“Lo bener-bener mancing kesabaran gue ya, Ver?” desis Deo sambil membungkuk memandang Veren yang menutupi aset-asetnya dengan kedua lengannya. “Kurang baik apa gue sama lo? Elo tuh nggak ada hormat-hormatnya dikit ya sama suami?” Veren cemberut kesal. “Elo duluan yang lempar kaos ke muka gue!” sergahnya. “Lo mau tahu kenapa kaosnya sampe gue lempar? Karena gue nggak mau lihat elo cuma belitan handuk doang!” tegas Deo. “Kalo elo nggak mau gue sentuh, lo juga jangan seenaknya ngumbar tubuh lo di depan mata gue.” “Gue kan nggak punya baju ganti, wajar dong gue cuma belitan handuk?” Veren membela dirinya. “Kan elo yang udah ngerobekin baju gue, nggak inget?” Deo terdiam. Ada benarnya juga sih, batinnya. “Tetep aja, kalo elo ngelempar balik kaos itu, handuk lo nggak akan merosot kayak tadi.” Kali ini Deo tidak mau disalahkan. “Sekarang lihat tampilan lo, udah kek manusia purba betina.” “Enak aja kalo ngomong!” sergah Veren sambil berusaha melontarkan Deo dari tubuhnya sebelum suasan
“Lah, emang lo nggak pengin suatu saat nikah sama wanita yang lo cintai lahir batin?” tanya Veren lagi. “Wanita yang mau jadi ibu dari anak-anak lo entar? Yang mau nemenin lo dari nol sampe sukses dunia akhirat?”“Amin ....” Deo menimpali.“Kok ‘amin’? Elo kepingin nggak sih?” tukas Veren sambil menepuk-nepuk bantalnya.“Ya pengin lah,” sahut Deo. Terbersit dalam pikirannya bahwa dia ingin wanita yang betul-betul wanita: anggun, lembut, sopan, dan mau nurut. Tidak seperti Veren yang walaupun dia wanita tulen, tetapi dia tidak anggun, tidak lembut, kurang sopan, dan susah diatur.“Ya ayo, lo mesti nyari jauh-jauh hari.” Veren mengingatkan. “Enggak deh,” tolak Deo. “Nggak sekarang juga.”“Tapi kan ...”“Lo mikir nggak sih, mana ada wanita baik-baik yang mau sama suami orang?” potong Deo. “Pelakor dong namanya.”Veren mengerucutkan bibirnya.“Lo jangan berharap banyak deh sama orang yang tertarik sama pasangan orang lain,” kata Deo. “Karena orang baik-baik nggak akan mau merebut seseora
“Dia belom pernah ngenalin saya sama keluarganya.” Cewek itu menggeleng. “Padahal saya sering banget minta dia main ke rumah saya.”Deo tidak berani berkomentar terkait hal ini, karena dia sendiri tidak pernah diizinkan main ke rumah Freya selama lima tahun mereka berpacaran. Deo juga tidak berinisiatif untuk mengenalkan Freya kepada orang tuanya, sehingga tidak ada seorangpun yang tahu tentang hubungan mereka berdua.“Ya ampun, maaf ya. Saya jadi cerita yang nggak penting kayak gini,” ujar Tania sambil mengibas tangannya. “Saya ganggu waktu kamu, ya?”“Nggak, santai aja.” Deo menggeleng sambil tersenyum. “Kalo kamu masih sanggup nunggu, silakan nunggu. Tapi kalo kamu nggak sanggup nunggu, mungkin udah saatnya kamu harus melangkah ...”“Buat ninggalin dia?” potong Tania dengan suara bergetar.“Saya nggak bilang gitu,” ucap Deo, tanpa sadar membiarkan dirinya terlarut dalam emosi yang sedang dirasakan Tania.“Kadang logika sama perasaan saya nggak pernah mau sejalan,” tutur Tania. “Say
Tetap saja fokusnya auto buyar saat matanya tak sengaja melihat Gennaro mengusap kening Freya dengan sejuta ekspresi.Deo mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan ke Veren.[Kelas lo udah selesai? Telpon gue dong, buru!]Veren membalas sesaat setelahnya.[Baru kelar Yo, napa sih? Kangen?] Deo pun segera membalas.[Buruan telpon gue, mata gaya nih!]Namun, Veren terkesan cuek.[Bodo][Awas lo, entar malem gue abisin lo di ranjang!] Deo mengetik dengan penuh napsu.[Dasar otak mesum. Abis ini gue telpon!] Veren membalas dengan setumpuk emoji berapi-api.Sementara itu Deo menaruh ponselnya dan menunggu telepon dari Veren.***Veren tertawa terbahak-bahak saat mengetahui alasan Deo mati-matian minta ditelepon olehnya. Saat itu mereka akan pergi tidur, dan Deo sempat membahas tentang tanda memar yang dia lihat di lengan Freya.“Dia jatuh kali, Yo.” Veren berkomentar sambil membawa piyamanya ke kamar mandi. Dia akan ganti baju di dalam sana agar tidak membangunkan kucing garong yang ada
“Nggak yakin gue sama jawaban lo,” tukas Septian sambil menggelengkan kepala. “Serah,” sahut Deo sambil berdiri dan meninggalkan Septian bersama Belinda. *** “Ver, lo jadi nyari gebetan baru?” tanya Deo di suatu malam, saat Veren sedang menonton drama India di salah satu stasiun tivi. “Belom ada yang nyantol,” jawab Veren tanpa menoleh. “Emang ‘napa Yo? Lo buru-buru mau cerai?” “Kontrak kita kan masih setengah tahunan lagi,” ujar Deo. “Kali aja lo udah nemu cowok yang cocok.” “Nggak segampang itu, Yo.” Veren menggeleng pelan. “Kayak yang lo bilang, mana ada orang baik-baik yang mau sama bini orang?” “Kalo seandainya elo bilang sama inceran lo soal pernikahan sementara kita gimana?” tanya Deo. “Kira-kira dia mau nggak sama lo?” “Belom tentu. Cowok kan kadang maunya sama yang perawan,” jawab Veren sambil ngemil kuaci. “Elo kan masih perawan ting ting, kresek item!” tukas Deo. “Gue nggak pernah njebol gawang lo, tau.” “Iya, gue lupa!” Veren tersadar, kali ini dia memandang Deo
Bak palu godam raksasa yang meluluhlantakkan pegunungan Jayawijaya, seperti itulah perasaan seorang Amadeo Keita yang luluh lantak saat ceweknya mendadak menamatkan hubungan mereka yang sudah terukir lima tahun lamanya.“Apa kamu nggak bisa mikir ulang lagi keputusanmu itu?” tanya Deo tak percaya.“Itu udah keputusan final aku, Yo. Maaf, ya ...” jawab Freya dengan sangat lirih.“Paling nggak beritahu aku alasannya, kenapa kamu tiba-tiba mutusin aku?” desak Deo ingin tahu.“Kamu ... terlalu baik buat aku, Deo.” Freya memandangnya nanar. “Harusnya kamu bersyukur dong kalo aku cowok yang baik!” kata Deo bangga, tapi hanya sesaat saja. “Alasan kamu kok nggak sinkron sama tindakan kamu, ya?”Freya meremas kedua tangannya dengan gugup.“Pasti ada alasan lain, kan, Frey?” kata Deo curiga. “Kita ini udah lima tahun pacaran lho, bahkan aku udah rencana mau ngenalin kamu ke ortu aku, tapi ...”“Udah telat, Yo. Udah telat ...” ratap Freya nelangsa. “Aku udah telat ...”“APA?” Deo membulatkan ke
Deo tertidur sampai adzan ashar berkumandang. Dia bangun, mengucek-ucek matanya dan bersyukur masih bisa hidup tanpa mantan pacarnya.Sore itu mama heboh sendiri mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya untuk melamar calon menantunya nanti. Setelah Deo mandi sore pun keribetan mamanya belum selesai juga.“Ma?” panggil Deo dengan handuk yang melingkar di lehernya. Kepalanya celingukan ke sana kemari mencari seseorang.“Apa sih?” sahut mama sambil lalu.“Itu yang mau ngelamar mama apa anak mama?” “Ya anak mama lah, kakak kamu!” sergah mama sambil merapikan barang-barang yang berserakan di meja.“Terus orangnya mana, perasaan nggak kelihatan dari tadi?” komentar Deo. “Yang mau nikah siapa, yang ribet siapa.”“Yang namanya calon pengantin emang harus diistimewakan, Yo. Dia cukup nyiapin mental buat ijab qobul, selebihnya keluarga yang ngurusin segala macem keperluan pernikahannya,” kata mama menjelaskan.Deo mengangguk-angguk paham.“Enak ya jadi calon manten, tinggal ongkang-ongk
Kata-kata mereka yang terakhir membuat Deo reflek menghentikan langkahnya, dan mencoba menyeberangi jalan, tepat di lokasi orang itu berdiri.TIINN! TIINNNN!Deo berlari, menyelip di antara kendaraan-kendaraan yang melaju dan dengan sekuat tenaga didorongnya orang itu hingga mereka berdua terpental bersama ke atas trotoar.“Aduuhhh ...”“Sakit ...”Deo menoleh ke orang yang tadi sengaja menantang maut di tengah jalan.“Lo nggak papa?” katanya.Orang itu menoleh, dan memandang Deo dengan galak.“Heh, lo ngapain sih pakai dorong gue? Gue kan jadi batal mati!” ketusnya.Deo termangu sejenak, orang di depannya ini ternyata cewek. Dan dia sangat tidak terima ketika Deo mengentaskannya dari kematian. “Maaf, elo waras?” tanya Deo ragu-ragu. “Elo baru aja diselametin dari maut, lho.”“Gue nggak ulang tahun, jadi nggak usah pake selametan segala!” ketus cewek itu.Beberapa orang pejalan kaki mendekati mereka.“Dek, kalian ngapain sih? Bahaya tahu?”“Untung nggak sampe kecelakaan, lain kali ja