"Ma! Mama!" Rania berteriak memanggil sang mama ketika dia baru saja pulang ke apartemen. Selama beberapa pekan ini Herlin memang masih tinggal bersama dengan anak perempuannya. Ibu tiri Selena itu belum menemukan rumah yang sesuai keinginannya. Melangkah ke pantry, Rania membuka kulkas, seraya bergumam, "Mama ke mana, sih?" Diambilnya kaleng minuman, lalu menutupnya kembali. Rania melenggang dari pantry, sambil membawa serta minuman kalengnya. Perempuan itu menduduki sofa, tetapi urung meminumnya sebab dia melihat ponsel Herlin tergeletak di meja. Meletakkan kalengnya ke meja, Rania lantas mengambil benda persegi pipih itu. "Ini 'kan hapenya Mama. Terus, orangnya ke mana, coba? Kenapa hapenya di tinggal. Aneh," gumam Rania, heran dengan sifat ibunya yang agak pelupa. Tiba-tiba, rasa penasaran muncul di benak perempuan itu. Sudah lama sekali dia tidak menyentuh ponsel sang ibu. "Gak dikunci? Tumben?" Kesempatan, pikir Rania. Dia pun lekas membuka ponsel Herlin. Hal pertama yang
Siang ini Dev terpaksa memenuhi permintaan sang mantan istri yang ingin mengajaknya bertemu di sebuah restoran. Awalnya, Dev ingin menolak, tetapi Monica sedikit memaksa dan beralasan ingin membicarakan masalah yang penting. Alhasil, keduanya pun kini telah berada di sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari kantor Dev. Duduk berhadapan untuk pertama kalinya setelah perceraian beberapa waktu yang lalu. "Bicaralah. Aku gak punya banyak waktu," kata Dev setelah beberapa menit menduduki kursi. Dev memerhatikan sorot mata sang mantan istri yang terlihat khawatir. Dan nampaknya, bobot tubuh Monica agak sedikit menurun, karena terlihat dari rahangnya yang semakin tirus. "Makasih Dev karena mau menemuiku," ujar Monica, merasa lega sebab Dev mau menepati janjinya. Monica menghela panjang napasnya, kemudian kembali bicara. "pertama aku juga mau bilang makasih karena kamu sudah memaafkan Darwin dan mengembalikan fasilitasnya." Respon Dev hanya menaikkan satu alisnya. "Dan ... dua hari
Manik Herlin tak pernah lepas menatap sosok pria asing yang dibawa oleh anak perempuannya ke unit ini. Pria berpenampilan sangat rapi, wangi dan mempunyai paras rupawan itu sempat membuat Herlin terpesona. 'Bisa-bisanya Rania kenal Om-om model begini? Kayaknya duitnya banyak. Tapi, aku kayak gak asing sama mukanya. Mirip siapa, ya? Kayak pernah liat.' Herlin menebak-nebak dalam benak, sambil mengingat-ingat wajah orang yang mirip dengan pria yang duduk di hadapannya. "Nyonya Herlin?" Lexy—pria yang saat ini berada di di hadapan Herlin bersuara. Herlin terkesiap lantas mengerjap. "Ya?" Rautnya kikuk setengah mati, seraya melirik Rania yang duduk di sampingnya. Lexy menyilangkan kaki. "Maaf, kalau saya sudah mengganggu istirahat Anda," ucapnya. Kedua tangan Lexy bersedekap santai, sambil bersandar di sofa yang empuk. Ide untuk menemui Herlin secara langsung tercetus setelah dia menonton video rekaman CCTV mengenai Dev yang menabrak papa tiri Rania. Lexy merasa mendapat jackpot.Her
"Mbok, aku mandi dulu, ya ... keburu Daddy pulang." Selena melepas appron yang melekat di badannya sejak dua jam yang lalu. Dia baru saja selesai menyiapkan masakan spesial untuk sang suami sebagai ucapan terimakasih. "Iya, Non. Ini biar mbok yang nerusin." Mbok Nung mengambil alih pekerjaan Selena—menata masakan yang sudah siap di meja makan. Ada sekitar lima menu untuk makan malam hari ini, ditambah dengan dessert favorit Dev. "Makasih, Mbok." Selena meninggalkan dapur, kemudian bergegas menuju kamar. Sebelum Dev pulang dia harus sudah terlihat bersih dan cantik. Berjam-jam berada di dapur membuat tubuhnya merasa tidak nyaman. Selanjutnya, Selena memasuki kamar ganti terlebih dahulu untuk mengambil jubah mandi. Setelah mengambilnya, dia mengecek ponselnya sebentar yang tergeletak di atas nakas. "Daddy ngajak makan di luar? Aku aja udah masak." Selena baru sempat membaca pesan balasan dari suaminya. "biarin deh. Makan di luarnya lain kali aja. Besok juga udah berangkat ke Bali."
Selena baru saja terbangun dari tidurnya, tetapi tidak mendapati sang suami di sisinya. Dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, gadis itu bangkit, kemudian duduk bersandar di kepala ranjang."Aku keduluan lagi," gumam Selena sambil mengusap wajah bangun tidurnya. Dia selalu seperti ini—bangun terlambat. Pintu kamar mandi terbuka, perhatian Selena sontak teralihkan pada sosok yang keluar dari sana, dengan berbalut bathrope. Dev tersenyum ke arah sang istri yang cemberut. "Udah bangun?" Pria yang sudah terlihat segar dan wangi sabun itu melangkah ke arah ranjang. Dev duduk di hadapan Selena, mengusap puncak kepalanya, lalu beringsut maju untuk sekadar memberi kecupan di kening. "Aku keduluan Daddy lagi." Setelah mendapat ciuman dari suaminya, perasaan kecewa pada diri sendiri sedikit berkurang. Namun, Selena masih nampak cemberut dan tidak malu-malu lagi mengekspresikan diri di hadapan Dev. Tingkah Selena membuat Dev gemas. "Memangnya kenapa kalau keduluan lagi? Daddy gak pernah me
"Kamu udah jalan?" Dev bertanya saat sang istri menjawab panggilan teleponnya dari seberang sana. Pria itu baru saja keluar dari ruang meeting, dan saat ini tengah masuk ke lift. Di sampingnya ada Marvin yang akan mengantarnya ke bandara. "Udah, Dad. Dari lima belas menit yang lalu," jawab Selena. "Daddy udah selesai pertemuannya?" "Udah. Baru aja selesai." Kaki Dev melangkah keluar dari lift saat pintunya terbuka. Dia berjalan beriringan dengan Marvin menuju lobby. "Daddy langsung ke bandara 'kan?" "Ya, ini daddy lagi mau jalan." Semua staf yang berpapasan dengan Dev, menundukkan kepala sekilas, sebagai sapaan mereka terhadap Presdir di perusahaan tersebut. Dev membalasnya dengan anggukan sekilas pula, sambil terus berjalan menuju luar kantor. "Ya udah, Daddy cepetan nyusul. Hati-hati di jalan," kata Selena. Langkah Dev berhenti di depan pintu masuk gedung miliknya. "Ya. Kamu juga. Sampai ketemu di bandara." "Hmm." Obrolan singkat itu berakhir. Dev memasukkan ponselnya ke da
Roda empat yang kini sudah berganti pengemudi itu melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Sementara di belakang mobil tersebut ada mobil lain yang juga melaju begitu kencang. Jalanan beraspal mulus, yang di setiap sisi terdapat jurang itu terlihat lengang dan basah. Hujan deras masih menyisakan rintik gerimis. "Sedikit lagi kita sampai ke tempat Darwin dan Selena berada," kata Marvin, yang saat ini sudah berpindah tempat duduk—di depan kemudi. Di sampingnya ada Dev, sedangkan di jok belakang diisi oleh Pak Didi. Dev hanya menggertakkan giginya. Telapak tangannya terkepal kuat, seakan kemarahan yang menyelimuti siap meledak. Sepasang manik kelamnya berkabut, menyorot tajam ke arah kaca depan yang mengembun. Pikirannya benar-benar sedang kalut. Dia tak berhenti memikirkan nasib sang istri yang entah seperti apa. "Itu dia!" Marvin memelankan laju mobil ketika pandangannya menangkap sebuah mobil yang tak asing berada tak jauh dari jangkauannya. Disusul dengan mobil yang mengekor d
"Buka! Buka! Siapa saja, tolong bukakan pintu ini! Buka!"Suara Selena nyaris habis, bahkan tenggorokannya sampai terasa sangat sakit, karena sejak tadi dia terus saja berteriak—memanggil siapa pun yang berkenan dan berbaik hati membukakan pintu untuknya. Namun, tak seorang pun mengindahkan teriakannya. Tak ada seorang pun yang tersentuh hatinya mendengar tangisan permohonannya. "Buka ... Aku mohon ... Aku gak mau ada di sini ...." Kedua tangannya pun mulai terasa pegal dan nyeri, akibat memukuli benda keras di hadapan yang tak kunjung dibuka. Merasa jika usahanya hanya sia-sia saja, Selena lantas menyudahinya. Tubuh kecilnya luruh ke lantai marmer yang dingin, beserta tangisan yang kian menjadi. "Daddy ... tolong aku, Daddy. Tolong aku. Aku takut, Dad." Selena menekuk kedua lutut, lalu memeluknya erat. Dia menundukkan kepala, dan menumpahkan tangisan. "Selena takut ...." Di ruangan minim cahaya itu, Selena berada saat ini. Sejak terakhir kali dia dibawa paksa oleh sekelompok ora