"Ekhm!" Marvin berdeham seraya melangkah masuk—mendekati Dev yang terlihat gusar di sofa. "Habis teleponan sama siapa?" tanyanya sambil menduduki sofa yang berseberangan dengan Dev. "Selena," sahut Dev, meletakkan ponselnya ke meja."Selena ..." Marvin terdengar bergumam dan mengulum senyum. Dia memerhatikan raut Dev sejenak. "Aku kira kamu udah gak inget sama mantan menantumu itu." Punggung Marvin bersandar di sandaran sofa, kemudian menyilangkan kakinya. Belakangan ini Marvin memang jarang melihat Dev membahas Selena. Alih-alih mendekati, Dev justru terkesan menjauhi gadis itu. Karenanya, Marvin merasa heran selama beberapa hari ini. Dia pun mengira jika Dev sudah berniat menjaga jarak dari mantan menantunya itu. Dev menatap Marvin yang terdengar seperti menyindirnya. Sepasang matanya mengerjap, lalu menghela kasar. "Aku cuma lagi butuh waktu." Kening Marvin mengernyit. "Untuk?" "Aku juga bingung." Kedua telapak tangan Dev mengusap wajah. "Selena nanya, kenapa aku belum ke sana
Beberapa jam sebelumnya~Kesal, karena Rania tak mengacuhkan panggilannya, Darwin menggeram putus asa. Hendak mengejar, tetapi perempuan yang kini terlihat sengaja menghindarinya, sudah lebih dulu berlari dan masuk ke ruangan Marvin, membuat Darwin mengurungkan niat tersebut. "Ck, oke! Sekarang aku udah tau watak asli kamu, Ran. Kamu memang cuma suka uangku. Brengsek!" Umpatan Darwin menggema di lorong kantor yang terlihat sepi. "Mending aku pulang!" Ide tersebut akhirnya tercetus di pikiran Darwin sebab dia muak dengan sikap Rania yang terang-terangan menghindar. Daripada dia mati kesal di kantor, akan lebih baik dia mencari ketenangan sejenak di luar. Darwin bergegas keluar dari kantor, menuju parkiran untuk mengambil mobilnya. Di pertengahan jalan dia mengingat nama seseorang yang belakangan ini jarang dia hubungi. Menepikan mobilnya di trotoar, Darwin pun lekas meraih ponsel dari saku kemeja, kemudian menghubungi seseorang. "Halo, Cath," sapa Darwin setelah panggilannya dijawab
"Aduuhh ... si Darwin brengsek! Kenapa main pergi aja, sih! Sialan!" Mulut Catherine tak berhenti menggerutu dan mengumpat Darwin yang pergi tanpa berpamitan dengannya lebih dulu. Perempuan tinggi itu berjalan mondar-mandir di pelataran rumah dengan raut tertekuk masam. Berbeda dengan Catherine yang uring-uringan, Mbok Nung dan Mbok Ratih justru terlihat khawatir dan cemas. Pasalnya, mereka merasa tidak becus menjaga Selena. Sebelumnya, Mbok Nung yang sedang berada di belakang rumah sempat mendengar suara teriakan mantan istri Darwin itu. Namun, saat kembali untuk memastikan, Mbok Nung kalah cepat dengan mobil Darwin yang sudah melesat dari pekarangan rumah. Kemunculan Catherine dari dalam rumah juga sempat membuat Mbok Nung bertanya-tanya dan terheran-heran. Akan tetapi, Mbok Ratih yang beberapa kali melihat Catherine lekas memberitahu. "Gimana ini, Mbok Ratih. Mana Non Selena gak bawa hape." Mbok Nung tak lepas menatap pagar rumah, berharap Selena muncul dari sana. Mbok Ratih m
Mobil Dev melaju cukup kencang, menerobos pekatnya malam yang tertutup kabut cukup tebal. Menelusuri jalanan sepi, yang hanya ada perkebunan teh di setiap sisi. Bermodal alat pelacak yang digunakan, Dev bisa dengan mudah menemukan titik letak mobil kantor yang digunakan Darwin untuk membawa pergi Selena. Sepertinya, anak lelakinya itu tidak sadar akan hal tersebut—jika mobil yang digunakan terdapat alat pelacak. "Sedikit lagi," gumam pria yang usianya hampir setengah abad itu, sesekali dia menghela napas kasar—sarat ketidaksabaran ingin memastikan sendiri keadaan Selena. Dari jarak beberapa meter, Dev telah berhasil menemukan mobil yang digunakan Darwin tengah terparkir. Menambah kecepatan mobilnya agar bisa lebih cepat mendekat, Dev tak mau membuang-buang waktu lagi. Menghentikan mobilnya tepat di belakang mobil warna hitam itu, Dev bergegas turun dengan raut geram dan telapak tangan mengepal kuat di sisi tubuh. "Tolong! Tolong!" Suara meminta tolong yang Dev yakini jika itu ad
"Enggak! Jangan! Jangan, Mas! Aku mohon ... Jangan!" Dev yang tak sengaja tertidur di sofa bed yang berada di kamar Selena sontak membuka mata ketika mendengar suara igauan gadis itu."Selena ..." Pria itu bergegas beranjak dari tempatnya, dan mendekati ranjang Selena. Dev menduduki tepi ranjang, lalu mencoba membangunkan Selena yang sepertinya tengah bermimpi. "Selena ..." Dia menepuk pelan pipi Selena yang terlihat gelisah dalam keadaan tertidur. "Bangun, Selena ..." Sepasang kelopak mata tertutup itu sontak terbuka lebar. Selena nampak terlihat linglung sesaat, menatap nanar langit-langit kamar. "Selena ...." Suara lembut Dev mengalihkan atensi Selena seketika. Selena menoleh dengan raut bingung. "Daddy ...?" Dalam hati, Dev bersyukur karena Selena masih baik-baik saja. "Kamu mimpi buruk?" tanyanya memastikan sambil mengusap jejak keringat dingin yang timbul di kening Selena menggunakan punggung tangan. Manik Selena mengerjap pelan, lalu mengangguk. "Hmm." Kejadian saat Darw
"Kopinya, Tuan." Secangkir kopi tanpa gula disodorkan Mbok Nung ke hadapan Dev yang pagi itu duduk di meja dapur. "Makasih, Mbok." Dev menyeret gagang cangkir kopinya, lalu bertanya, "Selena udah bangun, Mbok?" "Tadi waktu saya cek kamarnya, kayaknya udah, Tuan." Mbok Nung menata sarapan di atas nampan untuk dia bawa ke kamar Selena. Ada semangkuk salad buah dan roti bakar polos serta segelas susu hangat."Itu buat Selena, ya, Mbok?" Dev melirik isi nampan yang hendak dibawa Mbok Nung. "Iya, Tuan." Mbok Nung menyahut sambil mengambil wadah selai dari kitchen set. Selai kacang yang di-mix dengan selai cokelat. Dev memerhatikan kesibukan asisten rumahnya itu sambil menyeruput kopinya. "Mbok, nanti habis dari kamar Selena, saya minta tolong bersihkan barang-barang yang berhubungan dengan Monica. Termasuk bingkai foto pernikahan. Mbok bisa taruh itu di gudang," titah Dev, yang ingin menyingkirkan apa pun yang berhubungan dengan Monica—istrinya. Semalam saja dia sengaja tidak tidur d
"Loh, kenapa kamu udah pulang? Kamu gak kerja?" Monica terheran-heran melihat kedatangan Darwin ke rumahnya dengan tampang lesu, sementara dia baru saja hendak pergi. Darwin menghempas tubuhnya di sofa, kemudian melempar dua amplop warna cokelat ke meja. "Liat sendiri, Mam." "Itu apa?" tanya Monica seraya duduk di sebelah sang anak, lalu mengambil dua amplop cokelat itu. Monica melirik Darwin sekilas, kemudian membuka salah satu amplop. Terdengar embusan napas kasar dari samping, Darwin mengusap frustrasi wajahnya. Begitu cepat sang daddy bertindak di luar perkiraan, pikirnya. "Ini ... Surat peringatan dari pengadilan?" Kening Monica mengernyit dalam setelah mengetahui isi amplop, dan membacanya. "Ini kayaknya ada hubungan sama tindakan kamu semalem ke Selena, Darwin?" "Hmm." Darwin terlihat memejamkan mata sambil mengurut pangkal hidung. "Gak nyangka kalau Daddy bakal segitunya ngelindungin Selena," ujarnya. Mendengar itu Monica tak berani berkomentar banyak. Dia pun memilih me
Siang itu untuk kali pertama, Selena begitu intim dengan pria yang dahulu berstatus mertuanya. Meskipun detik ini keduanya dekat dalam konteks yang berbeda. Niat Dev murni hanya ingin menyenangkan hati gadis polos ini, setelah apa yang dialaminya semalam. Dari belakang seperti ini, Dev bisa dengan jelas menghirup aroma parfum Selena yang menenangkan. Perpaduan wangi buah sangat cocok untuk gadis berambut cokelat itu, dan mampu menarik Dev dalam khayalan sekejap. Rostam berjalan tenang sesuai arahan dari si penunggang. Membawa kedua orang yang berada di atas punggungnya melewati jalan berumput, dengan pemandangan kebun teh di setiap sisi. Tak ada yang berinisiatif membuka percakapan, baik Dev maupun Selena. Kecanggungan melingkupi kedua orang itu, serta sibuk dengan pikiran masing-masing. Tubuh Selena sedikit menegang karena punggungnya menempel begitu dekat dengan dada bidang Dev, bahkan dia bisa dengan jelas merasakan detak jantung pria itu. Sedangan Dev, mati-matian menahan untu