Hingga detik ini, kedua manusia yang pernah memiliki status sebagai suami istri tersebut masih sama-sama bungkam. Semenjak bercerai, mereka tak pernah lagi berinteraksi mau pun duduk bersama dengan jarak sedekat ini. Hanya suara musik dari penyanyi luar negeri yang mengisi keheningan di dalam mobil itu. Dan nampaknya, isi kepala mereka pun sama— Mengapa Dev bisa-bisanya mengatur semua ini? 'Kenapa harus nyuruh Mas Darwin sih, yang jemput? Kalo tau 'kan, mending aku naik taksi aja tadi.' Selena membatin sebal, sambil membuang pandangan ke arah jendela. Bahkan, dia sama sekali belum bertegur sapa dengan mantan suaminya ini. Bungkamnya Selena dimaklumi oleh Darwin. Pemuda itu juga tidak terlalu ambil pusing dengan perintah sang daddy. Hanya saja, Darwin merasa hilang muka di hadapan mantan istrinya yang kini berstatus menjadi ibu tirinya. Sewaktu Dev memerintahkan untuk menjemput Selena di rumahnya, Darwin tak berani menolak. Mungkin, kesempatan ini bisa dia gunakan untuk meminta maaf
Bertemu dengan orang paling dibenci rasanya sungguh sangat memuakkan. Meskipun Dev kesal lantaran berhadapan kembali dengan Lexy, dia tetap harus terlihat tenang. Sudut matanya terlihat awas—memerhatikan Darwin sekilas, yang berdiri tidak jauh dari Lexy. Putranya itu sungguh tidak menyadari jika sedang berdiri dengan ayah kandungnya. "Kenapa bisa barengan gini, Dev?" Marvin berbisik sangat lirih di belakang telinga Dev. Situasi saat ini sungguh di luar dugaannya. Dev tak bergeming, hanya bola matanya saja yang bergulir menatap sang istri. "Kamu masuk duluan sama Darwin," ucap Dev, dengan suara dan tatapan mata yang melembut. Lantas, beralih menatap Marvin. "Vin, ajak mereka ke dalam." "Ya, Dev." Marvin yang tahu isi kepala Dev cukup mengiyakan perintah tersebut. "Ayo, Selena. Darwin," ajak Marvin, lalu melambaikan tangan ke arah Darwin yang lekas melangkah menghampiri. "Iya, Om." Darwin melewati Lexy tanpa meliriknya sama sekali. Sementara Selena mau tak mau menuruti perintah sua
Marvin hanya menggerakkan kepala sekilas, sebagai jawaban atas pertanyaan serentak dari Selena dan Darwin. Kedua orang itu lantas bertukar pandang sebentar, kemudian sama-sama menghela napas panjang. Yang sangat disayangkan adalah Rania mulai menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhannya, pikir Selena. 'Itu artinya, Mas Darwin udah gak ada hubungan sama Rania? Mereka putus?' Sudut manik Selena lamat-lamat memerhatikan raut Darwin yang tengah menahan kesal. "Yang jelas, laki-laki tadi itu bukan rekannya Dev." Marvin kembali bicara—menekankan sekali lagi jika Lexy tak mempunyai hubungan apa pun dengan Dev. Darwin mengangguk. "Tapi, Om, kenapa Daddy ...." "Maaf menunggu lama." Dev muncul di ruangan VIP, melangkah masuk sambil menatap ketiga orang yang sedang membicarakannya. Senyum Selena seketika mengembang, melihat sosok suaminya. "Daddy ..." Marvin diam-diam menarik napas lega karena kemunculan Dev. Setelah ini dia tidak perlu lagi memberi penjelasan kepada Darwin dan Sele
Manik Dev menyorot sayu, keinginannya makin membumbung tinggi saat Selena memasrahkan diri padanya. Gadis itu memejamkan mata, seakan menunggu apa yang akan dilakukan suaminya dengan debar di dada. Waktu berjalan begitu lambat, pikir Selena. Telapak tangan Dev yang besar menangkup kedua sisi wajah kecil Selena. Perlahan memiringkan kepala, untuk mempertemukan bibirnya dan bibir ranum itu. Ketika telah menempel sepenuhnya, Dev melumat benda kenyal itu dengan lembut, aliran darahnya makin berdesir dan sesuatu di bawah sana kian sesak. Selena melenguh halus, berusaha mengimbangi pagutan Dev yang tak terkesan terburu-buru. Secara sadar dia pun mulai mengangkat kedua lengan, dan mengalung di pundak suaminya. Tubuhnya makin merapat karena Dev terus beringsut maju tanpa menjeda pergerakan lidahnya.Suhu di ruangan itu berubah menjadi panas, karena sepasang manusia kini tengah terlena dalam gelora hasrat masing-masing. Dev terus memagut bibir Selena, sambil menuntunnya berbaring di ranjang
"Ma! Mama!" Rania berteriak memanggil sang mama ketika dia baru saja pulang ke apartemen. Selama beberapa pekan ini Herlin memang masih tinggal bersama dengan anak perempuannya. Ibu tiri Selena itu belum menemukan rumah yang sesuai keinginannya. Melangkah ke pantry, Rania membuka kulkas, seraya bergumam, "Mama ke mana, sih?" Diambilnya kaleng minuman, lalu menutupnya kembali. Rania melenggang dari pantry, sambil membawa serta minuman kalengnya. Perempuan itu menduduki sofa, tetapi urung meminumnya sebab dia melihat ponsel Herlin tergeletak di meja. Meletakkan kalengnya ke meja, Rania lantas mengambil benda persegi pipih itu. "Ini 'kan hapenya Mama. Terus, orangnya ke mana, coba? Kenapa hapenya di tinggal. Aneh," gumam Rania, heran dengan sifat ibunya yang agak pelupa. Tiba-tiba, rasa penasaran muncul di benak perempuan itu. Sudah lama sekali dia tidak menyentuh ponsel sang ibu. "Gak dikunci? Tumben?" Kesempatan, pikir Rania. Dia pun lekas membuka ponsel Herlin. Hal pertama yang
Siang ini Dev terpaksa memenuhi permintaan sang mantan istri yang ingin mengajaknya bertemu di sebuah restoran. Awalnya, Dev ingin menolak, tetapi Monica sedikit memaksa dan beralasan ingin membicarakan masalah yang penting. Alhasil, keduanya pun kini telah berada di sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari kantor Dev. Duduk berhadapan untuk pertama kalinya setelah perceraian beberapa waktu yang lalu. "Bicaralah. Aku gak punya banyak waktu," kata Dev setelah beberapa menit menduduki kursi. Dev memerhatikan sorot mata sang mantan istri yang terlihat khawatir. Dan nampaknya, bobot tubuh Monica agak sedikit menurun, karena terlihat dari rahangnya yang semakin tirus. "Makasih Dev karena mau menemuiku," ujar Monica, merasa lega sebab Dev mau menepati janjinya. Monica menghela panjang napasnya, kemudian kembali bicara. "pertama aku juga mau bilang makasih karena kamu sudah memaafkan Darwin dan mengembalikan fasilitasnya." Respon Dev hanya menaikkan satu alisnya. "Dan ... dua hari
Manik Herlin tak pernah lepas menatap sosok pria asing yang dibawa oleh anak perempuannya ke unit ini. Pria berpenampilan sangat rapi, wangi dan mempunyai paras rupawan itu sempat membuat Herlin terpesona. 'Bisa-bisanya Rania kenal Om-om model begini? Kayaknya duitnya banyak. Tapi, aku kayak gak asing sama mukanya. Mirip siapa, ya? Kayak pernah liat.' Herlin menebak-nebak dalam benak, sambil mengingat-ingat wajah orang yang mirip dengan pria yang duduk di hadapannya. "Nyonya Herlin?" Lexy—pria yang saat ini berada di di hadapan Herlin bersuara. Herlin terkesiap lantas mengerjap. "Ya?" Rautnya kikuk setengah mati, seraya melirik Rania yang duduk di sampingnya. Lexy menyilangkan kaki. "Maaf, kalau saya sudah mengganggu istirahat Anda," ucapnya. Kedua tangan Lexy bersedekap santai, sambil bersandar di sofa yang empuk. Ide untuk menemui Herlin secara langsung tercetus setelah dia menonton video rekaman CCTV mengenai Dev yang menabrak papa tiri Rania. Lexy merasa mendapat jackpot.Her
"Mbok, aku mandi dulu, ya ... keburu Daddy pulang." Selena melepas appron yang melekat di badannya sejak dua jam yang lalu. Dia baru saja selesai menyiapkan masakan spesial untuk sang suami sebagai ucapan terimakasih. "Iya, Non. Ini biar mbok yang nerusin." Mbok Nung mengambil alih pekerjaan Selena—menata masakan yang sudah siap di meja makan. Ada sekitar lima menu untuk makan malam hari ini, ditambah dengan dessert favorit Dev. "Makasih, Mbok." Selena meninggalkan dapur, kemudian bergegas menuju kamar. Sebelum Dev pulang dia harus sudah terlihat bersih dan cantik. Berjam-jam berada di dapur membuat tubuhnya merasa tidak nyaman. Selanjutnya, Selena memasuki kamar ganti terlebih dahulu untuk mengambil jubah mandi. Setelah mengambilnya, dia mengecek ponselnya sebentar yang tergeletak di atas nakas. "Daddy ngajak makan di luar? Aku aja udah masak." Selena baru sempat membaca pesan balasan dari suaminya. "biarin deh. Makan di luarnya lain kali aja. Besok juga udah berangkat ke Bali."
Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan
Marvin mendorong kursi roda Dev sampai ke kamar. Beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di apartemen setelah melakukan perjalanan cukup jauh. "Akhirnya, habis ini kamu bisa tidur nyenyak," cicit Marvin menggoda sang sahabat. Marvin yang tahu betul—bagaimana kacaunya jadwal tidur Dev selama Selena pergi. Hari-hari Dev hanya diisi dengan mencari keberadaan sang istri, sampai-sampai tidak memerhatikan penampilan serta kesehatannya. Namun, setelah Selena ditemukan, tentu saja semua itu tidak akan terjadi lagi. Selena sudah ditemukan dan sudah mau kembali padanya. Mulai detik ini Dev akan mengisi hari-harinya bersama sang istri dan calon anaknya. "Aku bisa minta tolong, Vin?" tanya Dev, menatap Marvin dengan serius. "Apa?" "Tolong carikan satu lagi asisten rumah tangga buat bantuin mbok Nung. Soalnya nanti mbok Nung cuma aku minta ngurusin Selena," kata Dev. Niat itu sudah Dev pikirkan sejak dia tahu Selena hamil. Berhubung ada masalah tak terduga, dia jadi harus menundanya."
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at