"Itu gunanya tetangga, makanya kalau ada ghibah, ya jangan dilarang," ucap Tania sambil tertawa. Jiwa emak-emaknya meronta-ronta setelah bergaul dengan tetangganya itu, tiap kali bertandang, selalu aja ada bahan obrolan, terkadang lebih sering makan-makan juga, entah rujakan atau apa itu.Tapi walaupun ia sering makan-makan, berat badannya cuma diangkat itu-itu saja. Dia tidak terlihat gemuk, entah karena prawakannya yang nggak bisa gemuk atau karena menyusui, Tania sendiri tak tahu dan juga tak mau ambil pusing.Setelah dipastikan Bi Yun mau tinggal di rumahnya, lantas mereka pun beranjak pergi.Hanita yang biasanya mau sama neneknya, mendadak ingin dalam dekapan mamanya. Lalu tak lama kemudian bocah kecil itu tertidur. "Sudah mulai di sapih, ya, Hanita nya?" tanya Linda membuka percakapan setelah beberapa saat hening."Sudah, Mbak, baru dua hari ini," jawab Tania sambil menepuk-nepuk anaknya agar jangan sampai terbangun. Sedangkan Hanif sendiri bolak-balik ngecek ponselnya, seakan
"Mas, istrimu ternyata suka main tangan, dia sangat kasar. Padahal aku cuma mau berteman saja," ucap Via dengan air mata buayanya. Memang ini termasuk rencananya, awalnya ia tadi ingin menangkis tangan Murni, tapi melihat Randi yang berjalan ke arahnya, ia langsung mengurungkan niat itu. Ia pun memancing Murni agar wanita itu marah lalu bermain kasar dahulu sehingga dengan mudah ia bisa menunjukkan pada Randi kalau istri tercintanya ternyata wanita bar-bar."Bohong, Mas, dia tadi menghinaku," jawab Murni membela. Ia tak habis pikir dengan Via, ternyata wanita itu sangat licik. Bahkan sekarang dengan mudahnya wanita itu memfitnah dirinya."Murni!" bentak Randi pada istrinya sampai wanitanya tertunduk takut. Kini yang bisa Murni lakukan hanyalah menangis dalam diam. Suaminya, orang yang ia kira bisa melindungi ternyata lebih percaya pada manusia ular itu."Maaafkan istrinya saya, Mbak," ucap Randi pada wanita itu."Aku takut kalau bertemu istrimu suatu saat nanti dia akan melukaiku, Mas
Tak terasa setelah menempuh perjalanan panjang mereka pun sudah sampai di kota Blitar.Di sana Mbak Sri menyambut kedatangan mereka dengan antusias. "Sini, adik kecilnya ikut Bibi, ya?" ucap Mbak Sri dan langsung menggendong Hanita.Hanif sendiri menurunkan barang-barang untuk oleh-oleh dengan bantuan kakak iparnya, tak lupa ia memberi salam pada Mbak Sri, orang yang sudah sangat baik padanya juga istrinya."Kenapa repot-repot segala sih?" ucap Mbak Sri pada Hanif. "Nggak repot, Mbak. Oh iya, istriku mana?" tanya Hanif karena tak melihat istrinya tersebut. "Ya ampun, Hanif. Kamu baru pisah beberapa detik, tapi kok langsung nggak kuat nahan rindu," goda Mbak Sri sambil tertawa."Enggak gitu." Hanif sendiri nampak menggaruk kepalanya yang tak gatal."Di toilet," jawab Mbak Sri sambil tersenyum.Kini Hanif berjalan ke toilet rumah ini, ia masih hafal betul karena beberapa kali pernah menginap di sini. Menyusuri lorong yang tak seberapa panjang itu sampai akhirnya ia tiba di tempat is
Dengan langkah cepat, Murni pun meninggalkan rumah Tania. Ia sangat tergesa-gesa karena dari belakang terdapat Via yang terus mengejarnya."Tunggu Murni!" teriak Via tapi sama sekali tak digubris oleh wanita itu. "Murni!" teriak Via lagi, bahkan saking kerasnya suara, banyak orang yang keluar rumah untuk melihat apa yang tengah terjadi. Melihat situasi yang memungkinkan, Murni pun langsung belok ke rumah orang, ia minta perlindungan di sana. Sangat beruntung karena orang yang ia mintai tolong adalah ketua RT di daerah sini.Sedangkan Via yang melihat Murni dalam lindungan orang merasa tak takut. Kini ia hampiri wanita itu."Pak, tolong saya. Wanita ini ingin menyakiti saya," ucap Murni dengan nafas terengah-engah. Bahkan terlihat sekali tubuhnya gemetar dengan wajah pucat."Itu fitnah, Pak. Dia yang mau ganggu kehidupan adik saya," jawab Via membela diri."Adik Mbak siapa?" tanya Pak RT"Tania, Pak.""Oh, Mbak Tania. Lalu Mbak nya ini siapa?" tanya Pak RT sambil menatap ke arah Murn
"Ak-aku..." Murni nampak tergagap dan hal itu yang membuat Randi semakin kesal. Kini ia melangkah pergi untuk menenangkan diri. "Kamu mau ke mana, Mas?" Murni mencoba mengejar suaminya."Aku kecewa sama kamu, Murni. Kalau kamu tidak bisa move on dari Hanif, seharusnya kamu bicara, bukan malah kaya gini. Jujur saja aku mulai ragu dengan kelanjutan hubungan kita," ucap Randi. Kini ia hanya bisa pasrah, hatinya begitu sakit ketika sang mertua membandingkannya dengan Hanif.Tak bisa dipungkiri, kini hatinya tertanam rasa kebencian pada lelaki itu.***"Hanita titipin sama Ibu saja, Sayang. Kita ke pasar berdua," ucap Hanif saat mereka selesai melaksanakan salat subuh."Boleh, Mas. Banyak yang harus kubeli," jawab Tania sambil melipat mukenanya. Setelah itu ia duduk di samping sang suami dan menyandarkan kepalanya di pundak Hanif."Sayang banget," ucap Hanif sambil mengecup kening istrinya. Tania tak menjawab, tetapi ia balas kecupan suaminya dengan pelukan hangat."Kamu sayang aku nggak
"Kamu siapa!" bentak Murni. Terdengar tawa dari seberang telepon seakan mengejeknya."Aku wanita yang bisa memberi kenyamanan buat suamimu," jawabnya santai. "Aku mau bicara sama suamiku!""Suami kecapean, makanya dia tertidur, udah ya, aku mau lanjut tidur dulu, bye bye istri orang." Setelah mengatakan itu panggilan pun di matikan."Arg!" Murni membanting ponselnya, ia benar-benar tidak terima. Setelahnya terdengar suara anaknya yang menangis karena terganggu dengan suara teriakannya, karena masih marah Murni seolah tidak peduli pada anaknya tersebut.Yang namanya bayi, ketika menangis tidak segera ditolong maka akan semakin kencang saja suara tangisannya dan hal ini memicu kemarahan Murni semakin memuncak."Kami bisa diam nggak sih! Diam nggak, aku pusing kalau kamu nangis terus!" bentak Murni. "Diam!" Suara Murni semakin tinggi dan hal itu memicu kedatangan ibunya."Ada apa Murni? Kenapa kamu marah-marah pada anakmu?" tanya ibunya sambil mengangkat sang cucu."Ibu keluar, tidak s
Hanif terlihat lesu setelah berbicara dengan bosnya tersebut. Sebenarnya siapa dalang dalam penggelapan uang perusahaan? Siapa juga yang sudah membuat laporan palsu?"Kenapa, Mas? Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Tania."Ada orang yang menggelapkan uang perusahaan, juga membuat laporan palsu," jawab Hanif."Lalu? Bosmu menuduhmu yang melakukan itu semua?" Hanif menggeleng. "Aku dapat tugas untuk menyelidiki karena kejadiannya setelah aku ambil cuti.""Lalu apa yang membuatmu sedih? Hanif menghela nafas panjang. Ia takut istrinya akan marah dan kecewa."Mas," panggil Tania sambil memegang tangan suaminya."Liburan kita tidak bisa lama karena aku harus segera balik ke Jakarta."Tania diam, ia sebetulnya kecewa tapi ini sudah menjadi resiko suaminya. "Masih ada waktu lima hari, kita manfaatkan untuk bulan madu kita dengan sebaik-baiknya," ucap Hanif sambil membelai rambut istrinya. Ia tahu saat ini istrinya tengah kecewa karena niat awal liburan ini akan panjang, ternyata perusahaa
Tekad Murni sudah bulat, ia ingin hidup bersama suaminya. Ia tak mau dicerai oleh Randi, ia tak mau kehilangan orang yang dicintainya untuk kedua kali."Aku akan ikut, Mas. Tolong kamu bantu aku, jangan tinggalin aku," jawab Murni dan mulai mengemasi bajunya juga baju anak-anaknya.Melihat istrinya yang lebih memilih dirinya, Randi pun mendekat dan langsung memeluk tubuh Murni. Sejenak Murni menumpahkan semua tangisannya di dalam dekapan sang suami."Maafin aku, Sayang, jika menurutmu aku belum sesempurna Hanif," lirih Randi dan nyaris tak terdengar.Murni menggelengkan kepalanya dengan cepat, sejujurnya ia tak suka jika ada yang membandingkan suaminya dengan Hanif.Hanif lelaki sempurna dan telah mendapatkan istri yang sempurna juga, tapi saat ini orang yang sangat berarti dalam hidupnya tetaplah Randi, sebanyak apapun kekurangan dalam diri suaminya, tetapi Randi tetaplah nomor satu di hatinya."Jangan bicara seperti itu, aku nggak suka. Intinya aku sayang kamu apa adanya," jawab Mur
"Ibumu di kampung menitipkan uang untukku. Sebenarnya kita tidak ada urusan apa-apa, tetapi bukankah amanat harus tetap disampaikan, ya?" tanya Hanif santai dan seolah tak menggubris Randi yang menatapnya dengan sinis."Kamu dari sana?""Ya."Randi membuang muka, sudah sangat lama ia tak pernah mengunjungi ibunya itu, bahkan menghubungi saja juga tak pernah. Mendadak ia merasa rindu pada orangtuanya tersebut."Aku ambilkan uangnya dulu, sebab uangnya berada di rumah. Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Hanif."Aku tidak ingin ada orang yang tau di mana keberadaanku sekarang, jika kamu mau, aku tunggu kamu di sini."Hanif menatap heran, Randi sungguh benar-benar berubah. Ia bahkan sampai tak mengerti, ada apa dengan lelaki di hadapannya ini."Kamu baik-baik saja?" Hanif menatap penuh curiga, tapi secepat kilat ia mengalihkan pembicaraan agar lelaki di depannya itu tidak menaruh curiga."Kamu terlihat kecapean, makanya aku bertanya seperti itu," ucap Hanif lagi."Iya, aku lagi bingung
Hanif pulang sendiri karena Kakak iparnya harus menjalani serangkaian pemeriksaan. Apalagi luka yang dialami, terbilang cukup parah.Benar dugaannya, jika iparnya itu belum diperiksa tenaga kesehatan. Setelah sedikit didesak, Zaki mengakui kalau setelah kecelakaan wakt itu, dirinya langsung beranjak pulang.Tapi Kakak iparnya itu tidak mengatakan alasan apa pun kecuali merasa tak perlu diperiksa."Mas Zaki mana, Mas?" tanya Tania saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Dia dirawat. Lukanya terbilang cukup parah."Tania diam, ia sudah menduga. Tapi memang lebih baik jika kakaknya dirawat agar lekas sembuh."Vino dibawa ke rumah saja, tidak mungkin kamu tinggal di sini," ucap Hanif."Iya, Mas."Setelahnya, Tania pun beranjak ke arah ponakannya tersebut dan mengajaknya berkemas, ia juga memberi tahu alasannya. Keponakannya sudah besar, maka dari itu, Tania memberi tahu kondisi ayahnya saat ini.***"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Tania saat mereka telah sampai di rumah."Aku izin, sel
"Aw!" pekik Hanif saat istrinya mencoba membersihkan lukanya. Walaupun bukan Dokter, Tania tahu cara membersihkan luka itu, dulu dirinya pernah diajari oleh ibunya."Ini ceritanya gimana sih, Mas?" tanya Tania. Kini ia duduk di samping suaminya dan membersihkan darah itu, setelahnya ia meneteskan obat merah pada luka itu."Pas jalan, aku enggak tahu kalau ada botol pecah," jawab Hanif sambil meringis kesakitan."Apa perlu kita bawa ke rumah sakit, Mas?""Tidak. Nanti juga sembuh kok.""Aku beli nasinya dulu, ya? Setelah itu kita pulang."Hanif mengangguk. Kini ia melihat kakinya yang terluka, jika dipakaikan sepatu, maka akan semakin terasa sakit. Masa iya tidak kerja lagi, ia kan habis libur panjang.***"Mas," panggil Tania saat suaminya fokus pada kemudi."Iya.""Aku tadi lihat Mbak Murni diseret orang.""Kapan?" tanya Hanif sambil menoleh ke arah istrinya."Tadi, Mas. Tapi saat aku ingin ke sana, kamu malah kena pecahan kaca."Hanif diam, bukan maksud apa, ia tak mau membahas mant
"Apa ada saksinya, Mas, yang melihat kejadian itu?" tanya Tania saat ia sudah sampai di kediaman kakaknya. Melihat kondisi kakaknya, membuat Tania merasa prihatin. Bagaimana tidak, apa yang diucapkan Kakak iparnya itu tidak sesuai realita.Sewaktu di telepon Kakak iparnya mengatakan jika Zaki tidak apa-apa tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Di hadapan Tania, tubuh kakaknya itu mengalami banyak luka. Apalagi di lengan kirinya, goresannya cukup parah."Tadi ada yang melihat plat mobilnya, ada juga yang mengejar tetapi tidak kekejar," jawab Zaki sambil meringis kesakitan saat luka itu terasa nyut-nyutan."Bawa ke rumah sakit saja, Mas. Itu lukanya cukup parah loh," tawar Hanif. Dirinya pun sama seperti istrinya, tidak tega melihat kondisi kakaknya seperti ini."Tadi sudah dibawa ke Puskesmas terdekat. Ini sudah tidak apa-apa kok," jawab Zaki yang merasa tak enak dengan adiknya. Terpaksa ia harus berbohong karena tidak mungkin berkata sejujurnya. Mereka sudah mau membantu membenahi ge
"Sekali lagi kamu menghina istri saya, maka mulut Anda akan saya sumpal dengan sandal ini!" bentak Hanif sambil menunjukkan sandal yang ia pakai."Ini Murni, kan?" tanya wanita itu yang seperti kebingungan."Dia Tania, bukan Murni!" tegas Hanif yang masin tak terima, apalagi melihat anaknya meringsut ketakutan saat melihat wanita itu marah-marah."Jadi bukan Murni?" tanyanya lagi memastikan."Apa mata Ibu sudah rabun sehingga tidak bisa membedakan mana Murni dan mana orang lain?" tanya Tania pelan tapi terdengar nyelekit."Saya rasa Ibu terlalu muda jika harus pikun," ucapnya lagi.Sedangkan wania itu tergagap menahan malu karena merasa salah sasaran. Kini ia lebih memilih menundukkan kepalanya tanpa berani menatap dua manusia di depannya."Maaf," ucap wanita itu. "Kata maaf mudah saja dilontarkan, tapi apa Ibu tahu imbas dari ucapan Ibu ini, anak saya ketakutan dan saya takut mempengaruhi mentalnya," jawab Tania sambil menatap tajam. Ia benar-benar tidak tahu siapa wanita ini, selam
"Sekarang coba kamu lihat, mana ada aku tanggapi pesan Laura. Cemburu boleh, Sayang, tapi lihat-lihat juga," ucap Hanif pelan karena tak ingin membangunkan sang anak kalau sampai ia berbicara keras."Apanya yang dilihat, Mas? Aku dengar sendiri apa yang diucapkannya. Beruntung saja aku sendiri yang mengangkat teleponnya," sungut Tania. Kini emosinya ia luapkan pada Hanif, ia hanya ingin Hanif tahu kalau dirinya tidak suka ada perempuan lain yang menghubungi suaminya kecuali masalah pekerjaan, apalagi mendengar apa yang dikatakan Laura, ia seperti menangkap kalau wanita itu mengejar-ngejar suaminya."Terus aku harus bagaimana? Aku tidak melakukan apapun loh," bela Hanif. Berbicara pada orang yang tengah cemburu memang sangat sulit, maka harus ekstra sabar saat menghadapinya karena sedikit saja salah bicara, imbasnya akan panjang, dan hal itu yang sering terjadi saat ini."Aku enggak tahu, pokoknya aku enggak suka aja," jawab Tania.Hanif semakin mendekatkan tubuhnya lalu meraih jemar
"Lanjut saja, Mas," ucap Murni saat suaminya itu menghentikan motornya sejenak. Sama seperti yang ada dalam pikiran istrinya, sepertinya ia tak asing dengan corak baju itu, tapi hatinya mengatakan mungkin saja yang punya baju model itu banyak dan bukan satu orang saja.Menempuh waktu seperempat jam untuk keduanya sampai di kontrakan mereka. Kontrakan itu terlihat kecil dan tidak seperti rumah ibunya yang besar, tetapi Murni menerima, mungkin dengan ini konflik bersama suaminya bisa lebih dihindari."Semoga betah," ucap Randi sambil membantu anaknya turun dari motor. "Aku akan betah, Mas, selagi aku bisa bersama kamu terus," jawab Murni. Kini mereka masuk ke rumah tersebut, dan di sana semuanya sudah tersusun rapi. Randi memang sengaja membersihkan dahulu sebelum memboyong anak istrinya ke sini.Kontrakan itu terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu, kamar mandi pun berada di belakang dekat dengan dapur."Farel kamarnya di sana, ya?" ucap Randi sambil membawa anak sambungnya tersebu
Mendengar ucapan suaminya, Tania tak kuasa menahan air matanya. Kini dengan cepat ia pergi dari hadapan Hanif dan mengurung diri di kamar.Hanif yang sadar akan ucapannya lantas mendekati istrinya."Sayang, maafin aku," ucap Hanif lembut sambil meraih pundak istrinya."Kamu tidak salah, akunya saja yang bebal dan tak bisa dibilangin," jawab Tania dengan isak tangisnya. Kini ia menunduk, sakit banget dikatain seperti itu apalagi selama ini Hanif nyaris tak pernah berkata kasar padanya."Maksudku bukan itu." Hanif berkata pelan sambil meraih tubuh istrinya dan membawanya ke dalam dekapan."Aku akan kembalikan uang ini pada ibunya Mas Randi, kalau dia mau minta tolong, biar pada orang baik yang mau menolongnya," ucap Tania dan langsung beranjak. Kini ia usap air mata itu."Jangan seperti ini, Tania," ucap Hanif sambil menahan kepergian istrinya. Bukan tak mau dimintai tolong, tapi Hanif lebih menjaga rumah tangganya, ia tak mau sampai kejadian waktu dulu terulang lagi. "Sayang, aku mint
"Aku ke sini untuk mengambil anak suamiku," ucap wanita itu yang tak lain adalah Via. Dia tak datang sendiri tetapi datang bersama wanita paruh baya, Murni sendiri tahu siapa wanita di sebelahnya karena memang tak pernah bertemu."Dia anakku," jawab Murni yang paham akan maksud perempuan itu. Seketika ia teringat akan ucapan mantan suaminya yang mengatakan jika sampai kapanpun ia tetap ayahnya Farel."Kamu tidak lupa kan, jika Beni adalah ayah anakmu, kurasa ingatanmu masih kuat, jadi Beni menyuruhku untuk membawa Farel," jawab Via dengan sesantai mungkin."Aku tidak akan memberikan anakku.""Kamu jangan lupa, Murni, jika dia juga anak Beni, dan Beni juga berhak atas anak itu," ketus Via."Tapi aku yang mengurusnya, aku yang memberi kasih sayang, bukan Beni," tekan Murni."Kalau kamu tidak mau memberikan anak itu padaku, maka biar Beni sendiri yang akan mengambilnya," jawab Via dan langsung beranjak, tapi wanita di sampingnya itu tak mengikuti langkah Via tetapi malah mendekat ke arah