong aku—" Isma berlari lebih cepat, dia menyibak rambutnya yang terurai menghalangi jalan.

Tanpa sadar, langkahnya tidak lagi di tepi jalan. Kakinya sudah menginjak aspal dan sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju ke arahnya.

BUGH! Suara hantaman benda begitu keras memekakkan telinga. Isma terpelanting, tubuhnya seperti sehelai kertas tanpa beban yang dilempar jauh.

BRUK! Isma tergeletak di jalanan, kepalanya membentur aspal. Matanya masih terbuka melihat cahaya remang yang berasal dari mobil sedan yang menabraknya.

"Ibu ..." rintih Isma. Darah segar mengalir dari dahinya, perlahan matanya memejam.

"Tinggalin dia! Ini sudah tidak beres!" Lelaki yang tadinya akan mengejar Isma pelan-pelan mundur saat menyaksikan kecelakaan yang menimpa perempuan itu.

Dua orang lelaki turun dari mobil yang menabrak Isma, salah satu di antaranya sempat beradu pandangan dengan pria-pria berbadan tegap yang berdiri tidak jauh dari lokasi kejadian.

"Bagaimana ini, Pak Arman?"

"Panggil ambulans!" Lelaki bernama Arman itu berjongkok, meraba urat nadi perempuan yang bersimbah darah tersebut sementara asistennya menghubungi rumah sakit terdekat.

"Masih hidup," gumam Arman–lelaki dengan sorot mata tajam dan dingin itu meninggalkan Isma kemudian kembali duduk di mobil. "Ck! Perempuan itu yang salah, kenapa dia tidak hati-hati menyeberang? Bagaimana kalau ini jadi masalah, dan ... siapa mereka? Kenapa laki-laki itu mengejarnya?" gumam Arman mengingat lagi orang-orang tadi.

Tidak lebih dari lima belas menit, ambulans tiba. Arman masih mengamati dari kejauhan, dia tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi di luar. Yang penting, perempuan itu masih bernapas, pikirnya. Asistennya–Raffi yang akan menyelesaikan semuanya.

"Pak, sepertinya kita harus pergi ke kantor polisi!"

Arman mendengus kesal ketika Raffi datang memberitahu kabar menyebalkan tersebut.

Related chapters

  • Marriage Agreement   Perjodohan

    Sementara Raffi berurusan dengan polisi, Arman kini berada di rumah sakit. Isma sedang menjalani penanganan di ruang gawat darurat. Arman tahu namanya dari kartu identitas yang ada di tas Isma."Bagaimana keadaannya?" Arman sontak berdiri menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan."Pasien tidak sadarkan diri, kami harus menunggu hasil laboratorium lebih dulu untuk mengetahui luka bagian dalamnya."Arman hanya mengangguk kecil, membiarkan dokter pergi lalu duduk lagi di tempat yang sama. Tidak ada sedikit pun niat untuk pergi ke dalam melihat kondisi Isma langsung.Arman Rasendriya, lelaki berusia 30 tahun merupakan seorang pengusaha jasa travel dan hotel. Dia mewarisi perusahaan turun temurun dari keluarganya. Lelaki berperawakan tinggi itu terkenal dengan sikapnya yang acuh dan berhati dingin.Diberkahi paras yang tampan dan kekayaan yang melimpah, tentu membuat Arman memiliki karisma lebih. Tidak sedikit perempuan yang mengi

    Last Updated : 2022-05-06
  • Marriage Agreement   Calon Istri

    Arman menelisik sosok perempuan yang berdiri menundukkan pandangannya. Isma, gadis itu sudah jauh lebih baik meski beberapa kain kassa masih menempel menutupi bekas lukanya.Celana training kelonggaran, kaos oblong kebesaran melekat di tubuh mungilnya. Arman mengamati penampilan perempuan yang kata Raffi berasal dari kampung itu. "Benar-benar kampungan," gumam Arman namun masih dapat Isma dan Raffi dengar.Kemudian, Arman menyisir seluruh sudut ruangan apartemennya. Tidak ada yang berubah, maksudnya tidak ada yang hilang. Arman yakin Isma tidak mencuri atau menyembunyikan barang miliknya selama tinggal di sini."Ini uang sebagai ganti rugi, kamu bisa pergi setelah ikut saya ke kantor polisi untuk melakukan wajib lapor," ucap Raffi pada Isma seraya menyodorkan amplop coklat cukup tebal kepadanya."Tidak perlu, Pak. Saya sudah diijinkan tinggal di sini juga sudah bersyukur, jadi waktunya saya pulang dan uang itu tidak perlu Bapak kasih lagi." Isma m

    Last Updated : 2022-05-06
  • Marriage Agreement   Saya Mau Dia

    "Jangan bicarakan ini lagi," kata Diajeng mengingatkan Arman. Perempuan itu berbalik, meninggalkan mereka untuk menyambut tamu besarnya.Diikuti Bagus, Diajeng pergi ke teras. Di sana rekan bisnisnya sudah menunggu, juga Clara–gadis yang akan mereka jodohkan dengan Arman."Maaf membuat kalian menunggu," sambut Diajeng memasang senyum terbaik di wajahnya."Tidak apa, Bu."Perempuan cantik dan anggun bernama Clara itu mencium punggung tangan Diajeng dan Bagus bergantian. Orangtuanya, Abimanyu dan Sintia juga ikut menyapa."Ayo masuk," ajak Diajeng menggandeng Sintia–calon besannya.Saat mereka tiba di ruang tamu, keberadaan Arman dengan seorang perempuan tentu saja mengusik rasa penasaran dalam benak Clara dan orangtuanya. Memang belum ada pembicaraan resmi tentang perjodohannya dengan Arman, tapi Clara sudah yakin diadakannya acara malam ini tujuannya untuk itu."Siapa dia, Tan?" tanya Clara."Sekretaris Arman, tadi katanya mereka habis dari tempat klien makanya langsung ke sini," jawa

    Last Updated : 2022-05-06
  • Marriage Agreement   Mengejar Isma

    "Tapi Pak, busnya sudah berjalan tiga puluh menit yang lalu!" Raffi mengacak rambutnya hingga berantakan. Lelaki itu sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga, terdengar amukan Arman karena membiarkan Isma pergi begitu saja. Padahal, mana Raffi tahu kalau lelaki itu masih membutuhkan Isma."Kamu tunggu di sana!"Masih tidak jauh dari terminal, Raffi menunggu Arman seperti yang lelaki itu sarankan. Cukup lama memang karena jarak dari kantor ke terminal sedikit jauh. Dari kaca spion, Raffi melihat mobil kantor datang dari arah belakang.Arman turun dari mobilnya beralih ke mobil yang Raffi bawa, lelaki itu memasang sabuk pengaman lalu berkata, "ayo jalan! Susul dia.""Memang ada apa, Pak?" tanya Raffi seraya menyalakan mesin mobil."Dia harus nikah sama saya!""Apa?" Tercengang Raffi mendengar jawaban Arman.Arman bukan tipe lelaki yang senang menjelaskan sesuatu segala rinci kecuali dia yang menginginkannya. Raffi, sudah bekerja cukup lama dengan Arman. Lelaki itu memilih menutup mulut

    Last Updated : 2022-05-30
  • Marriage Agreement   Tolong Bantu Saya

    Isma melirik Raffi yang berada di antara dirinya dan Arman, harap-harap Raffi akan memberikan pertanda bahwa Arman sedang bercanda saat ini. Namun pria yang usianya lebih matang itu tidak menunjukkan tanda-tanda mereka sedang menikah."Ayo berkemas!" Suara bariton milik Arman mengagetkan lamunan Isma yang belum menguasai dirinya sepenuhnya."Tidak bisa begitu, Pak. Maaf." Isma kemudian beringsut dari kursi. "Sebaiknya Pak Arman dan Pak Raffi segera pergi, hari sudah mulai sore khawatir kalau kalian kemalaman di jalan.""Saya tidak bisa pergi kalau kamu tidak ikut!" tukas Arman menahan lengan Isma, tepatnya mencengkeram karena sekarang perempuan itu sedikit meringis. Lalu, Arman sadar dan melepaskan tangan Isma. "Ini penting, saya akan membuat tawaran yang lebih dari uang sepuluh juta kemarin!""Pak, ini bukan masalah uang lagi." Isma sekarang mengerti kenapa Arman melakukannya, dia pikir lelaki di hadapannya itu semakin terdesak oleh keadaan dan tekanan dari orangtuanya sehingga melak

    Last Updated : 2022-05-30
  • Marriage Agreement   Akhirnya Menikah

    Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, ambulans yang membawa ibunya Isma tiba di rumah sakit. Arman turun dari sedannya yang dikemudikan oleh Raffi, sementara Isma keluar dari mobil rumah sakit di depannya.Wajah Isma menggambarkan kekhawatiran yang mendalam akan keadaan ibunya. Jauh dalam lubuk hatinya, Isma menyudutkan dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi satu-satunya anak yang seharusnya dapat ibunya andalkan.Dua bulan Isma merantau, dia tidak bisa membawa ibunya berobat. Baru sekarang, itupun ada harga yang harus Isma bayar dengan mengorbankan dirinya terikat pernikahan kontrak dengan Arman."Urus semuanya, Raf." Arman duduk di kursi tunggu, sementara Isma diijinkan dokter masuk ke ruangan dan Raffi pergi ke meja administrasi.Di samping Arman, Eko juga ikut menunggu kakak iparnya yang sedang sakit parah. Dia mengamati Arman diam-diam, ada perasaan aneh dalam dirinya tentang lelaki itu. Tentang pengakuannya perihal Isma dan rencana pernikahan mereka."Berapa bia

    Last Updated : 2022-05-30
  • Marriage Agreement   Amukan Diajeng

    Raffi menilai Arman terlalu egois dalam hal ini. Seperti sekarang, mereka berada dalam perjalanan menuju ke kota lagi tepat pukul 11 malam.Tentu saja Isma ikut bersama mereka karena Arman terus saja menekan perempuan yang telah dia nikahi beberapa saat yang lalu itu. Di kursi bagian belakang, Isma sedang duduk bersandar. Wajahnya murung, dia lelah tapi tidak bisa tidur.Baru saja tadi pagi kembali ke kampung, lalu dalam satu hari dia kehilangan ibunya sekaligus terikat pernikahan kontrak bersama Arman. Dalam hatinya Isma menyesal, kalau ibunya memang ditakdirkan meninggal dunia hari ini kenapa Tuhan harus membuatnya memilih keputusan menerima tawaran Arman? Karena sekarang semuanya tidak berguna bagi Isma."Isma, kamu lapar?" tanya Raffi merasa cemas dengan keadaannya.Sontak Arman pun ikut melirik perempuan itu. Bukan hanya Isma sebenarnya, dia dan Raffi juga tidak makan seharian karena kejadian serba mendadak ini."Saya tidak lapar, Pak," jawab Isma tanpa membalas tatapan keduanya.

    Last Updated : 2022-05-30
  • Marriage Agreement   Baru Saja Dimulai

    Mobil berwarna putih itu melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan pelataran rumah Arman membawa kekesalan pemiliknya. Diajeng, mengepalkan tangan menahan semua amarahnya di sana."Sabar Ma," ucap Bagus seraya mengusap bahu sang istri."Ini sudah keterlaluan, Pa. Bagaimana bisa, Arman menikah tanpa sepengetahuan kita. Dia menikahi perempuan itu tanpa restu kita. Arman itu anak kita satu-satunya, argh—""Papa juga sangat marah, tapi kamu tahu karakternya seperti apa 'kan? Arman tidak akan mengikuti keinginan kita begitu saja.""Ck!" Diajeng hanya bisa berdecak sebal seiring semakin jauh kediaman Arman dari jangkauannya.Sementara itu, Arman hendak masuk ke kamarnya tapi dia lupa jika Isma masih ada di ruang kerja. Kemudian, dia pun kembali ke sana."Kamu sudah boleh pergi," kata Arman di ambang pintu namun tidak mendapatkan sahutan. Di sofa, kepala Isma tidak nampak menyembul. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, bertanya dalam hati apa Isma sudah keluar dari ruangan tersebut?Karen

    Last Updated : 2022-05-30

Latest chapter

  • Marriage Agreement   Kotak Bekal

    Pulang ke rumah di jam yang sangat larut, Arman terkejut melihat seseorang meringkuk di sofa ruang tamu. Lelaki itu menyipitkan matanya, menelisik sosok yang tampak kecil hanya diterangi cahaya yang berasal dari sela-sela ventilasi.Lalu, saat Arman meraba dan stop kontaknya dinyalakan, lelaki itu tahu bahwa seseorang yang ada di sofa tadi adalah Isma. Gadis itu tertidur di sana, tanpa selimut padahal cuaca cukup dingin ditambah pendingin ruangan yang masih menyala."Kenapa dia tidur di sini?" gumam Arman melepas jasnya yang terasa sesak dan menaruhnya di pinggir sofa yang kosong. Kemudian dia mendekat, berjongkok tepat menghadap ke wajah Isma yang tertidur pulas. "Isma?" bisiknya cukup pelan.Dalam sekali panggilan, Isma langsung mengerjap dan cukup kaget dengan kehadiran Arman yang begitu dekat posisinya. "Mas—" Isma beringsut lalu duduk di sofa sedangkan Arman sudah berdiri sejak tadi."Kamu ngapain tidur di sini? Seperti tidak punya kamar saja," celetuk Arman lalu duduk di sofa la

  • Marriage Agreement   Kekacauan Di Pesta

    Di tengah keramaian dan megahnya pesta ulang tahun pernikahan orangtua Arman, ada seorang gadis yang tengah gugup setengah mati. Isma, dia sedang berada di antara sekumpulan tamu undangan diapit oleh Diajeng dan Clara di sisi kanan kirinya."Ngomong-ngomong, ini siapa?" tanya salah seorang."Asistennya Arman, yang ngurusin keperluan pribadi anak saya." Diajeng menjawabnya, ditimpali kekehan mengejek yang berasal dari Clara."Wah, baik banget Arman. Mau bawa asistennya ke pesta ini. Terus ini siapa?" tanya yang lain lagi, beralih kepada Clara."Ini calon istrinya," sahut Diajeng kemudian memperkenalkan Clara. Tak lupa, dia juga menyebutkan dari mana Clara berasal dan perusahaan apa yang keluarganya miliki. "Selain cantik, Clara ini memang pintar. Dia sekolah di luar negeri, dan akan meneruskan perusahaan Aura Beauty."Padahal ada Isma yang sudah resmi dinikahi oleh Arman tetapi Diajeng tidak sudi untuk mengakuinya. Dibandingkan harus membiarkan semua orang tahu jika Isma sekarang menja

  • Marriage Agreement   Cuma Istri Sementara

    "Ma!"Tiba-tiba, dari arah depan Arman muncul mengejutkan Diajeng dan Isma. Bi Inah yang diam-diam melaporkan kepada lelaki itu karena tidak bisa menghentikan Diajeng."Mama ngapain Isma?" tanya Arman penuh selidik.Meski putra semata wayangnya itu tampak kesal namun Diajeng sama sekali tidak peduli padahal dia baru saja terpergok membuat menantunya sendiri kelelahan dengan pekerjaan rumah.Diajeng pun menghampiri Arman, melipat tangan di dada dan menatap lelaki itu. "Ngapain lagi? Nyuruh istri kamu beres-beres rumah, kenapa memangnya?""Ada Bi Inah yang aku pekerjakan untuk melakukan ini, jadi kenapa Isma juga harus melakukannya?"Mendengar Arman membelanya, Isma terdiam di pojokan kebun. Dia tidak menduga lelaki itu akan kembali dari kantor dan keributan terjadi lagi di antara dirinya dan Diajeng jadi Isma pun mendekat untuk menengahi."Mas, tidak apa-apa.""Tuh denger, kamu saja yang aneh! Mama cumaa ngajarin istri kamu untuk melakukan pekerjaan rumah tapi kamu malah marah!" seru D

  • Marriage Agreement   Ulah Diajeng

    Pagi hari, Arman turun dari kamarnya menuju ke meja makan. Dia sudah siap mengenakan jas dan akan pergi ke kantor. Di meja, ada sebuah cangkir berisi kopi yang masih mengepul. Kemudian Arman pun menyeruput kopi tersebut. Dia terdiam sejenak, kembali menyeruputnya merasa-rasa kopi tersebut."Tumben rasanya beda?" gumam Arman menyecap kembali minumannya. Kopi dengan sedikit susu itu biasanya terasa lebih manis, tapi kali ini berbeda di lidahnya."Kenapa, Pak?" tanya Bi Inah kepada Arman."Kopinya enak, tumben tidak terlalu manis.""Bukan Bibi yang buat," bantah Bi Inah. "Mbak Isma tadi yang buatkan soalnya Bibi lagi nyuci.""Isma?"Kemudian orang yang sedang mereka bicarakan keluar dari dapur. Isma tersenyum, dia mengenakan celemek yang membungkus pakaiannya. "Sarapannya sudah siap, Pak. Maksud saya, Mas."Bi Inah tersenyum mesem melihat pengantin baru itu masih tampak kaku. Bi Inah tentu tahu tentang pernikahan yang terjadi di antara Arman dan Isma semenjak Isma pertama kali datang, na

  • Marriage Agreement   Panggilan Baru

    Kabar pernikahan Arman dan Isma akhirnya sampai ke telinga Clara. Gadis berusia 28 tahun dan merupakan penerus perusahaan kosmetik milik orangtuanya itu tidak percaya begitu saja.Clara dan Arman memang belum resmi dijodohkan, Clara hanya tahu orangtuanya dan orang tua Arman memiliki rencana itu. Meski begitu, Clara terlanjur jatuh hati kepada Arman sejak mereka pertama kali bertemu.Karena dihantui rasa penasaran yang mendalam, Clara memutuskan pergi ke kediaman Arman lagi dan ingin memastikan kabar tersebut.Begitu sampai di rumah Arman yang terletak di salah satu kompleks perumahan elit ibukota, Clara langsung menemui petugas keamanan di sana."Di mana Arman?" tanyanya tanpa basa-basi."Pak Arman sudah berangkat ke kantor sama pak Raffi, Mbak.""Ada siapa di dalam?""Istrinya Pak Arman dan bibi."Tanpa permisi, Clara melenggang masuk ke kawasan rumah Arman dan langsung mengetuk pintunya. Tidak perlu menunggu lama, pintu dibuka dari dalam.Seorang gadis mengenakan dress terusan sede

  • Marriage Agreement   Baru Saja Dimulai

    Mobil berwarna putih itu melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan pelataran rumah Arman membawa kekesalan pemiliknya. Diajeng, mengepalkan tangan menahan semua amarahnya di sana."Sabar Ma," ucap Bagus seraya mengusap bahu sang istri."Ini sudah keterlaluan, Pa. Bagaimana bisa, Arman menikah tanpa sepengetahuan kita. Dia menikahi perempuan itu tanpa restu kita. Arman itu anak kita satu-satunya, argh—""Papa juga sangat marah, tapi kamu tahu karakternya seperti apa 'kan? Arman tidak akan mengikuti keinginan kita begitu saja.""Ck!" Diajeng hanya bisa berdecak sebal seiring semakin jauh kediaman Arman dari jangkauannya.Sementara itu, Arman hendak masuk ke kamarnya tapi dia lupa jika Isma masih ada di ruang kerja. Kemudian, dia pun kembali ke sana."Kamu sudah boleh pergi," kata Arman di ambang pintu namun tidak mendapatkan sahutan. Di sofa, kepala Isma tidak nampak menyembul. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, bertanya dalam hati apa Isma sudah keluar dari ruangan tersebut?Karen

  • Marriage Agreement   Amukan Diajeng

    Raffi menilai Arman terlalu egois dalam hal ini. Seperti sekarang, mereka berada dalam perjalanan menuju ke kota lagi tepat pukul 11 malam.Tentu saja Isma ikut bersama mereka karena Arman terus saja menekan perempuan yang telah dia nikahi beberapa saat yang lalu itu. Di kursi bagian belakang, Isma sedang duduk bersandar. Wajahnya murung, dia lelah tapi tidak bisa tidur.Baru saja tadi pagi kembali ke kampung, lalu dalam satu hari dia kehilangan ibunya sekaligus terikat pernikahan kontrak bersama Arman. Dalam hatinya Isma menyesal, kalau ibunya memang ditakdirkan meninggal dunia hari ini kenapa Tuhan harus membuatnya memilih keputusan menerima tawaran Arman? Karena sekarang semuanya tidak berguna bagi Isma."Isma, kamu lapar?" tanya Raffi merasa cemas dengan keadaannya.Sontak Arman pun ikut melirik perempuan itu. Bukan hanya Isma sebenarnya, dia dan Raffi juga tidak makan seharian karena kejadian serba mendadak ini."Saya tidak lapar, Pak," jawab Isma tanpa membalas tatapan keduanya.

  • Marriage Agreement   Akhirnya Menikah

    Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, ambulans yang membawa ibunya Isma tiba di rumah sakit. Arman turun dari sedannya yang dikemudikan oleh Raffi, sementara Isma keluar dari mobil rumah sakit di depannya.Wajah Isma menggambarkan kekhawatiran yang mendalam akan keadaan ibunya. Jauh dalam lubuk hatinya, Isma menyudutkan dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi satu-satunya anak yang seharusnya dapat ibunya andalkan.Dua bulan Isma merantau, dia tidak bisa membawa ibunya berobat. Baru sekarang, itupun ada harga yang harus Isma bayar dengan mengorbankan dirinya terikat pernikahan kontrak dengan Arman."Urus semuanya, Raf." Arman duduk di kursi tunggu, sementara Isma diijinkan dokter masuk ke ruangan dan Raffi pergi ke meja administrasi.Di samping Arman, Eko juga ikut menunggu kakak iparnya yang sedang sakit parah. Dia mengamati Arman diam-diam, ada perasaan aneh dalam dirinya tentang lelaki itu. Tentang pengakuannya perihal Isma dan rencana pernikahan mereka."Berapa bia

  • Marriage Agreement   Tolong Bantu Saya

    Isma melirik Raffi yang berada di antara dirinya dan Arman, harap-harap Raffi akan memberikan pertanda bahwa Arman sedang bercanda saat ini. Namun pria yang usianya lebih matang itu tidak menunjukkan tanda-tanda mereka sedang menikah."Ayo berkemas!" Suara bariton milik Arman mengagetkan lamunan Isma yang belum menguasai dirinya sepenuhnya."Tidak bisa begitu, Pak. Maaf." Isma kemudian beringsut dari kursi. "Sebaiknya Pak Arman dan Pak Raffi segera pergi, hari sudah mulai sore khawatir kalau kalian kemalaman di jalan.""Saya tidak bisa pergi kalau kamu tidak ikut!" tukas Arman menahan lengan Isma, tepatnya mencengkeram karena sekarang perempuan itu sedikit meringis. Lalu, Arman sadar dan melepaskan tangan Isma. "Ini penting, saya akan membuat tawaran yang lebih dari uang sepuluh juta kemarin!""Pak, ini bukan masalah uang lagi." Isma sekarang mengerti kenapa Arman melakukannya, dia pikir lelaki di hadapannya itu semakin terdesak oleh keadaan dan tekanan dari orangtuanya sehingga melak

DMCA.com Protection Status