Kai mendampingi Diani hingga menuju kamarnya. Saat menginjakkan kaki di ruangan yang penuh dengan kenangan itu, Diani masih merasa sesak. Bulir-bulir kecil merembes di ekor matanya. Kai memapah Ibunya duduk di tepian ranjang. Dingin sprei yang melindungi kasur, disentuh oleh suhu hangat tubuh Diani. Sejenak, dia membayangkan dirinya yang akan tidur seorang diri mulai malam ini.Mata Diani kemudian menatap foto pernikahannya dengan Samudera beberapa tahun lalu. Ada rasa sesak yang menghimpit, membuatnya mengenang masa lalu.“Kamu tahu Kai, Ibu dulu juga terpaksa menikah sama Papamu. Sekarang melihat Papamu pergi, ibu baru menyadari, sudah selama ini Ibu menemani Papa. Ibu kira, ibu gak akan sanggup menemani Papamu yang cintanya gak habis di orang yang lama.”Kai yang semula sedang merapikan kursi roda milik Diani, kemudian melambatkan gerakannya."Ibu tahu semuanya udah takdir, Kai. Tapi, kalau boleh Ibu minta tambahan waktu lagi, Ibu mau lebih berbakti sama Papa, mau lebih sayangin
Setelah nasihat panjang yang Kai dapatkan dari banyak orang, interaksi keduanya tetap tak berubah, masih saja hening tanpa ada perbincangan berarti yang diharapkan Diani. Namun itu hanya dari sisi Kai, pria itu tak menyadari bahwa Sera telah berubah.Wanita itu bangun saat hari masih gelap, menikmati wajah tenang Kai yang masih terlelap. “Kalau aja Mas bisa nunjukin ekspresi ramah kayak gini kalau nanti bangun, aku pasti seneng banget. Rasanya pengen peluk Mas lama-lama.”Puas memandangi suaminya, Sera lantas berjalan menuju dapur, langkah kakinya perlahan menginjak lantai granit yang berkilau dan dingin. Sera tahu, Kai sangat menyukai kopi yang baru saja diproses. Wanita itu pun cekatan menggunakan mesin kopi yang baru saja ia pelajari saat tahu suaminya akan kembali ke Indonesia.Setelah menikah, wanita itu banyak belajar hal kecil mengenai Kai dan kebiasaannya dalam memulai hari, hingga saat dia selesai dengan aktivitas padatnya. Semua sudah terekam di kepala Sera.Meski terkesa
Suara jari yang beradu dengan papan ketik berhasil membangunkan Sera. Dia terusik sedikit tapi perasaan tak nyaman itu kontan membuatnya mendesis. Saat membuka mata secara perlahan, Sera melihat bayang-bayang duduk di pojok kamar. Punggung lebar yang tampak gagah, dengan bahu yang lapang untuk tempat bersandar yang nyaman."Aaa!" Sera terlonjak, dia menyadari adanya sosok manusia di kamar itu. Harusnya dia sendiri kan?"Ya ampun, Ra! Bikin kaget aja."Sera beringsut, sedikit bingung saat Kai sudah muncul di dekatnya. Padahal, dia tak mendengar adanya kebisingan sebelum Kai asik dengan laptopnya. "Mas? Ya ampun, Mas kapan pulang?" Ucap sera sambil mengucek matanya.Kai dengan sigap membantu Sera bangun dan menaruh bantal pada punggung Sera agar wanita itu nyaman jika ingin bersandar.“Sudah dari tadi. kamu kenapa bangun? Tidur lagi saja kalau kamu ngantuk,” ucap Kai yang kemudian segera mengalihkan pandangannya pada layar laptop di tangannya.Baju tipis Sera dengan perut menyembul te
Semua orang yang mengira Kai mengabaikan saran mereka, namun seandainya mereka tahu apa yang dilakukan Kai hari ini, Mereka pasti akan merasa senang.Pria itu berhasil menurunkan egonya, walau mimik wajah yang datar dan intonasi bicara yang rendah masihlah menjadi khas Kai, tetapi pria itu telah mencoba. "Susunya udah diminum?" tanya Kai yang baru saja selesai mandi sepulang kantor.Pria itu secara mandiri membaca artikel dan penelitian tentang ibu hamil. Tanpa perlu disuruh.Setelah membacanya Kai punya kebiasaan baru, dia selalu masuk ke dalam kamar mandi setelah beraktivitas dari luar. Menurut penelitian, Ibu hamil lebih rentan terkena penyakit karena hormon dan sistem kekebalan tubuh yang berubah.Itu kenapa, pria itu kini selalu bersih dan wangi selepas kerja."Belum, belum sempet bikin." Sera menjawab, dia mengusap perutnya yang cukup menyembul sambil terus membaca buku yang berada di tangannya. Kai lantas beranjak menuju dapur. Susu khusus Ibu hamil yang dibelikan oleh Kai ke
Kai keluar dari kamar Ibunya dengan hati yang berat, usai mendapat ceramah panjang.Kata-kata sang Ibu masih terngiang-ngiang di kepalanya, "Ibu malu, Kai. Sangat malu. Semua kekacauan ini nggak pernah ibu bayangkan. Kehilangan Papa aja udah bikin hidup ibu kacau. Gimana sekarang Ibu harus menghadapi orang tua, Sera, Kai?" Ucapan itu menancap dalam di pikirannya, menyisakan rasa bersalah yang tak kunjung reda.Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kekacauan di dadanya. Tanpa berpikir panjang, Kai berjalan menuju taman belakang. Kamar yang biasa menjadi tempatnya menyendiri kini harus ia bagi dengan Sera, wanita yang kini berstatus istrinya. Baru sebentar dia duduk, suasana rumah sudah terasa ramai. Si kembar, anak-anak Lila, bersama Noah, anak ketiganya, berlarian menuju kamar Ibunya. Tawa mereka menggema, seolah dunia di luar sana tidak pernah ada masalah. Kai memperhatikan mereka dengan tatapan kosong, merasa terasing di tengah kebahagiaan yang tampak dari kejauhan.Ta
Pagi itu, Sera terbangun lebih dulu, mendapati wajah sang suami, Kai, begitu dekat di hadapannya. Lengan hangat Kai melingkar di tubuhnya, membuatnya merasa terlindungi dan nyaman dalam kehangatan yang hanya mereka berdua miliki.Senyum Sera merekah perlahan, sementara pikirannya terbang melayang, ‘Aku nggak tahu apa yang bikin kamu berubah secepat ini, tapi semoga setiap hari bisa terus seperti ini, Mas.’ Tanpa ia sadari, Kai sebenarnya sudah bangun lebih dulu. Ia membiarkan Sera memandanginya lekat-lekat, seolah mengizinkan wanita yang menjadi ibu dari anaknya itu menikmati tiap detil wajahnya. Meski tangannya mulai kebas, Kai tak ingin bergerak.Lama-lama, tanpa disadari, ia terlelap lagi di tengah kehangatan tersebut.Ketika Kai benar-benar bangun, Sera sudah berdiri di depan cermin, mengenakan pakaian rapi. Tangan Sera sibuk menggosok tanda kemerahan di lehernya, berusaha menyamarkannya. "Padahal hari ini lagi panas, masa harus pakai turtle neck?" gerutunya pelan. "Memangnya
Diani berjalan dengan langkah pelan, menggandeng tangan menantunya, Sera. Mereka melewati lorong-lorong rumah sakit, menuju kamar di mana Fara dan Dani dirawat.Saat Diani melangkah masuk, matanya bergantian menatap Fara dan Dani, yang terbaring di brankar berbeda namun masih dalam satu ruangan, berjarak.‘Aku rindu kamu, Pa.’ Begitulah isi hati Diani saat ini. Seandainya suaminya masih bisa selamat, mungkin seperti ini lah bentuk kamar tempat mereka dirawat.“Masuk, Bu. Ruangan ini yang pesan Mas Kai sebelum kembali ke New York. Kemarin aku baru tahu kalau Ibu juga menempatkan perawat khusus buat Mama dan Papa. Terima kasih, Bu,” kata Sera sambil menggenggam tangan Diani.Diani hanya mengangguk saja. Rasanya ia tak pantas mendapatkan rasa terima kasih, ia cukup malu untuk berhadapan dengan orang tua Sera karena menyebabkan banyak kekacauan.“Ma, ini ada Ibu Diani. Ibunya Mas Kai,” ucap Sera sambil menepuk pundak Mamanya lembut.Wanita yang terlihat sangat kurus itu menoleh ke arah Di
“Ra, anggaplah ini takdir. Memang harus seperti ini jalannya. Jangan buat diri kamu mengasihani diri sendiri, Nak.” Diani mengusap punggung tangan anak menantunya yang ia genggam sejak tadi.Diani menatap lekat wajah menantunya, “Kamu pasti pernah dengar, bahwa Tuhan memberi ujian sesuai dengan kapasitasmu. Ibu yakin kamu bisa. Makanya kamu ada di sini.”“Sera rasanya sudah hampir menyerah, Bu. Sera kadang-kadang bertanya, apa Tuhan gak salah menempatkan Sera dalam keadaan begini.” Ungkapan putus asa itu terasa menyayat hati Diani.Wanita paruh baya itu pikir kehidupan Kai dan Sera membaik, ternyata tidak. Soal Kai, mungkin Diani biasa memberitahunya, tapi soal perasaan Sera, Diani tidak bisa ikut campur lebih jauh.terlebih lagi, perasaan wanita dengan hormon kehamilannya sangat susah untuk di tebak. Perubahan suasana hati yang tak jelas, membuat Diani sendiri berhati-hati dalam mengatur kata-katanya.“Ra, ada Ibu. Jangan lupa juga, ada suamimu. Kami akan selalu ada buat kamu, Ra. Ka
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama