Lukas tampak menggebu, emosinya sudah naik dan seolah akan menghancurkan kepalanya dalam sekejap. "Buka mata Lo, Ra. Sampai kapan Lo mau nungguin Om Kai buat peduli? Dari dulu, dia juga orang yang dingin, Lo bukan di daftar prioritasnya."Iya, Sera tahu. Wanita itu setuju dalam pikirnya."Luke," interupsi Sera terdengar pelan. Dia mendongak. "Keadaannya rumit. Gak semudah itu."Lukas mendengar dan menatap mata sendu Sera."Gue kalo jadi Mas Kai, pasti Gue juga minta waktu ke orang sekitar Gue supaya mereka ngertiin Gue, nggak ngusik hidup Gue," ungkap Sera sedang menempatkan dirinya sebagai Kai. Lukas menggeleng, dia menampiknya dengan tegas. "Cara pikir Lo salah, Ra. Posisinya, dia itu laki-laki dewasa yang gak bisa egois lagi. Dia punya istri dan itu Lo! Lo juga pasti sedih, 'kan? Dan Om Kai, harusnya mikirin Lo juga."Sera berdiri, memandang lukas dengan penuh rasa jenuh. Bagaimana tidak, dia terganggu dengan sikap Lukas yang terlalu menunjukkan kepeduliannya dan terkesan membuat
Pagi itu, Sera terbangun dengan kepala yang terasa berat. Pusing yang menusuk-nusuk di pelipisnya membuatnya mengernyit, meski semalam tidurnya dirasa cukup lelap. Rasa pegal yang menyebar di seluruh tubuhnya membuat Sera menghela napas panjang. “Adek rewel ya?” ucap Sera sambil mengusap perutnya yang sedikit membuncit. Baru kali ini rasa tak nyaman membebani dirinya selama kehamilannya. Setelah meregangkan tubuhnya sebentar, Sera memaksa dirinya bangkit dari tempat tidur. Dia melakukan rutinitasnya, mandi dengan air hangat yang sedikit membantu meringankan beban di punggungnya. Namun, begitu keluar dari kamar mandi, matanya langsung tertuju pada botol parfum Kai yang tersusun rapi di meja rias. Tanpa berpikir panjang, ia meraih botol itu dan menyemprotkan sedikit di pergelangan tangannya. Aroma maskulin yang khas segera menyebar, memenuhi ruang dan inderanya dengan aroma yang begitu akrab. Sera memejamkan mata, ada perasaan hangat sekaligus pedih yang berputar di da
“Tapi, udah hampir sebulan, Kai. Lo gak mending pulang ke Indonesia aja?” tanya Sagara, matanya menatap lelah ke arah adiknya. Kai menghela napas, pandangannya terarah ke jendela rumah sakit. “Gue gak bisa ninggalin Ibu, Bang,” jawabnya pelan. Setiap hari, rutinitas Kai hanya berputar di sini—menyeka tubuh Diani, mengecek infus, dan memastikan semuanya berjalan lancar. Kai hanya keluar sebentar untuk olahraga atau beli makan. Sagara mengerti, tapi kekhawatirannya makin besar. “Lo juga butuh istirahat, Kai. Istri Lo di sana cuma sendirian,” kata Sagara, suaranya lembut tapi tajam. Kai terdiam, kepalanya tertunduk, seolah kata-kata itu menusuk ke hati. “Lo bisa bagi tugas sama Kakak-kakak Lo. ‘kan ada empat, termasuk Gue” lanjut Sagara. Tapi Kai tetap diam, kedua tangannya mengepal di pangkuannya. Dia tahu Sagara benar, tapi rasa tanggung jawabnya terlalu besar. "Lo bukan satu-satunya anak, Kai," Sagara menambahkan, lebih pelan. Sementara Kai dan Sagara terus berdebat, mereka tak
Detik itu juga, Kai mendongak. Ibunya, Diani, tampak gelisah, matanya mencari Sera—wanita yang kini menjadi alasan utama kenapa Kai merasa terpuruk selama tiga puluh tahun hidupnya.“Ibu nggak lihat dia disini, Kai. Dimana Sera?” tanya Diani lagi. Setelah berdebat kecil dengan sang Ibu, Kai mencoba menghubungi Sera, tetapi nihil. Tak ada jawaban dari Sera meski sudah melakukan tiga kali panggilan video.Kai terdiam sejenak, mencoba menata kata-kata. “Mungkin Sera lagi sibuk, Bu,” jawabnya.“Sibuk?” Diani mengerutkan kening. “Kai, kamu sama Sera masih baik-baik aja, kan? Jangan bilang… karena kecelakaan ini kalian bercerai. Sera masih menantu Ibu, ‘kan?”Kai menunduk, menghindari tatapan Ibunya. "Masih, Bu," jawabnya pelan. "Sera masih istri Kai."Diani menghela napas panjang, namun kegelisahan di wajahnya belum juga pergi. “Syukurlah... Tapi Ibu ingin bicara sama Sera, Kai. Nanti, hubungi dia lagi, ya? Ibu harus dengar suaranya.”Kai mengangguk pelan, meski hatinya berat. “Iya, sekar
“Ibu..” air mata Sera jatuh setelah melihat mertuanya di layar ponselnya.Wanita itu terlihat jauh lebih kurus dan kerutan di wajahnya seolah lebih banyak dari sebelumnya. Wanita itu terlihat sangat sakit.“Sera… Sera dimana? Sera kenapa gak di sini, Nak?”Sera terdiam, tangisnya tiba-tiba pecah. Namun tak ada kata yang bisa keluar dari tenggorokannya. Ada perasaan lega bercampur haru di dadanya."Ibu gak apa-apa, Ra. Jangan menangis gitu, Nak." Diani berusaha menenangkan, meskipun air mata sendiri membasahi pipinya. Tangisnya tak bersuara. "Sera, kamu baik-baik aja, Sayang?"Karena Sera sepertinya tak bisa menjawab, akhirnya Lila kemudian muncul di layar telepon sambil mengusap pelan pundak Sera. “Ibu, Sera baik-baik saja di sini. Dia kangen banget sama Ibu, kami semua juga kangen sama Ibu. Ibu cepat sehat, ya. Kami semua menunggu Ibu di rumah.”“Lila..” Melihat Lila, tangis Diani pecah lebih deras. Meski dua anak lelakinya menemaninya, tetap saja rasa rindu ingin berkumpul dengan s
"Gue tau, hati Lo pasti pengen juga perhatiin Sera, 'kan? Tapi Lo malah kemakan sama ego Lo sendiri." Sagara buka suara.Kai yang memasang wajah datar itu sebenarnya sudah mengiyakan dalam hatinya.Keduanya kini sudah berada di luar ruangan sang Ibu yang baru saja menutup telepon Sera. "Berubah, Kai, kalau Lo nggak mau nyesel. Semisal Lo masih marah dan kecewa ke Sera, seenggaknya Lo berubah karena anak yang dikandung Sera. Darah daging Lo, dia nggak akan ada kalo Lo nggak ngelakuin hal itu ke Sera."Sejujurnya pria itu terus setuju dengan pernyataan Kakaknya. Tapi ada perasaan yang masih membentengi dirinya."Lo tau, perempuan pasti haus perhatian. Apalagi kalau hamil gitu, pasti maunya nggak jauh-jauh dari suami. Dan Lo, harus bisa ngasih itu, Kai. Karena Sera juga pasti ngelakuin hal yang sama ke Lo, 'kan?" tanya Sagara lagi.Kai teringat bagaimana Sera berusaha menolak keputusan Kai untuk pergi ke Amerika bulan lalu. Sekelebat ingatan itu membuat Kai menghela nafas panjang.Kenya
Pesawat yang membawa Diani dan Kai mendarat dengan selamat pukul tujuh malam.Sera, Lila, Banyu, dan kedua anak kembar Banyu dan Lila– Sheena dan Shana, sudah menunggu di pintu kedatangan.Kelima orang itu menunggu dengan antusias, bahkan Sheena sudah bersiap dengan buket bunga di tangannya sedangkan Shana membawa tulisan “Welcome Home, Oma!” yang sudah ia tulis di kertas karton.Saat Diani yang menggunakan kursi roda tengah di dorong Kai, Sheena dan Shana segera berhambur memeluk Nenek mereka.“Oma! Shana kangen,” anak paling bungsu dari Lila itu memeluk erat Diani.“Sheena juga!” ucap Sheena si Kakak yang selalu tak mau kalah.Diani tersenyum lebar. “Nenek juga kangen sama semuanya.” Diani kemudian mengecup satu per satu cucunya. Sebelum akhirnya mata Diani menemukan menantunya Sera yang sudah berurai air mata.“Ra..” Diani kembali merentangkan tangannya, supaya Sera bisa masuk ke dalam pelukannya.Wanita tua itu tahu, Sera paling berat menjalani harinya.Sheena dan Shana pun mengur
Kai mendampingi Diani hingga menuju kamarnya. Saat menginjakkan kaki di ruangan yang penuh dengan kenangan itu, Diani masih merasa sesak. Bulir-bulir kecil merembes di ekor matanya. Kai memapah Ibunya duduk di tepian ranjang. Dingin sprei yang melindungi kasur, disentuh oleh suhu hangat tubuh Diani. Sejenak, dia membayangkan dirinya yang akan tidur seorang diri mulai malam ini.Mata Diani kemudian menatap foto pernikahannya dengan Samudera beberapa tahun lalu. Ada rasa sesak yang menghimpit, membuatnya mengenang masa lalu.“Kamu tahu Kai, Ibu dulu juga terpaksa menikah sama Papamu. Sekarang melihat Papamu pergi, ibu baru menyadari, sudah selama ini Ibu menemani Papa. Ibu kira, ibu gak akan sanggup menemani Papamu yang cintanya gak habis di orang yang lama.”Kai yang semula sedang merapikan kursi roda milik Diani, kemudian melambatkan gerakannya."Ibu tahu semuanya udah takdir, Kai. Tapi, kalau boleh Ibu minta tambahan waktu lagi, Ibu mau lebih berbakti sama Papa, mau lebih sayangin
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama