Seorang gadis yang baru saja resmi menjadi istri mantan mertuanya, kini terlihat tengah duduk bersandar dengan tidak tenang. Maniknya tak lepas menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat itu. Suara gemericik air terdengar jelas di telinganya. "Daddy masih mandi. Kalau ... aku tinggal tidur aja, kira-kira gimana, ya? Tapi ... aku takut nyinggung perasaan Daddy." Selena bergumam resah, menimbang-nimbang apa yang hendak dia lakukan detik ini. "Oh, ya ampun ...." desahnya frustrasi sambil meraup wajah. Bukannya dia mau pura-pura lupa atau tidak menganggap pernikahannya dengan Dev. Hanya saja, Selena masih butuh waktu untuk membiasakan diri dengan situasi yang terjadi baru-baru ini. Selena pun sadar akan kewajibannya sebagai seorang istri. Apalagi malam ini adalah malam pengantin mereka. "Aku harus gimana?" Dia memeluk lengannya sendiri sebab mendadak sekujur tubuhnya meremang, ketika kata-kata Dev terngiang di telinga. Menelan ludah rasanya susah payah untuk Selena. "Daddy itu laki
Pagi ini mungkin adalah pagi terindah dalam hidup Dev. Bisa menatap puas wajah cantik seorang gadis muda yang kini berstatus sebagai istrinya. Dalam tidur pun Selena terlihat sangat cantik bak malaikat. Polos dan lugu. Kali pertama setelah dia memutuskan tak akan lagi membuka hati untuk seorang wanita. Rasanya masih sulit dipercaya. Dev tidur seranjang dengan Selena. Perempuan yang mampu membangkitkan getaran di dalam dadanya. Perempuan yang berhasil mengetuk pintu hatinya. Bibir Dev sontak mengulum senyum, lalu tak bisa menahan diri untuk tidak menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajah Selena. Jarinya dengan sangat pelan menjumput supaya tidak menggangu kenyenyakan tidur sang istri. Namun, pergerakan pelan itu nyatanya membuat sang pemilik rambut merasa sedikit terusik. Selena menggeliat, membuka sepasang kelopak matanya perlahan-lahan. Samar-samar pandangannya melihat sosok yang menatapnya tanpa berkedip. Bola matanya sontak membulat saat menyadari jika itu adalah Dev. Gadi
Sudah hampir dua jam Selena bolak-balik ke balkon kamar inapnya hanya untuk sekadar membuang rasa bosan. Dia pun sudah berkali-kali mengecek ponsel di genggaman kalau-kalau Dev—suaminya mengirim pesan. "Kenapa Daddy gak balik-balik, ya?" gumam Selena sambil menatap layar ponselnya yang sedari tadi tidak menyala. "Apa aku susul aja, ya?" Daripada menunggu dengan tak sabar, gadis itu pun memutuskan untuk pergi menyusul sang suami. Selena membuka pintu kamar, dan tahu-tahu ada Mbok Nung yang berdiri entah sejak kapan."Loh, Mbok?" Manik Selena menyipit pada perempuan paruh baya yang selama ini sudah sangat baik padanya. Mbok Nung memasang senyum sungkan, menatap Selena dengan tatapan kagum. Gadis di hadapannya ini memang benar-benar sangat cantik. Terlebih, perilakunya juga sangat sopan dan baik. Pantas saja, Dev—sang majikan kecantol dan tanpa ragu langsung memperistri Selena. "Maaf, Non. Mbok disuruh Tuan ke sini buat nemenin Non Selena," ujar Mbok Nung. "Nemenin aku?" "Iya. Tuan
"Mam!" Darwin langsung menghambur memeluk Monica begitu keluar dari jeruji besi yang beberapa hari ini mengurungnya. "Darwin." Monica memeluk putra satu-satunya dengan penuh haru. "Kamu ... baik-baik aja'kan?" tanyanya, seraya mengurai pelukan. Tatapannya meneliti lekat-lekat, memastikan jika Darwin tidak mengalami suatu hal yang buruk di dalam sel yang sangat bau itu. "Aku baik-baik aja, Mam," ucap Darwin. "Bener? Gak ada yang jahatin kamu 'kan di dalem situ?" Sekilas Monica melarikan pandangan pada empat orang penghuni tahanan yang satu sel dengan Darwin. Ke empat orang tersebut memberi tatapan aneh padanya. 'Menjijikan!' batin Monica bergidik geli. "Hmm, Mam." Darwin menengok sekilas ke balik punggung sang ibu. "Mami ke sini sama siapa?" tanyanya."Mami ke sini sama Marvin." Hidung Monica mengendus aroma tidak sedap yang melekat di pakaian Darwin. "Kamu gak mandi berapa hari, sih? Ayo, kita ke hotel. Abis itu langsung mandi." Reflek Darwin mengangkat kedua lengannya, lalu meng
Mood yang semula baik-baik saja seketika berubah menjadi sangat buruk karena pertemuannya dengan sang mantan suami. Meski Selena sudah berusaha abai dengan kata-kata pedas yang bermakna sindiran dari Darwin. 'Selamat, ya, udah berhasil menjadi nyonya Dev. Semoga kebahagiaan yang kamu dapet dari hasil merebut bisa bertahan lama.' Kenyataannya, dia tak pernah merebut siapa pun. Dev-lah yang melamarnya secara tiba-tiba. Dev-lah yang memintanya untuk menjadi pendamping. Apa semua itu salahnya? "Kenapa orang itu seenaknya kalo ngomong. Bener-bener ngeselin!" Selena bergumam di dalam mobil, dan tentunya seketika menarik perhatian Dev yang duduk di sampingnya. "Kamu ngomong apa, Selena?" tanya Dev, mengalihkan pandangannya sejenak dari layar Macbook. Selena menoleh. "Ah, enggak ngomong apa-apa, kok, Dad." Dia berkilah, tetapi Dev tahu jika istri mudanya ini sedang dilanda kesal. Dev meletakkan benda persegi di tangan ke sisinya, kemudian menghadap Selena. Pria itu lalu menebak, "Kamu .
Apartemen yang biasa hanya dihuni seorang diri, kini nampak berbeda karena hadirnya penghuni baru. Suasana pun menjadi lebih hangat ketika sepasang pengantin baru itu duduk bersama di satu meja sambil menikmati hidangan santapan malam.Momen ini sangat Dev rindukan setelah sekian lama hidup menyendiri tanpa pendamping. Apalagi dia ditemani oleh istri yang masih sangat muda dan cantik. "Gimana hari ini? Apa sudah sesuai keinginanmu?" tanya Dev membuka obrolan setelah menghabiskan satu porsi menu buatan Selena yang cukup lezat. Salmon grill dengan siraman saus jamur. Selena tersenyum seraya mengangguk. Dia menjawab, "Hmm. Selena rasanya puas banget, Dad. Apalagi waktu liat Rania kepayahan bawain barang belanjaan aku." Dia menusuk potongan salmon menggunakan garpu, lalu memasukkannya ke mulut. Senyum yang terukir cukup mewakili moodnya hari ini setelah seharian mengerjai kakak tirinya. "Baguslah kalau kamu senang," ujar Dev, meraih gelas air lalu meminumnya. Saat Selena meminta izin
"Kamu gugup?" Dev menggenggam tangan Selena begitu erat, hingga darah gadis itu turut berdesir hangat. Keduanya baru saja tiba di sebuah hotel bintang satu yang ada di ibu kota. Berjalan memasuki lobby yang terlihat begitu ramai. Selena mendongak, menatap sang suami yang malam ini terlihat makin memesona. Balutan jas hitam serta tatanan rambut yang selalu tampil rapi, mampu menutupi usia Dev yang terbilang tak lagi muda. "Sedikit, Dad," jawab Selena, meringis kikuk, dan sontak mengundang tawa Dev. "Gak usah takut. Daddy gak akan macem-macemin kamu. Kita ke sini cuma mau makan malam. Sama ...." Ucapan Dev terjeda seraya memelankan langkah saat tiba di depan meja resepsionis. "Sama a—" "Selamat malam Pak Dev." Sambutan dari resepsionis membuat Selena urung melanjutkan pertanyaan berbalut rasa penasaran. Dari name-tag yang tertera nama 'Irene'. Dev tersenyum kepada Irene. "Malam, Ren." Tangan Dev berpindah melingkar ke pinggang ramping sang istri. Irene melirik sekilas ke arah Selen
Darwin berdecih. "Elu tanya mau gue apa? Setelah elu buang gue gitu aja kayak sampah, elu masih tanya mau gue apa, Ran?"Rania memicing tak percaya dengan cara Darwin memanggilnya. Namun, saat ini dia sudah tidak peduli pada pria kere ini. Ya, kere. Rania pikir jika sekarang mantan suami adik tirinya ini hanyalah seorang pria miskin meski berstatus sebagai anak dari Dev Atalarich. "Ck, keputusan aku ninggalin kamu itu ternyata udah tepat. Kamu ini udah gak bisa diandelin, Darwin. Jadi, mulai sekarang udah jelas 'kan? Kamu gak usah berharap sama hubungan kita. Mulai hari ini kita se-le-sai!" Rania mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menunjukkan jika dia benar-benar tak lagi membutuhkan laki-laki tak berguna seperti Darwin. Sementara Darwin tengah menahan diri untuk tidak melampiaskan kemarahannya di depan umum. Sadar bila saat ini dia tengah berada di hotel milik daddy-nya. Jangan sampai, masalahnya dengan perempuan ular satu ini membuat sang daddy kembali murka padanya. "Gue juga ber