"Daddy ..." Selena menghampiri sang suami yang tengah berada di balkon kamar mereka. Semringah di rautnya, menunjukkan bila saat ini gadis itu sedang merasa bahagia. Dengan tangan kiri yang mengepal di balik punggungnya, Selena telah berdiri di balik punggung suaminya. Dev memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu menoleh ke sang istri yang pagi ini terlihat sangat cantik. Bibir ranumnya merekahkan senyum yang sangat manis. "Ada apa? Kayaknya kamu lagi bahagia." Senyum itu semakin mengembang. "Aku punya kejutan buat Daddy," ucap Selena. Sejak keluar dari kamar mandi, jantungnya tak berhenti berdebar-debar saking senangnya. Kebahagiaan yang sudah lama dia nantikan, akhirnya terwujud. "Apa itu?" Telapak tangan Dev menempel di kulit pipi sang istri yang sedikit merona. "Hmm ... Coba Daddy merem dulu," pinta Selena. Semoga kejutan yang dia berikan dapat membuat suaminya ini bahagia. "Merem?" Sepasang alis Dev naik. "Hmm." "Oke." Demi menuruti kemauan Selena, Dev pun memejamkan mata
Perjalanan yang ditempuh Dev demi mendatangi Selena rupanya cukup memakan waktu. Jalanan yang di setiap sisinya terdapat pepohonan pinus itu terasa asing bagi Dev. Belum lagi kabut yang menghalangi jalan sepi itu. Malam pun kian larut, tetapi tak sedikitpun membuat semangat Dev surut. Di mobil yang dikemudikan Marvin, terdapat satu sosok yang sempat membuat Dev terheran-heran. Pasalnya, dia tidak mengira sama sekali jika Monica akan ikut dengannya. Monica menawarkan diri untuk ikut serta karena dia cukup tahu—di mana Lexy menyembunyikan Selena. Di sebuah Villa pribadi milik mantan selingkuhannya itu yang letaknya sangat jauh dari keramaian kota. Dahulu kala, dia dan Lexy sering mendatangi Villa tersebut jika Dev sedang berpergian ke luar negeri mengurus bisnisnya. Tempat yang menjadi saksi bisu hubungan gelapnya bersama Lexy. "Nanti habis dari jembatan, kamu belok ke kanan, Vin," kata Monica memberi petunjuk dari tempatnya berada. Di belakang kursi Dev. "Oke." Marvin mengiyakan t
Untuk ke sekian kalinya, kedua orang yang dulu pernah dekat dan akrab, kini saling berhadapan dengan sorot kebencian. Suasana semakin memanas ketika ujung pistol sama-sama mengarah ke kening masing-masing. Bisa saja dengan sekali tarik, diantara mereka akan tumbang. Entah Dev atau Lexy yang akan kalah lebih dulu. Di samping Lexy, sosok perempuan yang menjadi tujuan utama Dev mendatangi tempat ini justru terlihat marah. Sorot kebencian yang terpancar menandakan bila Selena sama sekali tidak merasa senang melihat kedatangan suaminya. Aura dingin makin menyeruak ketika Selena dengan sengaja mengalihkan pandangan saat Dev menatapnya. Sedangkan Rania tak berani bergerak di tempatnya lantaran ketakutan seolah-olah mengikat kedua kakinya.Pias serta sedikit merasa kecewa, itulah raut yang menghiasi wajah Dev saat ini. Sang istri terlihat begitu marah, hingga tak sudi membalas tatapan kerinduannya.Apakah Selena sudah mengetahui fakta yang sengaja dia sembunyikan selama ini? Pikir Dev—merasa
"Apa maksudmu kalau semua itu tiba-tiba? Mana videonya? Aku mau liat sendiri." Monica merasa penasaran dengan video rekaman tersebut. "kamu ada videonya?" Telapak tangannya menengadah seraya menatap bergantian Dev dan Marvin."Aku gak pegang videonya. Yang pegang Bu Herlin," kata Dev."Bu Herlin? Tapi kenapa Lexy bisa tau? Apa mereka juga bekerja sama?" Monica mengerutkan kening, lalu menurunkan perlahan telapak tangannya yang semula terangkat. Keinginan untuk melihat video tersebut untuk sementara dia tunda."Rania yang melakukannya. Dia gak sengaja liat video itu di hape Bu Herlin. Dan ...." "Rania bocorin semua itu ke Lexy?" tebak Monica. "Hmm." Dev mengangguk, lantas melirik sang istri yang belum sadarkan diri. "Dan Lexy menunjukkan video itu ke Selena," imbuh Dev, menarik panjang napasnya. Monica merutuk Lexy dalam hati atas apa yang dilakukan oleh pria itu. Benar-benar selalu mengambil kesempatan di saat yang tidak tepat. "Selena marah sama kamu, Dev?" Tiba-tiba saja Monica i
Pintu kamar yang menjadi tempat beristirahat terbuka—menampilkan sosok yang seharian kemarin mencemaskan sang istri. Dev mengerutkan kening saat dia mendapati Selena sedang duduk bersandar sambil melamun. Sejak kapan istrinya itu terbangun? Kenapa tidak ada yang memberitahunya, pikir Dev. 'Kenapa Mbok Nung gak bangunin aku? Ke mana Mbok Nung?' Dev membatin sambil celingukan mencari keberadaan Mbok Nung—yang berjanji akan membangunkannya saat Selena sadar. Akan tetapi, Dev tidak melihat keberadaan Mbok Nung di ruangan rawat itu. Yang ada justru Selena, yang sepertinya tidak menyadari keberadaannya. Akhirnya, Dev memutuskan untuk melangkah—berjalan mendekati bed pasien. Pria itu berdeham ringan, membuat sosok cantik yang nampak pucat di hadapan tersentak. Selena hanya melirik dengan sudut matanya, seakan-akan kemunculan Dev tidak membuatnya merasa senang seperti kemarin-kemarin. Hambar serta datar reaksi yang ditunjukkan oleh Selena ketika Dev sudah berdiri di sampingnya. "Gimana k
"Selena!" Dev menahan siku Selena yang tak berhenti berlari hingga mereka tiba di pelataran parkir rumah sakit. Seketika, mereka menjadi perhatian orang yang berlalu lalang di sekitar. "Lepas!" Selena tak terima karena Dev tak mendengarkan peringatannya. "Aku bilang lepas! Aku mau pergi!" Gadis itu malah semakin tak terkendali, dan berusaha melepaskan tangan besar Dev dari sikunya. Namun, penolakan Selena membuat Dev tak menyerah. Meskipun gadis itu terus meronta, serta memberinya tatapan tajam. Agar tidak terlalu menyakiti tangan kecil sang istri, Dev mengendurkan cengkeramannya. "Selena, dengarkan Daddy," kata Dev, kali ini dia menggapai tangan Selena yang lain. "Aku gak mau denger apa pun!" Kekesalan Selena makin menjadi-jadi. Amarahnya sungguh-sungguh tak bisa dia bendung lagi. Kenyataan yang harus dia terima begitu melukai hatinya. Kebohongan Dev telah memupuk rasa tidak percaya dalam benak gadis itu. Dev memasang wajah memelas serta memohon. Tak peduli kendati kini seluruh
Satu tahun yang lalu~-Pukul 20.00-"Papa kangen sekali sama anak perempuan papa. Kapan kamu pulang, Selena? Nanti, kalau mau pulang jangan lupa kabari papa." Satria mengungkapkan kerinduannya pada Selena di sambungan telepon. Pria setengah baya itu baru saja keluar dari sebuah minimarket setelah membeli beberapa barang kebutuhan rumah. "Iya, Pa. Selena juga kangen Papa. Libur semester aku masih dua minggu lagi." Baru beberapa langkah dia keluar dari minimarket, tiba-tiba turun hujan. Satria menggerutu karena dia tidak membawa payung. Alhasil, dia nekat menerobos hujan sambil mempercepat langkahnya. "Masih lama, ya ... Papa masih harus nunggu dua minggu lagi," ucap Satria sedikit kecewa lantaran harus menunggu selama itu. Meski hujan makin deras, dia tetap menerobos dengan langkah dipercepat. Namun, tepat dibelokkan menuju rumahnya—Satria tak sengaja melihat sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Mobil yang tidak asing di penglihatannya. Satria memelankan langkah, saat sosok per
Tok! Tok!Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Dev dari layar Macbook. "Masuk!" serunya, lantas kembali menatap layar benda pipih di tangan. Pintu dibuka, dan muncullah sosok Marvin, yang kemudian masuk ke ruangan tersebut, setelah menutup kembali pintunya. Marvin baru saja kembali dari mengantar Selena pulang, dan langsung menuju ke ruangan Dev. "Dev." Pria itu menduduki kursi yang berseberangan dengan meja kerja Dev. Dev mengalihkan pandangan—menatap Marvin. "Gimana? Udah kamu anterin sampai rumah 'kan?" tanya Dev sambil menyingkirkan sejenak MacBook ke sampingnya. "Iyalah, sampe rumah," sahut Marvin. "Bagus." Dev merasa lega mendengarnya. "Dia gak tanya apa pun sama kamu?" Marvin menggeleng, menyilangkan kaki, lalu berkata, "Diem terus dia di mobil. Ngelamun." Perasaan Dev kembali cemas. Pria itu menghela napas frustrasi seraya mengusap wajah. "Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi, Vin. Selena marah sama aku. Dan kemungkinan, dia juga membenciku," ujar Dev dengan pand