Di ruangan serba putih itu seorang gadis yang berbaring di ranjang pasien dengan selang infus tertancap di punggung tangan, membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sorot cahaya lampu yang teramat terang cukup menyilaukan sepasang maniknya yang kecokelatan. "Non? Non Selena udah bangun?" Suara yang tidak asing di pendengaran, menarik perhatian Selena yang tengah berusaha mengumpulkan kesadaran. Dia menoleh ke sisi kiri, dan mendapati Mbok Nung berdiri di sisinya. "Mbok Nung?" ucap Selena dengan suara yang terdengar sangat lirih. "Iya, Non. Ini Mbok." Mbok Nung tersenyum lebar."Selena di mana, Mbok?" Pandangan Selena menyusuri langit-langit kamar dengan pencahayaan terang tersebut. "Ini di rumah sakit ya, Mbok?" Dia mulai menyadari keberadaannya saat bau obat-obatan tercium di hidungnya. "Iya, Non. Non Selena di rumah sakit," ucap Mbok Nung, mengusap-usap lembut pundak Selena. "Tuan Dev yang bawa Non ke sini. Non tadi pingsan di makam," imbuhnya memberi tahu. Selena seketika menol
Hampir setengah jam lebih Dev menatap wajah pucat nan meneduhkan, yang kini terlelap damai di atas ranjang pasien. Lebam di pipi sang gadis menjadi fokus dari manik kelam lelaki berjas navy itu. Setelah beberapa saat, naluri Dev pun tergugah untuk mengulurkan tangannya. "Ini pasti sangat sakit," gumam Dev, menatap nanar warna keunguan bekas tamparan Monica yang tercetak di pipi mulus Selena. Punggung tangannya mengusap dengan lembut. "Maaf ... karena sudah membuatmu berada di situasi ini." Merasakan sentuhan di pipinya, kelopak mata yang semula terpejam itu pun perlahan terbuka. Samar-samar Selena melihat wajah yang tidak asing di penglihatannya. Meski agak buram, tetapi dia tentu mengenali wajah berjambang berkharisma itu, yang kini duduk di tepi ranjang dan tak berkedip menatapnya. "Daddy ...." Suara serak Selena menyebut nama sang ayah mertua. Dev menarik tangannya dari pipi Selena. "Maaf ... daddy udah mengganggu tidurmu," ucapnya. Selena menggeleng samar, dan kini dia telah
"Apa? Semua kartu kamu dibekukan? Kok, bisa?" Rania sangat terkejut ketika Darwin mengatakan belum bisa membelikan ponsel keluaran terbaru di Minggu-minggu ini, karena semua kartu sudah dibekukan oleh sang daddy. "Ya, bisalah! Daddy itu sengaja lakuin itu karena aku udah nuduh Selena yang enggak-enggak." Darwin meneguk segelas air dingin untuk mendinginkan kepalanya yang terasa sangat panas. "Kamu gak masalah 'kan?" Meski kesal dan keberatan karena ponsel yang menjadi incarannya tak jadi dibeli, Rania tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Darwin. Apalagi dalam situasi yang sepertinya semakin tak terkendali. "Ya ... gak masalah, sih." Sahutnya. "Bener?" Satu alis Darwin naik, sambil mengusap rambut Rania yang basah karena habis keramas. "Hmm." Terpaksa Rania menganggukan kepala. "Tapi janji gak lama-lama beliinnya," rengeknya yang kemudian meletakkan kepalanya di pundak Darwin. "Siap ... kamu tenang aja, Ran. Ini gak mungkin lama, kok," janji Darwin, berpikir jika semua masalahnya
Butuh banyak pertimbangan sebenarnya, bagi Dev untuk memindahkan Selena ke tempat yang jauh dari keramaian. Akan tetapi, demi menjaga kenyamanan dan nama baik gadis yang sebentar berstatus janda itu, Dev terpaksa melakukannya. Marvin selaku asisten pribadi serta sahabat Dev sampai dibuat terheran-heran. Pasalnya, rumah yang akan ditinggali Selena adalah tempat penuh kenangan manis sekaligus pahit dalam hidup Dev. Entah apa yang ada di pikiran sahabatnya itu. "Kamu yakin nyuruh Selena tinggal di rumah itu, Dev? Apa gak ada alternatif lain?" tanya Marvin memastikan, sebab menurutnya ide tersebut sangatlah tidak masuk akal. "Lagipula, rumah itu udah lama banget gak kamu kunjungin." "Itu satu-satunya cara, Vin. Aku gak mau Selena terusik sama Darwin dan Monica. Setelah apa yang mereka lakukan, aku gak bisa menjamin, besok-besok mereka pasti akan melakukan hal yang lebih gila lagi. Kamu tau sendiri sifatnya Monica itu kayak gimana?" Tali dasi yang terasa melilit leher dan membuat sesak
"Sekarang aku resmi jadi janda." Satu titik cairan bening menetes di pipi Selena, ketika dia baru saja menandatangani surat perceraiannya dengan Darwin.Kenyataan tersebut serupa mimpi buruk bagi Selena yang tak pernah membayangkan sekalipun bila rumah tangganya yang baru setahun harus berakhir secepat itu."Non." Mbok Nung terlihat berdiri di depan pintu kamar Selena setelah mengetuknya tiga kali, tetapi tidak mendapat tanggapan. Selena menoleh ke arah pintu, lalu buru-buru menghapus jejak basah di pipi. "Masuk, Mbok." Dia membuka laci nakas, kemudian menyimpan dokumen yang baru saja ditandatanganinya. Mbok Nung masuk. "Makan malamnya udah siap, Non. Mau makan di bawah atau di sini?" "Selena makan di bawah aja, Mbok," kata Selena, lantas menurunkan kedua kakinya dari kasur. "Daddy kira-kira ke sininya kapan ya, Mbok? Ini udah seminggu aku di sini, tapi Daddy belum ke sini juga." Selena heran karena selama sepekan dia berada di rumah itu, Dev sama sekali belum datang."Tuan masih a
Malam itu seluruh wilayah bagian Jakarta Selatan diguyur hujan yang cukup deras, membuat jalanan beraspal nampak begitu basah dan licin. Terlihat dari kejauhan sebuah mobil Fortuner SUV berwarna hitam melaju cukup kencang di sebuah gang yang agak lengang, dengan pencahayaan tidak terlalu terang dari lampu-lampu yang berdiri berjajar di sepanjang jalan. "Kenapa orang itu memintaku jauh-jauh datang ke tempat ini?" Dev menggerutu di balik kemudinya sambil menatap awas pada jalanan di hadapan yang semula nampak sepi. "Kalau tau di tempat seperti ini, lebih baik tadi aku menyuruh Marvin saja. Ck!" Nada dering ponsel yang terdengar tiba-tiba semakin menambah kekesalan Dev. "Siapa lagi yang telepon!" Karena jengah dengan bunyi ponsel yang tidak kunjung berhenti, Dev akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut. Mengambilnya dari saku di balik kemeja dengan satu tangan mengendalikan kemudi mobil, kening Dev mengernyit. Satu nama yang tertera di layar ponsel membuat decakan lolos da
Genap dua belas hari Selena tinggal di rumah perkebunan milk Dev yang berada di Puncak. Damai, tenteram dan pastinya dia merasa sangat nyaman berada di daerah yang sejuk dan bebas dari polusi perkotaan. Akhir-akhir ini yang membuatnya makin betah ialah karena di sepanjang halaman rumah ditanami berbagai macam tanaman bunga. Mbok Ratih dan sang suaminya lah yang menanamnya sejak lama."Mbok, Selena boleh tanya, gak?" Selena bertanya disela-sela dia membantu Mbok Ratih menyiram bunga-bunga di halaman belakang rumah. Rutinitas paginya yang baru semenjak tinggal di rumah itu. Mbok Ratih menoleh. "Boleh, dong, Non. Mau tanya apa silakan," sahutnya sambil melanjutkan pekerjaannya. Selena terlihat berpikir sebentar, karena yang ingin dia tanyakan ada sangkut pautnya dengan Dev. "Selena cuma mau tanya soal Daddy, Mbok." Dia sedikit bergeser ke sisi kanan, beralih pada salah satu pot yang belum mendapat siraman air. "Tuan Dev?" Mbok Ratih menatap sebentar Selena yang mengangguk. "Non Selen
"Ekhm!" Marvin berdeham seraya melangkah masuk—mendekati Dev yang terlihat gusar di sofa. "Habis teleponan sama siapa?" tanyanya sambil menduduki sofa yang berseberangan dengan Dev. "Selena," sahut Dev, meletakkan ponselnya ke meja."Selena ..." Marvin terdengar bergumam dan mengulum senyum. Dia memerhatikan raut Dev sejenak. "Aku kira kamu udah gak inget sama mantan menantumu itu." Punggung Marvin bersandar di sandaran sofa, kemudian menyilangkan kakinya. Belakangan ini Marvin memang jarang melihat Dev membahas Selena. Alih-alih mendekati, Dev justru terkesan menjauhi gadis itu. Karenanya, Marvin merasa heran selama beberapa hari ini. Dia pun mengira jika Dev sudah berniat menjaga jarak dari mantan menantunya itu. Dev menatap Marvin yang terdengar seperti menyindirnya. Sepasang matanya mengerjap, lalu menghela kasar. "Aku cuma lagi butuh waktu." Kening Marvin mengernyit. "Untuk?" "Aku juga bingung." Kedua telapak tangan Dev mengusap wajah. "Selena nanya, kenapa aku belum ke sana