"Tehnya silakan diminum, Tuan." Herlin menyuguhkan tiga cangkir teh ke hadapan tiga orang pria berpenampilan rapi. Salah satunya adalah Dev—mantan besan yang kini menyandang status sebagai menantunya.Setelahnya, ibu tiri dari Selena itu duduk berseberangan dengan ketiganya. Ketegangan dari raut wajahnya tak bisa disembunyikan. Sejak dua puluh menit yang lalu Herlin hanya bisa bertanya-tanya sendiri dalam hati perihal kedatangan Dev ke tempat tinggalnya. Dev berdeham sambil menggaruk alis sebelah kiri, lalu menoleh ke samping pada sosok pria yang terlihat memegangi map warna merah. Sudah cukup berbasa-basinya, sekarang waktunya untuk menyelesaikan semuanya. "Bisa dimulai sekarang," ucap Dev, terdengar santai tetapi cukup membuat Herlin berpikir keras dan semakin tegang."Baik," sahut seseorang yang berada di samping Dev, lalu meletakkan map warna merah yang ada di tangan ke meja.Debaran jantung Herlin semakin cepat, ketika Dev menatapnya datar. Di kepalanya, sudah banyak sekali pe
Dev turun dari mobil setelah sopir membukakan pintu untuknya, lalu disusul oleh Marvin dan Leon. Dev dan Marvin lantas berjalan berdampingan memasuki lobby kantor, sementara Leon memilih berjalan di belakang kedua pria itu. Anggun yang melihat kedatangan atasannya bergegas berdiri dan menginterupsi. "Selamat sore, Pak Dev, Pak Marvin." Dev hanya mengangguk seraya tersenyum samar, kemudian dia berhenti melangkah karena perkataan Anggun selanjutnya. "Maaf Pak Dev, ada Bu Monica yang sudah menunggu Anda," ucap Anggun, menatap segan raut Dev yang selalu terlihat serius. "Monica? Sejak kapan?" tanya Dev, bertukar pandang sekilas dengan Marvin dan Leon. "Sudah dari dua jam yang lalu, Pak." Anggun beranjak dari meja resepsionis. "Saya akan panggilkan Bu Monica di ruangan khusus.""Tidak perlu. Biar saya saja yang ke sana." Dev menolak. "Baik, Pak. Pak Dev perlu sesuatu?" "Tidak. Terimakasih," ucap Dev, kemudian bicara pada Marvin dan Leon. "Kalian ke atas saja dulu. Aku mau nemuin Mon
Hari sudah berubah gelap ketika roda empat milik Dev terparkir sempurna di depan halaman rumah Selena. Pria itu mengemudi sendiri tanpa bantuan sopir. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan istrinya yang masih marah padanya. Dev bergegas turun, lalu berlari kecil menuju pintu utama yang tertutup. Tok! Tok!Diketukan ke tiga pintu bercat cokelat itu terbuka, dan muncullah Mbok Nung dari dalam. "Tu-Tuan?" Raut Mbok Nung seketika memucat, saat melihat Dev tahu-tahu berdiri di hadapan. "Selena mana, Mbok?" Dev bertanya seraya melintasi Mbok Nung begitu saja yang berdiri kaku di depan pintu. "Selena ... Selena ...." panggil Dev berulang-ulang, sambil terus melangkah menuju ke dalam rumah. "Selena ...." Tak ada jawaban dari sang pemilik nama, membuat Dev memiliki firasat tak enak. Dev pun menuju kamar Selena, masih berpikir positif jika sang istri pasti berada di dalam sana. Saat hendak membuka pintu, keraguan sempat menghinggapi benak Dev. 'Apa Selena mau menerimaku?' Pertanyaan
Hujan turun sangat deras ketika Dev membawa roda empat miliknya menyusuri setiap ruas jalan yang cukup lengang. Sepasang maniknya dengan awas memerhatikan setiap orang-orang yang berjalan di trotoar. Dia berharap bila salah satu dari mereka adalah sang istri. "Di mana kamu, Selena ... Daddy harus mencarimu ke mana ...." Dev mendesah frustrasi, memikirkan keberadaan Selena yang entah di mana. Kedua tangannya mengendalikan roda kemudi, sementara dia tetap berusaha melaju dengan kecepatan sedang. Tak ingin melewatkan satu orang pun yang melintas di hadapan. Dev merutuk dirinya sendiri lantaran telah lalai dalam menjaga Selena. Dia bahkan tak pantas menyebut dirinya sendiri sebagai suami. "Jangan sampai kamu berpikiran pendek, Selena. Kamu harus percaya daddy. Kita bisa perbaiki kesalahpahaman ini." Dalam hati Dev tentu masih mempunyai keyakinan jika semua masalah yang terjadi belakangan ini pasti bisa diatasi. Kesalahpahaman yang terlanjur tercipta menyeretnya pada sebuah penyesalan
Tak terasa sudah lewat dua pekan semenjak Selena pergi tanpa pamit, Dev belum juga bisa menemukan istrinya itu. Padahal dia sudah mengerahkan semua orang untuk mencari keberadaan Selena. Tak satu pun dari orang-orangnya memberikan kabar baik hingga detik ini.Hidup Dev terasa sangat hampa dan tersiksa. Mengingat, jika saat ini sang istri tengah mengandung anaknya. Seorang anak yang terlambat dia ketahui. Keturunan yang benar-benar berasal dari darah dagingnya sendiri. Tak hanya raga yang tersiksa, fisik Dev pun terlihat sangat kacau dan tak terurus. Pria itu seperti tak memiliki selera untuk menjalani hidup. Hari-harinya hanya diisi dengan mencari dan mencari Selena. Dev seolah mati karena separuh jiwanya pergi tanpa pamit. Beruntung masih ada orang-orang baik di sekitar pria itu yang siap membantunya kapan saja. Marvin—sahabat sekaligus asisten pribadi Dev tak sekalipun membiarkan Dev mengurus masalahnya sendiri. Terbukti pada saat Dev memerintah agar segera mencari tahu kebenaran
Perjalanan yang ditempuh oleh Dev cukup memakan waktu yang panjang. Kurang lebih hampir tiga jam pria itu ada di dalam mobil dengan perasaan tak keruan. Dia bahkan tak mengizinkan untuk beristirahat barang sebentar. Kenapa Selena bisa pergi darinya sejauh itu, pikir Dev, berkali-kali membuang napas berat. "Vin, bilang sama anak buah kita jangan sampai kecolongan lagi. Suruh dia memantau terus Selena." Dev menoleh pada Marvin yang duduk di sampingnya. "Ya, Dev." Marvin bahkan sejak tadi tak mengalihkan sedikit pun perhatiannya dari layar ponsel. Dev lantas kembali menatap ke kaca mobil. "Bisa lebih cepat sedikit?" ucap Dev pada sopir yang mengemudi. Rasa-rasanya dia sudah tidak sabar ingin segera tiba dan bertemu dengan istrinya."Baik, Pak." Sopir mengangguk, seraya menambah kecepatan. Darwin yang duduk di sebelah sopir terlihat sedang bertukar pesan dengan sang ibu. Monica selalu berpesan agar memberi kabar saat Selena ditemukan keberadaannya. "Dev, anak buah kita mengirimkan f
"Daddy!" Selena memekik kaget dengan pemandangan yang tersaji secara nyata di depan mata. Bahkan, ponsel yang ada di genggaman terlepas, hingga terbanting di bebatuan. Dia pun sontak mendekati sang suami yang sudah tergeletak di tanah dengan bersimbah darah. "Dad!" Darwin pun sontak mendekati sang ayah yang nyaris tak sadarkan diri. Disusul Marvin yang turut mendekat setelah mengambil ponselnya dari tanah. "Dev!" Selena terduduk lemas di tanah, dengan tangan gemetaran dia berusaha memapah kepala Dev ke pangkuan. "Daddy ... Dad ...." Tanpa disuruh, air mata telah berjatuhan ke pipi tirusnya. "Daddy ... Please ... Daddy harus bertahan!" "Dad ... Daddy ...." Darwin ikut terduduk di samping Dev dengan air mata bercucuran. Kali pertama melihat ayahnya tertembak, membuat pemuda itu merasa syok bukan main. "Daddy ..." "Darwin, cepat bawa masuk Dev ke mobil. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!" kata Marvin. Sang sopir yang semula ikut terkejut sudah siap di dalam mobil, meski t
Rasanya sudah tidak sabar untuk mendengar kabar dari para tenaga medis di dalam sana yang saat ini tengah berjuang menangani Dev. Selena bahkan nyaris tidak duduk lantaran hatinya belum merasa tenang. Padahal, dia sendiri butuh istirahat karena kondisinya yang sedang berbadan dua. Entah sudah berapa kali gadis itu berjalan mondar-mandir di depan pintu Ruang IGD. Air matanya pun tak berhenti mengalir sejak tadi. Sesekali Selena mengusap perutnya saat lagi-lagi kram melanda. Sementara itu Darwin baru saja selesai memberi kabar kepada sang ibu. Dan Monica berjanji akan segera menyusul ke rumah sakit yang letaknya sangat jauh dari ibukota. Darwin kemudian mengirim lokasi rumah sakit kepada Marvin, setelah sahabat dekat Dev itu kembali dari kepolisian setempat. Selanjutnya, Darwin menghampiri Selena yang tak berhenti mencemaskan Dev. "Selena ...." Darwin berdiri di samping sang mantan istri yang hari itu terlihat begitu kacau. Dia menghela napas lalu melirik sekilas kursi besi tunggu ya