Manik Herlin tak pernah lepas menatap sosok pria asing yang dibawa oleh anak perempuannya ke unit ini. Pria berpenampilan sangat rapi, wangi dan mempunyai paras rupawan itu sempat membuat Herlin terpesona. 'Bisa-bisanya Rania kenal Om-om model begini? Kayaknya duitnya banyak. Tapi, aku kayak gak asing sama mukanya. Mirip siapa, ya? Kayak pernah liat.' Herlin menebak-nebak dalam benak, sambil mengingat-ingat wajah orang yang mirip dengan pria yang duduk di hadapannya. "Nyonya Herlin?" Lexy—pria yang saat ini berada di di hadapan Herlin bersuara. Herlin terkesiap lantas mengerjap. "Ya?" Rautnya kikuk setengah mati, seraya melirik Rania yang duduk di sampingnya. Lexy menyilangkan kaki. "Maaf, kalau saya sudah mengganggu istirahat Anda," ucapnya. Kedua tangan Lexy bersedekap santai, sambil bersandar di sofa yang empuk. Ide untuk menemui Herlin secara langsung tercetus setelah dia menonton video rekaman CCTV mengenai Dev yang menabrak papa tiri Rania. Lexy merasa mendapat jackpot.Her
"Mbok, aku mandi dulu, ya ... keburu Daddy pulang." Selena melepas appron yang melekat di badannya sejak dua jam yang lalu. Dia baru saja selesai menyiapkan masakan spesial untuk sang suami sebagai ucapan terimakasih. "Iya, Non. Ini biar mbok yang nerusin." Mbok Nung mengambil alih pekerjaan Selena—menata masakan yang sudah siap di meja makan. Ada sekitar lima menu untuk makan malam hari ini, ditambah dengan dessert favorit Dev. "Makasih, Mbok." Selena meninggalkan dapur, kemudian bergegas menuju kamar. Sebelum Dev pulang dia harus sudah terlihat bersih dan cantik. Berjam-jam berada di dapur membuat tubuhnya merasa tidak nyaman. Selanjutnya, Selena memasuki kamar ganti terlebih dahulu untuk mengambil jubah mandi. Setelah mengambilnya, dia mengecek ponselnya sebentar yang tergeletak di atas nakas. "Daddy ngajak makan di luar? Aku aja udah masak." Selena baru sempat membaca pesan balasan dari suaminya. "biarin deh. Makan di luarnya lain kali aja. Besok juga udah berangkat ke Bali."
Selena baru saja terbangun dari tidurnya, tetapi tidak mendapati sang suami di sisinya. Dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, gadis itu bangkit, kemudian duduk bersandar di kepala ranjang."Aku keduluan lagi," gumam Selena sambil mengusap wajah bangun tidurnya. Dia selalu seperti ini—bangun terlambat. Pintu kamar mandi terbuka, perhatian Selena sontak teralihkan pada sosok yang keluar dari sana, dengan berbalut bathrope. Dev tersenyum ke arah sang istri yang cemberut. "Udah bangun?" Pria yang sudah terlihat segar dan wangi sabun itu melangkah ke arah ranjang. Dev duduk di hadapan Selena, mengusap puncak kepalanya, lalu beringsut maju untuk sekadar memberi kecupan di kening. "Aku keduluan Daddy lagi." Setelah mendapat ciuman dari suaminya, perasaan kecewa pada diri sendiri sedikit berkurang. Namun, Selena masih nampak cemberut dan tidak malu-malu lagi mengekspresikan diri di hadapan Dev. Tingkah Selena membuat Dev gemas. "Memangnya kenapa kalau keduluan lagi? Daddy gak pernah me
"Kamu udah jalan?" Dev bertanya saat sang istri menjawab panggilan teleponnya dari seberang sana. Pria itu baru saja keluar dari ruang meeting, dan saat ini tengah masuk ke lift. Di sampingnya ada Marvin yang akan mengantarnya ke bandara. "Udah, Dad. Dari lima belas menit yang lalu," jawab Selena. "Daddy udah selesai pertemuannya?" "Udah. Baru aja selesai." Kaki Dev melangkah keluar dari lift saat pintunya terbuka. Dia berjalan beriringan dengan Marvin menuju lobby. "Daddy langsung ke bandara 'kan?" "Ya, ini daddy lagi mau jalan." Semua staf yang berpapasan dengan Dev, menundukkan kepala sekilas, sebagai sapaan mereka terhadap Presdir di perusahaan tersebut. Dev membalasnya dengan anggukan sekilas pula, sambil terus berjalan menuju luar kantor. "Ya udah, Daddy cepetan nyusul. Hati-hati di jalan," kata Selena. Langkah Dev berhenti di depan pintu masuk gedung miliknya. "Ya. Kamu juga. Sampai ketemu di bandara." "Hmm." Obrolan singkat itu berakhir. Dev memasukkan ponselnya ke da
Roda empat yang kini sudah berganti pengemudi itu melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Sementara di belakang mobil tersebut ada mobil lain yang juga melaju begitu kencang. Jalanan beraspal mulus, yang di setiap sisi terdapat jurang itu terlihat lengang dan basah. Hujan deras masih menyisakan rintik gerimis. "Sedikit lagi kita sampai ke tempat Darwin dan Selena berada," kata Marvin, yang saat ini sudah berpindah tempat duduk—di depan kemudi. Di sampingnya ada Dev, sedangkan di jok belakang diisi oleh Pak Didi. Dev hanya menggertakkan giginya. Telapak tangannya terkepal kuat, seakan kemarahan yang menyelimuti siap meledak. Sepasang manik kelamnya berkabut, menyorot tajam ke arah kaca depan yang mengembun. Pikirannya benar-benar sedang kalut. Dia tak berhenti memikirkan nasib sang istri yang entah seperti apa. "Itu dia!" Marvin memelankan laju mobil ketika pandangannya menangkap sebuah mobil yang tak asing berada tak jauh dari jangkauannya. Disusul dengan mobil yang mengekor d
"Buka! Buka! Siapa saja, tolong bukakan pintu ini! Buka!"Suara Selena nyaris habis, bahkan tenggorokannya sampai terasa sangat sakit, karena sejak tadi dia terus saja berteriak—memanggil siapa pun yang berkenan dan berbaik hati membukakan pintu untuknya. Namun, tak seorang pun mengindahkan teriakannya. Tak ada seorang pun yang tersentuh hatinya mendengar tangisan permohonannya. "Buka ... Aku mohon ... Aku gak mau ada di sini ...." Kedua tangannya pun mulai terasa pegal dan nyeri, akibat memukuli benda keras di hadapan yang tak kunjung dibuka. Merasa jika usahanya hanya sia-sia saja, Selena lantas menyudahinya. Tubuh kecilnya luruh ke lantai marmer yang dingin, beserta tangisan yang kian menjadi. "Daddy ... tolong aku, Daddy. Tolong aku. Aku takut, Dad." Selena menekuk kedua lutut, lalu memeluknya erat. Dia menundukkan kepala, dan menumpahkan tangisan. "Selena takut ...." Di ruangan minim cahaya itu, Selena berada saat ini. Sejak terakhir kali dia dibawa paksa oleh sekelompok ora
Diculiknya Selena membuat Dev benar-benar dilanda kekalutan. Pria itu sampai harus mengerahkan semua koneksi untuk membantunya melacak keberadaan sang istri. Dev bahkan tidak ragu meminta bantuan kepada teman-teman lamanya. Tak peduli meski dia harus menggeledah seluruh kota. Tak lupa Dev juga melibatkan pihak yang berwajib untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Entah apa motif di balik penculikan tersebut. Hingga Dev harus kembali berurusan dengan mantan teman sekaligus musuhnya itu.Dan untuk mencari tahu keterlibatan kakak tiri Selena yaitu Rania dalam penculikan ini, Dev memutuskan untuk mendatangi langsung apartemen perempuan itu. Sementara Marvin diberi tugas untuk mencari tahu melalui rekaman CCTV di gedung tempat Rania tinggal saat ini. Di sinilah Dev berada sekarang, di dalam unit yang terbilang cukup luas bersama Herlin. Mantan besan yang saat ini berstatus ibu mertua. Sejak tiga puluh menit yang lalu, Dev duduk di ruang tamu. Menunggu Herlin berbicara mengenai keb
"Bagaimana kondisimu? Apa ada yang sakit?" Pertanyaan tersebut terlontar saat Dev baru saja masuk ke ruang rawat Darwin. Karena terlalu sibuk mencari bantuan, Dev belum sempat melihat kondisi Darwin. "Udah agak baikan, sih, Dad. Cuma yang masih kerasa sakit di sini." Darwin menunjuk pinggangnya yang sempat terkena tendangan dari orang-orang tak dikenal itu. "kayaknya paling parah di sini." Dev mengangguk. "Besok hasil ronsennya keluar. Nanti dokter bisa jelasin untuk tindakan selanjutnya," ujar Dev, menatap iba Darwin yang terbaring tak berdaya di ranjang pasien. "kamu bisa bilang ke dokter apa saja keluhanmu. Daddy udah minta staf dokter jaga untuk mengawasi selama dua puluh empat jam." Telapak tangan Dev menepuk-nepuk pundak Darwin. "Makasih, Dad," ucap Darwin, tak menyangka jika Dev sangat-sangat memedulikan keadaannya. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hati pemuda itu. "Dad, aku sungguh minta maaf karena gak bisa ngelindungin Selena. Seandainya aja—" "Sudah. Semuany