'Ada hubungan apa kamu sama Daddy, hah? Aku yakin, kamu pasti udah ngerayu Daddy, sampai dia gak pernah membelaku.''Seenggaknya dia gak munafik kayak kamu! Dia gak berpura-pura polos, demi nutupin sifat aslinya yang gak bermoral! Kamu selama ini pasti ngerayu Daddy 'kan, hah!' Air mata Selena tak berhenti mengalir, saat tuduhan-tuduhan keji yang terlontar dari mulut Darwin terus terngiang di telinga. Rasa sakit akibat perbuatannya belum juga sembuh, lalu kini lelaki itu menambahnya dengan sebuah fitnah. Selena sungguh tak menyangka jika Darwin mempunyai pemikiran picik semacam itu. Menuduhnya tanpa memikirkan perasaannya. "Brengsek kamu, Mas!" Untuk yang kesekian kalinya, Selena mengumpat Darwin. Setelah apa yang dilakukan oleh suaminya itu, semua rasa hormat Selena turut lenyap bersamaan dengan rasa percayanya. Baju-baju yang baru saja ditata oleh Mbok Nung di lemari, kini kembali dikeluarkan oleh Selena. Satu persatu, dia memasukkannya ke dalam koper. Sampai tak ada yang tersisa
Selena sontak berdiri, sesaat mendengar jawaban Dev. "Daddy tau itu semua, dan sikap Daddy bisa setenang ini?" Selena menghela sangat panjang, berusaha untuk tidak melampiaskan kekesalannya pada Dev. Dev berdiri. "Terus, kamu maunya daddy gimana?" tanyanya sambil melangkah mendekati Selena. "Dad, Mas Darwin nuduh Selena. Secara gak langsung dia juga udah fitnah kita. Aku gak bisa terima gitu aja, kalo ada orang yang jelek-jelekkin Daddy. Selena gak mau nama baik Daddy rusak cuma gara-gara belain aku." Semua uneg-uneg yang mengganjal di hati diluapkan oleh Selena. Dia berharap, Dev mau mengerti dengan maksudnya. Namun, bisa-bisanya Dev hanya menanggapinya dengan seulas senyum manis. "Jadi, itu alasan kamu mau pergi dari sini, Selena? Kamu gak suka kalau ada orang yang jelek-jelekkin daddy? Sekali pun itu Darwin?" Bisa Dev lihat dengan jelas dari sorot mata Selena—gadis itu terang-terangan tengah membelanya. Akan tetapi, Dev tetap tidak akan tinggal diam dengan sikap Darwin yang tel
"Mam! Mami!" Darwin melangkah tergesa, memasuki rumah milik kedua orang tuanya. Wajahnya terlihat geram bukan main, seakan-akan dia hendak menerkam semua orang yang ada di hadapan. Monica yang baru saja keluar dari kamarnya, bergegas menuruni anak tangga saat ketenangan rumahnya terusik dengan suara teriakan anak semata wayangnya. "Darwin? Kenapa kamu teriak-teriak, sih?" Manik Monica menyorot tak suka pada Darwin yang sudah berdiri di ujung anak tangga paling bawah. "Daddy mana, Mam?" Alih-alih menjawab, Darwin justru menanyakan keberadaan sang ayah yang tak terlihat di rumah. Wajahnya masih nampak mengeras. Monica berdecak. "Ditanya malah balik nanya," gerutunya, melintasi Darwin begitu saja, dan menuju ruang makan. Kening Darwin mengernyit melihat sikap ibunya. "Mam, aku nanya Daddy di mana? Malah gak dijawab." Bergegas dia membuntuti perempuan yang melahirkannya itu menuju ruang makan. Apa-apaan coba? Tiba di ruang makan, yang mejanya sudah ada beberapa macam menu makanan, Mo
Keputusan untuk pergi dari unit mewah tersebut terpaksa diurungkan oleh Selena sebab Dev tak memberikan izinnya. Dev membujuknya serupa seorang ayah yang membujuk anak perempuannya. Lalu, bagaimana mungkin Selena bisa membantahnya?Jika bicara soal perhatian, mertuanya itu memang bisa dikatakan sangat mirip ayahnya, pikir Selena. Ah, tiba-tiba Selena rindu pada sosok penyayang itu, sampai tak terasa air mata menetes dengan sendirinya. "Selena kangen Papa ...." gumam Selena, lalu menghela napas sangat panjang. "Non." Mbok Nung yang baru saja selesai membersihkan unit mendekati Selena yang duduk melamun di meja makan. Sarapan yang masih utuh di piring menjadi perhatiannya. Selena menoleh, mendapati Mbok Nung yang sudah berdiri di sisi meja makan. "Ya, Mbok?" "Makanannya kenapa belum dimakan, Non? Gak suka, ya, sama menunya? Kalo gak suka biar Mbok masakin yang lainnya." Mbok Nung melirik sandwich buatannya sekilas. Dia berpikir jika Selena tidak menyukai makanan buatannya. Reflek,
Demi memberikan dokumen yang baru tadi pagi diantar oleh pengacara pilihannya, Dev rela mengundur jam makan siangnya, dan memilih untuk pergi menuju ke sebuah gedung bertingkat itu. Entah dorongan dari mana, keinginan untuk menuju ke tempat yang beberapa hari ini sering dia datangi begitu menggebu-gebu. Bahkan, Dev tak pernah merasa bersemangat seperti sekarang ini. Aneh, pikir Dev yang tengah menunggu pintu ruang berjalan itu berhenti dan terbuka. Untungnya, hanya ada dia seorang di dalam lift, jika tidak—kemungkinan saat ini Dev akan jadi bahan perhatian dari penghuni lain. Pria berusia empat puluh lima tahun itu nyaris terlihat sempurna, dengan balutan kemeja warna putih serta setelan jas warna navy. Terlihat gagah, dan berkharisma. ting!Bunyi pertanda pintu lift terbuka membuat kedua sudut bibir Dev spontan tertarik ke samping, kemudian mengayunkan kakinya ke luar ruangan baja itu. Jam tangan bermerek dengan harga selangit menjadi perhatian pria itu sekilas. Ternyata, masih p
Di ruangan serba putih itu seorang gadis yang berbaring di ranjang pasien dengan selang infus tertancap di punggung tangan, membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sorot cahaya lampu yang teramat terang cukup menyilaukan sepasang maniknya yang kecokelatan. "Non? Non Selena udah bangun?" Suara yang tidak asing di pendengaran, menarik perhatian Selena yang tengah berusaha mengumpulkan kesadaran. Dia menoleh ke sisi kiri, dan mendapati Mbok Nung berdiri di sisinya. "Mbok Nung?" ucap Selena dengan suara yang terdengar sangat lirih. "Iya, Non. Ini Mbok." Mbok Nung tersenyum lebar."Selena di mana, Mbok?" Pandangan Selena menyusuri langit-langit kamar dengan pencahayaan terang tersebut. "Ini di rumah sakit ya, Mbok?" Dia mulai menyadari keberadaannya saat bau obat-obatan tercium di hidungnya. "Iya, Non. Non Selena di rumah sakit," ucap Mbok Nung, mengusap-usap lembut pundak Selena. "Tuan Dev yang bawa Non ke sini. Non tadi pingsan di makam," imbuhnya memberi tahu. Selena seketika menol
Hampir setengah jam lebih Dev menatap wajah pucat nan meneduhkan, yang kini terlelap damai di atas ranjang pasien. Lebam di pipi sang gadis menjadi fokus dari manik kelam lelaki berjas navy itu. Setelah beberapa saat, naluri Dev pun tergugah untuk mengulurkan tangannya. "Ini pasti sangat sakit," gumam Dev, menatap nanar warna keunguan bekas tamparan Monica yang tercetak di pipi mulus Selena. Punggung tangannya mengusap dengan lembut. "Maaf ... karena sudah membuatmu berada di situasi ini." Merasakan sentuhan di pipinya, kelopak mata yang semula terpejam itu pun perlahan terbuka. Samar-samar Selena melihat wajah yang tidak asing di penglihatannya. Meski agak buram, tetapi dia tentu mengenali wajah berjambang berkharisma itu, yang kini duduk di tepi ranjang dan tak berkedip menatapnya. "Daddy ...." Suara serak Selena menyebut nama sang ayah mertua. Dev menarik tangannya dari pipi Selena. "Maaf ... daddy udah mengganggu tidurmu," ucapnya. Selena menggeleng samar, dan kini dia telah
"Apa? Semua kartu kamu dibekukan? Kok, bisa?" Rania sangat terkejut ketika Darwin mengatakan belum bisa membelikan ponsel keluaran terbaru di Minggu-minggu ini, karena semua kartu sudah dibekukan oleh sang daddy. "Ya, bisalah! Daddy itu sengaja lakuin itu karena aku udah nuduh Selena yang enggak-enggak." Darwin meneguk segelas air dingin untuk mendinginkan kepalanya yang terasa sangat panas. "Kamu gak masalah 'kan?" Meski kesal dan keberatan karena ponsel yang menjadi incarannya tak jadi dibeli, Rania tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Darwin. Apalagi dalam situasi yang sepertinya semakin tak terkendali. "Ya ... gak masalah, sih." Sahutnya. "Bener?" Satu alis Darwin naik, sambil mengusap rambut Rania yang basah karena habis keramas. "Hmm." Terpaksa Rania menganggukan kepala. "Tapi janji gak lama-lama beliinnya," rengeknya yang kemudian meletakkan kepalanya di pundak Darwin. "Siap ... kamu tenang aja, Ran. Ini gak mungkin lama, kok," janji Darwin, berpikir jika semua masalahnya