"Mam!" Darwin langsung menghambur memeluk Monica begitu keluar dari jeruji besi yang beberapa hari ini mengurungnya. "Darwin." Monica memeluk putra satu-satunya dengan penuh haru. "Kamu ... baik-baik aja'kan?" tanyanya, seraya mengurai pelukan. Tatapannya meneliti lekat-lekat, memastikan jika Darwin tidak mengalami suatu hal yang buruk di dalam sel yang sangat bau itu. "Aku baik-baik aja, Mam," ucap Darwin. "Bener? Gak ada yang jahatin kamu 'kan di dalem situ?" Sekilas Monica melarikan pandangan pada empat orang penghuni tahanan yang satu sel dengan Darwin. Ke empat orang tersebut memberi tatapan aneh padanya. 'Menjijikan!' batin Monica bergidik geli. "Hmm, Mam." Darwin menengok sekilas ke balik punggung sang ibu. "Mami ke sini sama siapa?" tanyanya."Mami ke sini sama Marvin." Hidung Monica mengendus aroma tidak sedap yang melekat di pakaian Darwin. "Kamu gak mandi berapa hari, sih? Ayo, kita ke hotel. Abis itu langsung mandi." Reflek Darwin mengangkat kedua lengannya, lalu meng
Mood yang semula baik-baik saja seketika berubah menjadi sangat buruk karena pertemuannya dengan sang mantan suami. Meski Selena sudah berusaha abai dengan kata-kata pedas yang bermakna sindiran dari Darwin. 'Selamat, ya, udah berhasil menjadi nyonya Dev. Semoga kebahagiaan yang kamu dapet dari hasil merebut bisa bertahan lama.' Kenyataannya, dia tak pernah merebut siapa pun. Dev-lah yang melamarnya secara tiba-tiba. Dev-lah yang memintanya untuk menjadi pendamping. Apa semua itu salahnya? "Kenapa orang itu seenaknya kalo ngomong. Bener-bener ngeselin!" Selena bergumam di dalam mobil, dan tentunya seketika menarik perhatian Dev yang duduk di sampingnya. "Kamu ngomong apa, Selena?" tanya Dev, mengalihkan pandangannya sejenak dari layar Macbook. Selena menoleh. "Ah, enggak ngomong apa-apa, kok, Dad." Dia berkilah, tetapi Dev tahu jika istri mudanya ini sedang dilanda kesal. Dev meletakkan benda persegi di tangan ke sisinya, kemudian menghadap Selena. Pria itu lalu menebak, "Kamu .
Apartemen yang biasa hanya dihuni seorang diri, kini nampak berbeda karena hadirnya penghuni baru. Suasana pun menjadi lebih hangat ketika sepasang pengantin baru itu duduk bersama di satu meja sambil menikmati hidangan santapan malam.Momen ini sangat Dev rindukan setelah sekian lama hidup menyendiri tanpa pendamping. Apalagi dia ditemani oleh istri yang masih sangat muda dan cantik. "Gimana hari ini? Apa sudah sesuai keinginanmu?" tanya Dev membuka obrolan setelah menghabiskan satu porsi menu buatan Selena yang cukup lezat. Salmon grill dengan siraman saus jamur. Selena tersenyum seraya mengangguk. Dia menjawab, "Hmm. Selena rasanya puas banget, Dad. Apalagi waktu liat Rania kepayahan bawain barang belanjaan aku." Dia menusuk potongan salmon menggunakan garpu, lalu memasukkannya ke mulut. Senyum yang terukir cukup mewakili moodnya hari ini setelah seharian mengerjai kakak tirinya. "Baguslah kalau kamu senang," ujar Dev, meraih gelas air lalu meminumnya. Saat Selena meminta izin
"Kamu gugup?" Dev menggenggam tangan Selena begitu erat, hingga darah gadis itu turut berdesir hangat. Keduanya baru saja tiba di sebuah hotel bintang satu yang ada di ibu kota. Berjalan memasuki lobby yang terlihat begitu ramai. Selena mendongak, menatap sang suami yang malam ini terlihat makin memesona. Balutan jas hitam serta tatanan rambut yang selalu tampil rapi, mampu menutupi usia Dev yang terbilang tak lagi muda. "Sedikit, Dad," jawab Selena, meringis kikuk, dan sontak mengundang tawa Dev. "Gak usah takut. Daddy gak akan macem-macemin kamu. Kita ke sini cuma mau makan malam. Sama ...." Ucapan Dev terjeda seraya memelankan langkah saat tiba di depan meja resepsionis. "Sama a—" "Selamat malam Pak Dev." Sambutan dari resepsionis membuat Selena urung melanjutkan pertanyaan berbalut rasa penasaran. Dari name-tag yang tertera nama 'Irene'. Dev tersenyum kepada Irene. "Malam, Ren." Tangan Dev berpindah melingkar ke pinggang ramping sang istri. Irene melirik sekilas ke arah Selen
Darwin berdecih. "Elu tanya mau gue apa? Setelah elu buang gue gitu aja kayak sampah, elu masih tanya mau gue apa, Ran?"Rania memicing tak percaya dengan cara Darwin memanggilnya. Namun, saat ini dia sudah tidak peduli pada pria kere ini. Ya, kere. Rania pikir jika sekarang mantan suami adik tirinya ini hanyalah seorang pria miskin meski berstatus sebagai anak dari Dev Atalarich. "Ck, keputusan aku ninggalin kamu itu ternyata udah tepat. Kamu ini udah gak bisa diandelin, Darwin. Jadi, mulai sekarang udah jelas 'kan? Kamu gak usah berharap sama hubungan kita. Mulai hari ini kita se-le-sai!" Rania mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menunjukkan jika dia benar-benar tak lagi membutuhkan laki-laki tak berguna seperti Darwin. Sementara Darwin tengah menahan diri untuk tidak melampiaskan kemarahannya di depan umum. Sadar bila saat ini dia tengah berada di hotel milik daddy-nya. Jangan sampai, masalahnya dengan perempuan ular satu ini membuat sang daddy kembali murka padanya. "Gue juga ber
"Om?" Rania terpaksa menegur si Om yang sedari tadi hanya diam saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sejak menduduki kursi. Entah sedang memikirkan apa pria itu. Si pria tersebut menatap Rania. "Kamu boleh pesan apa aja, Ran," ucapnya setelah berhasil menguasai diri dari keterkejutan. Namun, sudut matanya tak lepas tertuju pada Dev. Mendapat izin dari sang lelaki yang akan menjadi partner ranjangnya, Rania pun lekas memesan beberapa aneka menu favorit dan tentunya paling mahal yang ada di hotel ini. Kesempatan bisa makan enak dan gratis tidak mungkin dia lewatkan begitu saja. "Siap, Om. Aku pesen yang enak-enak," ucap Rania dengan senyum riang, seraya mengambil alih buku menu dari tangan pelayan yang berdiri di samping meja. Sementara Rania sibuk memilah menu, si Om kembali memerhatikan Dev dari tempatnya. Dia membatin, 'Kenapa sangat kebetulan dia ada di sini.' Terhitung sejak lima belas tahun yang lalu dia tidak pernah lagi bertemu dengan mantan sahabatnya itu. ck! Rupa-rupa
Tring!Pintu lift terbuka, Dev dan Marvin bergegas keluar dari ruang berjalan itu. Keduanya melangkah beriringan. Marvin menenteng jas yang dilepas oleh Dev sejak di restoran. "Gimana, Dev? Apa masih ngerasa aneh?" tanya Marvin, yang sejak tadi tak berhenti mengawasi perubahan sang sahabat. Bagaimana mungkin Dev yang sudah terbiasa mengonsumsi anggur tiba-tiba alergi terhadap minuman tersebut? Bukankah itu sama sekali tidak masuk akal?Dev pun bingung dengan reaksi yang terjadi pada tubuhnya. "Masih, Vin. Malah makin aneh aja. Badanku panas semua. Dan ..." Langkah Dev berhenti tiba-tiba, sejenak mengawasi sekitarnya. Kalau-kalau ada seseorang yang mendengar pembicaraannya. Marvin pun terpaksa ikut berhenti. Menatap awas Dev yang sepertinya hendak bicara hal yang sangat pribadi. "Ada apa, Dev? Kamu jangan bikin aku penasaran." Jas di tangan, Marvin sampirkan ke pundak, sambil menunggu Dev yang entah akan bicara apa. "Hmm .. begini, Vin." Tengkuk yang terasa meremang, Dev usap berula
Setahu Selena—obat perangsang itu bisa membuat orang yang mengonsumsinya kehilangan kendali diri. Bisa dikatakan orang tersebut akan menjadi liar di luar batas. Namun, nampaknya itu tidak berlaku pada Dev—suaminya. Buktinya, Dev tetap tenang serta tidak berperilaku kurang ajar. Akan tetapi, meskipun Dev terlihat tenang, Selena bisa merasakan tatapan penuh damba dari sepasang manik kelam itu. Lalu, embusan napas yang terdengar begitu memburu serta genggaman tangan yang kian erat. "Kamu takut, Selena?" Dev menyimpulkan jika saat ini sang istri tengah takut padanya, sebab itu Selena tak bergeming sedari tadi. "Emm ... Selena ..." Gadis itu ingin mengelak tebakan Dev, tetapi dari tatapan matanya tidak bisa berbohong, bila detik ini dia memang tengah takut. Dev pun lekas menyadari, lantas melepas perlahan telapak tangan sang istri yang sudah berkeringat. "Maaf, Daddy gak bermaksud bikin kamu takut," ucap Dev. Perasaan Selena pun menjadi campur aduk sekarang. Merasa jika sikapnya terla
Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan
Marvin mendorong kursi roda Dev sampai ke kamar. Beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di apartemen setelah melakukan perjalanan cukup jauh. "Akhirnya, habis ini kamu bisa tidur nyenyak," cicit Marvin menggoda sang sahabat. Marvin yang tahu betul—bagaimana kacaunya jadwal tidur Dev selama Selena pergi. Hari-hari Dev hanya diisi dengan mencari keberadaan sang istri, sampai-sampai tidak memerhatikan penampilan serta kesehatannya. Namun, setelah Selena ditemukan, tentu saja semua itu tidak akan terjadi lagi. Selena sudah ditemukan dan sudah mau kembali padanya. Mulai detik ini Dev akan mengisi hari-harinya bersama sang istri dan calon anaknya. "Aku bisa minta tolong, Vin?" tanya Dev, menatap Marvin dengan serius. "Apa?" "Tolong carikan satu lagi asisten rumah tangga buat bantuin mbok Nung. Soalnya nanti mbok Nung cuma aku minta ngurusin Selena," kata Dev. Niat itu sudah Dev pikirkan sejak dia tahu Selena hamil. Berhubung ada masalah tak terduga, dia jadi harus menundanya."
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at