Di balik jendela kamarnya yang sengaja dibuka, Dev berdiri termenung menatap kosong langit gelap tertutup kabut malam. Udara dingin yang terasa menusuk tulang tak dihiraukan olehnya. Pria itu tengah bergelut dengan pikirannya. Sesuatu yang baru telah diam-diam masuk dan mengusik ketenangan hatinya yang selama ini sengaja dia tutup rapat-rapat. Cinta—satu kata yang dulu sempat memberi warna pada kehidupan Dev. Membawanya pada tujuan-tujuan hidup yang lebih terarah. Mengajarkannya untuk setia dan menghargai pada suatu hubungan. Namun ... Karena cinta pula hidup Dev menjadi terasa pahit. Menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, perempuan yang dia cintai sepenuh hati tengah bergelung di atas ranjang dengan pria lain. Bahkan, satu fakta lain yang lebih menyakitkan menampar Dev kala itu. Putra satu-satunya yang Dev kasihi dan sayangi selama sepuluh tahun ternyata bukan berasal dari darah dagingnya. Darwin, yang dia kira merupakan dari garis keturunannya, rupanya hanya anak dari hasil h
"Hahahaha ... Serius Selena ngomong begitu?" Marvin tak dapat menahan tawa sewaktu Dev menceritakan kejadian malam itu. Malam di mana Dev melamar Selena, dan justru mendapat pertanyaan konyol dari sang mantan menantu. Ck! Rasa-rasanya Dev ingin sekali menyelupkan diri ke lautan es yang dingin dan membawa pergi serta rasa malunya. "Sialan! Terus aja kamu ngetawain." Dev berdecak dengan raut masam sebab Marvin seolah-olah bahagia di atas kemalangannya. "Habisnya ceritamu bikin aku gak bisa nahan ketawa, Dev. Bisa-bisanya lamaranmu malah ditanggepin sama pertanyaan konyol." Marvin menyeka sudut matanya yang berair karena terus saja tertawa. "Kamu jawabnya gimana?" Dev menghela seraya menggeleng sebal. "Aku yakinin dialah, Vin." Sepasang alis Marvin yang rapi menaut. "Terus?" "Dia gak langsung ngasih jawaban. Dia minta waktu berpikir," ujar Dev, sambil memainkan pena di meja kerjanya. "Jadi ada kesempatan diiyain, dong." Kedua bahu Dev naik bersamaan. "Entahlah." Semenjak dia men
Prang! "Brengsek!" Monica mengumpat sambil melempar gelas bekas pakainya meminum wine ke lantai, hingga pecah berserakan. Pecahan beling kaca berceceran di mini bar itu. "Kenapa harus Selena, Dev? Kenapa harus dia?" Perasaan tak terima dengan keputusan Dev yang ingin menikahi bekas menantunya, membuat Monica bertubi-tubi mengutuk pria itu. Kini, dia benar-benar tak lagi mempunyai hak atas Dev. Benar-benar tak ada lagi kesempatan untuk mengambil hatinya kembali. Andai Dev tidak mengancam atas nama Darwin, Monica tidak akan pernah sudi menandatangani surat perceraian tersebut. Andai dia bisa mengendalikan semuanya, kemungkinan besar Dev tidak akan berpaling darinya dan memilih Selena. "Kamu sudah memanfaatkan ketiberdayaanku, Dev. Kamu brengsek!" "Siapa yang brengsek, Mam?" Darwin yang tiba-tiba muncul terkejut melihat kekacauan di mini bar. Ditambah dengan keadaan maminya yang sedang mengumpat seseorang. Monica mendengkus, melirik putra satu-satunya yang baru saja kembali entah d
'Karena memang sejak lama pernikahan kami sudah rusak. Bahkan, sebelum kamu datang di keluarga kami.' Pernyataan tersebut tak berhenti terngiang di pikiran seorang gadis muda yang baru beberapa hari berstatus menjadi janda. Sang mertua yang dia kenal selama ini rupanya menyimpan sebuah rahasia rumah tangga yang cukup pelik. Selena menghela panjang, menatap pantulan dirinya di cermin sambil memikirkan—masalah apa yang sebenarnya menimpa rumah tangga Dev? "Rusak yang bagaimana maksud Daddy? Dan, kenapa selama ini mereka menutupi sedemikian rapat, sampai-sampai tidak ada orang luar yang bisa mengendus? Kayak aku gini. Setahun jadi menantu tapi aku gak tau seluk beluk keluarga suamiku. Aneh 'kan?" Ketidaktahuannya akan masalah rumah tangga sang mertua cukup membuat gadis bermanik kecokelatan itu terheran-heran. Setahun. Itu bukanlah waktu yang sebentar, bagi seseorang untuk mengenal lebih jauh sisi lain dari orang-orang terdekat. Namun, semua hal tersebut tak berlaku bagi Selena, yan
"Minum dulu." Dev meletakkan secangkir teh jahe madu hangat ke nakas, kemudian duduk di samping Selena yang sudah terlihat baik-baik saja. "Makasih, Dad," ucap Selena, tanpa mengalihkan pandangannya dari lantai kamarnya. Dev tahu jika saat ini gadis di sampingnya itu tengah berkutat dengan isi kepalanya. Pernyataannya beberapa saat lalu yang siap menikah pasti membebani pikiran Selena. "Selena," panggil Dev dengan sangat lembut. Dia lirik kedua tangan Selena yang saling menaut di atas pangkuan. Dev tersenyum, lalu memberanikan diri untuk memegang tangan mungil itu. "Bicarakan apa yang kamu pikirkan saat ini. Daddy siap mendengarkan," kata Dev. Pandangan Selena mulai beralih pada pria pengertian ini. Menatap sepasang manik hitam Dev yang begitu menenangkan serta penuh teka-teki. "Maaf, Daddy ...." Selena menjilat bibir, tak tahu harus mengatakan apa. Dia sendiri sempat tak percaya—jika dengan percaya dirinya mengiyakan ajakan menikah Dev. Padahal, ketika bicara seperti itu Selena
"Om, pliss ... izinin aku telepon Mami." Rengekan Darwin dari balik jeruji besi terdengar sangat-sangat menggelikan. Bagaimana mungkin seorang pemuda yang beberapa jam lalu sempat melakukan tindak kekerasan pada seorang gadis. Kini, nyaris terlihat seperti orang yang malang dan butuh dikasihani. Marvin meninggikan senyum sinisnya sekaligus tatapan mengejeknya. "Kamu memang gak pernah belajar, Darwin. Harusnya kamu itu sadar dan introspeksi diri sebelum menilai keburukan orang lain. Andai saja kamu mau menuruti semua perintah daddy-mu, mungkin hidupmu gak akan seperti sekarang ini." Usai menceramahi Darwin panjang lebar, Marvin merogoh saku jas, untuk mengambil ponselnya. "Om akan hubungi mamimu, biar dia bisa sekalian menyaksikan kebodohan anaknya yang satu ini," lanjut Marvin, menempelkan benda pipih di tangan ke telinga, setelah menemukan kontak Monica. "Harusnya Om juga ngasih tau Daddy. Sebagai temen deket, kenapa Om gak coba nasihatin dia. Kenapa dia gak berhenti belain Selen
Selesai dengan rutinitas dadakan yang tercetus tiba-tiba. Dari mulai pergi ke Butik membeli gaun pengantin, sampai melakukan tritmen khusus. Selanjutnya Dev membawa sang calon istri ke sebuah Restoran untuk makan malam. Ruang VIP Dev pesan untuknya dan Selena agar suasana makan mereka lebih intim tanpa gangguan dari siapapun. Menu yang dipilih pun sesuai keinginan Selena dan Dev memilih mengikutinya saja. Keduanya makan dengan tenang sesekali Dev memberikan perhatian-perhatian kecil pada sosok manis di hadapannya. Entah mengapa Selena terlihat semakin cantik setelah melakukan tritmen. Aura serta pesona gadis berkulit putih itu semakin terpancar. Sampai-sampai mata Dev enggan beralih pada yang lain. Baginya, memandang Selena merupakan hal yang tidak boleh terlewatkan. Meski demikian, yang menjadi objek pandang Dev, justru merasa kikuk. Selena nyaris tak bisa bergerak bebas sebab seolah-olah Dev terus memerhatikannya. "Apa Daddy gak capek dari tadi liatin Selena terus?" Pertanyaan i
"Non ..." Bi Nung masuk ke kamar Selena, setelah sang empunya membukakan pintu. Wanita paruh baya itu menyodorkan paper bag ke hadapan Selena.Manik Selena menyipit. "Ini apa, Mbok?" tanyanya, mengambil alih paper bag ke tangannya, kemudian memeriksa isinya. Dia melihat stelan baju tidur berbahan satin warna merah muda. "Baju tidur?" "Tuan Dev yang ngasih, Non." Mbok Nung nampak menahan senyum, jika mengingat besok adalah hari spesial bagi majikannya yang sudah lama tak merasakan kebahagiaan. "Daddy yang beliin?" Selena mengambil piyama tersebut. "Bagus. Ukurannya juga pas," cicitnya. "Tuan Dev yang milih sendiri," ucap Mbok Nung. "Dipake, Non." "Hmm. Pasti, Mbok." Selena mengangguk. "Mbok tunggu di sini dulu. Aku mau ganti baju dulu, bentar." Setelah mendapat anggukan dari Mbok Nung, Selena lantas bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengganti jubah mandi dengan piyama baru. Sementara Mbok Nung membereskan beberapa perlengkapan lainnya yang di kamar tersebut. Beberapa saat kemud