Sepasang manik bulat Selena tak berkedip, menatap pria yang baru saja mengatakan bila apartemen mewah ini adalah miliknya. Selena lantas mengerling seraya memerhatikan raut Dev yang nampak begitu serius dengan perkataannya barusan.
"Selena, kamu … dengar perkataan daddy barusan 'kan?" Dev memastikan jika gadis di hadapannya ini sungguh-sungguh mendengar perkataannya barusan dengan sedikit mencondongkan wajahnya.Selena spontan beringsut mundur karena jaraknya dengan Dev terlalu dekat saat ini. "Selena denger, kok, Dad," sahutnya.Jawaban Selena membuat Dev mengangguk dan tersenyum. "Terus, gimana? Kamu … Suka 'kan sama apartemennya?""Hmm …" Sejenak, Selena mengalihkan pandangannya ke sekitar unit dengan pencahayaan yang sangat terang itu. Dari segi manapun, unit yang dibelikan Dev untuknya terbilang sangat mewah dan luas. Semuanya sudah tersedia di sana. "Bukankah ini terlalu besar kalau Selena yang tinggal di sini sendirian, Dad?" ujar Selena yang kembali menatap mertuanya.Kening Dev mengernyit, memutar stolbar lalu berkata, "Kalau kamu gak berani tinggal sendirian, daddy akan temenin kamu. Gimana?""Hah?" Rahang Selena sontak kembali menganga dengan jawaban Dev. "M-maksud, Daddy?" Mendadak Selena merasa canggung sendiri, padahal Dev terkesan tidak serius dengan ucapannya barusan.Dan, benar saja. Saat Dev tersenyum dan menjawab, "Daddy cuma bercanda. Gak usah dipikirin." Lalu memutar stolbar dan mengambil salah satu gelas berkaki tinggi yang menggantung di atas kepalanya.Embusan napas lega berembus dari hidung Selena. Syukurlah, kalau Dev hanya sedang bercanda, pikir Selena."Tapi, Selena serius, Dad. Apartemen ini terlalu besar. Kayaknya, aku ….""Nanti biar daddy carikan asisten rumah yang bisa tinggal di sini. Biar bisa nemenin kamu sekalian," ujar Dev, menyesap bir berkadar alkohol rendah yang baru saja dituangnya. "Kamu butuh berapa asisten?" Gelas yang sudah kosong, Dev isi kembali dengan bir."Dad, sebenernya ini semua gak perlu. Selena bisa pulang ke rumah Papa aja," kata Selena."Bukannya rumah itu sudah jadi milik mama tiri kamu?" Dev menoleh pada Selena yang seketika terantuk lesu.Gadis itu bungkam sebab dugaan Dev benar adanya. "Selena gak habis pikir sama Mama. Kenapa Mama sejahat itu sama aku." Jari-jari Selena saling menaut di atas meja minibar itu.Mendengar Selena mengeluh, Dev jadi semakin kasihan. Dari orang suruhannyalah dia bisa tahu soal rumah peninggalan Satria yang telah jatuh kepemilikannya. "Sudah, jangan pikirkan mamamu. Sekarang, kamu bisa tinggal di sini sesukamu. Apartemen ini sekarang 'kan sudah jadi milik kamu."Entah kalimat penghibur itu efektif atau tidak. Dev tidak pandai menghibur seseorang dengan rangkaian kata-kata manis. Terlebih, dirinya bukanlah tipe pria yang romantis.Bukan! Bukan tidak romantis. Dev pernah berada di fase tersebut. Mencintai seseorang dengan segenap hatinya. Namun, yang dia dapat hanyalah sebuah penghianatan. Dan, untuk sikap baik serta perhatiannya terhadap Selena, semata-mata Dev ingin memenuhi janjinya pada Satria.Selena menghela napas panjang, kemudian dia turun dari stolbar sambil memegang tepian meja. "Selena mau liat kamarnya, Dad. Kira-kira kamarnya di sebelah mana?"Dev pun turun dari stolbar. "Ayo, Daddy tunjukkan kamarmu. Di sini ada tiga kamar. Kamar utama ada di sebelah sana. Ayo." Kaki Dev melangkah lebih dulu, dan Selena menyusul di belakangnya.***Selena memutuskan untuk tidur di kamar kedua yang ukurannya tidak terlalu luas. Dia pikir, kamar utama tidak cocok untuknya sebab kamar tersebut lebih cocok untuk pasangan suami istri."Kamu yakin mau tidur di sini aja?" Dev bertanya setelah keluar dari kamar mandi yang ada di kamar tersebut. Hanya sekadar memastikan jika semuanya berfungsi dengan baik. Baik shower serta lampu."Iya. Kayaknya lebih cocok di sini. Kalo di kamar utama kebesaran," sahut Selena sambil menyentuh setiap sisi tepian kasur berukuran queen size yang sangat empuk. Mengitari ranjang dengan perasaan serba salah.Apakah semua ini perlu? Apakah semua ini benar? Kenapa Dev begitu baik padanya sedangkan sebentar lagi dia sudah tidak memiliki hubungan apa pun dengan lelaki itu."Dad, Selena boleh tanya sesuatu?" Selena menduduki tepi kasur, menatap punggung Dev yang lebar dan nampak gagah bila dari belakang seperti ini.Mertuanya itu tengah berdiri di depan jendela yang terbuka, dengan kedua tangan masuk ke saku celana bahannya. Dev berbalik menatap Selena. "Mau tanya apa?""Kenapa Daddy masih baik sama Selena? Padahal, Selena sebentar lagi cerai sama Mas Darwin. Otomatis Selena akan jadi orang lain setelah itu. Tapi, Daddy malah ngasih apartemen buat aku," kata Selena, rautnya berubah sendu. Sepasang maniknya sudah berkaca-kaca dan buram."Karena kamu adalah anaknya Satria. Daddy sudah berjanji pada papamu akan menjaga putrinya." Dev tidak perlu berpikir susah payah untuk menjawab pertanyaan Selena barusan. "Daddy juga merasa bersalah karena kenyataannya, pernikahan kamu sama Darwin gak berhasil. Sekali lagi, daddy minta maaf."Selena menggeleng, lalu menghapus air mata yang tiba-tiba menetes di pipi. "Ini bukan kesalahan Daddy. Ini semua mungkin sudah takdir Selena. Jadi janda di umur dua puluh dua tahun. Miris," ujarnya, lantas menunduk untuk menyembunyikan tangisannya dari Dev.Punggung Dev menegak, dia pun melangkah mendekati Selena yang sudah terisak. "Selena …." Tangannya sudah terangkat, ingin menyentuh kepala sang menantu, tetapi rasanya sangat sungkan. Dev pun menarik tangannya lagi, kemudian mengepalnya."Selena udah gagal jaga amanah Papa. Selena udah berusaha selama ini. Mas Darwin satu-satunya harapan Selena setelah Papa gak ada. Tapi … Mas Darwin ternyata gak pernah cinta sama Selena." Isakan Selena semakin menggema di kamar itu.Sekuat apa pun dia mencoba menahannya. Namun, rasa sakit akibat ulah suami dan kakak tirinya tak mudah dia lupakan begitu saja. Rumah tangganya harus selesai dalam waktu singkat.Lalu, bagaimana Selena bisa memercayai pria setelah kejadian ini?Apa dia masih bisa menaruh kepercayaan terhadap laki-laki?Dev menghela panjang. Mendengar isakan Selena, sudut hati Dev berdenyut. Dia memang jarang berkomunikasi dengan gadis ini setelah menikahkannya dengan Darwin. Kesibukannya yang seabrek, membuat Dev tak memiliki banyak waktu untuk memantau kondisi Selena."Dad …" Isakan Selena berhenti, dia lalu mengangkat pandangannya menatap Dev yang tak bergeming di tempatnya."Hmm?" Sorot mata Dev meredup seketika, saat melihat bola mata jernih Selena memerah dan basah.Oh, ya ampun. Keinginan untuk mengusap airmata di pipi gadis itu begitu menggebu-gebu dalam benak Dev.Akan tetapi, kepercayaan diri Dev tak sebesar itu. Dia takut, jika Selena akan berpikiran yang tidak-tidak tentang sikapnya yang tak tahu malu.Selena berurai air mata lagi. Dia berdiri tepat di hadapan Dev yang tengah berkutat dengan pikiran liarnya. "Dad …." Suara seraknya menyentak Dev.Dev tertegun, buru-buru membuang jauh-jauh semua pikiran-pikiran tak masuk akalnya seraya mengerjap dan menggeleng. "Iya?"Punggung tangan Selena mengusap lelehan air mata yang tak mau berhenti mengalir di pipi. "Selena mau tanya sama Daddy." Dia menjilat bibir yang terasa kering."Tanya apa?" Manik Dev menyelami sorot mata Selena."Sebagai laki-laki, menurut Daddy, apa Selena kurang menarik?"Sepasang alis tebal Dev sontak terangkat tinggi. Pertanyaan yang terlontar dari Selena bolehkah dia menjawab sejujur-jujurnya? Pikir Dev.Selena menghela panjang, lalu menundukkan kepala. Tanpa Dev menjawabnya, dia sudah tahu jawaban pria itu. "Gak usah dijawab, Dad. Selena udah tau jawabannya," kata Selena, terdengar kecewa.Bagaimana bisa dia melontarkan pertanyaan konyol tersebut kepada ayah mertuanya? Konyol! Selena merutuk dirinya sendiri dalam hati."Selena … Andai pun ada laki-laki yang bilang kamu gak menarik. Itu artinya penglihatan laki-laki itu gak normal. Karena … di mata daddy kamu sosok perempuan yang sempurna," ujar Dev tak sekadar hanya ingin menghibur Selena. Dia jujur apa adanya.Pandangan Selena sontak terangkat. "Daddy ….""Itu jawaban daddy." Dev tersenyum. Lalu, entah dapat keberanian dari mana, kedua tangannya terulur dan menangkup wajah mungil Selena. "Jangan sedih lagi, Selena. Mulai sekarang, kamu bisa mengandalkan daddy. Pegang kata-kata daddy. Oke?"Bak terhipnotis oleh sorot mata Dev, Selena hanya mengangguk patuh. "Hmm."_bersambung..."Kamu itu memang bodoh, Darwin!" Monica tak bisa lagi menahan kekesalannya pada putra satu-satunya itu. "Bisa-bisanya kamu selingkuh sama kakak tirinya Selena. Di mana otak kamu, Darwin? Di mana? Kayak gak ada perempuan lain aja! Ck!" Gelas kosong di hadapan, Monica isi dengan bir, lalu dia meneguknya.Darwin melakukan hal yang sama—mengisi gelasnya dengan bir kemudian meminumnya. "Mom, Rania itu hot-nya luar biasa. Mana mungkin Darwin gak tertarik sama dia," cicit Darwin sambil meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja minibar di rumah Monica. Lelaki itu tak menyesal sama sekali sudah berselingkuh dengan kakak tiri istrinya.Monica menggeleng tak percaya dengan jawaban Darwin yang terkesan santai. "Darwin, kamu gak bisa sesantai itu. Kamu tadi lupa, daddy-mu udah marah besar sama kamu karena menantu kesayangannya minta cerai dari kamu?"Kemarahan Dev tadi, jelas sangat mengganggu pikiran Monica. Dia takut apabila suaminya benar-benar menendang Darwin dari perusahaannya."Mami tenang
Tadinya, begitu tiba di gedung apartemen yang sudah lama dia sewa, Dev ingin bergegas naik ke unitnya, lalu beristirahat. Namun, ketika mematikan mesin mobil, dan tak sengaja menoleh ke belakang, dia melihat tas selempang Selena yang ternyata tertinggal di jok beserta koper yang masih berada di bagasi. Lantas, mau tak mau Dev pun kembali lagi ke gedung apartemen Selena yang letaknya memang tak terlalu jauh dari gedung apartemen yang disewa. Hanya menempuh sekitar lima belas menit, Dev sudah berada di sana lagi. Dengan dibantu pihak keamanan gedung, Dev membawa koper Selena yang ukurannya tidak terlalu besar menuju lantai atas. Sementara tas selempang gadis itu dibawa sendiri oleh Dev. Akses unit yang belum sempat diganti memudahkan Dev untuk masuk. Dia buka pintunya, lalu menggeret gagang koper dan membawanya masuk. Dev menutup pintunya kembali, lalu berjalan menuju kamar Selena yang rupanya tidak tertutup. "Dia belum tidur?" Dev mendorong pin
"Pak PresDir memerintah supaya semua barang-barang Pak Manager yang ada di dalam di pindah. Lalu letakkan di meja staf sebelah sana. Paham?" titah salah satu sekretaris Dev bernama Marvin pada dua office boy yang baru saja tiba di ruangan GM(General Manager)."Paham, Pak." Kedua office boy mengangguk dan menjawab serentak. Meski penasaran, tetapi mereka memilih diam. Menuruti perintah dari atasan mereka yang diketahui sangat-sangat disiplin. "Saya tinggal dulu." Marvin keluar dari ruangan yang selama ini ditempati Darwin setelah beres memerintah. Pagi-pagi sekali, Dev menghubunginya dan memberikan perintah di luar dugaannya. Yang Marvin tidak mengerti, 'Mengapa tiba-tiba atasan sekaligus sahabatnya itu menurunkan jabatan Darwin secara mendadak', padahal dia pikir Dev tidak akan pernah bertindak demikian. "Pagi, Om." Darwin langsung menyapa ketika berpapasan dengan Marvin di depan pintu ruangannya. Pemuda itu terlihat ramah seperti biasa.
Penurunan jabatan yang dilakukan sang daddy benar-benar membuat Darwin merasa terkejut sekaligus malu luar biasa. Bagaimana bisa, dia yang tadinya menjabat sebagai General Manager, sekarang hanya menjadi staf biasa? Belum lagi, telinganya harus mendengar suara-suara sumbang yang secara tidak langsung merasa senang akan nasibnya. Rupa-rupanya, semua ucapan dan ancaman daddy-nya tak main-main. Darwin sampai tak habis pikir, 'mengapa daddy-nya begitu membela Selena' Sementara yang berstatus anaknya adalah dirinya. CK!"Sialan! Gara-gara Selena, aku jadi bahan ejekan di kantor." Mulut Darwin tak berhenti menggerutu sejak tadi, duduk pun dia merasa tidak nyaman. Seluruh mata kini tertuju padanya. Melempar tatapan remeh. Yang awalnya mereka semua hormat padanya, saat ini rasa hormat itu telah berubah menjadi rasa kasihan. "Aku harus minta penjelasan sama Daddy. Gak bisa aku kayak gini," putus Darwin seraya bangkit dari duduknya. Setidaknya, dia bisa bernegosiasi. Bagaimanapun, statusnya
Suara bel berulang-ulang dari arah luar, membuat Selena setengah berlari keluar dari kamarnya. Gadis itu baru saja selesai mandi, terlihat dari kepalanya yang masih terbungkus handuk warna pink. "Ya ... sebentar!" Selena bergegas membuka pintu dari dalam dengan berbagai macam pertanyaan di kepala. Siapa gerangan yang bertamu di unitnya? pikirnya. Alisnya menaut ketika mendapati perempuan paruh baya yang wajahnya cukup familiar ada di depannya. "Mbok Nung?" Perempuan dengan perawakan sedikit gemuk dan beberapa helai rambut yang memutih itu tersenyum, lalu menyapa, "Selamat pagi menjelang siang, Non? Boleh saya masuk?" "Eh, ayo masuk, Mbok." Saking terkejutnya, Selena sampai lupa mempersilakan Mbok Nung masuk. Dia pun membuka lebar-lebar pintunya."Makasih, Non." Mbok Nung mengangguk lantas melangkah masuk, Selena menyusulnya setelah menutup kembali pintunya. "Mbok Nung kenapa ke sini?" tanya Selena yang sudah tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Duduk sini, Mbok." Setelah memp
"Mau ngapain kamu ke sini, Mas?" tanya Selena datar. Tatapannya begitu dingin pada sosok laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya. Gadis itu juga enggan membuka pintu lebih lebar lagi. Sambutan Selena membuat sepasang alis Darwin naik. Sebenarnya, dia sendiri malas menemui istrinya ini untuk mengemis minta maaf. Darwin benar-benar terpaksa melakukan hal yang tidak dia sukai, seandainya tidak mengingat jabatannya. "Ekhm!" Darwin berdeham sebentar, lalu memasukkan tangan kirinya ke saku celana. "Aku pengen ketemu sama istriku. Emangnya gak boleh?" ujarnya, lantas tersenyum palsu. Selena mendengkus jengah. 'Cih, sejak kapan lelaki berkulit putih pucat ini menganggapnya istri? Pikirnya."Semenjak aku liat kamu sama Kak Rania lakuin hal menjijikan. Sejak saat itu, aku udah gak anggep kamu sebagai suamiku. Hubungan kita udah berakhir. Aku bukan lagi istrimu. Ngerti!" Manik Selena melotot tajam, sementara Darwin bersikap sangat tenang. Lelaki itu tengah menahan dirinya a
'Ada hubungan apa kamu sama Daddy, hah? Aku yakin, kamu pasti udah ngerayu Daddy, sampai dia gak pernah membelaku.''Seenggaknya dia gak munafik kayak kamu! Dia gak berpura-pura polos, demi nutupin sifat aslinya yang gak bermoral! Kamu selama ini pasti ngerayu Daddy 'kan, hah!' Air mata Selena tak berhenti mengalir, saat tuduhan-tuduhan keji yang terlontar dari mulut Darwin terus terngiang di telinga. Rasa sakit akibat perbuatannya belum juga sembuh, lalu kini lelaki itu menambahnya dengan sebuah fitnah. Selena sungguh tak menyangka jika Darwin mempunyai pemikiran picik semacam itu. Menuduhnya tanpa memikirkan perasaannya. "Brengsek kamu, Mas!" Untuk yang kesekian kalinya, Selena mengumpat Darwin. Setelah apa yang dilakukan oleh suaminya itu, semua rasa hormat Selena turut lenyap bersamaan dengan rasa percayanya. Baju-baju yang baru saja ditata oleh Mbok Nung di lemari, kini kembali dikeluarkan oleh Selena. Satu persatu, dia memasukkannya ke dalam koper. Sampai tak ada yang tersisa
Selena sontak berdiri, sesaat mendengar jawaban Dev. "Daddy tau itu semua, dan sikap Daddy bisa setenang ini?" Selena menghela sangat panjang, berusaha untuk tidak melampiaskan kekesalannya pada Dev. Dev berdiri. "Terus, kamu maunya daddy gimana?" tanyanya sambil melangkah mendekati Selena. "Dad, Mas Darwin nuduh Selena. Secara gak langsung dia juga udah fitnah kita. Aku gak bisa terima gitu aja, kalo ada orang yang jelek-jelekkin Daddy. Selena gak mau nama baik Daddy rusak cuma gara-gara belain aku." Semua uneg-uneg yang mengganjal di hati diluapkan oleh Selena. Dia berharap, Dev mau mengerti dengan maksudnya. Namun, bisa-bisanya Dev hanya menanggapinya dengan seulas senyum manis. "Jadi, itu alasan kamu mau pergi dari sini, Selena? Kamu gak suka kalau ada orang yang jelek-jelekkin daddy? Sekali pun itu Darwin?" Bisa Dev lihat dengan jelas dari sorot mata Selena—gadis itu terang-terangan tengah membelanya. Akan tetapi, Dev tetap tidak akan tinggal diam dengan sikap Darwin yang tel
Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan
Marvin mendorong kursi roda Dev sampai ke kamar. Beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di apartemen setelah melakukan perjalanan cukup jauh. "Akhirnya, habis ini kamu bisa tidur nyenyak," cicit Marvin menggoda sang sahabat. Marvin yang tahu betul—bagaimana kacaunya jadwal tidur Dev selama Selena pergi. Hari-hari Dev hanya diisi dengan mencari keberadaan sang istri, sampai-sampai tidak memerhatikan penampilan serta kesehatannya. Namun, setelah Selena ditemukan, tentu saja semua itu tidak akan terjadi lagi. Selena sudah ditemukan dan sudah mau kembali padanya. Mulai detik ini Dev akan mengisi hari-harinya bersama sang istri dan calon anaknya. "Aku bisa minta tolong, Vin?" tanya Dev, menatap Marvin dengan serius. "Apa?" "Tolong carikan satu lagi asisten rumah tangga buat bantuin mbok Nung. Soalnya nanti mbok Nung cuma aku minta ngurusin Selena," kata Dev. Niat itu sudah Dev pikirkan sejak dia tahu Selena hamil. Berhubung ada masalah tak terduga, dia jadi harus menundanya."
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at