Adduhh... maaf ya kemarin ga bisa update karena di rumah listrik mati. Ini pun belum nyala😭Maaf bgttt🙏 happy reading yaa... jangan lupa vote-nya❤️😘
"Ini ... Kenapa kita ke sini, Dad?" Selena menoleh ke sang suami yang baru saja mematikan mesin mobil. Raut kebingungan yang ditunjukkan membuat Dev merasa gemas. Bagaimana Selena tidak bingung? Jika Dev membawanya ke rumah sang papa yang sudah diambil hak miliknya secara curang. "Kenapa? Kamu gak suka kita ke rumah ini?" Dev membuka sabuk pengaman, masih berpura-pura tidak tahu apa-apa. "Ayo turun," ajaknya dengan nada bicara lembut.Ajakan Dev disambut dengan deheman oleh Selena. "A-aku gak mau. Aku lagi gak mau ketemu Mama," tolak Selena, dengan raut enggan. "kalo Daddy mau turun, silakan. Aku nunggu di sini aja," lanjutnya, memilih menghadap ke depan—mengabaikan suaminya yang tengah menatapnya keheranan. "Kamu yakin gak mau ikut turun?" Dev menahan senyum dengan sikap Selena yang dia rasa sedang kesal dan marah. "Coba kamu liat ke sana," tunjuknya, mengarah kepada sosok yang tengah tergopoh-gopoh menghampiri. Mau tak mau Selena mengikuti telunjuk yang diarahkan suaminya. Seperk
Rumah sederhana peninggalan sang ayah kini benar-benar sudah menjadi miliknya. Berkat Dev semua itu takkan mungkin pernah bisa terwujud dan menjadi nyata. Selena merasa sangat bersyukur memiliki suami yang benar-benar membantu mewujudkan keinginannya satu persatu. "Makasih, Daddy ...." Kini, tanpa malu-malu lagi Selena menghambur ke pelukan sosok pria yang paling baik menurutnya."Sama-sama, Selena. Daddy senang bisa liat kamu bahagia." Bak seorang ayah yang memberi pelukan kepada putrinya, Dev menepuk-nepuk lembut punggung sang istri yang nampak nyaman berada di pelukannya. "Daddy akan beri apa pun yang kamu mau." "Cukup, Dad. Ini semua udah cukup buat aku," ujar Selena, enggan menarik diri dari pelukan Dev. Sepasang maniknya sudah basah karena air mata haru."Belum. Ini masih belum cukup," ucap Dev. 'Semua yang daddy lakukan gak sebanding sama dosa yang udah daddy lakukan ke papamu, Selena.' Nyatanya, Dev hanya mampu mengakui dosanya di dalam hati. Keberaniannya masih belum cukup
Tok! Tok!"Masuk." Selena menatap ke arah pintu yang dibuka oleh Mbok Nung. Gadis itu tengah duduk bersandar di kepala ranjang, setelah beberapa saat yang lalu terbangun."Non, sarapannya udah siap. Mau Mbok bawain ke sini aja?" Mbok Nung hanya berdiri di bibir pintu kamar Selena. "Aku makan di sana aja, Mbok." Raut Selena terlihat murung, karena saat terbangun Dev sudah tidak ada di sisinya. "Oh, ya, Mbok. Tadi Daddy berangkat jam berapa?" tanya Selena. "Tuan Dev tadi berangkat jam tujuh, Non." "Kok, aku gak dibangunin, sih?" Selena mencebikkan bibir. "Tuan Dev gak tega mau bangunin Non," kata Mbok Nung memberi penjelasan. "Tuan ninggalin pesan buat Non, hari ini gak boleh ke mana-mana. Nanti siang ada sopir yang jemput ke sini." "Sopir?" Kening dan alis Selena menyatu. "Iya, Non. Mbok tinggal beres-beres dulu, ya, Non," pamit Mbok Nung."Ya, Mbok." Pintu kamar ditutup kembali oleh Mbok Nung, sedangkan Selena belum berniat untuk beranjak dari kasur. "Buat apa Daddy kirim sopi
Hingga detik ini, kedua manusia yang pernah memiliki status sebagai suami istri tersebut masih sama-sama bungkam. Semenjak bercerai, mereka tak pernah lagi berinteraksi mau pun duduk bersama dengan jarak sedekat ini. Hanya suara musik dari penyanyi luar negeri yang mengisi keheningan di dalam mobil itu. Dan nampaknya, isi kepala mereka pun sama— Mengapa Dev bisa-bisanya mengatur semua ini? 'Kenapa harus nyuruh Mas Darwin sih, yang jemput? Kalo tau 'kan, mending aku naik taksi aja tadi.' Selena membatin sebal, sambil membuang pandangan ke arah jendela. Bahkan, dia sama sekali belum bertegur sapa dengan mantan suaminya ini. Bungkamnya Selena dimaklumi oleh Darwin. Pemuda itu juga tidak terlalu ambil pusing dengan perintah sang daddy. Hanya saja, Darwin merasa hilang muka di hadapan mantan istrinya yang kini berstatus menjadi ibu tirinya. Sewaktu Dev memerintahkan untuk menjemput Selena di rumahnya, Darwin tak berani menolak. Mungkin, kesempatan ini bisa dia gunakan untuk meminta maaf
Bertemu dengan orang paling dibenci rasanya sungguh sangat memuakkan. Meskipun Dev kesal lantaran berhadapan kembali dengan Lexy, dia tetap harus terlihat tenang. Sudut matanya terlihat awas—memerhatikan Darwin sekilas, yang berdiri tidak jauh dari Lexy. Putranya itu sungguh tidak menyadari jika sedang berdiri dengan ayah kandungnya. "Kenapa bisa barengan gini, Dev?" Marvin berbisik sangat lirih di belakang telinga Dev. Situasi saat ini sungguh di luar dugaannya. Dev tak bergeming, hanya bola matanya saja yang bergulir menatap sang istri. "Kamu masuk duluan sama Darwin," ucap Dev, dengan suara dan tatapan mata yang melembut. Lantas, beralih menatap Marvin. "Vin, ajak mereka ke dalam." "Ya, Dev." Marvin yang tahu isi kepala Dev cukup mengiyakan perintah tersebut. "Ayo, Selena. Darwin," ajak Marvin, lalu melambaikan tangan ke arah Darwin yang lekas melangkah menghampiri. "Iya, Om." Darwin melewati Lexy tanpa meliriknya sama sekali. Sementara Selena mau tak mau menuruti perintah sua
Marvin hanya menggerakkan kepala sekilas, sebagai jawaban atas pertanyaan serentak dari Selena dan Darwin. Kedua orang itu lantas bertukar pandang sebentar, kemudian sama-sama menghela napas panjang. Yang sangat disayangkan adalah Rania mulai menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhannya, pikir Selena. 'Itu artinya, Mas Darwin udah gak ada hubungan sama Rania? Mereka putus?' Sudut manik Selena lamat-lamat memerhatikan raut Darwin yang tengah menahan kesal. "Yang jelas, laki-laki tadi itu bukan rekannya Dev." Marvin kembali bicara—menekankan sekali lagi jika Lexy tak mempunyai hubungan apa pun dengan Dev. Darwin mengangguk. "Tapi, Om, kenapa Daddy ...." "Maaf menunggu lama." Dev muncul di ruangan VIP, melangkah masuk sambil menatap ketiga orang yang sedang membicarakannya. Senyum Selena seketika mengembang, melihat sosok suaminya. "Daddy ..." Marvin diam-diam menarik napas lega karena kemunculan Dev. Setelah ini dia tidak perlu lagi memberi penjelasan kepada Darwin dan Sele
Manik Dev menyorot sayu, keinginannya makin membumbung tinggi saat Selena memasrahkan diri padanya. Gadis itu memejamkan mata, seakan menunggu apa yang akan dilakukan suaminya dengan debar di dada. Waktu berjalan begitu lambat, pikir Selena. Telapak tangan Dev yang besar menangkup kedua sisi wajah kecil Selena. Perlahan memiringkan kepala, untuk mempertemukan bibirnya dan bibir ranum itu. Ketika telah menempel sepenuhnya, Dev melumat benda kenyal itu dengan lembut, aliran darahnya makin berdesir dan sesuatu di bawah sana kian sesak. Selena melenguh halus, berusaha mengimbangi pagutan Dev yang tak terkesan terburu-buru. Secara sadar dia pun mulai mengangkat kedua lengan, dan mengalung di pundak suaminya. Tubuhnya makin merapat karena Dev terus beringsut maju tanpa menjeda pergerakan lidahnya.Suhu di ruangan itu berubah menjadi panas, karena sepasang manusia kini tengah terlena dalam gelora hasrat masing-masing. Dev terus memagut bibir Selena, sambil menuntunnya berbaring di ranjang
"Ma! Mama!" Rania berteriak memanggil sang mama ketika dia baru saja pulang ke apartemen. Selama beberapa pekan ini Herlin memang masih tinggal bersama dengan anak perempuannya. Ibu tiri Selena itu belum menemukan rumah yang sesuai keinginannya. Melangkah ke pantry, Rania membuka kulkas, seraya bergumam, "Mama ke mana, sih?" Diambilnya kaleng minuman, lalu menutupnya kembali. Rania melenggang dari pantry, sambil membawa serta minuman kalengnya. Perempuan itu menduduki sofa, tetapi urung meminumnya sebab dia melihat ponsel Herlin tergeletak di meja. Meletakkan kalengnya ke meja, Rania lantas mengambil benda persegi pipih itu. "Ini 'kan hapenya Mama. Terus, orangnya ke mana, coba? Kenapa hapenya di tinggal. Aneh," gumam Rania, heran dengan sifat ibunya yang agak pelupa. Tiba-tiba, rasa penasaran muncul di benak perempuan itu. Sudah lama sekali dia tidak menyentuh ponsel sang ibu. "Gak dikunci? Tumben?" Kesempatan, pikir Rania. Dia pun lekas membuka ponsel Herlin. Hal pertama yang