“Tapi, udah hampir sebulan, Kai. Lo gak mending pulang ke Indonesia aja?” tanya Sagara, matanya menatap lelah ke arah adiknya. Kai menghela napas, pandangannya terarah ke jendela rumah sakit. “Gue gak bisa ninggalin Ibu, Bang,” jawabnya pelan. Setiap hari, rutinitas Kai hanya berputar di sini—menyeka tubuh Diani, mengecek infus, dan memastikan semuanya berjalan lancar. Kai hanya keluar sebentar untuk olahraga atau beli makan. Sagara mengerti, tapi kekhawatirannya makin besar. “Lo juga butuh istirahat, Kai. Istri Lo di sana cuma sendirian,” kata Sagara, suaranya lembut tapi tajam. Kai terdiam, kepalanya tertunduk, seolah kata-kata itu menusuk ke hati. “Lo bisa bagi tugas sama Kakak-kakak Lo. ‘kan ada empat, termasuk Gue” lanjut Sagara. Tapi Kai tetap diam, kedua tangannya mengepal di pangkuannya. Dia tahu Sagara benar, tapi rasa tanggung jawabnya terlalu besar. "Lo bukan satu-satunya anak, Kai," Sagara menambahkan, lebih pelan. Sementara Kai dan Sagara terus berdebat, mereka tak
Detik itu juga, Kai mendongak. Ibunya, Diani, tampak gelisah, matanya mencari Sera—wanita yang kini menjadi alasan utama kenapa Kai merasa terpuruk selama tiga puluh tahun hidupnya.“Ibu nggak lihat dia disini, Kai. Dimana Sera?” tanya Diani lagi. Setelah berdebat kecil dengan sang Ibu, Kai mencoba menghubungi Sera, tetapi nihil. Tak ada jawaban dari Sera meski sudah melakukan tiga kali panggilan video.Kai terdiam sejenak, mencoba menata kata-kata. “Mungkin Sera lagi sibuk, Bu,” jawabnya.“Sibuk?” Diani mengerutkan kening. “Kai, kamu sama Sera masih baik-baik aja, kan? Jangan bilang… karena kecelakaan ini kalian bercerai. Sera masih menantu Ibu, ‘kan?”Kai menunduk, menghindari tatapan Ibunya. "Masih, Bu," jawabnya pelan. "Sera masih istri Kai."Diani menghela napas panjang, namun kegelisahan di wajahnya belum juga pergi. “Syukurlah... Tapi Ibu ingin bicara sama Sera, Kai. Nanti, hubungi dia lagi, ya? Ibu harus dengar suaranya.”Kai mengangguk pelan, meski hatinya berat. “Iya, sekar
“Ibu..” air mata Sera jatuh setelah melihat mertuanya di layar ponselnya.Wanita itu terlihat jauh lebih kurus dan kerutan di wajahnya seolah lebih banyak dari sebelumnya. Wanita itu terlihat sangat sakit.“Sera… Sera dimana? Sera kenapa gak di sini, Nak?”Sera terdiam, tangisnya tiba-tiba pecah. Namun tak ada kata yang bisa keluar dari tenggorokannya. Ada perasaan lega bercampur haru di dadanya."Ibu gak apa-apa, Ra. Jangan menangis gitu, Nak." Diani berusaha menenangkan, meskipun air mata sendiri membasahi pipinya. Tangisnya tak bersuara. "Sera, kamu baik-baik aja, Sayang?"Karena Sera sepertinya tak bisa menjawab, akhirnya Lila kemudian muncul di layar telepon sambil mengusap pelan pundak Sera. “Ibu, Sera baik-baik saja di sini. Dia kangen banget sama Ibu, kami semua juga kangen sama Ibu. Ibu cepat sehat, ya. Kami semua menunggu Ibu di rumah.”“Lila..” Melihat Lila, tangis Diani pecah lebih deras. Meski dua anak lelakinya menemaninya, tetap saja rasa rindu ingin berkumpul dengan s
"Gue tau, hati Lo pasti pengen juga perhatiin Sera, 'kan? Tapi Lo malah kemakan sama ego Lo sendiri." Sagara buka suara.Kai yang memasang wajah datar itu sebenarnya sudah mengiyakan dalam hatinya.Keduanya kini sudah berada di luar ruangan sang Ibu yang baru saja menutup telepon Sera. "Berubah, Kai, kalau Lo nggak mau nyesel. Semisal Lo masih marah dan kecewa ke Sera, seenggaknya Lo berubah karena anak yang dikandung Sera. Darah daging Lo, dia nggak akan ada kalo Lo nggak ngelakuin hal itu ke Sera."Sejujurnya pria itu terus setuju dengan pernyataan Kakaknya. Tapi ada perasaan yang masih membentengi dirinya."Lo tau, perempuan pasti haus perhatian. Apalagi kalau hamil gitu, pasti maunya nggak jauh-jauh dari suami. Dan Lo, harus bisa ngasih itu, Kai. Karena Sera juga pasti ngelakuin hal yang sama ke Lo, 'kan?" tanya Sagara lagi.Kai teringat bagaimana Sera berusaha menolak keputusan Kai untuk pergi ke Amerika bulan lalu. Sekelebat ingatan itu membuat Kai menghela nafas panjang.Kenya
Pesawat yang membawa Diani dan Kai mendarat dengan selamat pukul tujuh malam.Sera, Lila, Banyu, dan kedua anak kembar Banyu dan Lila– Sheena dan Shana, sudah menunggu di pintu kedatangan.Kelima orang itu menunggu dengan antusias, bahkan Sheena sudah bersiap dengan buket bunga di tangannya sedangkan Shana membawa tulisan “Welcome Home, Oma!” yang sudah ia tulis di kertas karton.Saat Diani yang menggunakan kursi roda tengah di dorong Kai, Sheena dan Shana segera berhambur memeluk Nenek mereka.“Oma! Shana kangen,” anak paling bungsu dari Lila itu memeluk erat Diani.“Sheena juga!” ucap Sheena si Kakak yang selalu tak mau kalah.Diani tersenyum lebar. “Nenek juga kangen sama semuanya.” Diani kemudian mengecup satu per satu cucunya. Sebelum akhirnya mata Diani menemukan menantunya Sera yang sudah berurai air mata.“Ra..” Diani kembali merentangkan tangannya, supaya Sera bisa masuk ke dalam pelukannya.Wanita tua itu tahu, Sera paling berat menjalani harinya.Sheena dan Shana pun mengur
Kai mendampingi Diani hingga menuju kamarnya. Saat menginjakkan kaki di ruangan yang penuh dengan kenangan itu, Diani masih merasa sesak. Bulir-bulir kecil merembes di ekor matanya. Kai memapah Ibunya duduk di tepian ranjang. Dingin sprei yang melindungi kasur, disentuh oleh suhu hangat tubuh Diani. Sejenak, dia membayangkan dirinya yang akan tidur seorang diri mulai malam ini.Mata Diani kemudian menatap foto pernikahannya dengan Samudera beberapa tahun lalu. Ada rasa sesak yang menghimpit, membuatnya mengenang masa lalu.“Kamu tahu Kai, Ibu dulu juga terpaksa menikah sama Papamu. Sekarang melihat Papamu pergi, ibu baru menyadari, sudah selama ini Ibu menemani Papa. Ibu kira, ibu gak akan sanggup menemani Papamu yang cintanya gak habis di orang yang lama.”Kai yang semula sedang merapikan kursi roda milik Diani, kemudian melambatkan gerakannya."Ibu tahu semuanya udah takdir, Kai. Tapi, kalau boleh Ibu minta tambahan waktu lagi, Ibu mau lebih berbakti sama Papa, mau lebih sayangin
Setelah nasihat panjang yang Kai dapatkan dari banyak orang, interaksi keduanya tetap tak berubah, masih saja hening tanpa ada perbincangan berarti yang diharapkan Diani. Namun itu hanya dari sisi Kai, pria itu tak menyadari bahwa Sera telah berubah.Wanita itu bangun saat hari masih gelap, menikmati wajah tenang Kai yang masih terlelap. “Kalau aja Mas bisa nunjukin ekspresi ramah kayak gini kalau nanti bangun, aku pasti seneng banget. Rasanya pengen peluk Mas lama-lama.”Puas memandangi suaminya, Sera lantas berjalan menuju dapur, langkah kakinya perlahan menginjak lantai granit yang berkilau dan dingin. Sera tahu, Kai sangat menyukai kopi yang baru saja diproses. Wanita itu pun cekatan menggunakan mesin kopi yang baru saja ia pelajari saat tahu suaminya akan kembali ke Indonesia.Setelah menikah, wanita itu banyak belajar hal kecil mengenai Kai dan kebiasaannya dalam memulai hari, hingga saat dia selesai dengan aktivitas padatnya. Semua sudah terekam di kepala Sera.Meski terkesa
Suara jari yang beradu dengan papan ketik berhasil membangunkan Sera. Dia terusik sedikit tapi perasaan tak nyaman itu kontan membuatnya mendesis. Saat membuka mata secara perlahan, Sera melihat bayang-bayang duduk di pojok kamar. Punggung lebar yang tampak gagah, dengan bahu yang lapang untuk tempat bersandar yang nyaman."Aaa!" Sera terlonjak, dia menyadari adanya sosok manusia di kamar itu. Harusnya dia sendiri kan?"Ya ampun, Ra! Bikin kaget aja."Sera beringsut, sedikit bingung saat Kai sudah muncul di dekatnya. Padahal, dia tak mendengar adanya kebisingan sebelum Kai asik dengan laptopnya. "Mas? Ya ampun, Mas kapan pulang?" Ucap sera sambil mengucek matanya.Kai dengan sigap membantu Sera bangun dan menaruh bantal pada punggung Sera agar wanita itu nyaman jika ingin bersandar.“Sudah dari tadi. kamu kenapa bangun? Tidur lagi saja kalau kamu ngantuk,” ucap Kai yang kemudian segera mengalihkan pandangannya pada layar laptop di tangannya.Baju tipis Sera dengan perut menyembul te
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.