Bisa dikatakan jika saat sini ketegangan melingkupi Selena. Berjalan dengan didampingi Pak Farid yang ditunjuk sebagai pendamping membuat gadis berbalut gaun pengantin sederhana itu teringat akan sosok sang ayah. Pandangan Selena mengabur, tertutup cairan hangat yang sebisa mungkin dia tahan agar tidak meleleh. Kesedihan itu pun berganti keterkejutan ketika Selena melihat sang ibu dan saudari tirinya hadir. "Mama? Rania?" gumam Selena. Herlin dan Rania terlihat masam, bahkan rautnya cenderung tidak bersahabat. Apalagi Monica yang begitu sinis menatap mantan menantunya. "Mami?" Selena bergumam lirih, dan berusaha untuk tidak terpengaruh dengan tatapan mengintimidasi mantan mertuanya itu. 'Rileks Selena. Rileks.' Dalam hatinya, Selena meyakinkan diri untuk tidak merasa tegang serta gugup. Langkahnya pelan tetapi pasti. Tahu-tahu Selena sudah berada di hadapan Dev yang siang ini terlihat berbeda. Tampan dan memesona. "Ayo, Selena." Tangan Dev terulur ke hadapan sang calon istri. So
"Aku sudah melakukan keinginanmu, Dev. Aku harap, kamu gak lupa sama janjimu yang akan membebaskan Darwin," ucap Monica, pada mantan suaminya yang duduk di hadapannya. Dev melirik Marvin yang duduk bersebrangan meja dengannya. Memberikan kode jika dia sudah melaksanakan perintah sesuai atasannya itu. "Lusa kamu bisa jemput dia," jawab Dev. Monica pun seketika menghela lega dengan jawaban Dev. Akhirnya, dia bisa melihat putra semata wayangnya bebas. "Terimakasih." "Setelah ini, aku harap anakmu itu gak berulah lagi. Peringatkan dia, Monica." "Hmm, akan kuusahakan, Dev." "Sebaiknya, dia lebih menghargai Selena. Karena sekarang dia adalah istriku." Kata-kata yang terucap dari mulut Dev selanjutnya, cukup membuat raut Monica mengeras hingga mengepalkan tangannya kuat-kuat di bawah meja. Ternyata, rasanya sesakit ini melihat pria yang dulu begitu mencintainya, sudah memiliki pendamping hidup yang baru, pikir Monica. "Aku masih gak ngerti Dev, kenapa kamu nikahin Selena? Kenapa kamu
Seorang gadis yang baru saja resmi menjadi istri mantan mertuanya, kini terlihat tengah duduk bersandar dengan tidak tenang. Maniknya tak lepas menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat itu. Suara gemericik air terdengar jelas di telinganya. "Daddy masih mandi. Kalau ... aku tinggal tidur aja, kira-kira gimana, ya? Tapi ... aku takut nyinggung perasaan Daddy." Selena bergumam resah, menimbang-nimbang apa yang hendak dia lakukan detik ini. "Oh, ya ampun ...." desahnya frustrasi sambil meraup wajah. Bukannya dia mau pura-pura lupa atau tidak menganggap pernikahannya dengan Dev. Hanya saja, Selena masih butuh waktu untuk membiasakan diri dengan situasi yang terjadi baru-baru ini. Selena pun sadar akan kewajibannya sebagai seorang istri. Apalagi malam ini adalah malam pengantin mereka. "Aku harus gimana?" Dia memeluk lengannya sendiri sebab mendadak sekujur tubuhnya meremang, ketika kata-kata Dev terngiang di telinga. Menelan ludah rasanya susah payah untuk Selena. "Daddy itu laki
Pagi ini mungkin adalah pagi terindah dalam hidup Dev. Bisa menatap puas wajah cantik seorang gadis muda yang kini berstatus sebagai istrinya. Dalam tidur pun Selena terlihat sangat cantik bak malaikat. Polos dan lugu. Kali pertama setelah dia memutuskan tak akan lagi membuka hati untuk seorang wanita. Rasanya masih sulit dipercaya. Dev tidur seranjang dengan Selena. Perempuan yang mampu membangkitkan getaran di dalam dadanya. Perempuan yang berhasil mengetuk pintu hatinya. Bibir Dev sontak mengulum senyum, lalu tak bisa menahan diri untuk tidak menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajah Selena. Jarinya dengan sangat pelan menjumput supaya tidak menggangu kenyenyakan tidur sang istri. Namun, pergerakan pelan itu nyatanya membuat sang pemilik rambut merasa sedikit terusik. Selena menggeliat, membuka sepasang kelopak matanya perlahan-lahan. Samar-samar pandangannya melihat sosok yang menatapnya tanpa berkedip. Bola matanya sontak membulat saat menyadari jika itu adalah Dev. Gadi
Sudah hampir dua jam Selena bolak-balik ke balkon kamar inapnya hanya untuk sekadar membuang rasa bosan. Dia pun sudah berkali-kali mengecek ponsel di genggaman kalau-kalau Dev—suaminya mengirim pesan. "Kenapa Daddy gak balik-balik, ya?" gumam Selena sambil menatap layar ponselnya yang sedari tadi tidak menyala. "Apa aku susul aja, ya?" Daripada menunggu dengan tak sabar, gadis itu pun memutuskan untuk pergi menyusul sang suami. Selena membuka pintu kamar, dan tahu-tahu ada Mbok Nung yang berdiri entah sejak kapan."Loh, Mbok?" Manik Selena menyipit pada perempuan paruh baya yang selama ini sudah sangat baik padanya. Mbok Nung memasang senyum sungkan, menatap Selena dengan tatapan kagum. Gadis di hadapannya ini memang benar-benar sangat cantik. Terlebih, perilakunya juga sangat sopan dan baik. Pantas saja, Dev—sang majikan kecantol dan tanpa ragu langsung memperistri Selena. "Maaf, Non. Mbok disuruh Tuan ke sini buat nemenin Non Selena," ujar Mbok Nung. "Nemenin aku?" "Iya. Tuan
"Mam!" Darwin langsung menghambur memeluk Monica begitu keluar dari jeruji besi yang beberapa hari ini mengurungnya. "Darwin." Monica memeluk putra satu-satunya dengan penuh haru. "Kamu ... baik-baik aja'kan?" tanyanya, seraya mengurai pelukan. Tatapannya meneliti lekat-lekat, memastikan jika Darwin tidak mengalami suatu hal yang buruk di dalam sel yang sangat bau itu. "Aku baik-baik aja, Mam," ucap Darwin. "Bener? Gak ada yang jahatin kamu 'kan di dalem situ?" Sekilas Monica melarikan pandangan pada empat orang penghuni tahanan yang satu sel dengan Darwin. Ke empat orang tersebut memberi tatapan aneh padanya. 'Menjijikan!' batin Monica bergidik geli. "Hmm, Mam." Darwin menengok sekilas ke balik punggung sang ibu. "Mami ke sini sama siapa?" tanyanya."Mami ke sini sama Marvin." Hidung Monica mengendus aroma tidak sedap yang melekat di pakaian Darwin. "Kamu gak mandi berapa hari, sih? Ayo, kita ke hotel. Abis itu langsung mandi." Reflek Darwin mengangkat kedua lengannya, lalu meng
Mood yang semula baik-baik saja seketika berubah menjadi sangat buruk karena pertemuannya dengan sang mantan suami. Meski Selena sudah berusaha abai dengan kata-kata pedas yang bermakna sindiran dari Darwin. 'Selamat, ya, udah berhasil menjadi nyonya Dev. Semoga kebahagiaan yang kamu dapet dari hasil merebut bisa bertahan lama.' Kenyataannya, dia tak pernah merebut siapa pun. Dev-lah yang melamarnya secara tiba-tiba. Dev-lah yang memintanya untuk menjadi pendamping. Apa semua itu salahnya? "Kenapa orang itu seenaknya kalo ngomong. Bener-bener ngeselin!" Selena bergumam di dalam mobil, dan tentunya seketika menarik perhatian Dev yang duduk di sampingnya. "Kamu ngomong apa, Selena?" tanya Dev, mengalihkan pandangannya sejenak dari layar Macbook. Selena menoleh. "Ah, enggak ngomong apa-apa, kok, Dad." Dia berkilah, tetapi Dev tahu jika istri mudanya ini sedang dilanda kesal. Dev meletakkan benda persegi di tangan ke sisinya, kemudian menghadap Selena. Pria itu lalu menebak, "Kamu .
Apartemen yang biasa hanya dihuni seorang diri, kini nampak berbeda karena hadirnya penghuni baru. Suasana pun menjadi lebih hangat ketika sepasang pengantin baru itu duduk bersama di satu meja sambil menikmati hidangan santapan malam.Momen ini sangat Dev rindukan setelah sekian lama hidup menyendiri tanpa pendamping. Apalagi dia ditemani oleh istri yang masih sangat muda dan cantik. "Gimana hari ini? Apa sudah sesuai keinginanmu?" tanya Dev membuka obrolan setelah menghabiskan satu porsi menu buatan Selena yang cukup lezat. Salmon grill dengan siraman saus jamur. Selena tersenyum seraya mengangguk. Dia menjawab, "Hmm. Selena rasanya puas banget, Dad. Apalagi waktu liat Rania kepayahan bawain barang belanjaan aku." Dia menusuk potongan salmon menggunakan garpu, lalu memasukkannya ke mulut. Senyum yang terukir cukup mewakili moodnya hari ini setelah seharian mengerjai kakak tirinya. "Baguslah kalau kamu senang," ujar Dev, meraih gelas air lalu meminumnya. Saat Selena meminta izin
Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan
Marvin mendorong kursi roda Dev sampai ke kamar. Beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di apartemen setelah melakukan perjalanan cukup jauh. "Akhirnya, habis ini kamu bisa tidur nyenyak," cicit Marvin menggoda sang sahabat. Marvin yang tahu betul—bagaimana kacaunya jadwal tidur Dev selama Selena pergi. Hari-hari Dev hanya diisi dengan mencari keberadaan sang istri, sampai-sampai tidak memerhatikan penampilan serta kesehatannya. Namun, setelah Selena ditemukan, tentu saja semua itu tidak akan terjadi lagi. Selena sudah ditemukan dan sudah mau kembali padanya. Mulai detik ini Dev akan mengisi hari-harinya bersama sang istri dan calon anaknya. "Aku bisa minta tolong, Vin?" tanya Dev, menatap Marvin dengan serius. "Apa?" "Tolong carikan satu lagi asisten rumah tangga buat bantuin mbok Nung. Soalnya nanti mbok Nung cuma aku minta ngurusin Selena," kata Dev. Niat itu sudah Dev pikirkan sejak dia tahu Selena hamil. Berhubung ada masalah tak terduga, dia jadi harus menundanya."
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at