"Om?" Rania terpaksa menegur si Om yang sedari tadi hanya diam saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sejak menduduki kursi. Entah sedang memikirkan apa pria itu. Si pria tersebut menatap Rania. "Kamu boleh pesan apa aja, Ran," ucapnya setelah berhasil menguasai diri dari keterkejutan. Namun, sudut matanya tak lepas tertuju pada Dev. Mendapat izin dari sang lelaki yang akan menjadi partner ranjangnya, Rania pun lekas memesan beberapa aneka menu favorit dan tentunya paling mahal yang ada di hotel ini. Kesempatan bisa makan enak dan gratis tidak mungkin dia lewatkan begitu saja. "Siap, Om. Aku pesen yang enak-enak," ucap Rania dengan senyum riang, seraya mengambil alih buku menu dari tangan pelayan yang berdiri di samping meja. Sementara Rania sibuk memilah menu, si Om kembali memerhatikan Dev dari tempatnya. Dia membatin, 'Kenapa sangat kebetulan dia ada di sini.' Terhitung sejak lima belas tahun yang lalu dia tidak pernah lagi bertemu dengan mantan sahabatnya itu. ck! Rupa-rupa
Tring!Pintu lift terbuka, Dev dan Marvin bergegas keluar dari ruang berjalan itu. Keduanya melangkah beriringan. Marvin menenteng jas yang dilepas oleh Dev sejak di restoran. "Gimana, Dev? Apa masih ngerasa aneh?" tanya Marvin, yang sejak tadi tak berhenti mengawasi perubahan sang sahabat. Bagaimana mungkin Dev yang sudah terbiasa mengonsumsi anggur tiba-tiba alergi terhadap minuman tersebut? Bukankah itu sama sekali tidak masuk akal?Dev pun bingung dengan reaksi yang terjadi pada tubuhnya. "Masih, Vin. Malah makin aneh aja. Badanku panas semua. Dan ..." Langkah Dev berhenti tiba-tiba, sejenak mengawasi sekitarnya. Kalau-kalau ada seseorang yang mendengar pembicaraannya. Marvin pun terpaksa ikut berhenti. Menatap awas Dev yang sepertinya hendak bicara hal yang sangat pribadi. "Ada apa, Dev? Kamu jangan bikin aku penasaran." Jas di tangan, Marvin sampirkan ke pundak, sambil menunggu Dev yang entah akan bicara apa. "Hmm .. begini, Vin." Tengkuk yang terasa meremang, Dev usap berula
Setahu Selena—obat perangsang itu bisa membuat orang yang mengonsumsinya kehilangan kendali diri. Bisa dikatakan orang tersebut akan menjadi liar di luar batas. Namun, nampaknya itu tidak berlaku pada Dev—suaminya. Buktinya, Dev tetap tenang serta tidak berperilaku kurang ajar. Akan tetapi, meskipun Dev terlihat tenang, Selena bisa merasakan tatapan penuh damba dari sepasang manik kelam itu. Lalu, embusan napas yang terdengar begitu memburu serta genggaman tangan yang kian erat. "Kamu takut, Selena?" Dev menyimpulkan jika saat ini sang istri tengah takut padanya, sebab itu Selena tak bergeming sedari tadi. "Emm ... Selena ..." Gadis itu ingin mengelak tebakan Dev, tetapi dari tatapan matanya tidak bisa berbohong, bila detik ini dia memang tengah takut. Dev pun lekas menyadari, lantas melepas perlahan telapak tangan sang istri yang sudah berkeringat. "Maaf, Daddy gak bermaksud bikin kamu takut," ucap Dev. Perasaan Selena pun menjadi campur aduk sekarang. Merasa jika sikapnya terla
"Kamu kenapa ke sini? Bukannya harusnya kamu sama Dev di kamar?" Pertanyaan menuntut itu terlontar dari mulut Lexy saat mendapati Rania sudah berdiri di depan pintu kamar inapnya. Pria itu terkesan tak suka dengan kemunculan perempuan yang dimintanya untuk menjebak Dev. "Ma-maaf, Om. Rania gak berani deketin Pak Dev. Soalnya tadi Pak Dev sama Pak Marvin." Rania tak berani menatap lawan bicaranya yang saat ini menatapnya kesal. Pandangannya tertuju ke high heels yang dikenakan, sambil meremas kedua tangannya di depan dress. Keputusannya urung mendekati Dev disebabkan karena adanya Marvin. Rania tidak berani mengambil risiko, apalagi dia masih bekerja di perusahaan Dev dan masih membutuhkan uang untuk membiayai kebutuhannya. Jika dia sampai nekad melakukannya, maka pekerjaannyalah yang akan menjadi taruhannya. Marvin pun otomatis tidak akan tinggal diam begitu saja. "Marvin. Rupanya orang itu juga masih setia dengan Dev." Lexy nampak bergumam, mengingat-ingat sosok Marvin yang dulu j
Menjelang pagi Dev terbangun lebih dulu, dan langsung tersenyum saat mendapati Selena tertidur dalam pelukannya. Tentu saja hal tersebut menjadi momen paling indah dalam hidup seorang Dev, yang sudah sejak lama tak merasakan hangatnya hubungan suami istri. Dev pun berinisiatif memberi kecupan mesra di kening sang istri, yang semalam telah memberinya sesuatu, yang sudah cukup lama tak pernah dia dapatkan. Percintaan yang begitu panas, dan tak kan pernah terlupakan. Rupanya, satu kecupan di kening dirasa belum cukup bagi Dev. Apakah dosa mencuri ciuman dari bibir istri sendiri? Dev merutuk dirinya sendiri dalam hati karena mendadak berubah menjadi pria serakah. 'Ck, aku tidak peduli.' Batinnya menyeru tak acuh akan sikap tak sopannya. Katakan, jika saat ini dia benar-benar semakin tergila-gila dengan istri mudanya. Benda terbelah, nan kenyal serta berwarna pink alami milik Selena adalah hal yang sama sekali tidak boleh dilewatkan. Maka, tanpa sungkan bibir Dev memagut benda kenyal it
Kendaraan roda empat milik Dev telah terparkir sempurna di area pemakaman umum. Pria empat puluh lima tahun itu bergegas turun dan mengitari badan mobil, lalu membukakan pintu untuk Selena. "Ayo turun." Telapak tangan kanan Dev terulur, dan Selena lekas menyambutnya sambil tersenyum."Makasih." Perhatian kecil sang suami selalu membuat Selena merasa diperhatikan dan dilindungi.Keduanya lantas berjalan bersama dengan bergandengan tangan. Di tangan kiri Dev memegang buket mawar putih yang dibelinya saat perjalanan menuju ke tempat ini. "Tempat ini adalah tempat pertama kali daddy ketemu kamu, Selena." Ingatan Dev kembali pada pertemuan pertamanya dengan Selena setahun lalu. Kala itu Dev tidak tega melihat Selena yang amat sangat sedih karena kehilangan papanya. Selena menoleh, sedikit mendongak agar bisa menatap Dev yang begitu posesif menggandengnya. "Daddy masih inget rupanya," ujarnya, dan kembali menatap lurus pada jalanan yang agak sedikit menanjak. Sedikit lagi dia tiba di mak
Suara dentingan sendok saling bersahutan sebab kini Dev dan Selena tengah menikmati makan siang di meja itu. Tak ada obrolan diantara keduanya. Sambil menyendok, sudut mata Selena terus memerhatikan suaminya yang duduk berhadapan dengannya. 'Coba tadi Daddy gak keburu dateng, pasti Mbok Nung udah ngasih tau aku—siapa orang yang udah bikin Daddy terluka parah.' Benak Selena tak berhenti menyeru. Ada sesuatu yang masih mengganjal hatinya saat ini. Dia hampir mendapat informasi mengenai orang yang telah tega menusuk dan menembak Dev dari mulut Mbok Nung. Akan tetapi, sayangnya Dev keburu muncul di dapur, dan membuat rasa penasaran Selena makin menggebu. 'Apa jangan-jangan tadi Daddy denger, makanya langsung muncul.' Raut gadis itu berubah pucat, karena cemas. "Ekhm!" Suara berdeham Dev cukup mengagetkan sang istri yang tengah berkutat dengan isi kepalanya. "Kalau makan gak boleh sambil ngelamun," cicitnya pelan, sambil meneguk air minum. Cicitan Dev yang bernada memperingatkan sonta
"Duduk, Dev." Marvin mempersilakan Dev yang baru saja tiba untuk duduk di satu meja yang sama dengannya."Udah lama?" Dev menduduki kursi yang disediakan oleh pelayan laki-laki di Restoran tersebut. Perhatiannya tertuju pada suasana di sekitar yang cukup lengang. Dari rumah dia langsung menuju ke tempat ini. "Lumayan, sih." Marvin membuka buku menu yang tersedia di hadapan. "Mau pesen apa?" tanyanya sambil melihat-lihat daftar menu yang terbilang dia hapal. "Aku espresso aja," sahut Dev. Pandangan Marvin beralih sekilas ke arah Dev. "Makanannya?" "Aku udah makan tadi di rumah." Punggung Dev bersandar ke kursi. Menautkan kedua tangannya ke atas perut sambil tak lepas memerhatikan Marvin. Seharusnya hari ini adalah hari libur yang menyenangkan bagi Dev. Namun, karena ada hal penting yang cukup mendesak, mau tak mau dia mengesampingkan kesenangannya untuk sekejap. Sepasang alis Marvin menaut seraya menatap lamat-lamat Dev. "Oke." Kemudian menutup buku menu, lalu mengembalikannya pad