Masih ada yg baca 'kan??👀 dikit lagi tamat kok🤧 Vote-nya donk😌
Hujan turun sangat deras ketika Dev membawa roda empat miliknya menyusuri setiap ruas jalan yang cukup lengang. Sepasang maniknya dengan awas memerhatikan setiap orang-orang yang berjalan di trotoar. Dia berharap bila salah satu dari mereka adalah sang istri. "Di mana kamu, Selena ... Daddy harus mencarimu ke mana ...." Dev mendesah frustrasi, memikirkan keberadaan Selena yang entah di mana. Kedua tangannya mengendalikan roda kemudi, sementara dia tetap berusaha melaju dengan kecepatan sedang. Tak ingin melewatkan satu orang pun yang melintas di hadapan. Dev merutuk dirinya sendiri lantaran telah lalai dalam menjaga Selena. Dia bahkan tak pantas menyebut dirinya sendiri sebagai suami. "Jangan sampai kamu berpikiran pendek, Selena. Kamu harus percaya daddy. Kita bisa perbaiki kesalahpahaman ini." Dalam hati Dev tentu masih mempunyai keyakinan jika semua masalah yang terjadi belakangan ini pasti bisa diatasi. Kesalahpahaman yang terlanjur tercipta menyeretnya pada sebuah penyesalan
Tak terasa sudah lewat dua pekan semenjak Selena pergi tanpa pamit, Dev belum juga bisa menemukan istrinya itu. Padahal dia sudah mengerahkan semua orang untuk mencari keberadaan Selena. Tak satu pun dari orang-orangnya memberikan kabar baik hingga detik ini.Hidup Dev terasa sangat hampa dan tersiksa. Mengingat, jika saat ini sang istri tengah mengandung anaknya. Seorang anak yang terlambat dia ketahui. Keturunan yang benar-benar berasal dari darah dagingnya sendiri. Tak hanya raga yang tersiksa, fisik Dev pun terlihat sangat kacau dan tak terurus. Pria itu seperti tak memiliki selera untuk menjalani hidup. Hari-harinya hanya diisi dengan mencari dan mencari Selena. Dev seolah mati karena separuh jiwanya pergi tanpa pamit. Beruntung masih ada orang-orang baik di sekitar pria itu yang siap membantunya kapan saja. Marvin—sahabat sekaligus asisten pribadi Dev tak sekalipun membiarkan Dev mengurus masalahnya sendiri. Terbukti pada saat Dev memerintah agar segera mencari tahu kebenaran
Perjalanan yang ditempuh oleh Dev cukup memakan waktu yang panjang. Kurang lebih hampir tiga jam pria itu ada di dalam mobil dengan perasaan tak keruan. Dia bahkan tak mengizinkan untuk beristirahat barang sebentar. Kenapa Selena bisa pergi darinya sejauh itu, pikir Dev, berkali-kali membuang napas berat. "Vin, bilang sama anak buah kita jangan sampai kecolongan lagi. Suruh dia memantau terus Selena." Dev menoleh pada Marvin yang duduk di sampingnya. "Ya, Dev." Marvin bahkan sejak tadi tak mengalihkan sedikit pun perhatiannya dari layar ponsel. Dev lantas kembali menatap ke kaca mobil. "Bisa lebih cepat sedikit?" ucap Dev pada sopir yang mengemudi. Rasa-rasanya dia sudah tidak sabar ingin segera tiba dan bertemu dengan istrinya."Baik, Pak." Sopir mengangguk, seraya menambah kecepatan. Darwin yang duduk di sebelah sopir terlihat sedang bertukar pesan dengan sang ibu. Monica selalu berpesan agar memberi kabar saat Selena ditemukan keberadaannya. "Dev, anak buah kita mengirimkan f
"Daddy!" Selena memekik kaget dengan pemandangan yang tersaji secara nyata di depan mata. Bahkan, ponsel yang ada di genggaman terlepas, hingga terbanting di bebatuan. Dia pun sontak mendekati sang suami yang sudah tergeletak di tanah dengan bersimbah darah. "Dad!" Darwin pun sontak mendekati sang ayah yang nyaris tak sadarkan diri. Disusul Marvin yang turut mendekat setelah mengambil ponselnya dari tanah. "Dev!" Selena terduduk lemas di tanah, dengan tangan gemetaran dia berusaha memapah kepala Dev ke pangkuan. "Daddy ... Dad ...." Tanpa disuruh, air mata telah berjatuhan ke pipi tirusnya. "Daddy ... Please ... Daddy harus bertahan!" "Dad ... Daddy ...." Darwin ikut terduduk di samping Dev dengan air mata bercucuran. Kali pertama melihat ayahnya tertembak, membuat pemuda itu merasa syok bukan main. "Daddy ..." "Darwin, cepat bawa masuk Dev ke mobil. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!" kata Marvin. Sang sopir yang semula ikut terkejut sudah siap di dalam mobil, meski t
Rasanya sudah tidak sabar untuk mendengar kabar dari para tenaga medis di dalam sana yang saat ini tengah berjuang menangani Dev. Selena bahkan nyaris tidak duduk lantaran hatinya belum merasa tenang. Padahal, dia sendiri butuh istirahat karena kondisinya yang sedang berbadan dua. Entah sudah berapa kali gadis itu berjalan mondar-mandir di depan pintu Ruang IGD. Air matanya pun tak berhenti mengalir sejak tadi. Sesekali Selena mengusap perutnya saat lagi-lagi kram melanda. Sementara itu Darwin baru saja selesai memberi kabar kepada sang ibu. Dan Monica berjanji akan segera menyusul ke rumah sakit yang letaknya sangat jauh dari ibukota. Darwin kemudian mengirim lokasi rumah sakit kepada Marvin, setelah sahabat dekat Dev itu kembali dari kepolisian setempat. Selanjutnya, Darwin menghampiri Selena yang tak berhenti mencemaskan Dev. "Selena ...." Darwin berdiri di samping sang mantan istri yang hari itu terlihat begitu kacau. Dia menghela napas lalu melirik sekilas kursi besi tunggu ya
"Selena!" Dari kejauhan tampak Marvin berjalan menghampiri Selena yang tengah duduk lesu di bangku tunggu. Dua pria berseragam polisi berada di sisi Marvin. Selena menoleh ke arah Marvin. "Om?" Dia pun berdiri sambil memerhatikan dua sosok asing berseragam polisi. "Gimana keadaan Dev?" tanya Marvin saat sudah berada di hadapan Selena. Sejak kejadian tak terduga beberapa jam yang lalu, pria itu benar-benar tidak bisa tenang. Marvin bahkan sempat mengelilingi TKP cukup lama bersama para anak buahnya. Namun, dia tidak menemukan keberadaan Lexy di tempat tersebut. Dia pun memutuskan untuk melaporkannya pada pihak yang berwajib. Selain akan mempermudah proses pencarian. Marvin ingin Lexy mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya. "Dokter tadi bilang kalau peluru berhasil dikeluarkan, Om. Tapi ... Daddy kekurangan darah. Dan ... perlu donor," kata Selena, sambil mengusap sudut kedua matanya yang basah bergantian. Sepasang alis Marvin naik. "Kekurangan darah?" Selena mengan
"A-apa?" Dunia Darwin seolah runtuh seketika itu juga. Pernyataan Marvin barusan membuat pemuda itu sampai hilang keseimbangan nyaris limbung, andai Marvin tidak sigap memeganginya. "Darwin!" Marvin menahan tubuh Darwin agar tidak terjatuh. Dokter sampai harus turut serta membantu Marvin. "Duduk dulu, Pak. Duduk dulu." Darwin menurut. Menduduki kursi yang semula dia tempati. Namun, pandangan mantan suami Selena itu terlihat kosong. Bola matanya memerah dan berkaca-kaca. Darwin nampak syok sampai tak bisa berkata-kata. Marvin dan dokter saling bertukar pandang sekilas. Mereka merasa kasihan dengan Darwin yang kemungkinan saat ini tengah terpukul. "Darwin ...." panggil Marvin, mengguncang pundak Darwin agar pemuda itu bisa segera sadar dari lamunannya."Itu artinya Daddy bukan ayah kandungku, Om?" Hanya sederet kalimat itu yang terus terlintas di kepala Darwin sesaat Marvin membongkar kebenarannya. Marvin pun dengan berat hati menjawab, "Hmm. Dev bukan ayah kandung kamu, Darwin."
"Darwin, kamu kenapa? Mami baru aja dateng, kamu tau-tau marah-marah begini sama mami," Monica terlihat tak mengerti sama sekali duduk permasalahan yang membuat Darwin tiba-tiba mengumpatnya. Anak laki-lakinya itu bahkan tidak ramah seperti biasanya. Sementara Selena yang terlihat baru saja keluar dari ruangan Intensif terkejut, ketika mendapati Monica yang ternyata sudah berada di rumah sakit. Dia juga melihat sosok mbok Nung. "Mami?" gumam Selena. Mbok Nung yang melihat kemunculan Selena langsung menghampiri. "Non ...." "Mbok Nung ...." Keduanya lantas saling memeluk, melepas kerinduan setelah dua pekan terakhir tidak bertemu. Mbok Nung menangis—memeluk Selena dengan sangat erat sambil mengusap-usap punggung gadis itu. "Non Selena gimana kabarnya?" "Aku baik, Mbok.""Non Selena sehat 'kan?" "Iya, Mbok." Mbok Nung mengurai pelukan, lalu menelisik keadaan Selena yang cukup berantakan. Namun, dia ingin bertanya terlebih dahulu mengenai kondisi Dev. Baru setelah itu dia akan me