Raffi menilai Arman terlalu egois dalam hal ini. Seperti sekarang, mereka berada dalam perjalanan menuju ke kota lagi tepat pukul 11 malam.
Tentu saja Isma ikut bersama mereka karena Arman terus saja menekan perempuan yang telah dia nikahi beberapa saat yang lalu itu. Di kursi bagian belakang, Isma sedang duduk bersandar. Wajahnya murung, dia lelah tapi tidak bisa tidur.Baru saja tadi pagi kembali ke kampung, lalu dalam satu hari dia kehilangan ibunya sekaligus terikat pernikahan kontrak bersama Arman. Dalam hatinya Isma menyesal, kalau ibunya memang ditakdirkan meninggal dunia hari ini kenapa Tuhan harus membuatnya memilih keputusan menerima tawaran Arman? Karena sekarang semuanya tidak berguna bagi Isma."Isma, kamu lapar?" tanya Raffi merasa cemas dengan keadaannya.Sontak Arman pun ikut melirik perempuan itu. Bukan hanya Isma sebenarnya, dia dan Raffi juga tidak makan seharian karena kejadian serba mendadak ini."Saya tidak lapar, Pak," jawab Isma tanpa membalas tatapan keduanya.Sampai dinihari tiba, barulah mereka sampai di rumah Arman. Raffi menunjukkan kamar tamu untuk Isma, letaknya tepat berseberangan dengan kamar Arman di lantai dua.Jangan tanya ke mana lelaki itu, Arman sudah masuk ke dalam kamarnya dan menyuruh Raffi mengurus ini dan itu. Isma sudah berbaring di tempat tidur setelah membersihkan dirinya lebih dulu."Maafin Isma Bu," gumam Isma meringkuk di tempat tidurnya. Kembali dia menangis sesenggukan tanpa suara.Satu minggu berlalu pasca kematian ibu Isma, Isma mulai membiasakan diri. Dia tidak ingin terpuruk begitu jauh, dan harus segera menuntaskan kewajibannya menyelesaikan kontrak pernikahan dengan Arman.Di ruang kerja lelaki itu, selembar kertas berisi perjanjian yang dibuat oleh Arman berada di hadapan Isma."Kamu tandatangani di bawahnya sebagai bukti kamu akan mematuhi semua aturan yang saya buat," ujar Arman memberikan sebuah bolpoin kepada Isma."Kontrak pernikahan akan dijalankan selama satu tahun ke depan. Tidak ada kontak fisik kecuali diperlukan, tidak ada perasaan, dan kamu tidak berhak menuntut apa pun dari saya Isma. Selama kamu jadi istri saya, semua kebutuhan hidup kamu akan menjadi tanggungan saya sepenuhnya. Itu di luar uang yang akan saya transfer setiap bulannya. Kamu hanya perlu meyakinkan orang tua dan orang-orang sekitar kalau kita adalah suami istri yang saling mencintai!" jelas Arman panjang lebar."Satu tahun?" tanya Isma."Ya, hanya satu tahun. Setelah itu kita bercerai dan anggap saja kita tidak saling mengenal sebelumnya. Dan satu lagi—" kata Arman mengacungkan telunjuknya. "Jangan pernah masuk ke dalam kamar saya, meski hanya sejengkal. Kalau itu terjadi, kamu akan pergi saat itu juga."Isma sedikit agak aneh mendengar kalimat terakhir dari Arman. Tapi, menurutnya juga wajar Arman melakukan itu karena toh dia pemilik rumahnya. Jadi lelaki itu berhak menentukan siapa saja yang boleh keluar san masuk ke kamarnya."Saya akan tandatangani," ucap Isma. Dia harus menepati janjinya karena Arman sudah membayar seluruh biaya saat ibunya di rumah sakit."Hm Pak, apa boleh saya mencari pekerjaan selama tinggal di sini?""Tidak!" jawab Arman tegas. "Kamu sudah mendapatkan banyak uang dengan menjadi istri saya, jadi tugas kami hanya di rumah dan ada beberapa yang harus kamu lakukan." Lalu Arman menarik Isma, membawanya ke depan cermin yang menjulang tinggi di sudut ruangan."Ubah diri kamu, saya tidak mau orang-orang berpikir saya menikahi seorang pembantu." Ucapan Arman terdengar pedas di telinga Isma, tapi tidak dengan yang dirasakan lelaki itu."B–baik Pak," jawab Isma tergagap."Pak Arman?" panggil seseorang di luar ruang kerja seraya mengetuk pintu berulangkali."Iya?" sahut Arman menghampiri."Ada Bapak dan Ibu," kata asisten rumahtangga Arman yang bernama Bi Inah.Arman berbalik kepada Isma, baru satu minggu keberadaan perempuan itu di rumah ternyata sudah diendus oleh orangtuanya. Arman yakin, Bagus dan Diajeng sudah mengetahui kabar pernikahan diam-diamnya."Kamu tunggu di sini," kata Arman kepada Isma."Iya Pak."Lalu Arman memutuskan menemui orangtuanya sendirian. Dia tidak yakin Isma sudah siap bertemu dengan Bagus dan Diajeng. Begitu Arman masuk ke ruang tamu, dia langsung disambut tatapan protes dari kedua orangtuanya."Jelaskan sama kita, Arman." Bagus yang membuka suara lebih dulu. "Di mana dia? Katakan pada kami kalau apa yang beredar di luar sana itu tidak benar!""Apa yang Papa dan Mama dengar memangnya?" tanya Arman, dia duduk di sofa berusaha bersikap tenang menghadapi Bagus."Kamu menikah dengan perempuan itu di belakang kami? Kamu anggap apa kami Arman?" Sekarang giliran Diajeng yang bertanya, perempuan itu sudah naik pitam sejak tadi pagi mengetahui kabar pernikahan Arman dan Isma."Memang kalau Arman beritahu kalian sebelumnya, kalian akan setuju?""Tidak seperti ini Arman Rasendriya!" bentak Bagus. "Kamu ini anak Papa satu-satunya, tidak mungkin Papa membiarkan kamu menikahi wanita sembarangan yang tidak jelas asal-usulnya!""Papa sama Mama mau Arman menikah, 'kan? Ya sudah, Arman sudah turuti. Arman menikah dan sekarang Arman mau hidup tenang, jadi Papa dan Mama biza berhenti menganggu kehidupan Arman?""Mengganggu kamu bilang? Tidak ada orang tua yang ingin menganggu anaknya, kami hanya mau yang terbaik untuk kamu—""Dan menurut kalian, Clara orangnya?" pungkas Arman."Clara perempuan baik, dia berasal dari keluarga yang jelas. Ini belum terlambat Arman, ceraikan dia dan kembali pada Clara. Clara masih mau menerima kamu kok.""Ma Pa!" Habis kesabaran Arman. "Berhenti ngatur hidup, Arman! Selama puluhan tahun Arman hidup menjadi anak yang baik, kalian mau Arman sekolah di mana, belajar di mana, berteman dengan siapa, selalu Arman turuti 'kan?""Lalu apa salahnya menurut sekali ini saja lagi? Jangan mempermalukan kami seperti ini!""Pa, Arman tidak akan mengubah keputusan Arman. Arman sudah menikahi Isma, dia adalah istri Arman sekarang.""Di mana dia?" Diajeng pun pergi, dia mencari Isma di rumah Arman. "Keluar Isma!" teriak Diajeng menggelegar dengan suaranya yang tinggi."Ma—" cekal Arman menahan Diajeng yang akan pergi ke lantai dua. "Isma sedang pergi.""Jangan bohong kamu!" Tidak percaya pada Arman, Diajeng tetap nekat menyisir setiap sudut rumah putra semata wayangnya."Ma please!" Kali ini Arman memohon pada perempuan yang telah melahirkannya itu. "Jangan buat keributan, tolong hargai keputusan Arman dan terima Isma sebagai menantu Mama.""Cih! Mama tidak akan sudi Arman, Mama tidak akan pernah membiarkan perempuan itu merusak kehidupan kamu! Dengar Arman, dia tidak akan menjadi istri kamu untuk waktu yang lama. Apa pun akan Mama lakukan supaya dia pergi! Camkan itu! Mama sendiri yang akan memisahkan kalian berdua, sampai mati pun Mama tidak akan pernah rela membiarkan kamu dan dia hidup bersama!"Mobil berwarna putih itu melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan pelataran rumah Arman membawa kekesalan pemiliknya. Diajeng, mengepalkan tangan menahan semua amarahnya di sana."Sabar Ma," ucap Bagus seraya mengusap bahu sang istri."Ini sudah keterlaluan, Pa. Bagaimana bisa, Arman menikah tanpa sepengetahuan kita. Dia menikahi perempuan itu tanpa restu kita. Arman itu anak kita satu-satunya, argh—""Papa juga sangat marah, tapi kamu tahu karakternya seperti apa 'kan? Arman tidak akan mengikuti keinginan kita begitu saja.""Ck!" Diajeng hanya bisa berdecak sebal seiring semakin jauh kediaman Arman dari jangkauannya.Sementara itu, Arman hendak masuk ke kamarnya tapi dia lupa jika Isma masih ada di ruang kerja. Kemudian, dia pun kembali ke sana."Kamu sudah boleh pergi," kata Arman di ambang pintu namun tidak mendapatkan sahutan. Di sofa, kepala Isma tidak nampak menyembul. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, bertanya dalam hati apa Isma sudah keluar dari ruangan tersebut?Karen
Kabar pernikahan Arman dan Isma akhirnya sampai ke telinga Clara. Gadis berusia 28 tahun dan merupakan penerus perusahaan kosmetik milik orangtuanya itu tidak percaya begitu saja.Clara dan Arman memang belum resmi dijodohkan, Clara hanya tahu orangtuanya dan orang tua Arman memiliki rencana itu. Meski begitu, Clara terlanjur jatuh hati kepada Arman sejak mereka pertama kali bertemu.Karena dihantui rasa penasaran yang mendalam, Clara memutuskan pergi ke kediaman Arman lagi dan ingin memastikan kabar tersebut.Begitu sampai di rumah Arman yang terletak di salah satu kompleks perumahan elit ibukota, Clara langsung menemui petugas keamanan di sana."Di mana Arman?" tanyanya tanpa basa-basi."Pak Arman sudah berangkat ke kantor sama pak Raffi, Mbak.""Ada siapa di dalam?""Istrinya Pak Arman dan bibi."Tanpa permisi, Clara melenggang masuk ke kawasan rumah Arman dan langsung mengetuk pintunya. Tidak perlu menunggu lama, pintu dibuka dari dalam.Seorang gadis mengenakan dress terusan sede
Pagi hari, Arman turun dari kamarnya menuju ke meja makan. Dia sudah siap mengenakan jas dan akan pergi ke kantor. Di meja, ada sebuah cangkir berisi kopi yang masih mengepul. Kemudian Arman pun menyeruput kopi tersebut. Dia terdiam sejenak, kembali menyeruputnya merasa-rasa kopi tersebut."Tumben rasanya beda?" gumam Arman menyecap kembali minumannya. Kopi dengan sedikit susu itu biasanya terasa lebih manis, tapi kali ini berbeda di lidahnya."Kenapa, Pak?" tanya Bi Inah kepada Arman."Kopinya enak, tumben tidak terlalu manis.""Bukan Bibi yang buat," bantah Bi Inah. "Mbak Isma tadi yang buatkan soalnya Bibi lagi nyuci.""Isma?"Kemudian orang yang sedang mereka bicarakan keluar dari dapur. Isma tersenyum, dia mengenakan celemek yang membungkus pakaiannya. "Sarapannya sudah siap, Pak. Maksud saya, Mas."Bi Inah tersenyum mesem melihat pengantin baru itu masih tampak kaku. Bi Inah tentu tahu tentang pernikahan yang terjadi di antara Arman dan Isma semenjak Isma pertama kali datang, na
"Ma!"Tiba-tiba, dari arah depan Arman muncul mengejutkan Diajeng dan Isma. Bi Inah yang diam-diam melaporkan kepada lelaki itu karena tidak bisa menghentikan Diajeng."Mama ngapain Isma?" tanya Arman penuh selidik.Meski putra semata wayangnya itu tampak kesal namun Diajeng sama sekali tidak peduli padahal dia baru saja terpergok membuat menantunya sendiri kelelahan dengan pekerjaan rumah.Diajeng pun menghampiri Arman, melipat tangan di dada dan menatap lelaki itu. "Ngapain lagi? Nyuruh istri kamu beres-beres rumah, kenapa memangnya?""Ada Bi Inah yang aku pekerjakan untuk melakukan ini, jadi kenapa Isma juga harus melakukannya?"Mendengar Arman membelanya, Isma terdiam di pojokan kebun. Dia tidak menduga lelaki itu akan kembali dari kantor dan keributan terjadi lagi di antara dirinya dan Diajeng jadi Isma pun mendekat untuk menengahi."Mas, tidak apa-apa.""Tuh denger, kamu saja yang aneh! Mama cumaa ngajarin istri kamu untuk melakukan pekerjaan rumah tapi kamu malah marah!" seru D
Di tengah keramaian dan megahnya pesta ulang tahun pernikahan orangtua Arman, ada seorang gadis yang tengah gugup setengah mati. Isma, dia sedang berada di antara sekumpulan tamu undangan diapit oleh Diajeng dan Clara di sisi kanan kirinya."Ngomong-ngomong, ini siapa?" tanya salah seorang."Asistennya Arman, yang ngurusin keperluan pribadi anak saya." Diajeng menjawabnya, ditimpali kekehan mengejek yang berasal dari Clara."Wah, baik banget Arman. Mau bawa asistennya ke pesta ini. Terus ini siapa?" tanya yang lain lagi, beralih kepada Clara."Ini calon istrinya," sahut Diajeng kemudian memperkenalkan Clara. Tak lupa, dia juga menyebutkan dari mana Clara berasal dan perusahaan apa yang keluarganya miliki. "Selain cantik, Clara ini memang pintar. Dia sekolah di luar negeri, dan akan meneruskan perusahaan Aura Beauty."Padahal ada Isma yang sudah resmi dinikahi oleh Arman tetapi Diajeng tidak sudi untuk mengakuinya. Dibandingkan harus membiarkan semua orang tahu jika Isma sekarang menja
Pulang ke rumah di jam yang sangat larut, Arman terkejut melihat seseorang meringkuk di sofa ruang tamu. Lelaki itu menyipitkan matanya, menelisik sosok yang tampak kecil hanya diterangi cahaya yang berasal dari sela-sela ventilasi.Lalu, saat Arman meraba dan stop kontaknya dinyalakan, lelaki itu tahu bahwa seseorang yang ada di sofa tadi adalah Isma. Gadis itu tertidur di sana, tanpa selimut padahal cuaca cukup dingin ditambah pendingin ruangan yang masih menyala."Kenapa dia tidur di sini?" gumam Arman melepas jasnya yang terasa sesak dan menaruhnya di pinggir sofa yang kosong. Kemudian dia mendekat, berjongkok tepat menghadap ke wajah Isma yang tertidur pulas. "Isma?" bisiknya cukup pelan.Dalam sekali panggilan, Isma langsung mengerjap dan cukup kaget dengan kehadiran Arman yang begitu dekat posisinya. "Mas—" Isma beringsut lalu duduk di sofa sedangkan Arman sudah berdiri sejak tadi."Kamu ngapain tidur di sini? Seperti tidak punya kamar saja," celetuk Arman lalu duduk di sofa la
Degup jantung berdetak kencang menemani dinginnya seorang gadis bernama Isma di dalam mobil yang sedang melesat cepat. Sesekali, sorot matanya yang gugup bertemu dengan ekor mata lelaki yang tengah mengemudi melalui kaca spion bagian depan.Entah sudah berapa ribu kali Isma mengusap keringat dingin di telapak tangannya, dia benar-benar ketakutan."Jangan mengecewakan Isma, dia laki-laki pertama yang berani membayarmu dengan harga tinggi!"Suara Mami Ratna penguasa rumah bordil tadi kembali terngiang di telinga Isma, semakin menguatkan gelisah yang menderanya.Cittt!!! Mobil berhenti tepat di depan sebuah hotel bintang lima. Terang cahaya dari gedung pencakar langit tersebut nyatanya tidak mampu membuat Isma merasa tenang. Justru, di matanya semua nampak gelap seolah tidak ada siapa pun dalam dunianya yang mulai kelam."Turun!" Pria yang tadi menyetir turun dari mobil, membukakan pintu untuk Isma."Iya," sahut Isma mulai menurunka
"Jangan, Pak!" Isma mendorong dada Hartono menjauh darinya. Namun, pergelangan tangannya digenggam kuat oleh tangan Hartono yang besar, lelaki tua itu tidak akan membiarkan mangsanya yang sudah di bayar mahal lolos begitu saja."Kamu pikir saya bodoh, hah? Kamu sudah di sini, dan sudah tugas kamu untuk melayani saya!" Hartono membangunkan Isma, menyeretnya membawa perempuan itu ke ranjang."Pak!" Isma berteriak dan berontak, tetapi Hartono bergeming. Dia tidak peduli Isma kesakitan.Semakin dekat jarak mereka ke tempat tidur, semakin kalut pikiran Isma. Dia tidak mau hidupnya hancur karena uang dua juta. Isma tidak ingin membunuh masa depannya meski tidak yakin akan secerah apa hidupnya nanti."Pak!" Panggilan Isma diabaikan, Hartono tetap pada hasratnya yang terlanjur melambung tinggi. Lalu, keadaan semakin membuat Isma terdesak. Pikiran jahat mulai menghasutnya saat sebuah vas bunga tidak sengaja dia lihat.Isma menyambar vas bunga yang
Pulang ke rumah di jam yang sangat larut, Arman terkejut melihat seseorang meringkuk di sofa ruang tamu. Lelaki itu menyipitkan matanya, menelisik sosok yang tampak kecil hanya diterangi cahaya yang berasal dari sela-sela ventilasi.Lalu, saat Arman meraba dan stop kontaknya dinyalakan, lelaki itu tahu bahwa seseorang yang ada di sofa tadi adalah Isma. Gadis itu tertidur di sana, tanpa selimut padahal cuaca cukup dingin ditambah pendingin ruangan yang masih menyala."Kenapa dia tidur di sini?" gumam Arman melepas jasnya yang terasa sesak dan menaruhnya di pinggir sofa yang kosong. Kemudian dia mendekat, berjongkok tepat menghadap ke wajah Isma yang tertidur pulas. "Isma?" bisiknya cukup pelan.Dalam sekali panggilan, Isma langsung mengerjap dan cukup kaget dengan kehadiran Arman yang begitu dekat posisinya. "Mas—" Isma beringsut lalu duduk di sofa sedangkan Arman sudah berdiri sejak tadi."Kamu ngapain tidur di sini? Seperti tidak punya kamar saja," celetuk Arman lalu duduk di sofa la
Di tengah keramaian dan megahnya pesta ulang tahun pernikahan orangtua Arman, ada seorang gadis yang tengah gugup setengah mati. Isma, dia sedang berada di antara sekumpulan tamu undangan diapit oleh Diajeng dan Clara di sisi kanan kirinya."Ngomong-ngomong, ini siapa?" tanya salah seorang."Asistennya Arman, yang ngurusin keperluan pribadi anak saya." Diajeng menjawabnya, ditimpali kekehan mengejek yang berasal dari Clara."Wah, baik banget Arman. Mau bawa asistennya ke pesta ini. Terus ini siapa?" tanya yang lain lagi, beralih kepada Clara."Ini calon istrinya," sahut Diajeng kemudian memperkenalkan Clara. Tak lupa, dia juga menyebutkan dari mana Clara berasal dan perusahaan apa yang keluarganya miliki. "Selain cantik, Clara ini memang pintar. Dia sekolah di luar negeri, dan akan meneruskan perusahaan Aura Beauty."Padahal ada Isma yang sudah resmi dinikahi oleh Arman tetapi Diajeng tidak sudi untuk mengakuinya. Dibandingkan harus membiarkan semua orang tahu jika Isma sekarang menja
"Ma!"Tiba-tiba, dari arah depan Arman muncul mengejutkan Diajeng dan Isma. Bi Inah yang diam-diam melaporkan kepada lelaki itu karena tidak bisa menghentikan Diajeng."Mama ngapain Isma?" tanya Arman penuh selidik.Meski putra semata wayangnya itu tampak kesal namun Diajeng sama sekali tidak peduli padahal dia baru saja terpergok membuat menantunya sendiri kelelahan dengan pekerjaan rumah.Diajeng pun menghampiri Arman, melipat tangan di dada dan menatap lelaki itu. "Ngapain lagi? Nyuruh istri kamu beres-beres rumah, kenapa memangnya?""Ada Bi Inah yang aku pekerjakan untuk melakukan ini, jadi kenapa Isma juga harus melakukannya?"Mendengar Arman membelanya, Isma terdiam di pojokan kebun. Dia tidak menduga lelaki itu akan kembali dari kantor dan keributan terjadi lagi di antara dirinya dan Diajeng jadi Isma pun mendekat untuk menengahi."Mas, tidak apa-apa.""Tuh denger, kamu saja yang aneh! Mama cumaa ngajarin istri kamu untuk melakukan pekerjaan rumah tapi kamu malah marah!" seru D
Pagi hari, Arman turun dari kamarnya menuju ke meja makan. Dia sudah siap mengenakan jas dan akan pergi ke kantor. Di meja, ada sebuah cangkir berisi kopi yang masih mengepul. Kemudian Arman pun menyeruput kopi tersebut. Dia terdiam sejenak, kembali menyeruputnya merasa-rasa kopi tersebut."Tumben rasanya beda?" gumam Arman menyecap kembali minumannya. Kopi dengan sedikit susu itu biasanya terasa lebih manis, tapi kali ini berbeda di lidahnya."Kenapa, Pak?" tanya Bi Inah kepada Arman."Kopinya enak, tumben tidak terlalu manis.""Bukan Bibi yang buat," bantah Bi Inah. "Mbak Isma tadi yang buatkan soalnya Bibi lagi nyuci.""Isma?"Kemudian orang yang sedang mereka bicarakan keluar dari dapur. Isma tersenyum, dia mengenakan celemek yang membungkus pakaiannya. "Sarapannya sudah siap, Pak. Maksud saya, Mas."Bi Inah tersenyum mesem melihat pengantin baru itu masih tampak kaku. Bi Inah tentu tahu tentang pernikahan yang terjadi di antara Arman dan Isma semenjak Isma pertama kali datang, na
Kabar pernikahan Arman dan Isma akhirnya sampai ke telinga Clara. Gadis berusia 28 tahun dan merupakan penerus perusahaan kosmetik milik orangtuanya itu tidak percaya begitu saja.Clara dan Arman memang belum resmi dijodohkan, Clara hanya tahu orangtuanya dan orang tua Arman memiliki rencana itu. Meski begitu, Clara terlanjur jatuh hati kepada Arman sejak mereka pertama kali bertemu.Karena dihantui rasa penasaran yang mendalam, Clara memutuskan pergi ke kediaman Arman lagi dan ingin memastikan kabar tersebut.Begitu sampai di rumah Arman yang terletak di salah satu kompleks perumahan elit ibukota, Clara langsung menemui petugas keamanan di sana."Di mana Arman?" tanyanya tanpa basa-basi."Pak Arman sudah berangkat ke kantor sama pak Raffi, Mbak.""Ada siapa di dalam?""Istrinya Pak Arman dan bibi."Tanpa permisi, Clara melenggang masuk ke kawasan rumah Arman dan langsung mengetuk pintunya. Tidak perlu menunggu lama, pintu dibuka dari dalam.Seorang gadis mengenakan dress terusan sede
Mobil berwarna putih itu melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan pelataran rumah Arman membawa kekesalan pemiliknya. Diajeng, mengepalkan tangan menahan semua amarahnya di sana."Sabar Ma," ucap Bagus seraya mengusap bahu sang istri."Ini sudah keterlaluan, Pa. Bagaimana bisa, Arman menikah tanpa sepengetahuan kita. Dia menikahi perempuan itu tanpa restu kita. Arman itu anak kita satu-satunya, argh—""Papa juga sangat marah, tapi kamu tahu karakternya seperti apa 'kan? Arman tidak akan mengikuti keinginan kita begitu saja.""Ck!" Diajeng hanya bisa berdecak sebal seiring semakin jauh kediaman Arman dari jangkauannya.Sementara itu, Arman hendak masuk ke kamarnya tapi dia lupa jika Isma masih ada di ruang kerja. Kemudian, dia pun kembali ke sana."Kamu sudah boleh pergi," kata Arman di ambang pintu namun tidak mendapatkan sahutan. Di sofa, kepala Isma tidak nampak menyembul. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, bertanya dalam hati apa Isma sudah keluar dari ruangan tersebut?Karen
Raffi menilai Arman terlalu egois dalam hal ini. Seperti sekarang, mereka berada dalam perjalanan menuju ke kota lagi tepat pukul 11 malam.Tentu saja Isma ikut bersama mereka karena Arman terus saja menekan perempuan yang telah dia nikahi beberapa saat yang lalu itu. Di kursi bagian belakang, Isma sedang duduk bersandar. Wajahnya murung, dia lelah tapi tidak bisa tidur.Baru saja tadi pagi kembali ke kampung, lalu dalam satu hari dia kehilangan ibunya sekaligus terikat pernikahan kontrak bersama Arman. Dalam hatinya Isma menyesal, kalau ibunya memang ditakdirkan meninggal dunia hari ini kenapa Tuhan harus membuatnya memilih keputusan menerima tawaran Arman? Karena sekarang semuanya tidak berguna bagi Isma."Isma, kamu lapar?" tanya Raffi merasa cemas dengan keadaannya.Sontak Arman pun ikut melirik perempuan itu. Bukan hanya Isma sebenarnya, dia dan Raffi juga tidak makan seharian karena kejadian serba mendadak ini."Saya tidak lapar, Pak," jawab Isma tanpa membalas tatapan keduanya.
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, ambulans yang membawa ibunya Isma tiba di rumah sakit. Arman turun dari sedannya yang dikemudikan oleh Raffi, sementara Isma keluar dari mobil rumah sakit di depannya.Wajah Isma menggambarkan kekhawatiran yang mendalam akan keadaan ibunya. Jauh dalam lubuk hatinya, Isma menyudutkan dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi satu-satunya anak yang seharusnya dapat ibunya andalkan.Dua bulan Isma merantau, dia tidak bisa membawa ibunya berobat. Baru sekarang, itupun ada harga yang harus Isma bayar dengan mengorbankan dirinya terikat pernikahan kontrak dengan Arman."Urus semuanya, Raf." Arman duduk di kursi tunggu, sementara Isma diijinkan dokter masuk ke ruangan dan Raffi pergi ke meja administrasi.Di samping Arman, Eko juga ikut menunggu kakak iparnya yang sedang sakit parah. Dia mengamati Arman diam-diam, ada perasaan aneh dalam dirinya tentang lelaki itu. Tentang pengakuannya perihal Isma dan rencana pernikahan mereka."Berapa bia
Isma melirik Raffi yang berada di antara dirinya dan Arman, harap-harap Raffi akan memberikan pertanda bahwa Arman sedang bercanda saat ini. Namun pria yang usianya lebih matang itu tidak menunjukkan tanda-tanda mereka sedang menikah."Ayo berkemas!" Suara bariton milik Arman mengagetkan lamunan Isma yang belum menguasai dirinya sepenuhnya."Tidak bisa begitu, Pak. Maaf." Isma kemudian beringsut dari kursi. "Sebaiknya Pak Arman dan Pak Raffi segera pergi, hari sudah mulai sore khawatir kalau kalian kemalaman di jalan.""Saya tidak bisa pergi kalau kamu tidak ikut!" tukas Arman menahan lengan Isma, tepatnya mencengkeram karena sekarang perempuan itu sedikit meringis. Lalu, Arman sadar dan melepaskan tangan Isma. "Ini penting, saya akan membuat tawaran yang lebih dari uang sepuluh juta kemarin!""Pak, ini bukan masalah uang lagi." Isma sekarang mengerti kenapa Arman melakukannya, dia pikir lelaki di hadapannya itu semakin terdesak oleh keadaan dan tekanan dari orangtuanya sehingga melak