Sera tak menyangka bahwa ia harus mengikuti rapat keluarga itu. Sepupu dan Kakak Kai semua hadir dalam rapat itu. Termasuk Kakak Ipar Diani, Berlian– juga turut hadir di sana.Tentu saja semuanya tidak menyangka bahwa Sera akan bergabung. Mereka kira, Sera tidak akan pernah tertarik dengan dunia bisnis. Padahal memang betul.Sera yang mengikuti permintaan ibu mertuanya memang tak pernah tahu bahwa akan di bawa ke gedung keluarga dan ikut rapat di sana.Apakah Sera terlihat muak dan bosan? Tidak. Dia justru merasa kagum dengan kepintaran semua orang diruangan itu, ia merasa bodoh saat ini.Jika Lana adalah mantan dari suaminya, ia tak meragukan itu sekarang. Wanita cantik dan cerdas itu, memang terlihat cocok dengan keluarga Adnan. Dibandingkan dengannya yang melakukan kebodohan setelah dinyatakan lulus sidang skripsi, keluarga itu sepertinya tidak melakukan kebodohan seperti yang ia lakukan.“Ra, ngelamun aja,” ucap Diani dengan senyum merekah. “Ibu masih mau ke kantor Abang Banyu, ka
Sera tak pernah menduga bahwa ibu mertuanya akan meninggalkannya begitu saja. Kini, ia terpaksa harus menunggu untuk pulang bersama Kai.Detik-detik berlalu hingga jarum jam mencapai angka lima sore. Kai pun mulai mengemasi barang-barangnya ke dalam tas dengan tenang.“Ayo, Ra.” Suara bariton kai terdengar di telinga Sera.Sera hanya mengangguk, wajahnya tampak lelah meski seharian berbaring, bahkan sempat tertidur sungguhan saat terlalu asyik berpura-pura.“Lain kali, kamu bisa menolak Ibu, kalau memang kamu merasa tak nyaman,” ujar Kai tanpa menoleh. “Tanyakan saja ke mana beliau ingin pergi. Kalau kamu lelah atau kurang cocok, tidak masalah bilang langsung.”Sera tak menjawab, hanya menatap punggung Kai yang tetap terlihat tenang, meski sikapnya begitu berbeda dari hari ke hari mereka bersama.Sera terdiam hingga keduanya memasuki mobil.Wanita itu memilih memandang keluar jendela saat mobil melaju perlahan meninggalkan kantor Kai. Bayangan para karyawan yang tadi ia lihat sekilas
Mimpi? Hal yang ingin dilakukan? Tujuan hidup? Sera bertanya lagi dalam dirinya.Sekilas saat ia melihat orang berlalu-lalang dengan baju kantoran yang modis, Sera ingin melakukannya. Tapi saat ia diingatkan dengan keluarganya, Sera menyadari, bahwa ia sepertinya tidak jago dalam banyak hal.Nilainya yang selalu pas-pasan. Pengambilan keputusannya yang ceroboh, dan kehidupannya yang tidak beruntung membuat Sera merasa tidak memiliki kapasitas dalam bekerja.Tujuan? Saat di pikirkan lagi, tujuannya mungkin menikah, memiliki anak, dan menjaga keluarga itu. Tapi apa benar cukup sampai di sana?Matanya terus saja mengerjap menatap langit-langit kamarnya.Wanita itu tidak tidur, meskipun suami yang berada di sampingnya sudah tertidur dengan tenang.Sera pun memiringkan tubuhnya dan menghadap Kai yang kini tidur dengan memunggunginya. Wanita itu kemudian menempelkan dahinya ke punggung suaminya seolah bersandar.“Aku masih belum nemu tujuan hidupku, Mas. Mimpiku dulu maunya nikah, tanya aja
“Lo hamil, Ra? Sumpah, gue kaget! Jadi bener kata temen-temen, Lo udah nikah?”Seperti sapaan hangat, perkataan itu kontan disampaikan oleh seorang teman masa SMA Sera.Sera tersenyum saja, dia hanya mengangguk. “Iya, kebetulan emang gak sempet undang banyak orang. Maaf ya Niken, Raras,” ucap Sera pada kedua temannya yang terlihat memakai setelan kerja dengan tanda pengenal perusahaan mereka.“Oh, suami Lo siapa? Lukas?” tanya Raras dengan penasaran. Niken menepuk ringan pundak Raras, seolah memberi kode untuk tidak menanyakan hal itu.“Bukan. Kalian sekarang kerja dimana?” tanya Sera yang asing dengan nama perusahaan yang tertera di tanda pengenal kedua temannya. Selain itu, Sera tentu saja tidak ingin jadi sasaran keusilan temannya yang seolah ingin mengorek kehidupan pribadinya.“Perusahaan swasta asing. Daerah sekitar sini. Kamu, Ra? Kamu kerja dimana?”Sera tersenyum lebar sambil menggeleng. “Ya beginilah, cuma Ibu rumah tangga.”Niken dan Raras pun memandangi Sera dari ujung kep
Sementara itu Kai menghela nafas panjang, ada rasa kesal yang menyelinap masuk di rongga dadanya karena Sera yang tiba-tiba saja mengunci dirinya di dalam toilet pusat perbelanjaan.Diani yang menghubunginya saat sedang meeting, tentu membuat Kai gundah gulana dan rapat penting itu tak bisa dilanjutkan. Selang beberapa belas menit, Kai datang menemui Ibunya lebih dulu. Mimik wajahnya sudah masak, tapi Diani menjelaskan jika dia mendengar suara Sera yang gemetar lalu diiringi sisa tangisan. “Astaga, Ra. Kamu kenapa lagi ….” Kai berjalan cepet, berlari memecah kerumunan pusat perbelanjaan. Meskipun tanda toilet merupakan khusus wanita, Kai tetap menerobos masuk. Mengabaikan banyaknya pasang mata aneh. Wajar saja, Kai ini masuk ke dalam toilet wanita. Kai mengetuk salah satu pintu yang bagian bawahnya menggantung. Sepatu flat shoes berwarna merah muda milik istrinya, dia melihat itu disana. Tok, tok, tokKai sengaja tak bersuara, tapi Sera juga malah ikut bergeming. Sampai ketukan
Sera bangun pagi dan segera mandi. Saat ia memilih bajunya untuk hari ini, ia tak lupa untuk menyiapkan juga baju Kai.Wanita itu tidak bertanya lagi tentang apa kesibukan Kai hari ini, dia langsung saja mengambil setelan jas beserta dengan dasinya.Setelahnya, Sera segera turun untuk membuatkan sarapan Kai. Wanita itu mulai terbiasa dengan rutinitas selama beberapa minggu yang ia jalani.Saat tangannya mengoleskan selai stroberi di roti yang akan ia makan, Kai turun dalam keadaan masih berantakan. Sera pun segera mengelap tangannya di atas celemek yang ia pakai.“Mas, kamu belum mandi? Gak ke kantor?” tanyanya, sedikit heran.Kai menguap lebar, lalu berjalan mendekatinya. “Hari ini aku masuk kantor agak siang.” kai memandangi istrinya yang sedang sibuk mengaduk kopi. “Aku kira kamu mau istirahat lebih lama, kok malah sudah sibuk pagi-pagi begini.”Sera terdiam sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Ini kan tugasku, Mas. Aku senang melakukannya.”Kai menatapnya sambil menghela napas keci
Sera menggunakan setelan blazer membuatnya seolah menjadi pegawai kantoran senior dengan perut buncitnya. Setelah melihat pantulan dirinya, senyumnya terus merekah.Kai sendiri sedari tadi sudah mencuri pandang ke arah istrinya, ikut tersenyum tipis. Keduanya kini berjalan beriringan, membuat Sera juga ikut mengangguk sopan setiap ada karyawan Kai yang menyapa. Langkah Sera yang percaya diri mendadak pelan saat di depan sana, ada Lukas yang sedang memandangnya. Sera pun segera berjalan melambat dan bersembunyi di belakang tubuh tinggi sang suami.“Lo belum balik ke Amerika, Luke?” tanya Kai santai sambil menunggu pintu lift terbuka.Pria muda seumuran Sera itu menggeleng. “Gue gak berencana balik,” ucap Lukas yang kemudian melenggang masuk lift.Kai pun juga masuk dan disusul dengan istrinya yang kini tak bisa lagi bersembunyi di balik badan sang suami karena harus berdiri di depannya.“Hai Luke–”“Halo Tante,” ucapan Lukas tentu saja membuat Sera menatap tajam ke arah Lukas.Meski
Benar kata Kai, Sera benar-benar bosan dan kelelahan. Duduk di ruangan suaminya dengan semua orang yang berlalu-lalang hanya membuat kepalanya terasa semakin berat. Ia merasa tak berguna di tengah kesibukan kantor Kai yang penuh dengan laporan, presentasi, dan pertemuan. Pemandangan orang-orang dengan ekspresi serius, langkah cepat, dan tumpukan dokumen yang tak berujung membuat Sera merasa seperti ia hanyut di dunia yang bukan miliknya.“Mas, aku pergi ke tempat Mama dan Papa aja ya, boleh?” Sera akhirnya angkat bicara, berdiri di samping Kai yang masih asyik menatap layar komputernya. Kai mengangkat wajahnya, melepaskan kacamata anti radiasi yang bertengger di hidungnya. Matanya terlihat lelah—sudah hampir lima jam menatap layar tanpa henti."Boleh, tapi tunggu sebentar, Ra. Aku mau menyelesaikan laporan ini–" Kai berkata dengan nada lembut, meskipun ia tampak berpikir dua kali melepas kepergian Sera sendirian.“Mas, nggak perlu nemenin aku. Kerjaan Mas pasti banyak, kan? Aku bis
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.