"Apa maksudmu kalau semua itu tiba-tiba? Mana videonya? Aku mau liat sendiri." Monica merasa penasaran dengan video rekaman tersebut. "kamu ada videonya?" Telapak tangannya menengadah seraya menatap bergantian Dev dan Marvin."Aku gak pegang videonya. Yang pegang Bu Herlin," kata Dev."Bu Herlin? Tapi kenapa Lexy bisa tau? Apa mereka juga bekerja sama?" Monica mengerutkan kening, lalu menurunkan perlahan telapak tangannya yang semula terangkat. Keinginan untuk melihat video tersebut untuk sementara dia tunda."Rania yang melakukannya. Dia gak sengaja liat video itu di hape Bu Herlin. Dan ...." "Rania bocorin semua itu ke Lexy?" tebak Monica. "Hmm." Dev mengangguk, lantas melirik sang istri yang belum sadarkan diri. "Dan Lexy menunjukkan video itu ke Selena," imbuh Dev, menarik panjang napasnya. Monica merutuk Lexy dalam hati atas apa yang dilakukan oleh pria itu. Benar-benar selalu mengambil kesempatan di saat yang tidak tepat. "Selena marah sama kamu, Dev?" Tiba-tiba saja Monica i
Pintu kamar yang menjadi tempat beristirahat terbuka—menampilkan sosok yang seharian kemarin mencemaskan sang istri. Dev mengerutkan kening saat dia mendapati Selena sedang duduk bersandar sambil melamun. Sejak kapan istrinya itu terbangun? Kenapa tidak ada yang memberitahunya, pikir Dev. 'Kenapa Mbok Nung gak bangunin aku? Ke mana Mbok Nung?' Dev membatin sambil celingukan mencari keberadaan Mbok Nung—yang berjanji akan membangunkannya saat Selena sadar. Akan tetapi, Dev tidak melihat keberadaan Mbok Nung di ruangan rawat itu. Yang ada justru Selena, yang sepertinya tidak menyadari keberadaannya. Akhirnya, Dev memutuskan untuk melangkah—berjalan mendekati bed pasien. Pria itu berdeham ringan, membuat sosok cantik yang nampak pucat di hadapan tersentak. Selena hanya melirik dengan sudut matanya, seakan-akan kemunculan Dev tidak membuatnya merasa senang seperti kemarin-kemarin. Hambar serta datar reaksi yang ditunjukkan oleh Selena ketika Dev sudah berdiri di sampingnya. "Gimana k
"Selena!" Dev menahan siku Selena yang tak berhenti berlari hingga mereka tiba di pelataran parkir rumah sakit. Seketika, mereka menjadi perhatian orang yang berlalu lalang di sekitar. "Lepas!" Selena tak terima karena Dev tak mendengarkan peringatannya. "Aku bilang lepas! Aku mau pergi!" Gadis itu malah semakin tak terkendali, dan berusaha melepaskan tangan besar Dev dari sikunya. Namun, penolakan Selena membuat Dev tak menyerah. Meskipun gadis itu terus meronta, serta memberinya tatapan tajam. Agar tidak terlalu menyakiti tangan kecil sang istri, Dev mengendurkan cengkeramannya. "Selena, dengarkan Daddy," kata Dev, kali ini dia menggapai tangan Selena yang lain. "Aku gak mau denger apa pun!" Kekesalan Selena makin menjadi-jadi. Amarahnya sungguh-sungguh tak bisa dia bendung lagi. Kenyataan yang harus dia terima begitu melukai hatinya. Kebohongan Dev telah memupuk rasa tidak percaya dalam benak gadis itu. Dev memasang wajah memelas serta memohon. Tak peduli kendati kini seluruh
Satu tahun yang lalu~-Pukul 20.00-"Papa kangen sekali sama anak perempuan papa. Kapan kamu pulang, Selena? Nanti, kalau mau pulang jangan lupa kabari papa." Satria mengungkapkan kerinduannya pada Selena di sambungan telepon. Pria setengah baya itu baru saja keluar dari sebuah minimarket setelah membeli beberapa barang kebutuhan rumah. "Iya, Pa. Selena juga kangen Papa. Libur semester aku masih dua minggu lagi." Baru beberapa langkah dia keluar dari minimarket, tiba-tiba turun hujan. Satria menggerutu karena dia tidak membawa payung. Alhasil, dia nekat menerobos hujan sambil mempercepat langkahnya. "Masih lama, ya ... Papa masih harus nunggu dua minggu lagi," ucap Satria sedikit kecewa lantaran harus menunggu selama itu. Meski hujan makin deras, dia tetap menerobos dengan langkah dipercepat. Namun, tepat dibelokkan menuju rumahnya—Satria tak sengaja melihat sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Mobil yang tidak asing di penglihatannya. Satria memelankan langkah, saat sosok per
Tok! Tok!Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Dev dari layar Macbook. "Masuk!" serunya, lantas kembali menatap layar benda pipih di tangan. Pintu dibuka, dan muncullah sosok Marvin, yang kemudian masuk ke ruangan tersebut, setelah menutup kembali pintunya. Marvin baru saja kembali dari mengantar Selena pulang, dan langsung menuju ke ruangan Dev. "Dev." Pria itu menduduki kursi yang berseberangan dengan meja kerja Dev. Dev mengalihkan pandangan—menatap Marvin. "Gimana? Udah kamu anterin sampai rumah 'kan?" tanya Dev sambil menyingkirkan sejenak MacBook ke sampingnya. "Iyalah, sampe rumah," sahut Marvin. "Bagus." Dev merasa lega mendengarnya. "Dia gak tanya apa pun sama kamu?" Marvin menggeleng, menyilangkan kaki, lalu berkata, "Diem terus dia di mobil. Ngelamun." Perasaan Dev kembali cemas. Pria itu menghela napas frustrasi seraya mengusap wajah. "Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi, Vin. Selena marah sama aku. Dan kemungkinan, dia juga membenciku," ujar Dev dengan pand
"Gimana, Dok? Apakah ada luka dalam yang serius?" Monica bertanya khawatir pada dokter yang sama, yang menangani Selena saat masih dirawat. Saat ini mantan istri Dev itu tengah sedang berada di ruangan dokter untuk melihat hasil ronsen sang anak.Kebetulan, dokter yang menangani Darwin sedang tidak bisa datang hari ini, karenanya dokter perempuan setengah baya itu yang mengambil alih tugas temannya. "Kalau dilihat dari laporannya, tidak ada luka yang serius, Nyonya. Semuanya masih aman. Tidak ada keretakan tulang atau luka dalam yang memerlukan tindakan," papar dokter bernama Oliv itu dengan jelas, sambil menunjuk beberapa titik penting pada foto organ dalam milik Darwin. Kekhawatiran Monica musnah, berganti dengan ucapan syukur. "Syukurlah. Itu berarti anak saya sudah bisa pulang, Dok?" "Sebenarnya sudah bisa, Nyonya. Tapi, sebaiknya kita tunggu dokter Ronald besok. Keputusannya ada sama beliau." Dokter Oliv memasukkan hasil ronsen ke dalam amplop cokelat berukuran besar. "hasil r
Semenjak Selena mengetahui fakta tentang suami yang dia kira sangat baik selama ini. Gadis itu seperti orang yang kehilangan semangat hidup. Bahkan untuk sekadar beranjak dari tempat tidur yang sudah dua hari ini menjadi tempat ternyamannya. Selena begitu tenggelam dalam perasaan bersalah yang tiada henti. Di rumah peninggalan ayahnya, Selena bisa sedikit mengobati kerinduannya. Akan tetapi, saat mengingat semua yang dia miliki hingga detik ini adalah berkat Dev, Selena benar-benar merasa sedih. Dia sedih sebab mudah luluh dan percaya pada pria itu. Dia marah sebab kebodohannya yang mudah tertipu. "Non ...." Mbok Nung muncul di kamar Selena yang memang tak ditutup pintunya. Asisten rumah tangga kepercayaan Dev itu merasa iba melihat istri majikannya selalu murung. "Mbok bawain makan siang." Mbok Nung melangkah masuk, lalu meletakkan baki di tangan ke atas nakas samping ranjang. Selena tak bergeming, melirik pun rasanya enggan. "Non Selena harus makan, biar bayinya dapet nutrisi. K
"Tehnya silakan diminum, Tuan." Herlin menyuguhkan tiga cangkir teh ke hadapan tiga orang pria berpenampilan rapi. Salah satunya adalah Dev—mantan besan yang kini menyandang status sebagai menantunya.Setelahnya, ibu tiri dari Selena itu duduk berseberangan dengan ketiganya. Ketegangan dari raut wajahnya tak bisa disembunyikan. Sejak dua puluh menit yang lalu Herlin hanya bisa bertanya-tanya sendiri dalam hati perihal kedatangan Dev ke tempat tinggalnya. Dev berdeham sambil menggaruk alis sebelah kiri, lalu menoleh ke samping pada sosok pria yang terlihat memegangi map warna merah. Sudah cukup berbasa-basinya, sekarang waktunya untuk menyelesaikan semuanya. "Bisa dimulai sekarang," ucap Dev, terdengar santai tetapi cukup membuat Herlin berpikir keras dan semakin tegang."Baik," sahut seseorang yang berada di samping Dev, lalu meletakkan map warna merah yang ada di tangan ke meja.Debaran jantung Herlin semakin cepat, ketika Dev menatapnya datar. Di kepalanya, sudah banyak sekali pe