"Ro-Roni?" Murni nampak tergagap dengan kedatang lelaki itu, lelaki yang selama itu telah membantu mantan suaminya menyiksa dirinya.Roni, anak buah Beni yang selalu setia. Terakhir yang ia dengar dia sedang berada di luar pulau, tapi sejak kapan persisnya ia tak tahu.Ia pikir hidupnya akan aman setelah ini, ternyata ia salah, ancaman besar sedang mengarah kepadanya. Murni mengatur nafasnya, ia tak boleh gegabah dan juga tak boleh menunjukkan wajah ketakutannya. Ia harus terlihat tenang."Masih ingat saja, cantik," ucap Roni sambil menowel dagu Murni. Murni pun menampil tangan itu lalu menghempaskannya dengan kasar. Ia sangat tidak suka jika ada orang yang berani menyentuhnya."Jangan jual mahal kamu!" bentak Roni.Murni yang ketakutan akhirnya berlari menjauh. Ia sangat menghindari anak buah Beni itu.***"Bu, Ibu!" teriak Murni saat sudah sampai di rumah. Orang yang saat ini ia butuhkan adalah ibunya karena Randi sendiri sedang bekerja, tak mungkin ia mengganggu kerja suaminya den
"Apa aku resign saja, ya, Sayang," ucap Hanif karena merasa apa yang diucapkan istrinya memang benar adanya."Harus, aku nggak,ya, ada pelakor dalam rumah tangga kita," jawab Tania dengan mantap. Sudah lama ia meminta suaminya itu resign tetapi Hanif sama sekali tak mengindai ucapannya."Setelah liburan aku akan ajukan surat pengunduran diri.""Lama benar.""Kan empat hari lagi kita ke Blitar, masa iya, ajuan cuti di acc langsung mengundurkan diri begitu saja," jawab suaminya."Tapi aku takut kalau kamu akan kegoda.""Kupastikan hal itu tidak akan terjadi, makanya aku bilang, jangan dekat-dekat dengan Laura, cukup dekat dengan tetangga saja karena kalau kita repot atau ada hal lainnya, yang sering kita minta tolong adalah tetangga, tapi ingat, jangan gibah," nasehat Hanif Tak jarang istrinya itu ketika pulang dapat gosip baru, padahal sebelum punya anak dan jarang main ke rumah tetangga, istrinya itu jarang sekali ikut gibah dengan mereka, tapi semenjak punya anak dan sering main ke
"Itu gunanya tetangga, makanya kalau ada ghibah, ya jangan dilarang," ucap Tania sambil tertawa. Jiwa emak-emaknya meronta-ronta setelah bergaul dengan tetangganya itu, tiap kali bertandang, selalu aja ada bahan obrolan, terkadang lebih sering makan-makan juga, entah rujakan atau apa itu.Tapi walaupun ia sering makan-makan, berat badannya cuma diangkat itu-itu saja. Dia tidak terlihat gemuk, entah karena prawakannya yang nggak bisa gemuk atau karena menyusui, Tania sendiri tak tahu dan juga tak mau ambil pusing.Setelah dipastikan Bi Yun mau tinggal di rumahnya, lantas mereka pun beranjak pergi.Hanita yang biasanya mau sama neneknya, mendadak ingin dalam dekapan mamanya. Lalu tak lama kemudian bocah kecil itu tertidur. "Sudah mulai di sapih, ya, Hanita nya?" tanya Linda membuka percakapan setelah beberapa saat hening."Sudah, Mbak, baru dua hari ini," jawab Tania sambil menepuk-nepuk anaknya agar jangan sampai terbangun. Sedangkan Hanif sendiri bolak-balik ngecek ponselnya, seakan
"Mas, istrimu ternyata suka main tangan, dia sangat kasar. Padahal aku cuma mau berteman saja," ucap Via dengan air mata buayanya. Memang ini termasuk rencananya, awalnya ia tadi ingin menangkis tangan Murni, tapi melihat Randi yang berjalan ke arahnya, ia langsung mengurungkan niat itu. Ia pun memancing Murni agar wanita itu marah lalu bermain kasar dahulu sehingga dengan mudah ia bisa menunjukkan pada Randi kalau istri tercintanya ternyata wanita bar-bar."Bohong, Mas, dia tadi menghinaku," jawab Murni membela. Ia tak habis pikir dengan Via, ternyata wanita itu sangat licik. Bahkan sekarang dengan mudahnya wanita itu memfitnah dirinya."Murni!" bentak Randi pada istrinya sampai wanitanya tertunduk takut. Kini yang bisa Murni lakukan hanyalah menangis dalam diam. Suaminya, orang yang ia kira bisa melindungi ternyata lebih percaya pada manusia ular itu."Maaafkan istrinya saya, Mbak," ucap Randi pada wanita itu."Aku takut kalau bertemu istrimu suatu saat nanti dia akan melukaiku, Mas
Tak terasa setelah menempuh perjalanan panjang mereka pun sudah sampai di kota Blitar.Di sana Mbak Sri menyambut kedatangan mereka dengan antusias. "Sini, adik kecilnya ikut Bibi, ya?" ucap Mbak Sri dan langsung menggendong Hanita.Hanif sendiri menurunkan barang-barang untuk oleh-oleh dengan bantuan kakak iparnya, tak lupa ia memberi salam pada Mbak Sri, orang yang sudah sangat baik padanya juga istrinya."Kenapa repot-repot segala sih?" ucap Mbak Sri pada Hanif. "Nggak repot, Mbak. Oh iya, istriku mana?" tanya Hanif karena tak melihat istrinya tersebut. "Ya ampun, Hanif. Kamu baru pisah beberapa detik, tapi kok langsung nggak kuat nahan rindu," goda Mbak Sri sambil tertawa."Enggak gitu." Hanif sendiri nampak menggaruk kepalanya yang tak gatal."Di toilet," jawab Mbak Sri sambil tersenyum.Kini Hanif berjalan ke toilet rumah ini, ia masih hafal betul karena beberapa kali pernah menginap di sini. Menyusuri lorong yang tak seberapa panjang itu sampai akhirnya ia tiba di tempat is
Dengan langkah cepat, Murni pun meninggalkan rumah Tania. Ia sangat tergesa-gesa karena dari belakang terdapat Via yang terus mengejarnya."Tunggu Murni!" teriak Via tapi sama sekali tak digubris oleh wanita itu. "Murni!" teriak Via lagi, bahkan saking kerasnya suara, banyak orang yang keluar rumah untuk melihat apa yang tengah terjadi. Melihat situasi yang memungkinkan, Murni pun langsung belok ke rumah orang, ia minta perlindungan di sana. Sangat beruntung karena orang yang ia mintai tolong adalah ketua RT di daerah sini.Sedangkan Via yang melihat Murni dalam lindungan orang merasa tak takut. Kini ia hampiri wanita itu."Pak, tolong saya. Wanita ini ingin menyakiti saya," ucap Murni dengan nafas terengah-engah. Bahkan terlihat sekali tubuhnya gemetar dengan wajah pucat."Itu fitnah, Pak. Dia yang mau ganggu kehidupan adik saya," jawab Via membela diri."Adik Mbak siapa?" tanya Pak RT"Tania, Pak.""Oh, Mbak Tania. Lalu Mbak nya ini siapa?" tanya Pak RT sambil menatap ke arah Murn
"Ak-aku..." Murni nampak tergagap dan hal itu yang membuat Randi semakin kesal. Kini ia melangkah pergi untuk menenangkan diri. "Kamu mau ke mana, Mas?" Murni mencoba mengejar suaminya."Aku kecewa sama kamu, Murni. Kalau kamu tidak bisa move on dari Hanif, seharusnya kamu bicara, bukan malah kaya gini. Jujur saja aku mulai ragu dengan kelanjutan hubungan kita," ucap Randi. Kini ia hanya bisa pasrah, hatinya begitu sakit ketika sang mertua membandingkannya dengan Hanif.Tak bisa dipungkiri, kini hatinya tertanam rasa kebencian pada lelaki itu.***"Hanita titipin sama Ibu saja, Sayang. Kita ke pasar berdua," ucap Hanif saat mereka selesai melaksanakan salat subuh."Boleh, Mas. Banyak yang harus kubeli," jawab Tania sambil melipat mukenanya. Setelah itu ia duduk di samping sang suami dan menyandarkan kepalanya di pundak Hanif."Sayang banget," ucap Hanif sambil mengecup kening istrinya. Tania tak menjawab, tetapi ia balas kecupan suaminya dengan pelukan hangat."Kamu sayang aku nggak
"Kamu siapa!" bentak Murni. Terdengar tawa dari seberang telepon seakan mengejeknya."Aku wanita yang bisa memberi kenyamanan buat suamimu," jawabnya santai. "Aku mau bicara sama suamiku!""Suami kecapean, makanya dia tertidur, udah ya, aku mau lanjut tidur dulu, bye bye istri orang." Setelah mengatakan itu panggilan pun di matikan."Arg!" Murni membanting ponselnya, ia benar-benar tidak terima. Setelahnya terdengar suara anaknya yang menangis karena terganggu dengan suara teriakannya, karena masih marah Murni seolah tidak peduli pada anaknya tersebut.Yang namanya bayi, ketika menangis tidak segera ditolong maka akan semakin kencang saja suara tangisannya dan hal ini memicu kemarahan Murni semakin memuncak."Kami bisa diam nggak sih! Diam nggak, aku pusing kalau kamu nangis terus!" bentak Murni. "Diam!" Suara Murni semakin tinggi dan hal itu memicu kedatangan ibunya."Ada apa Murni? Kenapa kamu marah-marah pada anakmu?" tanya ibunya sambil mengangkat sang cucu."Ibu keluar, tidak s