Perjalanan yang ditempuh oleh Dev cukup memakan waktu yang panjang. Kurang lebih hampir tiga jam pria itu ada di dalam mobil dengan perasaan tak keruan. Dia bahkan tak mengizinkan untuk beristirahat barang sebentar. Kenapa Selena bisa pergi darinya sejauh itu, pikir Dev, berkali-kali membuang napas berat. "Vin, bilang sama anak buah kita jangan sampai kecolongan lagi. Suruh dia memantau terus Selena." Dev menoleh pada Marvin yang duduk di sampingnya. "Ya, Dev." Marvin bahkan sejak tadi tak mengalihkan sedikit pun perhatiannya dari layar ponsel. Dev lantas kembali menatap ke kaca mobil. "Bisa lebih cepat sedikit?" ucap Dev pada sopir yang mengemudi. Rasa-rasanya dia sudah tidak sabar ingin segera tiba dan bertemu dengan istrinya."Baik, Pak." Sopir mengangguk, seraya menambah kecepatan. Darwin yang duduk di sebelah sopir terlihat sedang bertukar pesan dengan sang ibu. Monica selalu berpesan agar memberi kabar saat Selena ditemukan keberadaannya. "Dev, anak buah kita mengirimkan f
"Daddy!" Selena memekik kaget dengan pemandangan yang tersaji secara nyata di depan mata. Bahkan, ponsel yang ada di genggaman terlepas, hingga terbanting di bebatuan. Dia pun sontak mendekati sang suami yang sudah tergeletak di tanah dengan bersimbah darah. "Dad!" Darwin pun sontak mendekati sang ayah yang nyaris tak sadarkan diri. Disusul Marvin yang turut mendekat setelah mengambil ponselnya dari tanah. "Dev!" Selena terduduk lemas di tanah, dengan tangan gemetaran dia berusaha memapah kepala Dev ke pangkuan. "Daddy ... Dad ...." Tanpa disuruh, air mata telah berjatuhan ke pipi tirusnya. "Daddy ... Please ... Daddy harus bertahan!" "Dad ... Daddy ...." Darwin ikut terduduk di samping Dev dengan air mata bercucuran. Kali pertama melihat ayahnya tertembak, membuat pemuda itu merasa syok bukan main. "Daddy ..." "Darwin, cepat bawa masuk Dev ke mobil. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!" kata Marvin. Sang sopir yang semula ikut terkejut sudah siap di dalam mobil, meski t
Rasanya sudah tidak sabar untuk mendengar kabar dari para tenaga medis di dalam sana yang saat ini tengah berjuang menangani Dev. Selena bahkan nyaris tidak duduk lantaran hatinya belum merasa tenang. Padahal, dia sendiri butuh istirahat karena kondisinya yang sedang berbadan dua. Entah sudah berapa kali gadis itu berjalan mondar-mandir di depan pintu Ruang IGD. Air matanya pun tak berhenti mengalir sejak tadi. Sesekali Selena mengusap perutnya saat lagi-lagi kram melanda. Sementara itu Darwin baru saja selesai memberi kabar kepada sang ibu. Dan Monica berjanji akan segera menyusul ke rumah sakit yang letaknya sangat jauh dari ibukota. Darwin kemudian mengirim lokasi rumah sakit kepada Marvin, setelah sahabat dekat Dev itu kembali dari kepolisian setempat. Selanjutnya, Darwin menghampiri Selena yang tak berhenti mencemaskan Dev. "Selena ...." Darwin berdiri di samping sang mantan istri yang hari itu terlihat begitu kacau. Dia menghela napas lalu melirik sekilas kursi besi tunggu ya
"Selena!" Dari kejauhan tampak Marvin berjalan menghampiri Selena yang tengah duduk lesu di bangku tunggu. Dua pria berseragam polisi berada di sisi Marvin. Selena menoleh ke arah Marvin. "Om?" Dia pun berdiri sambil memerhatikan dua sosok asing berseragam polisi. "Gimana keadaan Dev?" tanya Marvin saat sudah berada di hadapan Selena. Sejak kejadian tak terduga beberapa jam yang lalu, pria itu benar-benar tidak bisa tenang. Marvin bahkan sempat mengelilingi TKP cukup lama bersama para anak buahnya. Namun, dia tidak menemukan keberadaan Lexy di tempat tersebut. Dia pun memutuskan untuk melaporkannya pada pihak yang berwajib. Selain akan mempermudah proses pencarian. Marvin ingin Lexy mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya. "Dokter tadi bilang kalau peluru berhasil dikeluarkan, Om. Tapi ... Daddy kekurangan darah. Dan ... perlu donor," kata Selena, sambil mengusap sudut kedua matanya yang basah bergantian. Sepasang alis Marvin naik. "Kekurangan darah?" Selena mengan
"A-apa?" Dunia Darwin seolah runtuh seketika itu juga. Pernyataan Marvin barusan membuat pemuda itu sampai hilang keseimbangan nyaris limbung, andai Marvin tidak sigap memeganginya. "Darwin!" Marvin menahan tubuh Darwin agar tidak terjatuh. Dokter sampai harus turut serta membantu Marvin. "Duduk dulu, Pak. Duduk dulu." Darwin menurut. Menduduki kursi yang semula dia tempati. Namun, pandangan mantan suami Selena itu terlihat kosong. Bola matanya memerah dan berkaca-kaca. Darwin nampak syok sampai tak bisa berkata-kata. Marvin dan dokter saling bertukar pandang sekilas. Mereka merasa kasihan dengan Darwin yang kemungkinan saat ini tengah terpukul. "Darwin ...." panggil Marvin, mengguncang pundak Darwin agar pemuda itu bisa segera sadar dari lamunannya."Itu artinya Daddy bukan ayah kandungku, Om?" Hanya sederet kalimat itu yang terus terlintas di kepala Darwin sesaat Marvin membongkar kebenarannya. Marvin pun dengan berat hati menjawab, "Hmm. Dev bukan ayah kandung kamu, Darwin."
"Darwin, kamu kenapa? Mami baru aja dateng, kamu tau-tau marah-marah begini sama mami," Monica terlihat tak mengerti sama sekali duduk permasalahan yang membuat Darwin tiba-tiba mengumpatnya. Anak laki-lakinya itu bahkan tidak ramah seperti biasanya. Sementara Selena yang terlihat baru saja keluar dari ruangan Intensif terkejut, ketika mendapati Monica yang ternyata sudah berada di rumah sakit. Dia juga melihat sosok mbok Nung. "Mami?" gumam Selena. Mbok Nung yang melihat kemunculan Selena langsung menghampiri. "Non ...." "Mbok Nung ...." Keduanya lantas saling memeluk, melepas kerinduan setelah dua pekan terakhir tidak bertemu. Mbok Nung menangis—memeluk Selena dengan sangat erat sambil mengusap-usap punggung gadis itu. "Non Selena gimana kabarnya?" "Aku baik, Mbok.""Non Selena sehat 'kan?" "Iya, Mbok." Mbok Nung mengurai pelukan, lalu menelisik keadaan Selena yang cukup berantakan. Namun, dia ingin bertanya terlebih dahulu mengenai kondisi Dev. Baru setelah itu dia akan me
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art