Apartemen yang biasa hanya dihuni seorang diri, kini nampak berbeda karena hadirnya penghuni baru. Suasana pun menjadi lebih hangat ketika sepasang pengantin baru itu duduk bersama di satu meja sambil menikmati hidangan santapan malam.Momen ini sangat Dev rindukan setelah sekian lama hidup menyendiri tanpa pendamping. Apalagi dia ditemani oleh istri yang masih sangat muda dan cantik. "Gimana hari ini? Apa sudah sesuai keinginanmu?" tanya Dev membuka obrolan setelah menghabiskan satu porsi menu buatan Selena yang cukup lezat. Salmon grill dengan siraman saus jamur. Selena tersenyum seraya mengangguk. Dia menjawab, "Hmm. Selena rasanya puas banget, Dad. Apalagi waktu liat Rania kepayahan bawain barang belanjaan aku." Dia menusuk potongan salmon menggunakan garpu, lalu memasukkannya ke mulut. Senyum yang terukir cukup mewakili moodnya hari ini setelah seharian mengerjai kakak tirinya. "Baguslah kalau kamu senang," ujar Dev, meraih gelas air lalu meminumnya. Saat Selena meminta izin
"Kamu gugup?" Dev menggenggam tangan Selena begitu erat, hingga darah gadis itu turut berdesir hangat. Keduanya baru saja tiba di sebuah hotel bintang satu yang ada di ibu kota. Berjalan memasuki lobby yang terlihat begitu ramai. Selena mendongak, menatap sang suami yang malam ini terlihat makin memesona. Balutan jas hitam serta tatanan rambut yang selalu tampil rapi, mampu menutupi usia Dev yang terbilang tak lagi muda. "Sedikit, Dad," jawab Selena, meringis kikuk, dan sontak mengundang tawa Dev. "Gak usah takut. Daddy gak akan macem-macemin kamu. Kita ke sini cuma mau makan malam. Sama ...." Ucapan Dev terjeda seraya memelankan langkah saat tiba di depan meja resepsionis. "Sama a—" "Selamat malam Pak Dev." Sambutan dari resepsionis membuat Selena urung melanjutkan pertanyaan berbalut rasa penasaran. Dari name-tag yang tertera nama 'Irene'. Dev tersenyum kepada Irene. "Malam, Ren." Tangan Dev berpindah melingkar ke pinggang ramping sang istri. Irene melirik sekilas ke arah Selen
Darwin berdecih. "Elu tanya mau gue apa? Setelah elu buang gue gitu aja kayak sampah, elu masih tanya mau gue apa, Ran?"Rania memicing tak percaya dengan cara Darwin memanggilnya. Namun, saat ini dia sudah tidak peduli pada pria kere ini. Ya, kere. Rania pikir jika sekarang mantan suami adik tirinya ini hanyalah seorang pria miskin meski berstatus sebagai anak dari Dev Atalarich. "Ck, keputusan aku ninggalin kamu itu ternyata udah tepat. Kamu ini udah gak bisa diandelin, Darwin. Jadi, mulai sekarang udah jelas 'kan? Kamu gak usah berharap sama hubungan kita. Mulai hari ini kita se-le-sai!" Rania mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menunjukkan jika dia benar-benar tak lagi membutuhkan laki-laki tak berguna seperti Darwin. Sementara Darwin tengah menahan diri untuk tidak melampiaskan kemarahannya di depan umum. Sadar bila saat ini dia tengah berada di hotel milik daddy-nya. Jangan sampai, masalahnya dengan perempuan ular satu ini membuat sang daddy kembali murka padanya. "Gue juga ber
"Om?" Rania terpaksa menegur si Om yang sedari tadi hanya diam saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sejak menduduki kursi. Entah sedang memikirkan apa pria itu. Si pria tersebut menatap Rania. "Kamu boleh pesan apa aja, Ran," ucapnya setelah berhasil menguasai diri dari keterkejutan. Namun, sudut matanya tak lepas tertuju pada Dev. Mendapat izin dari sang lelaki yang akan menjadi partner ranjangnya, Rania pun lekas memesan beberapa aneka menu favorit dan tentunya paling mahal yang ada di hotel ini. Kesempatan bisa makan enak dan gratis tidak mungkin dia lewatkan begitu saja. "Siap, Om. Aku pesen yang enak-enak," ucap Rania dengan senyum riang, seraya mengambil alih buku menu dari tangan pelayan yang berdiri di samping meja. Sementara Rania sibuk memilah menu, si Om kembali memerhatikan Dev dari tempatnya. Dia membatin, 'Kenapa sangat kebetulan dia ada di sini.' Terhitung sejak lima belas tahun yang lalu dia tidak pernah lagi bertemu dengan mantan sahabatnya itu. ck! Rupa-rupa
Tring!Pintu lift terbuka, Dev dan Marvin bergegas keluar dari ruang berjalan itu. Keduanya melangkah beriringan. Marvin menenteng jas yang dilepas oleh Dev sejak di restoran. "Gimana, Dev? Apa masih ngerasa aneh?" tanya Marvin, yang sejak tadi tak berhenti mengawasi perubahan sang sahabat. Bagaimana mungkin Dev yang sudah terbiasa mengonsumsi anggur tiba-tiba alergi terhadap minuman tersebut? Bukankah itu sama sekali tidak masuk akal?Dev pun bingung dengan reaksi yang terjadi pada tubuhnya. "Masih, Vin. Malah makin aneh aja. Badanku panas semua. Dan ..." Langkah Dev berhenti tiba-tiba, sejenak mengawasi sekitarnya. Kalau-kalau ada seseorang yang mendengar pembicaraannya. Marvin pun terpaksa ikut berhenti. Menatap awas Dev yang sepertinya hendak bicara hal yang sangat pribadi. "Ada apa, Dev? Kamu jangan bikin aku penasaran." Jas di tangan, Marvin sampirkan ke pundak, sambil menunggu Dev yang entah akan bicara apa. "Hmm .. begini, Vin." Tengkuk yang terasa meremang, Dev usap berula
Setahu Selena—obat perangsang itu bisa membuat orang yang mengonsumsinya kehilangan kendali diri. Bisa dikatakan orang tersebut akan menjadi liar di luar batas. Namun, nampaknya itu tidak berlaku pada Dev—suaminya. Buktinya, Dev tetap tenang serta tidak berperilaku kurang ajar. Akan tetapi, meskipun Dev terlihat tenang, Selena bisa merasakan tatapan penuh damba dari sepasang manik kelam itu. Lalu, embusan napas yang terdengar begitu memburu serta genggaman tangan yang kian erat. "Kamu takut, Selena?" Dev menyimpulkan jika saat ini sang istri tengah takut padanya, sebab itu Selena tak bergeming sedari tadi. "Emm ... Selena ..." Gadis itu ingin mengelak tebakan Dev, tetapi dari tatapan matanya tidak bisa berbohong, bila detik ini dia memang tengah takut. Dev pun lekas menyadari, lantas melepas perlahan telapak tangan sang istri yang sudah berkeringat. "Maaf, Daddy gak bermaksud bikin kamu takut," ucap Dev. Perasaan Selena pun menjadi campur aduk sekarang. Merasa jika sikapnya terla
"Kamu kenapa ke sini? Bukannya harusnya kamu sama Dev di kamar?" Pertanyaan menuntut itu terlontar dari mulut Lexy saat mendapati Rania sudah berdiri di depan pintu kamar inapnya. Pria itu terkesan tak suka dengan kemunculan perempuan yang dimintanya untuk menjebak Dev. "Ma-maaf, Om. Rania gak berani deketin Pak Dev. Soalnya tadi Pak Dev sama Pak Marvin." Rania tak berani menatap lawan bicaranya yang saat ini menatapnya kesal. Pandangannya tertuju ke high heels yang dikenakan, sambil meremas kedua tangannya di depan dress. Keputusannya urung mendekati Dev disebabkan karena adanya Marvin. Rania tidak berani mengambil risiko, apalagi dia masih bekerja di perusahaan Dev dan masih membutuhkan uang untuk membiayai kebutuhannya. Jika dia sampai nekad melakukannya, maka pekerjaannyalah yang akan menjadi taruhannya. Marvin pun otomatis tidak akan tinggal diam begitu saja. "Marvin. Rupanya orang itu juga masih setia dengan Dev." Lexy nampak bergumam, mengingat-ingat sosok Marvin yang dulu j
Menjelang pagi Dev terbangun lebih dulu, dan langsung tersenyum saat mendapati Selena tertidur dalam pelukannya. Tentu saja hal tersebut menjadi momen paling indah dalam hidup seorang Dev, yang sudah sejak lama tak merasakan hangatnya hubungan suami istri. Dev pun berinisiatif memberi kecupan mesra di kening sang istri, yang semalam telah memberinya sesuatu, yang sudah cukup lama tak pernah dia dapatkan. Percintaan yang begitu panas, dan tak kan pernah terlupakan. Rupanya, satu kecupan di kening dirasa belum cukup bagi Dev. Apakah dosa mencuri ciuman dari bibir istri sendiri? Dev merutuk dirinya sendiri dalam hati karena mendadak berubah menjadi pria serakah. 'Ck, aku tidak peduli.' Batinnya menyeru tak acuh akan sikap tak sopannya. Katakan, jika saat ini dia benar-benar semakin tergila-gila dengan istri mudanya. Benda terbelah, nan kenyal serta berwarna pink alami milik Selena adalah hal yang sama sekali tidak boleh dilewatkan. Maka, tanpa sungkan bibir Dev memagut benda kenyal it