Tanpa banyak bicara, lelaki itu keluar kamar dengan segenap amarah yang membuncah. Ia tak mau satu ruangan dengan istrinya, ia takut tidak bisa mengontrol emosi dan yang akhirnya akan membuat pertengkaran. Dirinya tak mau sampai turun tangan dan menyebabkan istrinya terluka.Sedangkan Murni sendiri menatap dalam diam kepergian suaminya, ada perasaan menyesal kenapa ia tak bisa mengontrol emosinya. Menangis pun percuma, mau minta maaf juga kepalang tanggung. Kini ia hanya bisa duduk di tepi ranjang dengan segenap penyesalan yang ada.Di luar Randi merebahkan tubuhnya di atas sofa. Seharian bekerja tanpa mengenal lelah mampu membuat matanya terpejam sampai tak lama kemudian sayup-sayup suara adzan subuh berkumandang.Ia merasa baru saja tertidur tetapi sudah pagi saja."Loh, Ran, kenapa tidur di luar?" tanya Ibu mertuanya menghampiri."Tidak bisa tidur di kamar, Bu," bohong Randi. Ia tak mau permasalahannya dengan Murni sampai diketahui orang lain walaupun itu Ibu mertuanya sendiri."
Randi mencoba memberi penjelasan pada istrinya tersebut, ia tidak mau kesalahpahaman ini terus berlanjut. Apalagi ia tidak merasa melakukan apapun, bahkan orang yang mengirim pesan pun ia juga tidak tahu siapa orangnya. Ia hanya mengira kalau orang itu salah kirim saja dan tidak berpikir jauh tentang hal itu."Kalau ada sesuatu yang kurang dalam diriku, harusnya kamu bilang, Mas, bukan malah bermain di belakangku seperti ini," ucap Murni saat Randi tengah menggenggam jemarinya."Aku tidak selingkuh, aku pun juga sama seperti kamu, tidak kenal siapa pemilik nomor itu." Randi mencoba menjelaskan, tetapi bukannya mau mendengar, Murni malah menangis terisak dan hal itu kebetulan diketahui oleh ibunya."Kamu kenapa, Murni?" tanya sang Ibu mendekat. Sedangkan Randi sendiri merasa tidak nyaman dengan kedatangan mertuanya. Ia sudah menduga, akan kemana permasalahan ini berlanjut, pasti mertuanya akan ikut campur dan dirinya akan dipermasalahkan."Mas Randi selingkuh," jawab Murni. "Kamu seli
"Maaf, Mbak, tadi suaminya jatuh dari motor saat mengantar saya," ucap wanita tersebut saat tiba di ambang pintu. Ia berhenti saat melihat Murni menatapnya dengan tatapan tajam."Sampai di sini saja, ya, Mas?" ucap wanita tersebut. Dia merasa tak enak sendiri terhadap Murni, ia tak mau terjadi kesalahpahaman antara mereka berdua. Setelah itu wanita tersebut pergi, tak lupa ia pamit pada Murni walaupun respon yang ditunjukkan Murni biasa-biasa saja bahkan terkesan dingin.Selepas kepergian wanita tersebut, Randi pun langsung melangkah ke dalam. Ia tak mengucapkan sepatah katapun pada istrinya tersebut dan hanya melewati Murni begitu saja. Sedangkan Murni sendiri langsung menyusul suaminya."Dari mana kamu seharian ini, Mas?" tanya Murni ketika ia mendapati suaminya duduk di sisi ranjang, bahkan tanpa bertanya keadaan suaminya, ia langsung menodong dengan pertanyaan seperti itu.Sedangkan Randi sendiri lebih memilih bungkam, jujur saja saat ini ia masih merasa kecewa."Jawab, Mas! Kamu
"Hallo, Tania," ucap seorang wanita yang datang menghampiri ketika dirinya sedang momong Hanita di taman. Tak hanya Tania, Hanif sendiri juga berada di sana, tetapi suaminya itu tengah menerima telepon dari temannya yang menawarkan tanah di Sumatera."Kamu, kamu Via 'kan?" Tania sedikit lupa-lupa ingat."Iya," jawab wanita tersebut sembari tersenyum."Anakmu sudah besar," ucapnya lagi seolah mereka adalah teman dekat yang lama tidak bertemu. Tania tersenyum, walaupun mereka tidak pernah ada masalah tetapi yang ia ketahui Via pernah masuk penjara karena dilaporkan seseorang."Kamu masih bersama Beni?" tanya Tania. Ia sama sekali bingung mau memulai obrolan dari mana, tapi ingatannya langsung tertuju pada Beni, lelaki kejam yang pernah ia temui. Ya, walaupun selama ini dia tidak pernah menyakitinya, tetapi ia merasa takut kalau lelaki itu akan menyakiti salah satu keluarganya."Masih," jawab Via dengan wajah sendu. Raut wajahnya tak bisa dibohongi, ketika mengingat suaminya itu, Via me
"Ro-Roni?" Murni nampak tergagap dengan kedatang lelaki itu, lelaki yang selama itu telah membantu mantan suaminya menyiksa dirinya.Roni, anak buah Beni yang selalu setia. Terakhir yang ia dengar dia sedang berada di luar pulau, tapi sejak kapan persisnya ia tak tahu.Ia pikir hidupnya akan aman setelah ini, ternyata ia salah, ancaman besar sedang mengarah kepadanya. Murni mengatur nafasnya, ia tak boleh gegabah dan juga tak boleh menunjukkan wajah ketakutannya. Ia harus terlihat tenang."Masih ingat saja, cantik," ucap Roni sambil menowel dagu Murni. Murni pun menampil tangan itu lalu menghempaskannya dengan kasar. Ia sangat tidak suka jika ada orang yang berani menyentuhnya."Jangan jual mahal kamu!" bentak Roni.Murni yang ketakutan akhirnya berlari menjauh. Ia sangat menghindari anak buah Beni itu.***"Bu, Ibu!" teriak Murni saat sudah sampai di rumah. Orang yang saat ini ia butuhkan adalah ibunya karena Randi sendiri sedang bekerja, tak mungkin ia mengganggu kerja suaminya den
"Apa aku resign saja, ya, Sayang," ucap Hanif karena merasa apa yang diucapkan istrinya memang benar adanya."Harus, aku nggak,ya, ada pelakor dalam rumah tangga kita," jawab Tania dengan mantap. Sudah lama ia meminta suaminya itu resign tetapi Hanif sama sekali tak mengindai ucapannya."Setelah liburan aku akan ajukan surat pengunduran diri.""Lama benar.""Kan empat hari lagi kita ke Blitar, masa iya, ajuan cuti di acc langsung mengundurkan diri begitu saja," jawab suaminya."Tapi aku takut kalau kamu akan kegoda.""Kupastikan hal itu tidak akan terjadi, makanya aku bilang, jangan dekat-dekat dengan Laura, cukup dekat dengan tetangga saja karena kalau kita repot atau ada hal lainnya, yang sering kita minta tolong adalah tetangga, tapi ingat, jangan gibah," nasehat Hanif Tak jarang istrinya itu ketika pulang dapat gosip baru, padahal sebelum punya anak dan jarang main ke rumah tetangga, istrinya itu jarang sekali ikut gibah dengan mereka, tapi semenjak punya anak dan sering main ke
"Itu gunanya tetangga, makanya kalau ada ghibah, ya jangan dilarang," ucap Tania sambil tertawa. Jiwa emak-emaknya meronta-ronta setelah bergaul dengan tetangganya itu, tiap kali bertandang, selalu aja ada bahan obrolan, terkadang lebih sering makan-makan juga, entah rujakan atau apa itu.Tapi walaupun ia sering makan-makan, berat badannya cuma diangkat itu-itu saja. Dia tidak terlihat gemuk, entah karena prawakannya yang nggak bisa gemuk atau karena menyusui, Tania sendiri tak tahu dan juga tak mau ambil pusing.Setelah dipastikan Bi Yun mau tinggal di rumahnya, lantas mereka pun beranjak pergi.Hanita yang biasanya mau sama neneknya, mendadak ingin dalam dekapan mamanya. Lalu tak lama kemudian bocah kecil itu tertidur. "Sudah mulai di sapih, ya, Hanita nya?" tanya Linda membuka percakapan setelah beberapa saat hening."Sudah, Mbak, baru dua hari ini," jawab Tania sambil menepuk-nepuk anaknya agar jangan sampai terbangun. Sedangkan Hanif sendiri bolak-balik ngecek ponselnya, seakan
"Mas, istrimu ternyata suka main tangan, dia sangat kasar. Padahal aku cuma mau berteman saja," ucap Via dengan air mata buayanya. Memang ini termasuk rencananya, awalnya ia tadi ingin menangkis tangan Murni, tapi melihat Randi yang berjalan ke arahnya, ia langsung mengurungkan niat itu. Ia pun memancing Murni agar wanita itu marah lalu bermain kasar dahulu sehingga dengan mudah ia bisa menunjukkan pada Randi kalau istri tercintanya ternyata wanita bar-bar."Bohong, Mas, dia tadi menghinaku," jawab Murni membela. Ia tak habis pikir dengan Via, ternyata wanita itu sangat licik. Bahkan sekarang dengan mudahnya wanita itu memfitnah dirinya."Murni!" bentak Randi pada istrinya sampai wanitanya tertunduk takut. Kini yang bisa Murni lakukan hanyalah menangis dalam diam. Suaminya, orang yang ia kira bisa melindungi ternyata lebih percaya pada manusia ular itu."Maaafkan istrinya saya, Mbak," ucap Randi pada wanita itu."Aku takut kalau bertemu istrimu suatu saat nanti dia akan melukaiku, Mas
"Ibumu di kampung menitipkan uang untukku. Sebenarnya kita tidak ada urusan apa-apa, tetapi bukankah amanat harus tetap disampaikan, ya?" tanya Hanif santai dan seolah tak menggubris Randi yang menatapnya dengan sinis."Kamu dari sana?""Ya."Randi membuang muka, sudah sangat lama ia tak pernah mengunjungi ibunya itu, bahkan menghubungi saja juga tak pernah. Mendadak ia merasa rindu pada orangtuanya tersebut."Aku ambilkan uangnya dulu, sebab uangnya berada di rumah. Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Hanif."Aku tidak ingin ada orang yang tau di mana keberadaanku sekarang, jika kamu mau, aku tunggu kamu di sini."Hanif menatap heran, Randi sungguh benar-benar berubah. Ia bahkan sampai tak mengerti, ada apa dengan lelaki di hadapannya ini."Kamu baik-baik saja?" Hanif menatap penuh curiga, tapi secepat kilat ia mengalihkan pembicaraan agar lelaki di depannya itu tidak menaruh curiga."Kamu terlihat kecapean, makanya aku bertanya seperti itu," ucap Hanif lagi."Iya, aku lagi bingung
Hanif pulang sendiri karena Kakak iparnya harus menjalani serangkaian pemeriksaan. Apalagi luka yang dialami, terbilang cukup parah.Benar dugaannya, jika iparnya itu belum diperiksa tenaga kesehatan. Setelah sedikit didesak, Zaki mengakui kalau setelah kecelakaan wakt itu, dirinya langsung beranjak pulang.Tapi Kakak iparnya itu tidak mengatakan alasan apa pun kecuali merasa tak perlu diperiksa."Mas Zaki mana, Mas?" tanya Tania saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Dia dirawat. Lukanya terbilang cukup parah."Tania diam, ia sudah menduga. Tapi memang lebih baik jika kakaknya dirawat agar lekas sembuh."Vino dibawa ke rumah saja, tidak mungkin kamu tinggal di sini," ucap Hanif."Iya, Mas."Setelahnya, Tania pun beranjak ke arah ponakannya tersebut dan mengajaknya berkemas, ia juga memberi tahu alasannya. Keponakannya sudah besar, maka dari itu, Tania memberi tahu kondisi ayahnya saat ini.***"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Tania saat mereka telah sampai di rumah."Aku izin, sel
"Aw!" pekik Hanif saat istrinya mencoba membersihkan lukanya. Walaupun bukan Dokter, Tania tahu cara membersihkan luka itu, dulu dirinya pernah diajari oleh ibunya."Ini ceritanya gimana sih, Mas?" tanya Tania. Kini ia duduk di samping suaminya dan membersihkan darah itu, setelahnya ia meneteskan obat merah pada luka itu."Pas jalan, aku enggak tahu kalau ada botol pecah," jawab Hanif sambil meringis kesakitan."Apa perlu kita bawa ke rumah sakit, Mas?""Tidak. Nanti juga sembuh kok.""Aku beli nasinya dulu, ya? Setelah itu kita pulang."Hanif mengangguk. Kini ia melihat kakinya yang terluka, jika dipakaikan sepatu, maka akan semakin terasa sakit. Masa iya tidak kerja lagi, ia kan habis libur panjang.***"Mas," panggil Tania saat suaminya fokus pada kemudi."Iya.""Aku tadi lihat Mbak Murni diseret orang.""Kapan?" tanya Hanif sambil menoleh ke arah istrinya."Tadi, Mas. Tapi saat aku ingin ke sana, kamu malah kena pecahan kaca."Hanif diam, bukan maksud apa, ia tak mau membahas mant
"Apa ada saksinya, Mas, yang melihat kejadian itu?" tanya Tania saat ia sudah sampai di kediaman kakaknya. Melihat kondisi kakaknya, membuat Tania merasa prihatin. Bagaimana tidak, apa yang diucapkan Kakak iparnya itu tidak sesuai realita.Sewaktu di telepon Kakak iparnya mengatakan jika Zaki tidak apa-apa tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Di hadapan Tania, tubuh kakaknya itu mengalami banyak luka. Apalagi di lengan kirinya, goresannya cukup parah."Tadi ada yang melihat plat mobilnya, ada juga yang mengejar tetapi tidak kekejar," jawab Zaki sambil meringis kesakitan saat luka itu terasa nyut-nyutan."Bawa ke rumah sakit saja, Mas. Itu lukanya cukup parah loh," tawar Hanif. Dirinya pun sama seperti istrinya, tidak tega melihat kondisi kakaknya seperti ini."Tadi sudah dibawa ke Puskesmas terdekat. Ini sudah tidak apa-apa kok," jawab Zaki yang merasa tak enak dengan adiknya. Terpaksa ia harus berbohong karena tidak mungkin berkata sejujurnya. Mereka sudah mau membantu membenahi ge
"Sekali lagi kamu menghina istri saya, maka mulut Anda akan saya sumpal dengan sandal ini!" bentak Hanif sambil menunjukkan sandal yang ia pakai."Ini Murni, kan?" tanya wanita itu yang seperti kebingungan."Dia Tania, bukan Murni!" tegas Hanif yang masin tak terima, apalagi melihat anaknya meringsut ketakutan saat melihat wanita itu marah-marah."Jadi bukan Murni?" tanyanya lagi memastikan."Apa mata Ibu sudah rabun sehingga tidak bisa membedakan mana Murni dan mana orang lain?" tanya Tania pelan tapi terdengar nyelekit."Saya rasa Ibu terlalu muda jika harus pikun," ucapnya lagi.Sedangkan wania itu tergagap menahan malu karena merasa salah sasaran. Kini ia lebih memilih menundukkan kepalanya tanpa berani menatap dua manusia di depannya."Maaf," ucap wanita itu. "Kata maaf mudah saja dilontarkan, tapi apa Ibu tahu imbas dari ucapan Ibu ini, anak saya ketakutan dan saya takut mempengaruhi mentalnya," jawab Tania sambil menatap tajam. Ia benar-benar tidak tahu siapa wanita ini, selam
"Sekarang coba kamu lihat, mana ada aku tanggapi pesan Laura. Cemburu boleh, Sayang, tapi lihat-lihat juga," ucap Hanif pelan karena tak ingin membangunkan sang anak kalau sampai ia berbicara keras."Apanya yang dilihat, Mas? Aku dengar sendiri apa yang diucapkannya. Beruntung saja aku sendiri yang mengangkat teleponnya," sungut Tania. Kini emosinya ia luapkan pada Hanif, ia hanya ingin Hanif tahu kalau dirinya tidak suka ada perempuan lain yang menghubungi suaminya kecuali masalah pekerjaan, apalagi mendengar apa yang dikatakan Laura, ia seperti menangkap kalau wanita itu mengejar-ngejar suaminya."Terus aku harus bagaimana? Aku tidak melakukan apapun loh," bela Hanif. Berbicara pada orang yang tengah cemburu memang sangat sulit, maka harus ekstra sabar saat menghadapinya karena sedikit saja salah bicara, imbasnya akan panjang, dan hal itu yang sering terjadi saat ini."Aku enggak tahu, pokoknya aku enggak suka aja," jawab Tania.Hanif semakin mendekatkan tubuhnya lalu meraih jemar
"Lanjut saja, Mas," ucap Murni saat suaminya itu menghentikan motornya sejenak. Sama seperti yang ada dalam pikiran istrinya, sepertinya ia tak asing dengan corak baju itu, tapi hatinya mengatakan mungkin saja yang punya baju model itu banyak dan bukan satu orang saja.Menempuh waktu seperempat jam untuk keduanya sampai di kontrakan mereka. Kontrakan itu terlihat kecil dan tidak seperti rumah ibunya yang besar, tetapi Murni menerima, mungkin dengan ini konflik bersama suaminya bisa lebih dihindari."Semoga betah," ucap Randi sambil membantu anaknya turun dari motor. "Aku akan betah, Mas, selagi aku bisa bersama kamu terus," jawab Murni. Kini mereka masuk ke rumah tersebut, dan di sana semuanya sudah tersusun rapi. Randi memang sengaja membersihkan dahulu sebelum memboyong anak istrinya ke sini.Kontrakan itu terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu, kamar mandi pun berada di belakang dekat dengan dapur."Farel kamarnya di sana, ya?" ucap Randi sambil membawa anak sambungnya tersebu
Mendengar ucapan suaminya, Tania tak kuasa menahan air matanya. Kini dengan cepat ia pergi dari hadapan Hanif dan mengurung diri di kamar.Hanif yang sadar akan ucapannya lantas mendekati istrinya."Sayang, maafin aku," ucap Hanif lembut sambil meraih pundak istrinya."Kamu tidak salah, akunya saja yang bebal dan tak bisa dibilangin," jawab Tania dengan isak tangisnya. Kini ia menunduk, sakit banget dikatain seperti itu apalagi selama ini Hanif nyaris tak pernah berkata kasar padanya."Maksudku bukan itu." Hanif berkata pelan sambil meraih tubuh istrinya dan membawanya ke dalam dekapan."Aku akan kembalikan uang ini pada ibunya Mas Randi, kalau dia mau minta tolong, biar pada orang baik yang mau menolongnya," ucap Tania dan langsung beranjak. Kini ia usap air mata itu."Jangan seperti ini, Tania," ucap Hanif sambil menahan kepergian istrinya. Bukan tak mau dimintai tolong, tapi Hanif lebih menjaga rumah tangganya, ia tak mau sampai kejadian waktu dulu terulang lagi. "Sayang, aku mint
"Aku ke sini untuk mengambil anak suamiku," ucap wanita itu yang tak lain adalah Via. Dia tak datang sendiri tetapi datang bersama wanita paruh baya, Murni sendiri tahu siapa wanita di sebelahnya karena memang tak pernah bertemu."Dia anakku," jawab Murni yang paham akan maksud perempuan itu. Seketika ia teringat akan ucapan mantan suaminya yang mengatakan jika sampai kapanpun ia tetap ayahnya Farel."Kamu tidak lupa kan, jika Beni adalah ayah anakmu, kurasa ingatanmu masih kuat, jadi Beni menyuruhku untuk membawa Farel," jawab Via dengan sesantai mungkin."Aku tidak akan memberikan anakku.""Kamu jangan lupa, Murni, jika dia juga anak Beni, dan Beni juga berhak atas anak itu," ketus Via."Tapi aku yang mengurusnya, aku yang memberi kasih sayang, bukan Beni," tekan Murni."Kalau kamu tidak mau memberikan anak itu padaku, maka biar Beni sendiri yang akan mengambilnya," jawab Via dan langsung beranjak, tapi wanita di sampingnya itu tak mengikuti langkah Via tetapi malah mendekat ke arah