Vote dan komentarnya, donk....^^
Selena sontak berdiri, sesaat mendengar jawaban Dev. "Daddy tau itu semua, dan sikap Daddy bisa setenang ini?" Selena menghela sangat panjang, berusaha untuk tidak melampiaskan kekesalannya pada Dev. Dev berdiri. "Terus, kamu maunya daddy gimana?" tanyanya sambil melangkah mendekati Selena. "Dad, Mas Darwin nuduh Selena. Secara gak langsung dia juga udah fitnah kita. Aku gak bisa terima gitu aja, kalo ada orang yang jelek-jelekkin Daddy. Selena gak mau nama baik Daddy rusak cuma gara-gara belain aku." Semua uneg-uneg yang mengganjal di hati diluapkan oleh Selena. Dia berharap, Dev mau mengerti dengan maksudnya. Namun, bisa-bisanya Dev hanya menanggapinya dengan seulas senyum manis. "Jadi, itu alasan kamu mau pergi dari sini, Selena? Kamu gak suka kalau ada orang yang jelek-jelekkin daddy? Sekali pun itu Darwin?" Bisa Dev lihat dengan jelas dari sorot mata Selena—gadis itu terang-terangan tengah membelanya. Akan tetapi, Dev tetap tidak akan tinggal diam dengan sikap Darwin yang tel
"Mam! Mami!" Darwin melangkah tergesa, memasuki rumah milik kedua orang tuanya. Wajahnya terlihat geram bukan main, seakan-akan dia hendak menerkam semua orang yang ada di hadapan. Monica yang baru saja keluar dari kamarnya, bergegas menuruni anak tangga saat ketenangan rumahnya terusik dengan suara teriakan anak semata wayangnya. "Darwin? Kenapa kamu teriak-teriak, sih?" Manik Monica menyorot tak suka pada Darwin yang sudah berdiri di ujung anak tangga paling bawah. "Daddy mana, Mam?" Alih-alih menjawab, Darwin justru menanyakan keberadaan sang ayah yang tak terlihat di rumah. Wajahnya masih nampak mengeras. Monica berdecak. "Ditanya malah balik nanya," gerutunya, melintasi Darwin begitu saja, dan menuju ruang makan. Kening Darwin mengernyit melihat sikap ibunya. "Mam, aku nanya Daddy di mana? Malah gak dijawab." Bergegas dia membuntuti perempuan yang melahirkannya itu menuju ruang makan. Apa-apaan coba? Tiba di ruang makan, yang mejanya sudah ada beberapa macam menu makanan, Mo
Keputusan untuk pergi dari unit mewah tersebut terpaksa diurungkan oleh Selena sebab Dev tak memberikan izinnya. Dev membujuknya serupa seorang ayah yang membujuk anak perempuannya. Lalu, bagaimana mungkin Selena bisa membantahnya?Jika bicara soal perhatian, mertuanya itu memang bisa dikatakan sangat mirip ayahnya, pikir Selena. Ah, tiba-tiba Selena rindu pada sosok penyayang itu, sampai tak terasa air mata menetes dengan sendirinya. "Selena kangen Papa ...." gumam Selena, lalu menghela napas sangat panjang. "Non." Mbok Nung yang baru saja selesai membersihkan unit mendekati Selena yang duduk melamun di meja makan. Sarapan yang masih utuh di piring menjadi perhatiannya. Selena menoleh, mendapati Mbok Nung yang sudah berdiri di sisi meja makan. "Ya, Mbok?" "Makanannya kenapa belum dimakan, Non? Gak suka, ya, sama menunya? Kalo gak suka biar Mbok masakin yang lainnya." Mbok Nung melirik sandwich buatannya sekilas. Dia berpikir jika Selena tidak menyukai makanan buatannya. Reflek,
Demi memberikan dokumen yang baru tadi pagi diantar oleh pengacara pilihannya, Dev rela mengundur jam makan siangnya, dan memilih untuk pergi menuju ke sebuah gedung bertingkat itu. Entah dorongan dari mana, keinginan untuk menuju ke tempat yang beberapa hari ini sering dia datangi begitu menggebu-gebu. Bahkan, Dev tak pernah merasa bersemangat seperti sekarang ini. Aneh, pikir Dev yang tengah menunggu pintu ruang berjalan itu berhenti dan terbuka. Untungnya, hanya ada dia seorang di dalam lift, jika tidak—kemungkinan saat ini Dev akan jadi bahan perhatian dari penghuni lain. Pria berusia empat puluh lima tahun itu nyaris terlihat sempurna, dengan balutan kemeja warna putih serta setelan jas warna navy. Terlihat gagah, dan berkharisma. ting!Bunyi pertanda pintu lift terbuka membuat kedua sudut bibir Dev spontan tertarik ke samping, kemudian mengayunkan kakinya ke luar ruangan baja itu. Jam tangan bermerek dengan harga selangit menjadi perhatian pria itu sekilas. Ternyata, masih p
Di ruangan serba putih itu seorang gadis yang berbaring di ranjang pasien dengan selang infus tertancap di punggung tangan, membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sorot cahaya lampu yang teramat terang cukup menyilaukan sepasang maniknya yang kecokelatan. "Non? Non Selena udah bangun?" Suara yang tidak asing di pendengaran, menarik perhatian Selena yang tengah berusaha mengumpulkan kesadaran. Dia menoleh ke sisi kiri, dan mendapati Mbok Nung berdiri di sisinya. "Mbok Nung?" ucap Selena dengan suara yang terdengar sangat lirih. "Iya, Non. Ini Mbok." Mbok Nung tersenyum lebar."Selena di mana, Mbok?" Pandangan Selena menyusuri langit-langit kamar dengan pencahayaan terang tersebut. "Ini di rumah sakit ya, Mbok?" Dia mulai menyadari keberadaannya saat bau obat-obatan tercium di hidungnya. "Iya, Non. Non Selena di rumah sakit," ucap Mbok Nung, mengusap-usap lembut pundak Selena. "Tuan Dev yang bawa Non ke sini. Non tadi pingsan di makam," imbuhnya memberi tahu. Selena seketika menol
Hampir setengah jam lebih Dev menatap wajah pucat nan meneduhkan, yang kini terlelap damai di atas ranjang pasien. Lebam di pipi sang gadis menjadi fokus dari manik kelam lelaki berjas navy itu. Setelah beberapa saat, naluri Dev pun tergugah untuk mengulurkan tangannya. "Ini pasti sangat sakit," gumam Dev, menatap nanar warna keunguan bekas tamparan Monica yang tercetak di pipi mulus Selena. Punggung tangannya mengusap dengan lembut. "Maaf ... karena sudah membuatmu berada di situasi ini." Merasakan sentuhan di pipinya, kelopak mata yang semula terpejam itu pun perlahan terbuka. Samar-samar Selena melihat wajah yang tidak asing di penglihatannya. Meski agak buram, tetapi dia tentu mengenali wajah berjambang berkharisma itu, yang kini duduk di tepi ranjang dan tak berkedip menatapnya. "Daddy ...." Suara serak Selena menyebut nama sang ayah mertua. Dev menarik tangannya dari pipi Selena. "Maaf ... daddy udah mengganggu tidurmu," ucapnya. Selena menggeleng samar, dan kini dia telah
"Apa? Semua kartu kamu dibekukan? Kok, bisa?" Rania sangat terkejut ketika Darwin mengatakan belum bisa membelikan ponsel keluaran terbaru di Minggu-minggu ini, karena semua kartu sudah dibekukan oleh sang daddy. "Ya, bisalah! Daddy itu sengaja lakuin itu karena aku udah nuduh Selena yang enggak-enggak." Darwin meneguk segelas air dingin untuk mendinginkan kepalanya yang terasa sangat panas. "Kamu gak masalah 'kan?" Meski kesal dan keberatan karena ponsel yang menjadi incarannya tak jadi dibeli, Rania tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Darwin. Apalagi dalam situasi yang sepertinya semakin tak terkendali. "Ya ... gak masalah, sih." Sahutnya. "Bener?" Satu alis Darwin naik, sambil mengusap rambut Rania yang basah karena habis keramas. "Hmm." Terpaksa Rania menganggukan kepala. "Tapi janji gak lama-lama beliinnya," rengeknya yang kemudian meletakkan kepalanya di pundak Darwin. "Siap ... kamu tenang aja, Ran. Ini gak mungkin lama, kok," janji Darwin, berpikir jika semua masalahnya
Butuh banyak pertimbangan sebenarnya, bagi Dev untuk memindahkan Selena ke tempat yang jauh dari keramaian. Akan tetapi, demi menjaga kenyamanan dan nama baik gadis yang sebentar berstatus janda itu, Dev terpaksa melakukannya. Marvin selaku asisten pribadi serta sahabat Dev sampai dibuat terheran-heran. Pasalnya, rumah yang akan ditinggali Selena adalah tempat penuh kenangan manis sekaligus pahit dalam hidup Dev. Entah apa yang ada di pikiran sahabatnya itu. "Kamu yakin nyuruh Selena tinggal di rumah itu, Dev? Apa gak ada alternatif lain?" tanya Marvin memastikan, sebab menurutnya ide tersebut sangatlah tidak masuk akal. "Lagipula, rumah itu udah lama banget gak kamu kunjungin." "Itu satu-satunya cara, Vin. Aku gak mau Selena terusik sama Darwin dan Monica. Setelah apa yang mereka lakukan, aku gak bisa menjamin, besok-besok mereka pasti akan melakukan hal yang lebih gila lagi. Kamu tau sendiri sifatnya Monica itu kayak gimana?" Tali dasi yang terasa melilit leher dan membuat sesak
Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan
Marvin mendorong kursi roda Dev sampai ke kamar. Beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di apartemen setelah melakukan perjalanan cukup jauh. "Akhirnya, habis ini kamu bisa tidur nyenyak," cicit Marvin menggoda sang sahabat. Marvin yang tahu betul—bagaimana kacaunya jadwal tidur Dev selama Selena pergi. Hari-hari Dev hanya diisi dengan mencari keberadaan sang istri, sampai-sampai tidak memerhatikan penampilan serta kesehatannya. Namun, setelah Selena ditemukan, tentu saja semua itu tidak akan terjadi lagi. Selena sudah ditemukan dan sudah mau kembali padanya. Mulai detik ini Dev akan mengisi hari-harinya bersama sang istri dan calon anaknya. "Aku bisa minta tolong, Vin?" tanya Dev, menatap Marvin dengan serius. "Apa?" "Tolong carikan satu lagi asisten rumah tangga buat bantuin mbok Nung. Soalnya nanti mbok Nung cuma aku minta ngurusin Selena," kata Dev. Niat itu sudah Dev pikirkan sejak dia tahu Selena hamil. Berhubung ada masalah tak terduga, dia jadi harus menundanya."
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at