Prang! "Brengsek!" Monica mengumpat sambil melempar gelas bekas pakainya meminum wine ke lantai, hingga pecah berserakan. Pecahan beling kaca berceceran di mini bar itu. "Kenapa harus Selena, Dev? Kenapa harus dia?" Perasaan tak terima dengan keputusan Dev yang ingin menikahi bekas menantunya, membuat Monica bertubi-tubi mengutuk pria itu. Kini, dia benar-benar tak lagi mempunyai hak atas Dev. Benar-benar tak ada lagi kesempatan untuk mengambil hatinya kembali. Andai Dev tidak mengancam atas nama Darwin, Monica tidak akan pernah sudi menandatangani surat perceraian tersebut. Andai dia bisa mengendalikan semuanya, kemungkinan besar Dev tidak akan berpaling darinya dan memilih Selena. "Kamu sudah memanfaatkan ketiberdayaanku, Dev. Kamu brengsek!" "Siapa yang brengsek, Mam?" Darwin yang tiba-tiba muncul terkejut melihat kekacauan di mini bar. Ditambah dengan keadaan maminya yang sedang mengumpat seseorang. Monica mendengkus, melirik putra satu-satunya yang baru saja kembali entah d
'Karena memang sejak lama pernikahan kami sudah rusak. Bahkan, sebelum kamu datang di keluarga kami.' Pernyataan tersebut tak berhenti terngiang di pikiran seorang gadis muda yang baru beberapa hari berstatus menjadi janda. Sang mertua yang dia kenal selama ini rupanya menyimpan sebuah rahasia rumah tangga yang cukup pelik. Selena menghela panjang, menatap pantulan dirinya di cermin sambil memikirkan—masalah apa yang sebenarnya menimpa rumah tangga Dev? "Rusak yang bagaimana maksud Daddy? Dan, kenapa selama ini mereka menutupi sedemikian rapat, sampai-sampai tidak ada orang luar yang bisa mengendus? Kayak aku gini. Setahun jadi menantu tapi aku gak tau seluk beluk keluarga suamiku. Aneh 'kan?" Ketidaktahuannya akan masalah rumah tangga sang mertua cukup membuat gadis bermanik kecokelatan itu terheran-heran. Setahun. Itu bukanlah waktu yang sebentar, bagi seseorang untuk mengenal lebih jauh sisi lain dari orang-orang terdekat. Namun, semua hal tersebut tak berlaku bagi Selena, yan
"Minum dulu." Dev meletakkan secangkir teh jahe madu hangat ke nakas, kemudian duduk di samping Selena yang sudah terlihat baik-baik saja. "Makasih, Dad," ucap Selena, tanpa mengalihkan pandangannya dari lantai kamarnya. Dev tahu jika saat ini gadis di sampingnya itu tengah berkutat dengan isi kepalanya. Pernyataannya beberapa saat lalu yang siap menikah pasti membebani pikiran Selena. "Selena," panggil Dev dengan sangat lembut. Dia lirik kedua tangan Selena yang saling menaut di atas pangkuan. Dev tersenyum, lalu memberanikan diri untuk memegang tangan mungil itu. "Bicarakan apa yang kamu pikirkan saat ini. Daddy siap mendengarkan," kata Dev. Pandangan Selena mulai beralih pada pria pengertian ini. Menatap sepasang manik hitam Dev yang begitu menenangkan serta penuh teka-teki. "Maaf, Daddy ...." Selena menjilat bibir, tak tahu harus mengatakan apa. Dia sendiri sempat tak percaya—jika dengan percaya dirinya mengiyakan ajakan menikah Dev. Padahal, ketika bicara seperti itu Selena
"Om, pliss ... izinin aku telepon Mami." Rengekan Darwin dari balik jeruji besi terdengar sangat-sangat menggelikan. Bagaimana mungkin seorang pemuda yang beberapa jam lalu sempat melakukan tindak kekerasan pada seorang gadis. Kini, nyaris terlihat seperti orang yang malang dan butuh dikasihani. Marvin meninggikan senyum sinisnya sekaligus tatapan mengejeknya. "Kamu memang gak pernah belajar, Darwin. Harusnya kamu itu sadar dan introspeksi diri sebelum menilai keburukan orang lain. Andai saja kamu mau menuruti semua perintah daddy-mu, mungkin hidupmu gak akan seperti sekarang ini." Usai menceramahi Darwin panjang lebar, Marvin merogoh saku jas, untuk mengambil ponselnya. "Om akan hubungi mamimu, biar dia bisa sekalian menyaksikan kebodohan anaknya yang satu ini," lanjut Marvin, menempelkan benda pipih di tangan ke telinga, setelah menemukan kontak Monica. "Harusnya Om juga ngasih tau Daddy. Sebagai temen deket, kenapa Om gak coba nasihatin dia. Kenapa dia gak berhenti belain Selen
Selesai dengan rutinitas dadakan yang tercetus tiba-tiba. Dari mulai pergi ke Butik membeli gaun pengantin, sampai melakukan tritmen khusus. Selanjutnya Dev membawa sang calon istri ke sebuah Restoran untuk makan malam. Ruang VIP Dev pesan untuknya dan Selena agar suasana makan mereka lebih intim tanpa gangguan dari siapapun. Menu yang dipilih pun sesuai keinginan Selena dan Dev memilih mengikutinya saja. Keduanya makan dengan tenang sesekali Dev memberikan perhatian-perhatian kecil pada sosok manis di hadapannya. Entah mengapa Selena terlihat semakin cantik setelah melakukan tritmen. Aura serta pesona gadis berkulit putih itu semakin terpancar. Sampai-sampai mata Dev enggan beralih pada yang lain. Baginya, memandang Selena merupakan hal yang tidak boleh terlewatkan. Meski demikian, yang menjadi objek pandang Dev, justru merasa kikuk. Selena nyaris tak bisa bergerak bebas sebab seolah-olah Dev terus memerhatikannya. "Apa Daddy gak capek dari tadi liatin Selena terus?" Pertanyaan i
"Non ..." Bi Nung masuk ke kamar Selena, setelah sang empunya membukakan pintu. Wanita paruh baya itu menyodorkan paper bag ke hadapan Selena.Manik Selena menyipit. "Ini apa, Mbok?" tanyanya, mengambil alih paper bag ke tangannya, kemudian memeriksa isinya. Dia melihat stelan baju tidur berbahan satin warna merah muda. "Baju tidur?" "Tuan Dev yang ngasih, Non." Mbok Nung nampak menahan senyum, jika mengingat besok adalah hari spesial bagi majikannya yang sudah lama tak merasakan kebahagiaan. "Daddy yang beliin?" Selena mengambil piyama tersebut. "Bagus. Ukurannya juga pas," cicitnya. "Tuan Dev yang milih sendiri," ucap Mbok Nung. "Dipake, Non." "Hmm. Pasti, Mbok." Selena mengangguk. "Mbok tunggu di sini dulu. Aku mau ganti baju dulu, bentar." Setelah mendapat anggukan dari Mbok Nung, Selena lantas bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengganti jubah mandi dengan piyama baru. Sementara Mbok Nung membereskan beberapa perlengkapan lainnya yang di kamar tersebut. Beberapa saat kemud
Bisa dikatakan jika saat sini ketegangan melingkupi Selena. Berjalan dengan didampingi Pak Farid yang ditunjuk sebagai pendamping membuat gadis berbalut gaun pengantin sederhana itu teringat akan sosok sang ayah. Pandangan Selena mengabur, tertutup cairan hangat yang sebisa mungkin dia tahan agar tidak meleleh. Kesedihan itu pun berganti keterkejutan ketika Selena melihat sang ibu dan saudari tirinya hadir. "Mama? Rania?" gumam Selena. Herlin dan Rania terlihat masam, bahkan rautnya cenderung tidak bersahabat. Apalagi Monica yang begitu sinis menatap mantan menantunya. "Mami?" Selena bergumam lirih, dan berusaha untuk tidak terpengaruh dengan tatapan mengintimidasi mantan mertuanya itu. 'Rileks Selena. Rileks.' Dalam hatinya, Selena meyakinkan diri untuk tidak merasa tegang serta gugup. Langkahnya pelan tetapi pasti. Tahu-tahu Selena sudah berada di hadapan Dev yang siang ini terlihat berbeda. Tampan dan memesona. "Ayo, Selena." Tangan Dev terulur ke hadapan sang calon istri. So
"Aku sudah melakukan keinginanmu, Dev. Aku harap, kamu gak lupa sama janjimu yang akan membebaskan Darwin," ucap Monica, pada mantan suaminya yang duduk di hadapannya. Dev melirik Marvin yang duduk bersebrangan meja dengannya. Memberikan kode jika dia sudah melaksanakan perintah sesuai atasannya itu. "Lusa kamu bisa jemput dia," jawab Dev. Monica pun seketika menghela lega dengan jawaban Dev. Akhirnya, dia bisa melihat putra semata wayangnya bebas. "Terimakasih." "Setelah ini, aku harap anakmu itu gak berulah lagi. Peringatkan dia, Monica." "Hmm, akan kuusahakan, Dev." "Sebaiknya, dia lebih menghargai Selena. Karena sekarang dia adalah istriku." Kata-kata yang terucap dari mulut Dev selanjutnya, cukup membuat raut Monica mengeras hingga mengepalkan tangannya kuat-kuat di bawah meja. Ternyata, rasanya sesakit ini melihat pria yang dulu begitu mencintainya, sudah memiliki pendamping hidup yang baru, pikir Monica. "Aku masih gak ngerti Dev, kenapa kamu nikahin Selena? Kenapa kamu
Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan
Marvin mendorong kursi roda Dev sampai ke kamar. Beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di apartemen setelah melakukan perjalanan cukup jauh. "Akhirnya, habis ini kamu bisa tidur nyenyak," cicit Marvin menggoda sang sahabat. Marvin yang tahu betul—bagaimana kacaunya jadwal tidur Dev selama Selena pergi. Hari-hari Dev hanya diisi dengan mencari keberadaan sang istri, sampai-sampai tidak memerhatikan penampilan serta kesehatannya. Namun, setelah Selena ditemukan, tentu saja semua itu tidak akan terjadi lagi. Selena sudah ditemukan dan sudah mau kembali padanya. Mulai detik ini Dev akan mengisi hari-harinya bersama sang istri dan calon anaknya. "Aku bisa minta tolong, Vin?" tanya Dev, menatap Marvin dengan serius. "Apa?" "Tolong carikan satu lagi asisten rumah tangga buat bantuin mbok Nung. Soalnya nanti mbok Nung cuma aku minta ngurusin Selena," kata Dev. Niat itu sudah Dev pikirkan sejak dia tahu Selena hamil. Berhubung ada masalah tak terduga, dia jadi harus menundanya."
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at