Beberapa jam sebelumnya~Kesal, karena Rania tak mengacuhkan panggilannya, Darwin menggeram putus asa. Hendak mengejar, tetapi perempuan yang kini terlihat sengaja menghindarinya, sudah lebih dulu berlari dan masuk ke ruangan Marvin, membuat Darwin mengurungkan niat tersebut. "Ck, oke! Sekarang aku udah tau watak asli kamu, Ran. Kamu memang cuma suka uangku. Brengsek!" Umpatan Darwin menggema di lorong kantor yang terlihat sepi. "Mending aku pulang!" Ide tersebut akhirnya tercetus di pikiran Darwin sebab dia muak dengan sikap Rania yang terang-terangan menghindar. Daripada dia mati kesal di kantor, akan lebih baik dia mencari ketenangan sejenak di luar. Darwin bergegas keluar dari kantor, menuju parkiran untuk mengambil mobilnya. Di pertengahan jalan dia mengingat nama seseorang yang belakangan ini jarang dia hubungi. Menepikan mobilnya di trotoar, Darwin pun lekas meraih ponsel dari saku kemeja, kemudian menghubungi seseorang. "Halo, Cath," sapa Darwin setelah panggilannya dijawab
"Aduuhh ... si Darwin brengsek! Kenapa main pergi aja, sih! Sialan!" Mulut Catherine tak berhenti menggerutu dan mengumpat Darwin yang pergi tanpa berpamitan dengannya lebih dulu. Perempuan tinggi itu berjalan mondar-mandir di pelataran rumah dengan raut tertekuk masam. Berbeda dengan Catherine yang uring-uringan, Mbok Nung dan Mbok Ratih justru terlihat khawatir dan cemas. Pasalnya, mereka merasa tidak becus menjaga Selena. Sebelumnya, Mbok Nung yang sedang berada di belakang rumah sempat mendengar suara teriakan mantan istri Darwin itu. Namun, saat kembali untuk memastikan, Mbok Nung kalah cepat dengan mobil Darwin yang sudah melesat dari pekarangan rumah. Kemunculan Catherine dari dalam rumah juga sempat membuat Mbok Nung bertanya-tanya dan terheran-heran. Akan tetapi, Mbok Ratih yang beberapa kali melihat Catherine lekas memberitahu. "Gimana ini, Mbok Ratih. Mana Non Selena gak bawa hape." Mbok Nung tak lepas menatap pagar rumah, berharap Selena muncul dari sana. Mbok Ratih m
Mobil Dev melaju cukup kencang, menerobos pekatnya malam yang tertutup kabut cukup tebal. Menelusuri jalanan sepi, yang hanya ada perkebunan teh di setiap sisi. Bermodal alat pelacak yang digunakan, Dev bisa dengan mudah menemukan titik letak mobil kantor yang digunakan Darwin untuk membawa pergi Selena. Sepertinya, anak lelakinya itu tidak sadar akan hal tersebut—jika mobil yang digunakan terdapat alat pelacak. "Sedikit lagi," gumam pria yang usianya hampir setengah abad itu, sesekali dia menghela napas kasar—sarat ketidaksabaran ingin memastikan sendiri keadaan Selena. Dari jarak beberapa meter, Dev telah berhasil menemukan mobil yang digunakan Darwin tengah terparkir. Menambah kecepatan mobilnya agar bisa lebih cepat mendekat, Dev tak mau membuang-buang waktu lagi. Menghentikan mobilnya tepat di belakang mobil warna hitam itu, Dev bergegas turun dengan raut geram dan telapak tangan mengepal kuat di sisi tubuh. "Tolong! Tolong!" Suara meminta tolong yang Dev yakini jika itu ad
"Enggak! Jangan! Jangan, Mas! Aku mohon ... Jangan!" Dev yang tak sengaja tertidur di sofa bed yang berada di kamar Selena sontak membuka mata ketika mendengar suara igauan gadis itu."Selena ..." Pria itu bergegas beranjak dari tempatnya, dan mendekati ranjang Selena. Dev menduduki tepi ranjang, lalu mencoba membangunkan Selena yang sepertinya tengah bermimpi. "Selena ..." Dia menepuk pelan pipi Selena yang terlihat gelisah dalam keadaan tertidur. "Bangun, Selena ..." Sepasang kelopak mata tertutup itu sontak terbuka lebar. Selena nampak terlihat linglung sesaat, menatap nanar langit-langit kamar. "Selena ...." Suara lembut Dev mengalihkan atensi Selena seketika. Selena menoleh dengan raut bingung. "Daddy ...?" Dalam hati, Dev bersyukur karena Selena masih baik-baik saja. "Kamu mimpi buruk?" tanyanya memastikan sambil mengusap jejak keringat dingin yang timbul di kening Selena menggunakan punggung tangan. Manik Selena mengerjap pelan, lalu mengangguk. "Hmm." Kejadian saat Darw
"Kopinya, Tuan." Secangkir kopi tanpa gula disodorkan Mbok Nung ke hadapan Dev yang pagi itu duduk di meja dapur. "Makasih, Mbok." Dev menyeret gagang cangkir kopinya, lalu bertanya, "Selena udah bangun, Mbok?" "Tadi waktu saya cek kamarnya, kayaknya udah, Tuan." Mbok Nung menata sarapan di atas nampan untuk dia bawa ke kamar Selena. Ada semangkuk salad buah dan roti bakar polos serta segelas susu hangat."Itu buat Selena, ya, Mbok?" Dev melirik isi nampan yang hendak dibawa Mbok Nung. "Iya, Tuan." Mbok Nung menyahut sambil mengambil wadah selai dari kitchen set. Selai kacang yang di-mix dengan selai cokelat. Dev memerhatikan kesibukan asisten rumahnya itu sambil menyeruput kopinya. "Mbok, nanti habis dari kamar Selena, saya minta tolong bersihkan barang-barang yang berhubungan dengan Monica. Termasuk bingkai foto pernikahan. Mbok bisa taruh itu di gudang," titah Dev, yang ingin menyingkirkan apa pun yang berhubungan dengan Monica—istrinya. Semalam saja dia sengaja tidak tidur d
"Loh, kenapa kamu udah pulang? Kamu gak kerja?" Monica terheran-heran melihat kedatangan Darwin ke rumahnya dengan tampang lesu, sementara dia baru saja hendak pergi. Darwin menghempas tubuhnya di sofa, kemudian melempar dua amplop warna cokelat ke meja. "Liat sendiri, Mam." "Itu apa?" tanya Monica seraya duduk di sebelah sang anak, lalu mengambil dua amplop cokelat itu. Monica melirik Darwin sekilas, kemudian membuka salah satu amplop. Terdengar embusan napas kasar dari samping, Darwin mengusap frustrasi wajahnya. Begitu cepat sang daddy bertindak di luar perkiraan, pikirnya. "Ini ... Surat peringatan dari pengadilan?" Kening Monica mengernyit dalam setelah mengetahui isi amplop, dan membacanya. "Ini kayaknya ada hubungan sama tindakan kamu semalem ke Selena, Darwin?" "Hmm." Darwin terlihat memejamkan mata sambil mengurut pangkal hidung. "Gak nyangka kalau Daddy bakal segitunya ngelindungin Selena," ujarnya. Mendengar itu Monica tak berani berkomentar banyak. Dia pun memilih me
Siang itu untuk kali pertama, Selena begitu intim dengan pria yang dahulu berstatus mertuanya. Meskipun detik ini keduanya dekat dalam konteks yang berbeda. Niat Dev murni hanya ingin menyenangkan hati gadis polos ini, setelah apa yang dialaminya semalam. Dari belakang seperti ini, Dev bisa dengan jelas menghirup aroma parfum Selena yang menenangkan. Perpaduan wangi buah sangat cocok untuk gadis berambut cokelat itu, dan mampu menarik Dev dalam khayalan sekejap. Rostam berjalan tenang sesuai arahan dari si penunggang. Membawa kedua orang yang berada di atas punggungnya melewati jalan berumput, dengan pemandangan kebun teh di setiap sisi. Tak ada yang berinisiatif membuka percakapan, baik Dev maupun Selena. Kecanggungan melingkupi kedua orang itu, serta sibuk dengan pikiran masing-masing. Tubuh Selena sedikit menegang karena punggungnya menempel begitu dekat dengan dada bidang Dev, bahkan dia bisa dengan jelas merasakan detak jantung pria itu. Sedangan Dev, mati-matian menahan untu
Beberapa saat sebelumnya ....Mobil kantor yang dikendarai Darwin siang itu berhenti di sebuah halaman rumah yang kemarin dia datangi bersama Catherine. Ya, pemuda dua puluh lima tahun itu memutuskan kembali ke tempat tersebut untuk memastikan dugaan-dugaan yang mengganggu pikiran. Terlebih ketika sebuah fakta yang baru dia sadari membuat rasa penasarannya kian berkobar. Darwin masuk ke rumah yang lagi-lagi nampak lengang seperti tak berpenghuni. 'Kalo Daddy ada di sini, kenapa aku gak liat mobilnya di depan?' Darwin membatin sambil terus melangkah menuju ke dalam rumah. Langkah pemuda itu berhenti di anak tangga paling bawah, kemudian mendongakkan kepala seraya menajamkan pendengaran. "Apa Selena ada di kamarnya?" gumam Darwin menebak-nebak. Karena tak mendapati mobil sang ayah terparkir di halaman rumah, Darwin mengira jika Dev sudah pergi dari sana. Dia pun berniat mendatangi kamar Selena untuk berbicara baik-baik. Namun baru dua langkah kakinya menapaki anak tangga, pendengara
Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan
Marvin mendorong kursi roda Dev sampai ke kamar. Beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di apartemen setelah melakukan perjalanan cukup jauh. "Akhirnya, habis ini kamu bisa tidur nyenyak," cicit Marvin menggoda sang sahabat. Marvin yang tahu betul—bagaimana kacaunya jadwal tidur Dev selama Selena pergi. Hari-hari Dev hanya diisi dengan mencari keberadaan sang istri, sampai-sampai tidak memerhatikan penampilan serta kesehatannya. Namun, setelah Selena ditemukan, tentu saja semua itu tidak akan terjadi lagi. Selena sudah ditemukan dan sudah mau kembali padanya. Mulai detik ini Dev akan mengisi hari-harinya bersama sang istri dan calon anaknya. "Aku bisa minta tolong, Vin?" tanya Dev, menatap Marvin dengan serius. "Apa?" "Tolong carikan satu lagi asisten rumah tangga buat bantuin mbok Nung. Soalnya nanti mbok Nung cuma aku minta ngurusin Selena," kata Dev. Niat itu sudah Dev pikirkan sejak dia tahu Selena hamil. Berhubung ada masalah tak terduga, dia jadi harus menundanya."
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at