Bintangnya belum nyala😌 Nyok sedekah rate dan vote-nya 🙈
Kendaraan roda empat milik Dev telah terparkir sempurna di area pemakaman umum. Pria empat puluh lima tahun itu bergegas turun dan mengitari badan mobil, lalu membukakan pintu untuk Selena. "Ayo turun." Telapak tangan kanan Dev terulur, dan Selena lekas menyambutnya sambil tersenyum."Makasih." Perhatian kecil sang suami selalu membuat Selena merasa diperhatikan dan dilindungi.Keduanya lantas berjalan bersama dengan bergandengan tangan. Di tangan kiri Dev memegang buket mawar putih yang dibelinya saat perjalanan menuju ke tempat ini. "Tempat ini adalah tempat pertama kali daddy ketemu kamu, Selena." Ingatan Dev kembali pada pertemuan pertamanya dengan Selena setahun lalu. Kala itu Dev tidak tega melihat Selena yang amat sangat sedih karena kehilangan papanya. Selena menoleh, sedikit mendongak agar bisa menatap Dev yang begitu posesif menggandengnya. "Daddy masih inget rupanya," ujarnya, dan kembali menatap lurus pada jalanan yang agak sedikit menanjak. Sedikit lagi dia tiba di mak
Suara dentingan sendok saling bersahutan sebab kini Dev dan Selena tengah menikmati makan siang di meja itu. Tak ada obrolan diantara keduanya. Sambil menyendok, sudut mata Selena terus memerhatikan suaminya yang duduk berhadapan dengannya. 'Coba tadi Daddy gak keburu dateng, pasti Mbok Nung udah ngasih tau aku—siapa orang yang udah bikin Daddy terluka parah.' Benak Selena tak berhenti menyeru. Ada sesuatu yang masih mengganjal hatinya saat ini. Dia hampir mendapat informasi mengenai orang yang telah tega menusuk dan menembak Dev dari mulut Mbok Nung. Akan tetapi, sayangnya Dev keburu muncul di dapur, dan membuat rasa penasaran Selena makin menggebu. 'Apa jangan-jangan tadi Daddy denger, makanya langsung muncul.' Raut gadis itu berubah pucat, karena cemas. "Ekhm!" Suara berdeham Dev cukup mengagetkan sang istri yang tengah berkutat dengan isi kepalanya. "Kalau makan gak boleh sambil ngelamun," cicitnya pelan, sambil meneguk air minum. Cicitan Dev yang bernada memperingatkan sonta
"Duduk, Dev." Marvin mempersilakan Dev yang baru saja tiba untuk duduk di satu meja yang sama dengannya."Udah lama?" Dev menduduki kursi yang disediakan oleh pelayan laki-laki di Restoran tersebut. Perhatiannya tertuju pada suasana di sekitar yang cukup lengang. Dari rumah dia langsung menuju ke tempat ini. "Lumayan, sih." Marvin membuka buku menu yang tersedia di hadapan. "Mau pesen apa?" tanyanya sambil melihat-lihat daftar menu yang terbilang dia hapal. "Aku espresso aja," sahut Dev. Pandangan Marvin beralih sekilas ke arah Dev. "Makanannya?" "Aku udah makan tadi di rumah." Punggung Dev bersandar ke kursi. Menautkan kedua tangannya ke atas perut sambil tak lepas memerhatikan Marvin. Seharusnya hari ini adalah hari libur yang menyenangkan bagi Dev. Namun, karena ada hal penting yang cukup mendesak, mau tak mau dia mengesampingkan kesenangannya untuk sekejap. Sepasang alis Marvin menaut seraya menatap lamat-lamat Dev. "Oke." Kemudian menutup buku menu, lalu mengembalikannya pad
Dev kembali ke apartemen sekitar pukul empat sore, karena dia sudah ingin sekali bertemu dengan istrinya. Ah, ini konyol sekali. Padahal baru beberapa jam dia pergi, tetapi hatinya sudah sangat merindukan Selena. Langkahnya pun dipercepat, menyusuri setiap lorong gedung, masuk ke dalam lift, lalu keluar. Hingga dia tiba di depan pintu unitnya. Senyum di bibirnya tak pernah surut, sampai dia berhasil menekan kode akses kemudian masuk ke unit. "Daddy udah pulang?" Selena bergegas menghampiri suaminya, yang baru saja tiba dan masih berdiri di depan pintu.Gadis itu berpenampilan sederhana tetapi mampu menarik perhatian Dev. Dress rumahan dengan warna cerah, melekat sempurna di badannya yang berukuran mungil. Rambut panjangnya tergerai bebas dan masih setengah basah. Dev mengulas senyum seraya mengangguk. Memerhatikan Selena yang selalu begitu antusias menyambutnya. Ya, ini sesuai dengan keinginannya dahulu kala. Menjalani pernikahan dengan perempuan yang dia cintai serta mendapat cura
"Kamu sudah melakukan apa yang aku suruh, Jo?" Pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Lexy, ketika asisten pribadi sekaligus merangkap sebagai sopir bernama 'Jo' itu masuk ke ruangannya. "Sudah, Pak." Jo menjawab tegas disertai dengan anggukan. Perintah Lexy adalah hal yang tidak boleh diabaikan. "Saya sudah membayar seseorang untuk mengintai Nyonya Monica," lanjut Jo, masih berdiri kokoh di depan meja kerja majikannya. Alis kiri Lexy menukik. "Lalu? Informasi apa yang bisa saya dengar?" tanyanya sambil mengetuk-ngetuk tepi meja dengan telunjuk. "saya berharap kamu tidak membuang-buang uang untuk info yang tidak penting." Karena bagi Lexy informasi mengenai Monica sangat penting. Saat dia baru menginjakkan kaki di ibukota, pikirannya sudah tertuju pada perempuan itu. Nama yang masih tertanam di benak hingga detik ini. Monica—mantan selingkuhan sekaligus istri sahabatnya—Dev. "Nyonya Monica masih tinggal di kediamannya yang lama, Pak. Dan ... Dia sudah tidak tinggal dengan suamin
"Ini ... Kenapa kita ke sini, Dad?" Selena menoleh ke sang suami yang baru saja mematikan mesin mobil. Raut kebingungan yang ditunjukkan membuat Dev merasa gemas. Bagaimana Selena tidak bingung? Jika Dev membawanya ke rumah sang papa yang sudah diambil hak miliknya secara curang. "Kenapa? Kamu gak suka kita ke rumah ini?" Dev membuka sabuk pengaman, masih berpura-pura tidak tahu apa-apa. "Ayo turun," ajaknya dengan nada bicara lembut.Ajakan Dev disambut dengan deheman oleh Selena. "A-aku gak mau. Aku lagi gak mau ketemu Mama," tolak Selena, dengan raut enggan. "kalo Daddy mau turun, silakan. Aku nunggu di sini aja," lanjutnya, memilih menghadap ke depan—mengabaikan suaminya yang tengah menatapnya keheranan. "Kamu yakin gak mau ikut turun?" Dev menahan senyum dengan sikap Selena yang dia rasa sedang kesal dan marah. "Coba kamu liat ke sana," tunjuknya, mengarah kepada sosok yang tengah tergopoh-gopoh menghampiri. Mau tak mau Selena mengikuti telunjuk yang diarahkan suaminya. Seperk
Rumah sederhana peninggalan sang ayah kini benar-benar sudah menjadi miliknya. Berkat Dev semua itu takkan mungkin pernah bisa terwujud dan menjadi nyata. Selena merasa sangat bersyukur memiliki suami yang benar-benar membantu mewujudkan keinginannya satu persatu. "Makasih, Daddy ...." Kini, tanpa malu-malu lagi Selena menghambur ke pelukan sosok pria yang paling baik menurutnya."Sama-sama, Selena. Daddy senang bisa liat kamu bahagia." Bak seorang ayah yang memberi pelukan kepada putrinya, Dev menepuk-nepuk lembut punggung sang istri yang nampak nyaman berada di pelukannya. "Daddy akan beri apa pun yang kamu mau." "Cukup, Dad. Ini semua udah cukup buat aku," ujar Selena, enggan menarik diri dari pelukan Dev. Sepasang maniknya sudah basah karena air mata haru."Belum. Ini masih belum cukup," ucap Dev. 'Semua yang daddy lakukan gak sebanding sama dosa yang udah daddy lakukan ke papamu, Selena.' Nyatanya, Dev hanya mampu mengakui dosanya di dalam hati. Keberaniannya masih belum cukup
Tok! Tok!"Masuk." Selena menatap ke arah pintu yang dibuka oleh Mbok Nung. Gadis itu tengah duduk bersandar di kepala ranjang, setelah beberapa saat yang lalu terbangun."Non, sarapannya udah siap. Mau Mbok bawain ke sini aja?" Mbok Nung hanya berdiri di bibir pintu kamar Selena. "Aku makan di sana aja, Mbok." Raut Selena terlihat murung, karena saat terbangun Dev sudah tidak ada di sisinya. "Oh, ya, Mbok. Tadi Daddy berangkat jam berapa?" tanya Selena. "Tuan Dev tadi berangkat jam tujuh, Non." "Kok, aku gak dibangunin, sih?" Selena mencebikkan bibir. "Tuan Dev gak tega mau bangunin Non," kata Mbok Nung memberi penjelasan. "Tuan ninggalin pesan buat Non, hari ini gak boleh ke mana-mana. Nanti siang ada sopir yang jemput ke sini." "Sopir?" Kening dan alis Selena menyatu. "Iya, Non. Mbok tinggal beres-beres dulu, ya, Non," pamit Mbok Nung."Ya, Mbok." Pintu kamar ditutup kembali oleh Mbok Nung, sedangkan Selena belum berniat untuk beranjak dari kasur. "Buat apa Daddy kirim sopi