“Dhafin!”Dhafin yang semula sedang fokus membaca berkasnya mendongak guna menatap sang ayah. Ia mengernyit heran melihat raut wajah Pak Daniel yang kurang bersahabat.Pria itu pun bangkit berdiri disertai senyum tipis untuk menyambut kedatangan ayahnya. “Papa, ada apa ke ruanganku?”Plak! “Dasar ceroboh!” hardik Pak Daniel setelah menampar keras pipi putranya.Dhafin memegang pipinya bekas tamparan sang ayah. Kepalanya yang tertoleh kembali menghadap ke arah Pak Daniel dengan pandangan heran sekaligus tidak menyangka. “Pa? Kenapa Papa menamparku?” tanyanya.Pak Daniel menudingkan jari telunjuknya ke depan. “Kau benar-benar ceroboh, Dhafin! Bagaimana bisa kau sampai tidak tahu kalau Grissham itu putranya Albern, hah?!”Rupanya berita tentang Grissham yang merupakan anak dari Pak Albern sudah sampai ke telinga Pak Daniel. Pernikahan Zelda yang digelar besar-besaran beberapa hari yang lalu itu memang sangat menghebohkan publik. Jati diri seorang Zelda yang merupakan putri tunggal da
Freya melemparkan tasnya ke lantai setelah tiba di kamar. Wajahnya memerah menahan amarah yang meluap-luap dalam dirinya. Teringat kembali kejadian tadi ketika salah satu brand yang selama ini menjalin kerja sama dan menjadikannya sebagai brand ambassador tidak lagi memperpanjang kontrak.“Maaf, Mbak Freya, kami tidak bisa lagi memperpanjang kontrak ini,” ucap kepala pemasaran ketika Freya mendatangi ruangannya.“Tapi kenapa, Pak? Bukankah sebelumnya Bapak bilang akan terus menjadikan saya sebagai brand ambassador selamanya? Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?” tanya Freya sekaligus protes.Kepala pemasaran itu menghela napas. “Ini sudah menjadi keputusan pemilik brand ini. Jadi, saya hanya menjalankan perintah sesuai prosedur saja.”Freya menggeleng tidak terima. “Nggak bisa begitu dong, Pak. Bapak tidak bisa memutuskan hal ini tanpa persetujuan saya.” “Maaf, Mbak Freya, saya tidak bisa membantu banyak,” balas pria itu. Raut wajahnya yang biasa ramah kini terlihat datar dan terkesan
Selama melakukan penyelidikan tentang jati diri Lora, Grissham memang dibantu oleh Florence.Masih ingat siapa itu Florence? Benar, perempuan itu adalah putri tunggal dari pasangan Pak Raynald dan Dokter Radha. Awal mula Grissham mengenalnya ketika ia ingin membangun perusahaan cabangnya di negara ini yang otomatis membutuhkan seorang arsitek. Ayahnya sendiri yang merekomendasikan Florence yang sangat handal dalam bidang tersebut selain karena anak dari sahabatnya.Singkat cerita mereka pun akhirnya saling bekerja sama untuk membangun gedung kantor Garfield Technology Company yang tak kalah megahnya dengan kantor pusat di luar negeri. Keduanya pun sempat putus kontak hingga beberapa minggu kemarin mereka kembali bekerja sama untuk mencari tahu semuanya tentang Lora. Florence yang pertama kali menawarkan dan membuat Grissham sendiri merasa aneh. Mungkin ada maksud terselubung, tetapi… entahlah. “Sebenarnya aku masih tidak mengerti, mengapa kau ikut menyelidiki tentang Lora?” tanya
“Apa? Jadi, Bu Linda sudah mengetahuinya?”Florence mengangguk membenarkan. “Aku tau informasi ini dari mantan ART yang pernah bekerja di sana.”“Dia bekerja bareng bersama Ibu Sekar, tapi waktu masuk dan keluarnya lebih lama. Setelah mengetahui perbuatan suaminya, apa Bu Linda bakal diam aja?”Ia menggeleng pelan. “Tentu, tidak. Dia bahkan berencana melakukan sesuatu terhadap bayinya Ibu Sekar. Tapi aku belum tau apa yang dilakukannya.”“Ini aku masih berusaha mencari tau dengan mengakses ke dalam rumah sakit tempat Lora dilahirkan,” katanya.Grissham menatap Florence tanpa berkedip. Ia merasa kagum dengan perempuan ini yang bertindak sangat cekatan bahkan lebih cepat dari dirinya. Memang benar, perempuan kalau sudah kepo jiwa detektifnya melebihi Badan Intelijen Negara. “Waw! Bagaimana bisa kau mendapatkan semua informasi itu?”Florence terkekeh kecil. “Ada deh. Aku pastikan semua informasi ini akurat, no hoax.”Ia lantas menoleh ke arah Grissham yang masih menatapnya lalu memukul
Freya menjatuhkan ponselnya di pangkuan. Ia menutup kedua telinganya sambil menggelengkan kepala berkali-kali. “Nggaaak! Berhenti menggangguku!” Perempuan itu meluruhkan tubuhnya di lantai yang dilapisi karpet tebal. Ia memeluk lutut ketakutan sambil menenggelamkan wajahnya di sana. Penampilannya sudah tidak karuan.Drrt! Ponselnya kembali berbunyi, tetapi kali ini ada panggilan masuk. Freya mengangkat kepala lalu mencari letak ponselnya. Setelah ketemu, ia langsung menerima panggilan telepon itu tanpa melihat siapa yang meneleponnya. “Apa lagi sih, hah?! Aku bilang berhenti, ya, berhenti! Stop mengganggu dan mengusik hidupku!” “Freya? Kau kenapa?” Freya tertegun lantas menjauhkan ponselnya dari telinga untuk melihat orang yang meneleponnya saat ini. “Dhafin?” “Iya, ini aku. Kau kenapa?” Freya menggelengkan kepala seraya mengusap air matanya. Ia berdehem untuk menormalkan suaranya. “Nggak papa. Ada apa menelponku? Tumben banget.”“Kamu ada di rumah kan? Atau kamu sedang nggak
“Ada yang hal penting yang ingin kubicarakan padamu.”“Tentang apa?” tanya Freya lalu menundukkan kepalanya karena merasa salah tingkah ditatap seperti itu.Dhafin mengubah posisi duduknya menjadi serong menghadap Freya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara. “Tak terasa udah tiga tahun kita menjalin hubungan sebagai tunangan. Ternyata cukup lama juga, ya.”“Aku berpikir bahwa udah saatnya kita mengakhiri pertunangan kita ke jenjang yang lebih serius, yakni pernikahan. Aku ingin menikahimu, Freya,” ungkapnya.Sontak, hal tersebut membuat Freya mengangkat kepalanya dan menatap Dhafin dengan pandangan tidak menyangka. Jantungnya berdegup kencang mendengar pernyataan yang selama ini ditunggu-tunggu. “Dhafin… kamu… kamu serius?”Dhafin mengangguk mantap dan meraih kedua tangan Freya untuk digenggamnya. “Sure, aku serius.”“Beberapa hari terakhir, aku meyakinkan hatiku dan meminta petunjuk. Ini menjadi salah satu alasan kenapa kemarin aku nggak ada waktu untukmu.”“Dan jaw
Tok tok tok “Masuk!” Grissham yang sedang berkutat dengan laptop mengalihkan perhatiannya ke arah pintu ruang kerjanya di kantor. Tak lama pintu itu terbuka dan mendapati dua orang perempuan yang dikenalnya berdiri di sana. “Permisi, Pak Grissham. Ada tamu yang ingin bertemu dengan Bapak dan sudah membuat janji sebelumnya,” ucap salah satu perempuan yang menjabat sebagai sekretaris Grissham. “Baiklah, kau boleh meninggalkan kami,” balas Grissham. Ia mengukir senyum ramah menyambut sang tamu setelah sekretarisnya undur diri. Laki-laki itu menunjuk sofa yang tak jauh dari meja kerjanya. “Silakan duduk dulu, Florence. Aku masih ada sedikit pekerjaan yang harus kuselesaikan. Hanya sebentar saja. Tunggu, ya.”Florence, tamu yang mendatangi kantor Grissham, hanya mengangguk sebagai balasan lantas mendudukkan dirinya di sofa panjang.Ia memilih memainkan ponsel sambil menunggu si tuan rumah menyelesaikan pekerjaannya. Sepuluh menit kemudian, Grissham telah menyelesaikan semua pekerjaan
“Nggak!” Florence menggeleng tegas sembari menatap Grissham tajam. “Aku nggak setuju!”“Kenapa kau tidak setuju?” tanya Grissham dengan mengerutkan keningnya. Florence kembali menggelengkan kepala berkali-kali. “Jangan beritahu mereka. Ayah sama Ibun nggak boleh tau tentang semua ini.” Grissham seketika mengubah raut wajahnya menjadi datar saat mengerti alasan Florence yang melarang memberitahu orang tuanya. “Kau jangan egois, Flo. Uncle Raynald dan Aunty Radha harus mengetahui siapa sebenarnya putri kandung mereka. Ini demi kebaikan bersama,” ucapnya tanpa intonasi.Florence tertawa sarkas. Ekspresi wajahnya tampak sudah tidak bersahabat lagi. “Kebaikan? Kebaikan apa yang kamu maksud, hah?! Ini tuh cuma demi kebaikannya Lora! Bukan kebaikan bersama!”Grissham melipat tangannya di depan dada. “Dari awal memang semuanya demi Lora. Aku melakukan penyelidikan ini untuk mencari tahu kebenaran tentang Lora.”“Kau sendiri yang tiba-tiba datang dan menawarkan diri. Aku tak pernah memaksam
Lora bergidik ngeri padahal Grissham mengatakannya dengan suara tenang seperti biasa. Namun, entah kenapa ia merasa merinding ketika mendengarnya.Seperti ada ancaman tersirat di dalamnya. Ia menggelengkan kepala dan memilih segera menghabiskan makanannya yang tersisa sedikit.Grissham tersenyum kecil melihat respon calon istrinya ini. Ia meletakkan sendok dan garpu ke dalam piringnya yang sudah kosong lantas mendorong ke tengah meja.Dengan tangan yang terlipat di atas meja, Grissham menatap Lora lekat-lekat. Ia memperhatikan setiap gerakan kecil wanita itu yang selalu menarik di matanya.Lora yang merasa ditatap pun menjadi salah tingkah dibuatnya meski sudah sering. Kepala tertunduk menghindari bertemu pandang dengan Grissham. “A-apaan sih, Kak? Kenapa menatapku seperti itu?”Grissham tidak menjawab melainkan mengulurkan tangannya lalu mengusap sudut bibir Lora yang terdapat sisa makanan. “Bibirmu sedikit belepotan. Rupanya kau tidak pernah berubah, ya.”Sontak, tubuh Lora menegan
“Assalamu'alaikum, Lora, calon istriku.”Lora yang semula fokus pada laptop mengangkat kepalanya lalu menyunggingkan senyum begitu melihat seseorang yang baru saja masuk. “Waalaikumsalam, Kak Sham.”Grissham berjalan menghampiri Lora yang duduk di kursi kerja dan berdiri di seberangnya. Ia menumpukan tangannya di atas meja dengan sedikit mencondongkan tubuh. “Tampaknya kau sangat sibuk. Apa kau sedang banyak pekerjaan, hm?” tanyanya.“Cuma ngecek laporan keuangan bulanan aja sih. Ini udah selesai kok.” Lora mengeluarkan semua tab dalam laptopnya lantas menekan tombol ‘Shutdown’ untuk menonaktifkan.Grissham tersenyum lebar dan menegakkan tubuhnya. “Baguslah, aku ingin mengajakmu makan siang bersama.”Lora menutup laptopnya setelah memastikan benar-benar mati. Ia beranjak dari duduknya lalu mendekati Grissham. “Boleh, mau makan dimana?”“Di sini saja agar tidak jauh-jauh. Untuk apa makan di luar kalau kita sendiri mempunyai restoran?” Grissham menggandeng tangan Lora, mengajak keluar
“Apa kau bahagia hari ini, Lora?” tanya Grissham menatap Lora yang tengah memandang ke arah langit malam.Keduanya sekarang ini duduk di salah satu kursi panjang taman samping mansion yang luas. Masih dengan memakai baju batik couple serta riasan yang belum di hapus.“Iya, aku bahagia, sangat.” Lora menatap Grissham sejenak disertai senyum manis lalu kembali menatap ke atas. “Jujur, ini pertama kalinya aku berada di momen ini. Dan aku merasa… berharga.”Grissham mengerutkan keningnya. “Pertama kali? Memangnya saat bersama Dhafin dulu kau tidak….” Ia langsung menghentikan perkataannya melihat Lora yang langsung melunturkan senyum. “Ah, iya, aku lupa.”Lora kembali menatap Grissham dengan wajah sedikit murung. “Kakak kan tau sendiri gimana pernikahanku sama Mas Dhafin. Mana ada acara lamaran kayak gini?”Grissham menjadi tidak enak. “Maaf, Lora, aku benar-benar lupa tentang itu.”Lora kembali mengulas senyuman. “Nggak papa. Makasih, ya, Kak, udah datang kemari dan menunjukkan keseriusa
Lora tidak langsung menjawab, melainkan berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila. Ia tak menduga Grissham bisa seromantis ini bahkan tanpa membawa teks.Dalam hati, wanita itu merasa terharu sekaligus dicintai sebegitu dalamnya. Sebelum menjawab, Lora mengalihkan tatapan ke arah orang tuanya. Mereka mengangguk kompak seakan memberi isyarat agar dirinya segera menjawab. Ia kembali menatap Grissham sambil menarik napasnya.“Bismillahirrahmanirrahim…. Dengan restu Ayah sama Ibun dan seluruh keluarga besar, aku bersedia menikah denganmu, Kak Sham,” ujarnya disertai senyuman.Seruan syukur terucap bebarengan hingga terdengar memenuhi ruangan. Lora menghembuskan lega, berhasil menyelesaikan bagiannya dengan lancar tanpa terbata-bata. Selanjutnya, ada pertukaran cincin. MC pun memanggil seseorang yang bertugas membawakan cincin itu. Tak lama, datanglah seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang merupakan anak dari sepupu pertama Lora. Di tangannya membawa kotak
Ruang tamu di mansion utama keluarga Kusuma yang sangat luas itu tampak indah dengan beberapa ornamen bunga sebagai hiasannya. Di bagian depan yang menjadi panggung utama terdapat dua kursi dan dekorasi sederhana bertuliskan ‘G & L’ pada dindingnya. Ya, hari ini atau lebih tepatnya malam ini acara pertunangan Lora dengan Grissham akhirnya digelar. Acaranya berlangsung secara intimate yang hanya dihadiri oleh sanak saudara dan orang terdekat saja. Beberapa tamu sudah mulai berdatangan karena memang acaranya dilaksanakan pukul tujuh dengan tujuan agar tidak kemalaman. Sementara itu, sang pemeran utama masih berada di kamar sedang bersiap. Ia membiarkan MUA menyiapkan penampilannya di hari istimewa ini, mulai dari make-up hingga tatanan kerudung. “Sudah selesai.” “Cantik banget, Mbak Lora.” Lora tersenyum menanggapi ucapan mereka dan mengucapkan terima kasih karena sudah dibantu bersiap-siap. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Di sana dirinya tampak sangat cantik dengan
Lora berdiri dengan perasaan resah. Kedua bola matanya bergerak liar untuk menghindari tatapan Dhafin yang terasa menusuk itu. Ia bingung, tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Otaknya tiba-tiba terasa kosong. Kedatangan Dhafin kemari saja sudah membuatnya kaget bukan main. Lora tak pernah menduga hal yang ditutup-tutupi dari Dhafin akhirnya terungkap sekarang. Ya, meskipun pria itu akan tahu nantinya, tetapi bukan berarti secepat ini juga. “Lora,” panggil Dhafin terdengar sangat dingin bercampur geram. Ia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Namun, ia ingin mendengar langsung penjelasan dari mulut Lora sendiri. “Ee… itu… a-aku… aku….” Lora berkata dengan gagap hingga tanpa sadar mengeratkan pegangan tangannya pada lengan sang ayah seolah meminta bantuan. Pak Raynald yang menyadari itu dan mulai bisa membaca situasi menoleh pada putrinya. “Apa kau belum belum memberitahu Dhafin tentang ini, Princess?” “Ayah…” Lora menatap ayahnya melas dan menggeleng samar. Tangannya semakin
Lora lagi-lagi menggeleng tegas. “Nggak usah, Mas Dhafin. Udah jelas orang tuaku nggak setuju, jadi percuma aja. Jangan membuang waktu untuk keputusan yang udah final.” ‘Maaf, Mas. Aku cuma nggak ingin kamu tau kalau aku udah dijodohkan sama Kak Sham. Kamu pasti akan lebih kecewa lagi,’ lanjutnya dalam hati seraya menatap Dhafin dengan perasaan bersalah. “Tapi, Lora–” Drrtt! Ucapan Dhafin terpotong oleh suara dering ponsel milik Lora. Wanita itu segera mengangkat telepon dan berbincang sejenak dengan sang penelepon yang ternyata dari Amina. Setelah mengakhiri telepon, Lora kembali memusatkan perhatiannya pada Dhafin. “Mas Dhafin, aku udah mantap dengan keputusanku. Aku minta maaf atas jawabanku yang mengecewakan.” “Aku pamit pulang duluan, ya, Mas. Si kembar udah mencariku.” Ia lantas beranjak dari duduknya sambil sedikit menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku pergi dulu, assalamu'alaikum,” pamitnya lantas berlalu meninggalkan Dhafin sendirian. “Wa’alaikumsalam.” Dhafin me
“Apa?” Dhafin sedikit melebarkan mata tajamnya. Netra berwarna coklat itu memperlihatkan keterkejutan yang tak mampu disembunyikan.Ia berharap salah mendengar. Namun, suara Lora yang pelan seakan-akan berdengung di telinganya membuat napasnya tercekat.“Iya, Mas, orang tuaku nggak setuju kalau kita rujuk.” Lora mengulang perkataannya. Ia menatap tepat di kedua bola mata Dhafin seolah menegaskan bahwa ucapannya tidak main-main.Dhafin tertegun dengan jantung yang mempompa liar. Hatinya mencelos serasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Jadi, Lora menolak rujuk karena orang tuanya tidak setuju.“Kenapa nggak setuju? Padahal semuanya baik-baik aja. Bukankah mereka udah memaafkanku?” tanyanya yang terdengar seperti protes.Lora mengangguk sembari melipat tangannya di atas meja. “Mereka memang memaafkanmu, tapi bukan berarti bisa kembali. Orang tuaku punya kekhawatiran yang besar padaku yang akan terluka lagi kalau kita rujuk.”Dhafin merasakan dadanya bergemuruh hebat mendengar pengaku
[Assalamu'alaikum, Mas. Apa hari ini kamu ada waktu untuk bertemu?][Aku ingin membahas kelanjutan permintaan rujuk waktu itu sekaligus memberikan jawaban. Rasanya nggak enak kalau lewat telepon][Waalaikumsalam, Lora. Sepulang kantor nanti sore aku free. Ingin bertemu dimana?][Di kafe dekat kantormu aja. Bisa kan?][Bisa-bisa, sampai bertemu nanti]Itu merupakan sepengal pesan yang dikirimkan oleh Lora siang tadi. Dhafin jadi kembali teringat dengan permintaan mantan istrinya yang ingin minta petunjuk lewat sholat Istikharah selama seminggu.Tanpa terasa tibalah hari ini saatnya Dhafin mendengar jawaban itu. Sungguh, ia sangat antusias dan tidak sabar ingin segera bertemu Lora. Ia berharap jawaban yang diberikan oleh Lora sama seperti yang dirinya punya usai melaksanakan sholat Istikharah juga.Kini, pria berparas tampan itu duduk sendiriam di salah satu meja yang berada di dekat jendela. Tubuhnya bersandar pada kursi sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.Ia menunggu kehadiran