"Buka! Buka! Siapa saja, tolong bukakan pintu ini! Buka!"Suara Selena nyaris habis, bahkan tenggorokannya sampai terasa sangat sakit, karena sejak tadi dia terus saja berteriak—memanggil siapa pun yang berkenan dan berbaik hati membukakan pintu untuknya. Namun, tak seorang pun mengindahkan teriakannya. Tak ada seorang pun yang tersentuh hatinya mendengar tangisan permohonannya. "Buka ... Aku mohon ... Aku gak mau ada di sini ...." Kedua tangannya pun mulai terasa pegal dan nyeri, akibat memukuli benda keras di hadapan yang tak kunjung dibuka. Merasa jika usahanya hanya sia-sia saja, Selena lantas menyudahinya. Tubuh kecilnya luruh ke lantai marmer yang dingin, beserta tangisan yang kian menjadi. "Daddy ... tolong aku, Daddy. Tolong aku. Aku takut, Dad." Selena menekuk kedua lutut, lalu memeluknya erat. Dia menundukkan kepala, dan menumpahkan tangisan. "Selena takut ...." Di ruangan minim cahaya itu, Selena berada saat ini. Sejak terakhir kali dia dibawa paksa oleh sekelompok ora
Diculiknya Selena membuat Dev benar-benar dilanda kekalutan. Pria itu sampai harus mengerahkan semua koneksi untuk membantunya melacak keberadaan sang istri. Dev bahkan tidak ragu meminta bantuan kepada teman-teman lamanya. Tak peduli meski dia harus menggeledah seluruh kota. Tak lupa Dev juga melibatkan pihak yang berwajib untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Entah apa motif di balik penculikan tersebut. Hingga Dev harus kembali berurusan dengan mantan teman sekaligus musuhnya itu.Dan untuk mencari tahu keterlibatan kakak tiri Selena yaitu Rania dalam penculikan ini, Dev memutuskan untuk mendatangi langsung apartemen perempuan itu. Sementara Marvin diberi tugas untuk mencari tahu melalui rekaman CCTV di gedung tempat Rania tinggal saat ini. Di sinilah Dev berada sekarang, di dalam unit yang terbilang cukup luas bersama Herlin. Mantan besan yang saat ini berstatus ibu mertua. Sejak tiga puluh menit yang lalu, Dev duduk di ruang tamu. Menunggu Herlin berbicara mengenai keb
"Bagaimana kondisimu? Apa ada yang sakit?" Pertanyaan tersebut terlontar saat Dev baru saja masuk ke ruang rawat Darwin. Karena terlalu sibuk mencari bantuan, Dev belum sempat melihat kondisi Darwin. "Udah agak baikan, sih, Dad. Cuma yang masih kerasa sakit di sini." Darwin menunjuk pinggangnya yang sempat terkena tendangan dari orang-orang tak dikenal itu. "kayaknya paling parah di sini." Dev mengangguk. "Besok hasil ronsennya keluar. Nanti dokter bisa jelasin untuk tindakan selanjutnya," ujar Dev, menatap iba Darwin yang terbaring tak berdaya di ranjang pasien. "kamu bisa bilang ke dokter apa saja keluhanmu. Daddy udah minta staf dokter jaga untuk mengawasi selama dua puluh empat jam." Telapak tangan Dev menepuk-nepuk pundak Darwin. "Makasih, Dad," ucap Darwin, tak menyangka jika Dev sangat-sangat memedulikan keadaannya. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hati pemuda itu. "Dad, aku sungguh minta maaf karena gak bisa ngelindungin Selena. Seandainya aja—" "Sudah. Semuany
"Daddy ..." Selena menghampiri sang suami yang tengah berada di balkon kamar mereka. Semringah di rautnya, menunjukkan bila saat ini gadis itu sedang merasa bahagia. Dengan tangan kiri yang mengepal di balik punggungnya, Selena telah berdiri di balik punggung suaminya. Dev memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu menoleh ke sang istri yang pagi ini terlihat sangat cantik. Bibir ranumnya merekahkan senyum yang sangat manis. "Ada apa? Kayaknya kamu lagi bahagia." Senyum itu semakin mengembang. "Aku punya kejutan buat Daddy," ucap Selena. Sejak keluar dari kamar mandi, jantungnya tak berhenti berdebar-debar saking senangnya. Kebahagiaan yang sudah lama dia nantikan, akhirnya terwujud. "Apa itu?" Telapak tangan Dev menempel di kulit pipi sang istri yang sedikit merona. "Hmm ... Coba Daddy merem dulu," pinta Selena. Semoga kejutan yang dia berikan dapat membuat suaminya ini bahagia. "Merem?" Sepasang alis Dev naik. "Hmm." "Oke." Demi menuruti kemauan Selena, Dev pun memejamkan mata
Perjalanan yang ditempuh Dev demi mendatangi Selena rupanya cukup memakan waktu. Jalanan yang di setiap sisinya terdapat pepohonan pinus itu terasa asing bagi Dev. Belum lagi kabut yang menghalangi jalan sepi itu. Malam pun kian larut, tetapi tak sedikitpun membuat semangat Dev surut. Di mobil yang dikemudikan Marvin, terdapat satu sosok yang sempat membuat Dev terheran-heran. Pasalnya, dia tidak mengira sama sekali jika Monica akan ikut dengannya. Monica menawarkan diri untuk ikut serta karena dia cukup tahu—di mana Lexy menyembunyikan Selena. Di sebuah Villa pribadi milik mantan selingkuhannya itu yang letaknya sangat jauh dari keramaian kota. Dahulu kala, dia dan Lexy sering mendatangi Villa tersebut jika Dev sedang berpergian ke luar negeri mengurus bisnisnya. Tempat yang menjadi saksi bisu hubungan gelapnya bersama Lexy. "Nanti habis dari jembatan, kamu belok ke kanan, Vin," kata Monica memberi petunjuk dari tempatnya berada. Di belakang kursi Dev. "Oke." Marvin mengiyakan t
Untuk ke sekian kalinya, kedua orang yang dulu pernah dekat dan akrab, kini saling berhadapan dengan sorot kebencian. Suasana semakin memanas ketika ujung pistol sama-sama mengarah ke kening masing-masing. Bisa saja dengan sekali tarik, diantara mereka akan tumbang. Entah Dev atau Lexy yang akan kalah lebih dulu. Di samping Lexy, sosok perempuan yang menjadi tujuan utama Dev mendatangi tempat ini justru terlihat marah. Sorot kebencian yang terpancar menandakan bila Selena sama sekali tidak merasa senang melihat kedatangan suaminya. Aura dingin makin menyeruak ketika Selena dengan sengaja mengalihkan pandangan saat Dev menatapnya. Sedangkan Rania tak berani bergerak di tempatnya lantaran ketakutan seolah-olah mengikat kedua kakinya.Pias serta sedikit merasa kecewa, itulah raut yang menghiasi wajah Dev saat ini. Sang istri terlihat begitu marah, hingga tak sudi membalas tatapan kerinduannya.Apakah Selena sudah mengetahui fakta yang sengaja dia sembunyikan selama ini? Pikir Dev—merasa
"Apa maksudmu kalau semua itu tiba-tiba? Mana videonya? Aku mau liat sendiri." Monica merasa penasaran dengan video rekaman tersebut. "kamu ada videonya?" Telapak tangannya menengadah seraya menatap bergantian Dev dan Marvin."Aku gak pegang videonya. Yang pegang Bu Herlin," kata Dev."Bu Herlin? Tapi kenapa Lexy bisa tau? Apa mereka juga bekerja sama?" Monica mengerutkan kening, lalu menurunkan perlahan telapak tangannya yang semula terangkat. Keinginan untuk melihat video tersebut untuk sementara dia tunda."Rania yang melakukannya. Dia gak sengaja liat video itu di hape Bu Herlin. Dan ...." "Rania bocorin semua itu ke Lexy?" tebak Monica. "Hmm." Dev mengangguk, lantas melirik sang istri yang belum sadarkan diri. "Dan Lexy menunjukkan video itu ke Selena," imbuh Dev, menarik panjang napasnya. Monica merutuk Lexy dalam hati atas apa yang dilakukan oleh pria itu. Benar-benar selalu mengambil kesempatan di saat yang tidak tepat. "Selena marah sama kamu, Dev?" Tiba-tiba saja Monica i
Pintu kamar yang menjadi tempat beristirahat terbuka—menampilkan sosok yang seharian kemarin mencemaskan sang istri. Dev mengerutkan kening saat dia mendapati Selena sedang duduk bersandar sambil melamun. Sejak kapan istrinya itu terbangun? Kenapa tidak ada yang memberitahunya, pikir Dev. 'Kenapa Mbok Nung gak bangunin aku? Ke mana Mbok Nung?' Dev membatin sambil celingukan mencari keberadaan Mbok Nung—yang berjanji akan membangunkannya saat Selena sadar. Akan tetapi, Dev tidak melihat keberadaan Mbok Nung di ruangan rawat itu. Yang ada justru Selena, yang sepertinya tidak menyadari keberadaannya. Akhirnya, Dev memutuskan untuk melangkah—berjalan mendekati bed pasien. Pria itu berdeham ringan, membuat sosok cantik yang nampak pucat di hadapan tersentak. Selena hanya melirik dengan sudut matanya, seakan-akan kemunculan Dev tidak membuatnya merasa senang seperti kemarin-kemarin. Hambar serta datar reaksi yang ditunjukkan oleh Selena ketika Dev sudah berdiri di sampingnya. "Gimana k