Dev turun dari mobil setelah sopir membukakan pintu untuknya, lalu disusul oleh Marvin dan Leon. Dev dan Marvin lantas berjalan berdampingan memasuki lobby kantor, sementara Leon memilih berjalan di belakang kedua pria itu. Anggun yang melihat kedatangan atasannya bergegas berdiri dan menginterupsi. "Selamat sore, Pak Dev, Pak Marvin." Dev hanya mengangguk seraya tersenyum samar, kemudian dia berhenti melangkah karena perkataan Anggun selanjutnya. "Maaf Pak Dev, ada Bu Monica yang sudah menunggu Anda," ucap Anggun, menatap segan raut Dev yang selalu terlihat serius. "Monica? Sejak kapan?" tanya Dev, bertukar pandang sekilas dengan Marvin dan Leon. "Sudah dari dua jam yang lalu, Pak." Anggun beranjak dari meja resepsionis. "Saya akan panggilkan Bu Monica di ruangan khusus.""Tidak perlu. Biar saya saja yang ke sana." Dev menolak. "Baik, Pak. Pak Dev perlu sesuatu?" "Tidak. Terimakasih," ucap Dev, kemudian bicara pada Marvin dan Leon. "Kalian ke atas saja dulu. Aku mau nemuin Mon
Hari sudah berubah gelap ketika roda empat milik Dev terparkir sempurna di depan halaman rumah Selena. Pria itu mengemudi sendiri tanpa bantuan sopir. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan istrinya yang masih marah padanya. Dev bergegas turun, lalu berlari kecil menuju pintu utama yang tertutup. Tok! Tok!Diketukan ke tiga pintu bercat cokelat itu terbuka, dan muncullah Mbok Nung dari dalam. "Tu-Tuan?" Raut Mbok Nung seketika memucat, saat melihat Dev tahu-tahu berdiri di hadapan. "Selena mana, Mbok?" Dev bertanya seraya melintasi Mbok Nung begitu saja yang berdiri kaku di depan pintu. "Selena ... Selena ...." panggil Dev berulang-ulang, sambil terus melangkah menuju ke dalam rumah. "Selena ...." Tak ada jawaban dari sang pemilik nama, membuat Dev memiliki firasat tak enak. Dev pun menuju kamar Selena, masih berpikir positif jika sang istri pasti berada di dalam sana. Saat hendak membuka pintu, keraguan sempat menghinggapi benak Dev. 'Apa Selena mau menerimaku?' Pertanyaan
Hujan turun sangat deras ketika Dev membawa roda empat miliknya menyusuri setiap ruas jalan yang cukup lengang. Sepasang maniknya dengan awas memerhatikan setiap orang-orang yang berjalan di trotoar. Dia berharap bila salah satu dari mereka adalah sang istri. "Di mana kamu, Selena ... Daddy harus mencarimu ke mana ...." Dev mendesah frustrasi, memikirkan keberadaan Selena yang entah di mana. Kedua tangannya mengendalikan roda kemudi, sementara dia tetap berusaha melaju dengan kecepatan sedang. Tak ingin melewatkan satu orang pun yang melintas di hadapan. Dev merutuk dirinya sendiri lantaran telah lalai dalam menjaga Selena. Dia bahkan tak pantas menyebut dirinya sendiri sebagai suami. "Jangan sampai kamu berpikiran pendek, Selena. Kamu harus percaya daddy. Kita bisa perbaiki kesalahpahaman ini." Dalam hati Dev tentu masih mempunyai keyakinan jika semua masalah yang terjadi belakangan ini pasti bisa diatasi. Kesalahpahaman yang terlanjur tercipta menyeretnya pada sebuah penyesalan
Tak terasa sudah lewat dua pekan semenjak Selena pergi tanpa pamit, Dev belum juga bisa menemukan istrinya itu. Padahal dia sudah mengerahkan semua orang untuk mencari keberadaan Selena. Tak satu pun dari orang-orangnya memberikan kabar baik hingga detik ini.Hidup Dev terasa sangat hampa dan tersiksa. Mengingat, jika saat ini sang istri tengah mengandung anaknya. Seorang anak yang terlambat dia ketahui. Keturunan yang benar-benar berasal dari darah dagingnya sendiri. Tak hanya raga yang tersiksa, fisik Dev pun terlihat sangat kacau dan tak terurus. Pria itu seperti tak memiliki selera untuk menjalani hidup. Hari-harinya hanya diisi dengan mencari dan mencari Selena. Dev seolah mati karena separuh jiwanya pergi tanpa pamit. Beruntung masih ada orang-orang baik di sekitar pria itu yang siap membantunya kapan saja. Marvin—sahabat sekaligus asisten pribadi Dev tak sekalipun membiarkan Dev mengurus masalahnya sendiri. Terbukti pada saat Dev memerintah agar segera mencari tahu kebenaran
Perjalanan yang ditempuh oleh Dev cukup memakan waktu yang panjang. Kurang lebih hampir tiga jam pria itu ada di dalam mobil dengan perasaan tak keruan. Dia bahkan tak mengizinkan untuk beristirahat barang sebentar. Kenapa Selena bisa pergi darinya sejauh itu, pikir Dev, berkali-kali membuang napas berat. "Vin, bilang sama anak buah kita jangan sampai kecolongan lagi. Suruh dia memantau terus Selena." Dev menoleh pada Marvin yang duduk di sampingnya. "Ya, Dev." Marvin bahkan sejak tadi tak mengalihkan sedikit pun perhatiannya dari layar ponsel. Dev lantas kembali menatap ke kaca mobil. "Bisa lebih cepat sedikit?" ucap Dev pada sopir yang mengemudi. Rasa-rasanya dia sudah tidak sabar ingin segera tiba dan bertemu dengan istrinya."Baik, Pak." Sopir mengangguk, seraya menambah kecepatan. Darwin yang duduk di sebelah sopir terlihat sedang bertukar pesan dengan sang ibu. Monica selalu berpesan agar memberi kabar saat Selena ditemukan keberadaannya. "Dev, anak buah kita mengirimkan f
"Daddy!" Selena memekik kaget dengan pemandangan yang tersaji secara nyata di depan mata. Bahkan, ponsel yang ada di genggaman terlepas, hingga terbanting di bebatuan. Dia pun sontak mendekati sang suami yang sudah tergeletak di tanah dengan bersimbah darah. "Dad!" Darwin pun sontak mendekati sang ayah yang nyaris tak sadarkan diri. Disusul Marvin yang turut mendekat setelah mengambil ponselnya dari tanah. "Dev!" Selena terduduk lemas di tanah, dengan tangan gemetaran dia berusaha memapah kepala Dev ke pangkuan. "Daddy ... Dad ...." Tanpa disuruh, air mata telah berjatuhan ke pipi tirusnya. "Daddy ... Please ... Daddy harus bertahan!" "Dad ... Daddy ...." Darwin ikut terduduk di samping Dev dengan air mata bercucuran. Kali pertama melihat ayahnya tertembak, membuat pemuda itu merasa syok bukan main. "Daddy ..." "Darwin, cepat bawa masuk Dev ke mobil. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!" kata Marvin. Sang sopir yang semula ikut terkejut sudah siap di dalam mobil, meski t
Rasanya sudah tidak sabar untuk mendengar kabar dari para tenaga medis di dalam sana yang saat ini tengah berjuang menangani Dev. Selena bahkan nyaris tidak duduk lantaran hatinya belum merasa tenang. Padahal, dia sendiri butuh istirahat karena kondisinya yang sedang berbadan dua. Entah sudah berapa kali gadis itu berjalan mondar-mandir di depan pintu Ruang IGD. Air matanya pun tak berhenti mengalir sejak tadi. Sesekali Selena mengusap perutnya saat lagi-lagi kram melanda. Sementara itu Darwin baru saja selesai memberi kabar kepada sang ibu. Dan Monica berjanji akan segera menyusul ke rumah sakit yang letaknya sangat jauh dari ibukota. Darwin kemudian mengirim lokasi rumah sakit kepada Marvin, setelah sahabat dekat Dev itu kembali dari kepolisian setempat. Selanjutnya, Darwin menghampiri Selena yang tak berhenti mencemaskan Dev. "Selena ...." Darwin berdiri di samping sang mantan istri yang hari itu terlihat begitu kacau. Dia menghela napas lalu melirik sekilas kursi besi tunggu ya
"Selena!" Dari kejauhan tampak Marvin berjalan menghampiri Selena yang tengah duduk lesu di bangku tunggu. Dua pria berseragam polisi berada di sisi Marvin. Selena menoleh ke arah Marvin. "Om?" Dia pun berdiri sambil memerhatikan dua sosok asing berseragam polisi. "Gimana keadaan Dev?" tanya Marvin saat sudah berada di hadapan Selena. Sejak kejadian tak terduga beberapa jam yang lalu, pria itu benar-benar tidak bisa tenang. Marvin bahkan sempat mengelilingi TKP cukup lama bersama para anak buahnya. Namun, dia tidak menemukan keberadaan Lexy di tempat tersebut. Dia pun memutuskan untuk melaporkannya pada pihak yang berwajib. Selain akan mempermudah proses pencarian. Marvin ingin Lexy mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya. "Dokter tadi bilang kalau peluru berhasil dikeluarkan, Om. Tapi ... Daddy kekurangan darah. Dan ... perlu donor," kata Selena, sambil mengusap sudut kedua matanya yang basah bergantian. Sepasang alis Marvin naik. "Kekurangan darah?" Selena mengan
Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan
Marvin mendorong kursi roda Dev sampai ke kamar. Beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di apartemen setelah melakukan perjalanan cukup jauh. "Akhirnya, habis ini kamu bisa tidur nyenyak," cicit Marvin menggoda sang sahabat. Marvin yang tahu betul—bagaimana kacaunya jadwal tidur Dev selama Selena pergi. Hari-hari Dev hanya diisi dengan mencari keberadaan sang istri, sampai-sampai tidak memerhatikan penampilan serta kesehatannya. Namun, setelah Selena ditemukan, tentu saja semua itu tidak akan terjadi lagi. Selena sudah ditemukan dan sudah mau kembali padanya. Mulai detik ini Dev akan mengisi hari-harinya bersama sang istri dan calon anaknya. "Aku bisa minta tolong, Vin?" tanya Dev, menatap Marvin dengan serius. "Apa?" "Tolong carikan satu lagi asisten rumah tangga buat bantuin mbok Nung. Soalnya nanti mbok Nung cuma aku minta ngurusin Selena," kata Dev. Niat itu sudah Dev pikirkan sejak dia tahu Selena hamil. Berhubung ada masalah tak terduga, dia jadi harus menundanya."
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at