“Oh iya, aku lupa!” Deo menepuk jidatnya. “Nanti bertahap kamu urus SIM juga, karena itu penting.” Gennaro mengingatkan. “Mahal nggak, Kak?” tanya Deo. “Enggak, nanti aku bantuin ngurus,” jawab Gennaro tenang. “Yang penting kamu bisa nyetir dulu.” Deo mengangguk setuju. *** Karena pikirannya mulai sibuk memikirkan soal keberangkatannya ke Maldives yang entah kapan, Deo nyaris lupa menghitung sisa waktu pernikahannya dengan Veren yang hanya tinggal tiga bulan saja. Veren sendiri tidak kalah sibuknya dengan kegiatan di kampusnya, sehingga dia dan Deo sudah sama-sama lelah untuk membicarakan soal perceraian ketika bertemu di kamar saat malam harinya. Tania sendiri sudah jauh lebih sehat sejak menjalani perawatan intensif di rumah sakit beberapa waktu yang lalu. Ditambah kesanggupan Deo untuk menemaninya liburan ke Maldives, semakin membuat dirinya bersemangat kuliah. Deo sudah tidak segan lagi untuk memperlihatkan keakrabannya dengan Tania di kampus, dia menghentikan kebiasaann
“Gue sama Tania cuma temen,” kilah Deo. “Jangan bandingin Tania sama mantan lo, mereka jelas beda kelas lah.” “Beda kelas apanya, mana ada cewek baik-baik yang nempel terus sama suami orang?” sindir Veren. Raut wajah Deo langsung berubah drastis. “Hati-hati kalo ngomong ya, Ver?” Deo menunjuk wajah Veren dengan jarinya. “Seenggaknya Tania masih punya semangat hidup di saat sakitnya sedang parah-parahnya. Sedangkan elo? Lo malah mau mengakhiri hidup lo di saat elo dianugerahi kesehatan yang bagus.” “Elo juga jangan seenaknya ngehakimi orang,” kata Veren tajam sambil menusukkan jarinya ke dada Deo. “Seenggaknya Hanan udah pernah ngasih kebahagiaan dalam hidup gue. Sementara elo? Pernah nggak elo ngebahagiain gue?” Deo tersenyum sinis. “Elo lupa tujuan kita menikah itu buat apa?” katanya dingin. “Kita nikah itu cuma buat bercerai!” Veren menatap Deo dengan pandangan buas. “Kalo gitu lo nggak usah ngurusin mantan gue sampe segininya!” kata Veren ketus. “Kita udah mau cerai, kan?
Dia nggak tidak tahu apa makanan kesukaan Veren, barang favorit, bahkan hal yang paling pribadi seperti ukuran bra dan celana dalam isterinya pun dia tidak tahu sama sekali. Namun, ada bisikan lain yang sengaja lewat dan mampir menyapa telinga Deo dengan halus, ‘udah nggak usah dipikirin, kan bentar lagi kalian juga mau cerai.’ “Biarin aja dulu, Ma.” Deo mematikan tivi kemudian merenggangkan kedua tangannya tinggi-tinggi. “Aku sama Veren juga mau ada acara kampus, nginep beberapa hari. Jadi biarin aja lah kita misah sementara.” “Kapan, Yo?” tanya mama ingin tahu. “Dalam waktu dekat ini kayaknya,” jawab Deo. “Ma, aku ke kamar dulu ya? Udah ngantuk, nih.” “Jangan lama-lama berantemnya,” kata mama. “Iyaaaa ...” sahut Deo sambil berjalan pergi ke kamarnya. Deo terus memikirkan kata-kata mama tadi kepadanya. Selama ini dia sering mengatai Veren cablak, preman pasar, papan setrika, dan sebutan lain yang tidak sepantasnya dia ucapkan kepada istrinya. Deo mengharapkan perlakuan lembu
“Tante Liora udah mulai ngurus persiapan keberangkatan kita ke Maldives!” jawab Tania dengan wajah bahagia yang baru sekali ini Deo lihat. “Kamu sama istri kamu ... siapa namanya, maaf?” “Veren.” “Iya, Kak Veren. Nanti sekalian paspornya diurus Tante Liora,” kata Tania. “Veren kayaknya nggak bisa ikut,” kata Deo memberi tahu. “Gimana, kamu masih mau ke Maldives tanpa Veren?” “Saya sih nggak masalah, justru kamu sendiri gimana kalo pergi tanpa Kak Veren?” tanya Tania dengan wajah sedikit redup. “Kamu tetep jadi pergi sama saya, kan?” Deo tidak segera menjawab. “Biar saya minta izin sama Kak Veren ya, Kei?” Tania buru-buru berdiri dari kursinya dan bersiap pergi. Deo ikut berdiri dan memegang tangannya untuk mencegah Tania pergi. “Kamu mau ke mana?” tanya Deo heran. “Mau ketemu Kak Veren, minta izin sama dia biar kamu dibolehin pergi,” jawab Tania polos. “Boleh kan?” “Veren nggak kuliah di sini, Tan.” Deo tertawa. “Dia kuliah di kampus lain.” “Oh, saya baru tau ...” Wajah Tan
“Sama asisten rumah tangga saya, kadang juga Tante Liora sekeluarga nginep di sini rame-rame,” jawab Tania. “Kamu mau minum apa?” “Apa ya? Terserah tuan rumah aja lah,” kata Deo. “Kalo gitu kamu duduk dulu,” pinta Tania. “Saya mau ke dapur sebentar.” Deo mengangguk kemudian duduk di salah satu sofa mahal yang tersedia di situ. Sambil menunggu, dia mengeluarkan ponselnya dan mengecek apakah Veren menghubunginya atau tidak. Deo membuka salah satu aplikasi pesan instan yang ada di ponselnya untuk melihat kapan terakhir kali Veren online. Dia hanya penasaran dan tidak berniat untuk mengiriminya pesan lebih dulu. Tidak berapa lama kemudian Tania muncul dan pikiran Deo tentang Veren langsung buyar begitu saja. “Lama nunggu ya, Kei?” sapa Tania sambil menghidangkan dua cangkir minuman di atas meja. “Enggak kok,” sahut Deo. “Wah, kayaknya seger. Itu apa?” “Coba deh kamu minum,” pinta Tania sambil menyodorkan satu cangkir berisi minuman hangat kepada Deo yang menerimanya dengan
“Enggak,” jawab Deo. “Veren bukan orang yang cemburuan.” Tania mendengar ada yang tidak beres dalam nada suara Deo. “Apa kamu berantem sama Kak Veren?” katanya sambil memandang Deo. “Apa gara-gara aku?” “Enggak, aku sama Veren udah sering berantem sejak awal menikah,” kata Deo lambat-lambat. “Biasa, nikah muda emang nggak gampang. Banyak berantemnya, nggak ada yang mau ngalah.” Tania mengangguk maklum. “Aku penginnya Kak Veren juga ikut liburan ke Maladewa,” katanya. “Sekalian biar kamu sama Kak Veren bisa ngomong dari hati ke hati ....” “Veren udah punya acara sendiri kok Tan,” sela Deo. “Dia mau ikut kemah sama temen-temen kampusnya.” “Oh, kalo gitu sebagai gantinya kamu bisa beliin Kak Veren oleh-oleh di sana.” Tania menyarankan. Deo terdiam, dia tidak kepikiran sama sekali soal oleh-oleh. “Emang kapan kita berangkat ke Maladewa?” tanya Deo. “Jangan mendadak lho, Tan? Kita kan mesti izin sama kampus juga.” “Aku usahain satu minggu sebelum keberangkatan aku akan k
Veren mencoba mempertahankan satu-satunya dress yang masih tersisa di tubuhnya. “Jangan, Yo!” pekiknya. “Gue nggak bawa baju ganti!” “Bodo amat!” Deo yang sudah dikuasai amarah tetap merobek dress yang masih dipakai Veren sampai betul-betul menelanjanginya. “Lo kelewatan banget sih, Yo?” seru Veren seraya memeluk dirinya sendiri di lantai agar sebagian asetnya tertutupi dari pandangan buas Deo. “Lebih kelewatan mana gue sama elo?” tukas Deo sengit. “Elo itu masih istri gue, mestinya lo bisa jaga nama baik gue, bukannya bikin malu gue kayak gini!” Veren mengulurkan tangan untuk mengambil selimut Deo dan membungkus tubuhnya sendiri yang hanya memakai celana dalam saja. “Kita kan udah mau cerai, ngapain lo masih ngurusin gue?” kata Veren heran. “Lagian gue yang pake baju, ‘napa lo yang malu?” Deo melotot memandang Veren dengan ekspresi yang seolah ingin menguliti cewek itu hidup-hidup. “Lo kan biasanya pake celana jins panjang sama kemeja, ‘napa tadi lo pake baju yang bel
Veren mendekati koper itu dan membukanya, mendadak sebuah ide jail melintas di benaknya begitu saja. Sementara di tempat lain, Deo dan Septian telah selesai bermain sepak bola bersama belasan mahasiswa dari kampus mereka. Saat itu Deo baru ingat kalau dirinya meninggalkan Veren di kamar dan melarangnya keluar tanpa seizinnya. “Sep, gue duluan ya?” kata Deo buru-buru. “Veren lagi di rumah gue soalnya.” “Iya, Yo!” sahut Septian yang sedang berbincang dengan temannya dari fakultas berbeda. Sebelum pulang, Deo menyempatkan diri untuk membeli seporsi nasi goreng spesial dekat kampusnya. Meskipun dia masih kesal kepada Veren, dia merasa harus tetap memberinya makanan yang layak. Sesampainya di rumah, Deo langsung naik ke kamarnya sambil membawa nasi goreng yang tadi dibelinya. Saat Deo membuka pintu kamarnya, dia tercengang melihat baju-bajunya yang berceceran di lantai. Kedua matanya menelusuri setiap inci ruangan dan melihat kopernya terbuka dengan isi yang sudah berhamburan keluar.